Judul : Ustad Keren-keren
Author : Andin (@ariek_andini)
Genre : Romantic - Religius
Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo
----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung
Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi
SMASH 2013"
---------------------------------------------------------------------
> > > > > > > > > > > > > > >
Sejenak Eriska menurunkan lengannya. Diremasnya pundak kanannya sambil
mendesah. Ditatapnya lagi cendela kaca yang berjajar di sepanjang
bangunan Pesantren Al Hikmah. Hanya satu cendela. Masih ada empat
cendela lagi yang harus ia bersihkan dari bercak-bercak cat dinding.
Tangan kanannya lunglai memegang sebuah cutter. Dilanjutkannya lagi
mengelupas bercak cat itu dari kaca satu per satu.
“Aku sudah ngga tahan lagi, Din. Aku cape.” kata Eriska pada seorang santri putri yang duduk di depannya.
Dina menatap Eriska dalam diam. Ia tahu sejak awal sahabatnya itu tidak
mau nyantri di pesantren. Kedatangannya ke pesantren kecil yang ada di
ujung Desa Sukorejo ini tidak lain adalah paksaan orang tuanya.
Eriska menggigit bibirnya, sementara tangan kirinya meremas lengan
kanannya keras-keras. Lelah setelah seharian membersihkan cendela kaca
pesantren masih bersarang di tubuhnya.
Sebenarnya bisa saja Eriska menyudahi pekerjaanya jika ia merasa lelah.
Tapi siapa yang berani membantah perintah Kiai Mahmud, pendiri serta
pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah? Sekali titahnya terucap, tak
satupun santri berani mangkir. Diutus membersihkan kaca cendela
pesantren, berarti harus benar-benar membersihkannya sampai rampung.
Eriska masih tertunduk. Kitab kuning Riyadhus Sholihin terbuka
begitu saja di depannya. Dari ratusan santri yang duduk di teras
mushalah sore itu, hanya Dina lah yang paham keadaannya sekarang.
Keinginannya untuk masuk SMA biasa seperti teman-teman SMP-nya dulu,
hanya pada Dina lah ia bercerita. Yang ia inginkan adalah menjadi siswa
SMA, bukan santri pendiam seperti ini.
Bisma,
pemuda santun dan takdzim sekaligus ustadz di pesantren itu, memasuki
teras mushalah dengan langkah halus. Ia duduk di depan ratusan santri
untuk memulai kajian kitab Riyadhus Sholihin.
“Silakan, Eriska murodh’i (=menterjemahkan) suhuf yang sudah diartikan
tadi.” ujar Bisma setelah mengartikan bahasa arab yang ada di kitab
kuning satu demi satu. Menyuruh santri untuk mengartikan makna ayat
sering dilakukan para ustad, bahkan oleh Kiai Mahmud sendiri untuk
melatih keterampilan santri.
Eriska tidak bergeming. Dia tetap diam seperti semula.
“Eriska?” ulang Bisma. Eriska tetap menunduk.
“Eriska...” panggil Dina lirih. Disikutnya Eriska yang duduk di sampingnya.
Eriska tergagap. Seolah baru terbangun dari alam pikirannya.
“Tidur?” tanya Bisma.
Eriska menggigit bibirnya. Rasa takut menyeruak di hatinya. Mendapat
teguran demikian dari ustad sudah cukup membuat jantungnya berdegub
kencang. Meski tidak memarahi Eriska, tatapan tajam Bisma sudah cukup
menyatakan bahwa ia jengkel dengan tingkah Eriska yang tidak menyimak
kajiannya.
Bisma melempar pertanyaannya pada
santri lain. Eriska menunduk. Ia risau memikirkan dirinya yang tak juga
kerasan berada di persantren kecil ini. Lelah merasakan tubuhnya yang
seharian membersihkan kaca cendela sendirian. Dan kini semakin lelah
rasanya karena mendapat tatapan tajam ustadnya.
“Aku kabur saja dari sini, Din.” kata Eriska tiba-tiba. Ia tiduran di kamarnya ditemani Dina.
Dina hanya menoleh sepintas mendengar celotehan Eriska. Tidak sekali
ini saja Eriska bilang ingin kabur dari pesantren. Baginya, Eriska hanya
mencoba mengeluarkan kepenatannya saja. Toh jika sudah bilang demikian,
Eriska akan kembali seperti semula.
“Kamu denger ‘kan, Din?” tanya Eriska memastikan.
“Iya.” jawab Dina pendek.
“Kali ini aku serius.” tambah Eriska.
Dina melirik Eriska, “Iya.” jawab Dina lagi.
Dalam hati Dina terkekeh. Eriska memang selalu serius. Serius ketika
dia marah. Lalu lupa dengan’serius’-nya begitu amarahnya reda.
Dina meraih kain jarik yang tersampir di gantungan. Diletakkanya
tubuhnya di atas karpet, lalu tidur dengan berselimutkan kain jarik
pemberian ibunya itu. Sayup-sayup telinganya masih mendengar celotehan
Eriska yang bersihkeras ingin kabur dari pesantren.
# # # # # # # # # # # # #
Seberkas sinar matahari muncul dari celah dedaunan. Embun subuh
bergelantungan di semak-semak yang memagari mushalah Pesantren Al
Hikmah. Ratusan santri telah disibukkan dengan pelajaran pagi. Kali ini
Ustad Ilham, ustad berperawakan kekar dan tegas, mengajar santri
pelajaran fiqih.
Usai kajian pagi,
santri-santri bersiap untuk sarapan pagi bersama-sama. Lalu berlanjut
dengan sekolah. Rutinitas sederhana yang demikian itu adanya. Rutinitas
yang benar-benar rutin. Tepat pada tempatnya, tepat pada waktunya. Tak
ada kesempatan untuk mangkir. Hukuman telah menunggu jika sedikit saja
terlambat dari jamnya. Apalagi bolos.
Sarapan
pagi satu jam, para santri kini bersiap untuk memperoleh pelajaran umum
di Sekolah. Jenjang madrasah, tsanawiyah dan aaliyah telah dimiliki oleh
Pesantren Al Hikmah. Ketiga gedung sekolah itu berdiri di tengah
komplek pesantren. Selain ustad, beberapa guru mata pelajaran umum juga
dipekerjakan di sana.
Dina menaruh tasnya
begitu ia sampai di bangkunya. Tak lama duduk, seorang guru datang ke
dalam kelas. Dina mengernyitkan dahinya. Ditatapnya bangku kosong di
samping dirinya. Kemana Eriska??
Ustadzah
Wanda mulai mengabsen santri satu per satu. Tiba giliran Eriska
dipanggil, tak ada sahutan sama sekali. Dina semakin bingung. Terbesit
perkataan Eriska semalam. Mungkinkah Eriska kabur?
Masih tak habis rasa bingungnya, begitu sampai di kamar usai sepulang
sekolah, Dina tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Ustad Reza.
Sebenarnya tak masalah ia berhadapan dengan ustad mana. Tapi terkecuali
dengan Ustad Reza. Reza merupakan ustad yang khusus menangani masalah
ketertiban santri. Dia lah yang menegur santri-santri yang menyeleweng
dan memberikan hukuman. Paras wajahnya yang tegas membuatnya ditakuti
dan disegani para santri.
“Boleh ngomong sebentar, Dina?” kata Ustad Reza.
Alih-alih menjawab. Dina hanya sempat menatap Reza, lalu menundukkan kepala.
“Subuh tadi Eriska tidak ikut jamaah. Waktu ngaji fiqih pun dia juga
absen. Ada laporan dari Ustadzah Wanda bahwa Eriska juga absen di kelas.
Memangnya dia kemana?” tanya Reza.
Dina terdiam.
“Apa sakit?” lanjut Reza yang tidak puas melihat Dina diam.
“Ehm, tidak, Ustad.” jawab Dina.
“Tidak sakit? Lalu kemana?” tanya Reza.
“Tidak tahu, Ustad.” Jawab Dina.
Hening. Reza tak lagi melontarkan pertanyaa. Ia beranjak pergi dari hadapan Dina menuju mushalah.
Dina menghembuskan nafas panjang. Ia paling tidak suka berhadapan
dengan ustad satu itu. Dikiranya ia yang akan mendapat teguran, ternyata
Eriska yang menjadi alasan kedatangan Reza padanya. Segera Dina masuk
ke dalam kamar. Dibukanya lemari pakaian Eriska. Dan...
Benar saja. Eriska ternyata benar-benar kabur! Tak sehelai pakaianpun
terlihat di sana. keseriusan Eriska semalam ternyata bukan bualan. Satu
tahun Eriska bertahan di pesantren ini. Agaknya sekarang ia benar-benar
tidak tahan dengan suasana pesantren dan kabur ke rumahnya.
Tak perlu menunggu besok. Dalam hitungan jam, peristiwa menghilangnya
Eriska segera menyeruak ke semua penjuru pesantren. Empat orang ustad
diutus Kiai Mahmud untuk berpencar keluar mencari rimba Eriska.
Sementara Dina yang dari dulu teman sekamar Eriska dibuat belingsatan
dengan pertanyaan-pertanyaan dari temannya.
Eriska kemana? Ia juga tidak tahu!
---------------------------------------------------------------------
Bersambung ke Part 2 : : : :