25 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 10


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo



        Bisma tersentak, “Jadi, jadi kamu sekarang berpura-pura?!”

        “Kecilin suara kamu!” bentak Rangga.

        “Kamu tahu ‘kan Kiai itu orangnya kayak gimana? Ia akan berusaha setengah mati agar santri didikannya benar-benar menjadi sholeh—sholehah. Kiai sangat suka dengan orang tua Eriska yang pengen Eriska jadi cewek sholehah. Karena itu Beliau ingin membantu mereka.” kata Rangga.

        “Terus, Eriska ngerti ngga?” tanya Bisma.

        “Nggak lah! Dia orang pertama di muka bumi yang tidak boleh tahu tentang ini!"

        Angin malam berhembus semakin kencang menerobos cendela kamar Rangga. Suasana semakin gelap gulita. Gelap yang menimbulkan bayang-bayang tersendiri di luar pintu kamar Rangga. Bayang-bayang sosok yang berdiri tegap dengan otak berkecamuk. Reza menatap pintu kamar Rangga dengan nafas tertahan.

        “Berpura-pura?” desah Reza. Ia tenggelam dalam amukan tanda tanya besar di pikirannya sendiri. Tidak salahkah apa yang ia dengar barusan??


        # # # # # # # # # # #

        Siang dan malam berganti. Tak terasa Januari mulai menyapa. Memasuki awal tahun, terhitung enam bulan sudah Rangga menjalin hubungan penuh mozaik dengan Eriska. Dan selama itu pula, Eriska mulai anteng di pesantren tanpa kasus kabur-kaburan lagi.

        Ujung dari semua ini adalah hembusan nafas lega dari Kiai Mahmud. Ia tak lagi perlu waswas dengan Eriska yang selalu kabur. Bisa jadi, ia sangat kerasan di pesantren.

        “Tidak sia-sia Kiai minta bantuan sama kamu. Akhirnya pesantren tenang lagi.” Kata Kiai Mahmud suatu kali.


        Dan seperti biasa, Rangga hanya bisa diam mengiyakan.

        “Rangga!!” panggil Bisma. Ia berlari kencang menuju mushalah menjemput Rangga.

        “Ada apa?!” jawab Rangga.

        “Ada perang di ruang ketertiban! Cepat ke sana! Bantu aku nenangin Reza!” kata Bisma dengan nafas memburu.

        “Kenapa lagi dia?!” tanya Rangga. Ia buru-buru turun dan mengenakan sandalnya.

        “Ada santri melanggar. Ngga tahu gimana ceritanya, dia bikin Reza marah besar.” Jelas Bisma.

        Rangga dan Bisma berlari menuju ruang ketertiban di samping gedung Aaliyah. Dilihatnya beberapa santri senior tengah memegangi Reza. Sementara di sudut lain dilihatnya seorang santri berdiri dengan wajah tak kalah emosi.

        “Ini pesantren! Bukan tempat liar! Semua ada aturannya!” bentak Reza.

        “Reza! Sudah!!” sergah Rangga. Ia memegang bahu Reza berusaha menenangkannya.

        “Dinasehati malah ngelunjak!” tuding Reza.

        Rangga menekan bahu Reza semakin keras. Perlahan Reza mulai tenang. Ia menarik nafas lalu duduk si kursinya.

         “Biar aku yang urus masalah ini. Kamu duduk saja!” kata Rangga memberi isyarat pada Reza.

        “Mana santri yang melangar tadi?” tanya Rangga pada Bisma.

        “Itu berdiri di depan meja. Dia ketahuan ghozob, tapi waktu dinasehati sama Reza malah melawan. Alhasil Reza ngamuk.” Jelas Bisma sambil menunjuk seorang santri laki-laki di depannya.

        Rangga mengernyitkan dahinya, “Dia santri kelas berapa? Kok aku belum pernah lihat?” tanya Rangga berbisik.

        “Dia santri baru, namanya Dicky Prasetyo.” Jawab Bisma.

        Dicky berdiri di depan meja dengan nafas memburu. Sepertinya ia juga ikut tersulut api emosi. Baru tiga hari ia masuk di pesantren ini. Namun, dia sudah harus berurusan dengan pihak ketertiban.

        “Di sini, memakai barang orang lain tanpa ijin itu dilarang. Itu namanya ghozob, mencuri kecil.” Kata Rangga.

        Rangga memandangi santri baru berwajah tirus itu dengan seksama. Sepertinya ia belum terbiasa dengan kehidupan pesantren.

        “Karena kamu masih santri baru, kamu Ustad maafkan. Ustad anggap kamu masih dalam proses penyesuaian. Tapi ingat nasehat tadi. Jangan kamu ulangi lagi!” Kata Rangga.

        “Ya sudah. Kapan aku boleh kembali ke asrama?” sahut Dicky tiba-tiba.

        Rangga dan Bisma terperangah.

        “Kamu boleh keluar sekarang.” Jawab Rangga.

        Dicky beranjak dari duduknya. Ia lalu berjalan keluar ruang ketertiban. Meninggalkan Rangga dan Reza yang masih keheranan dengan tingkahnya.

        “Kamu ngapain ngelihatin dia kayak gitu?” tanya Rangga sambil menyikut Bisma. Bisma langsung mengedipkan matanya.

        “Sadis tuh anak! Orangnya kurus tapi gaya bicaranya kayak preman.” Ucap Bisma.

        “Kayak baru lihat saja! Namanya juga santri baru. Lama-lama dia juga akan seperti santri yang lain.”

        “Pantesan Reza ngamuk~...” gumam Bisma.

         Satu lagi tugas buat para ustad di Pesantren Al Hikmah. Kemunculan santri baru berarti penambahan tugas untuk mereka. Kebanyakan anak yang pindah di Pesantren Al Hikmah memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang penurut dan ada yang keras hatinya.

        Melihat tingkah polanya sekilas, Dicky terlihat seperti santri penurut. Hanya saja beberapa sisi wataknya masih keras.

        “Yang sabar kalau menghadapi santri. Mereka itu masih remaja, jadi maklum.” Ujar Rangga usai keluarnya Dicky dari ruangan.

        “Tidak semudah itu menjadi ketertiban. Kadang kepatuhan perlu dibentuk dengan ketegasan.” Sanggah Reza.

        Rangga terdiam mendengar jawaban Reza. Perbincangan keduanya berhenti sampai di sana. Bisma apalagi. Ia terbilang masih lebih muda dari dua ustad yang ada di depannya. Ia lebih memilih menurut sementara Reza dan Rangga lebih banyak mengatur.

        # # # # # # # # # # # # #

        Senja mulai datang. Jamaah maghrib baru beberapa menit lalu usai. Seperti yang telah dijadwalkan, seluruh santri mengikuti kajian ba’da maghrib menurut kelas masing-masing.

        Selama kegiatan belajar mengajar, Rangga melihat ada yang aneh dengan Eriska. Eriska yang biasanya melempar senyum jika kebetulan bertemu mata dengannya, kini lebih sering memasang wajah murung.

        Rangga mendesah, “Ada apa lagi dengan anak itu?” batinnya.

        “Eriska kepingin pulang, Ustad. Dia ingin ikut reuni yang diadakan teman-temannya.” Jelas Dina. Secara diam-diam Rangga memanggil Dina usai kajian.

        “Reuni?”

        “Sebenarnya salah satu hal yang membuat Eriska berat untuk nyantri di sini adalah teman-temannya. Eriska selalu cerita kepingin main bareng lagi dengan temannya.”

        “Dia bilang akan kabur lagi tidak?” tanya Rangga langsung. Sejujurnya, hal itulah yang paling ia takutkan.

        “Dia tidak bilang tentang itu. Tapi saya juga sedikit khawatir.” Jawab Dina.

        Rangga terdiam.

        “Ka-kalau begitu, saya kembali ke asrama, Ustad.” Pamit Dina.

        Rangga mengangguk.

        Dina membalikkan badannya pelan lalu berjalan menuju asrama putri. Untuk ke sekian kalinya ia berbicara berdua dengan Ustad Rangga. Ia tidak bisa memungkiri. Di matanya yang masih belia, Ustad Rangga kelihatan jauh lebih tampan jika dilihat dari dekat. Hanya satu yang ia sesalkan, Rangga selalu menanyakan hal yang sama tiap waktu. Selalu Eriska, Eriska, dan Eriska.

        “Akh...” Dina tersentak kaget. Saking sibuknya ia dengan pikirannya ia hampir saja bertubrukan dengan Ustad Bisma yang tiba-tiba muncul di depannya.

        Dina menunduk. Desiran aneh kembali muncul tiap kali ia bertatatp muka dengan Bisma. Dan itu pun baru kali ini ia bertemu sedekat itu dengannya.

        Bisma melangkah satu langkah ke sisi kanan. Mengisyaratkan Dina untuk lewat terlebih dahulu. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi. Selalu begitulah Bisma. Dina melanjutkan langkah kakinya dengan nafas tertahan. Hatinya bergejolak, sedingin itukah Ustad Bisma?

        “Sudah ambil wudhu?” tegur Bisma pada Rangga.

        “Iya, habis ini.” Jawab Rangga pendek.

        “Tadi ngapain berdua dengan Dina?” tanya Bisma.

        Rangga mengerjapkan matanya, “Tidak ada apa-apa. Cuma ngobrol sebentar.” Jawab Rangga.

        “Kamu ngga takut apa Eriska tahu yang kamu lakukan tadi? Dakwahmu bisa berantakan jika sekali saja ketahuan.”

        Rangga membulatkan matanya, “Kenapa kamu tiba-tiba sewot?” tanya Rangga.

        Bisma mengatupkan bibirnya. Ia mengalihkan pandangannya ke sisi lain.

        “Woy, Bisma!” panggil Rangga melihat Bisma tak juga menjawab pertanyaannya.

        “Siapa yang sewot...” sergah Bisma. Ia lalu berjalan menuju tempat wudhu mendahului Rangga.

        Rangga semakin tersulut untuk menggoda Bisma. Sebenarnya Bisma tipe orang yang humoris. Ia tidak akan marah jika tidak benar-benar terpancing. Lalu apa sebenarnya yang membuat Bisma terlihat emosi seperti itu?

        Sementara itu di asrama putri, Dina duduk menghadap meja belajarnya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain membuka buku pelajarannya. Eriska yang biasanya menjadi teman bicaranya kini lebih memilih tidur di ranjang menghadap tembok.

        “Sudahlah, Eris. Lain kali saja kamu ikut reuni teman SMP-mu. Ngga perlu sesedih itu.” Ujar Dina memecah keheningan. Kamarnya yang biasanya dipenuhi curhatan Eriska tentang Ustad Rangga kini sepi senyap.

        Eriska tidak bergeming. Ia tetap pada posisinya semula dan tidak menghiraukan perkataan Dina.

        “Besok ada ulangan Biologi, kamu udah belajar?” tanya Dina lagi.

        Masih senyap.

        Dina memilih menyerah. Ia tutup bukunya lalu merebahkan diri di ranjangnya. Entah reuni macam apa yang akan diadakan teman Eriska di kota, yang Dina tahu, Eriska menjadi murung ribuan kali lipat karenanya.

        # # # # # # # # # # # #

        Fajar menyembul di ufuk timur. Pesantren Al Hikmah mulai terbangun dari tidurnya. Pujian dan shalawat kepada Rosul pun didendangkan pasa santri sambil menunggu jamaah subuh dimulai.

        Dina berjalan memasuki teras mushalah bersama puluhan santri lainnya. Sehelai sejadah tersampir di pundaknya.

        Begitu sampai di mushalah, dilihatnya Ustad Rangga berdiri beberapa meter di sampingnya. Rangga mengangkat dagunya memberi isyarat pertanyaan tentang pembicaraannya semalam.

        Dina menggelengkan kepalanya pelan. Jawaban bahwa ia tidak berhasil membujuk Eriska. Eriska tetap pendiam dan murung seperti semula. Dina menundukkan kepalanya, lalu melanjutkan langkahnya memasuki mushalah.

        Rangga semakin sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. Gawat jika Eriska terus-terusan begini. Ia harus mengantisipasi kemungkinan terkecil sebelum Eriska kabur lagi untuk yang ke sekian kalinya.

        Satu-satunya momen dimana ia bisa bertatap wajah dengan Eriska adalah saat kajian subuh. Selebihnya, ia tidak akan memiliki kesempatan untuk membujuk Eriska. Jadwal sekolah dan shalat dhuha tidak akan memberikan ia waktu untuk menemui Eriska.

        “Waqaf lazim menandakan bahwa kita harus berhenti saat bertemu tanda tersebut. Karena jika tidak berhenti, ada kemungkinan ayat yang ada akan berubah artinya.” Terang Rangga. Kajian subuh yang seharusnya diisi tartil Al Qur’an dan tajwid oleh Bisma, secara sepihak diambil alih oleh Rangga.

        “Eriska, bisa dijelaskan waqaf berbentuk huruf lam di bawahnya?” tanya Rangga. Jujur ia menunjuk Eriska adalah untuk memancingnya. Bahwa ia ingin berkomunikasi dengannya saat ini.

        Eriska diam menekuri kitab sucinya.

        Rangga menghela nafas. Sudah ia duga, Eriska tidak akan bisa menjawabnya.

        “Waqaf mamnu’, waqaf ini memiliki arti kita tidak boleh berhenti membaca ayat saat bertemu tanda tersebut.” sahut Rangga, “Sama halnya saat kita menuntut ilmu seperti sekarang. Tidak ada alasan untuk berhenti. Kita harus merampungkannya sampai akhir.”

        Rangga diam sesaat. Ditatapnya Eriska.

        “Ya? Eriska? Menuntut ilmu harus diselesaikan. Perkara hal lainnya seperti silaturrahim dengan teman itu bisa dilakukan lain waktu, kalau kita sudah mantap dengan ilmu yang kita miliki.” lanjut Rangga.

        Dina melirik Eriska. Dari sekian santri yang ada, hanya dialah yang paham maksud Ustad Rangga mengatakan hal itu. Cara yang cerdik!

        Tak seorangpun tahu apa yang ada di pikiran Eriska saat itu. Entah ia mendengar wejangan dari Ustad Rangga, atau bagaimana. Yang jelas, apa yang ditakutkan Rangga saat itu tidak terjadi. Eriska tetap anteng di pesantren dan tidak kabur kemana-mana. Hanya satu hal yang berubah.

        Eriska mulai menarik diri dari Rangga.

        Eriska yang biasanya tersipu malu jika kebetulan bertatap mata dengan Rangga, kini lebih memilih membuang mata ke arah lain. Eriska yang rela memilih memutar jalan demi berpapasan dengan Rangga, kini lebih memilih melengos ke arah lain jika Rangga mendekat.

        Ada apa?

        “Dooorrr!!” teriak Bisma.

        Rangga mendorong bahu Bisma menjauh sementara tangan kanannya memegangi telinganya. Entah jin dari mana lagi kali ini yang merasuki Bisma. Ustad satu itu tiba-tiba berteriak tepat di telinga Rangga.

        “Ck! Apa-apaan sih?!” omel Rangga.

        “Kamu kerasukan apa, Ngga? Ngelamun terus!” goda Bisma. Jam menunjukkan pukul dua siang. Yang berarti seluruh penghuni pesantren diwajibkan untuk istirahat siang.

        “Kamu itu yang kerasukan! Teriak-teriak di telinga orang!” omel Rangga.

        Bisma hanya cekikikan sementara Rangga memasang wajah sebal.

        Tidak salah. Bisma tidak salah. Benar memang jika belakangan ia jadi sering melamun. Memikirkan hal yang ia sendiri tidak mengerti dari mana asal usulnya. Eriska berubah sekian derajat dari biasanya. Hal itu benar-benar memenuhi otaknya sekarang. KENAPA?

        Rangga beranjak keluar dari kamarnya. Istirahat di kamarnya hanya membuatnya melamun kemana-mana.

        Begitu sampai di halaman asrama putra, dilihatnya sosok wajah yang tidak asing lagi di matanya. Wajah lugu namun tersimpan watak keras di dalamnya.

        “Dicky? Mau kemana siang-siang begini?” tegur Rangga. Santri baru berbaju kokoh biru itu langsung menoleh ke arah Rangga.

        “Mau mengembalikan buku, Ustad.” Jawab Dicky.

        Rangga mengangguk. Dicky lalu melanjutkan langkahnya. Ia menghilang setelah menikung di lorong.

        Rangga berdiri tegap di depan asrama putra. Memandangi jajaran kamar yang sepi. Tidak tahu mau dibawa kemana alam pikirannya. Ia hanya ingin memandangi sekelilingnya dengan pikiran tak tentu arah.

        Tanpa ia sadar tiba-tiba kakinya menginjak sehelai kertas. Rangga mengernyitkan dahinya. Diambilnya kertas yang terlipat rapi itu dan membukanya.

        Benarkah Allah sekarang ingin meringankan bebannya? Berdakwah itu mulia. Namun berdakwah dengan berpura-pura dan sandiwara tak bisa dibayangkan dengan kemuliaan apapun. Berpura-pura peduli pada Eriska selama dua tahun itu beban. Benarkah??

        Rangga membeku memandangi kertas di depannya. Tangannya terguncang. Hanya beberapa baris kalimat yang terpampang di sana. Tapi matanya langsung membulat tanpa sempat berkedip.

        Untuk : ukhti Eriska
        Dulu sempat ikut audisinya, tapi ngga lolos. Biar deh! Tidak masalah nyantri di sini. Bisa dekat dengan cewek cantik kayak kamu lebih nyenengin. Besok-besok ke belakang sekolah lagi ya. Aku punya sesuatu buat ukhti cantik. Balas ya..
        Dicky

        Rangga melipat surat pendek itu seperti semula. Ia menghembuskan nafas panjang sambil menatap angkasa biru.

        Santri itu, Dicky Prasetyo, diakah?

        Yang mengalihkan pandangan malu-malu Eriska darinya. Diakah?


--------------------------------------------------------
Bersambung ke part 11


Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar