3 Desember 2013

(Cerbung SMASH) "Sobat yang di Sini" / Part 3-END

Judul : "Sobat yang di Sini"
Genre : Friendship, Comedy
Author : @ariek_andini
Cover by : @ariek_andini
Cast : Ilham, Dicky, Rangga, Reza, Bisma, Rafael, Morgan

Description : Test, test, sebelum kalian membaca cerbung ini, saya pengen curcol sebentar. :) Sejujurnya ini cerbung udah lama saya buat, udah berbulan2 coy. Jadi, jangan kaget ya kalo misalnya masih ada Morgan di dalam cast.


************

          Gue menghela nafas berat. Rasanya kegalauan gue jadi berkali lipat gara-gara si Dicky.
Tanpa tahu mau kemana, gue pun berjalan mengelilingi lorong hotel. Hingga kemudian gue sampai di depan sebuah pintu kamar bernomor 101. Gue diam sejenak. Ini kamar Rangga dan Bisma.

           “Ngapain loe berdiri di depan pintu kayak gitu? Mau maling loe?” tegur Bisma dari belakang. Tangannya penuh dengan camilan dan kerupuk.

           “Loe dari mana?” tanya gue heran.

           “Habis ngerampok minimarket.” jawab Bisma sambil membuka pintu kamar. Gue yang sadar ngga punya tujuan, ikut masuk ke dalam kamar lalu duduk di kasur Bisma.

           “Ada apa, Ham?” tanya Bisma tiba-tiba.


           “Ngga ada apa-apa. Cuma pengen maen aja ke kamar loe. Bosen gue di kamar. Dicky ngisruh kayak orang kesurupan.”

           “Biasanya juga loe kompak sama dia.” kata Bisma berkomentar.

           “Gue takut sama syuting besok.” jawab gue.

          Bisma menoleh. Dia melihati gue heran, “Takut apaan?”

           “Pernah ngga loe memberi kesan buruk saat pertama kali kenalan sama cewek?” tanya gue. Bisma makin keheranan mendengar pertanyaan gue. Sejurus kemudian dia memasang muka serius. Sepertinya dia paham kalau gue lagi pengen curhat.

           “Cewek? Syuting?” gumam Bisma menebak-nebak, “Loe lagi deketin cewek yang syuting bareng kita? Gila! Loe gampang banget cinlok!”

           “Bukan cinlok begitu! Ini bukan pertama kalinya gue ketemu dia. Tapi udah berbulan-bulan lalu. Rasanya, Ada yang beda dari dia. Ngga seperti cewek kebanyakan.”

           “Yang penting loe jangan gegabah. Cewek nggak suka sama cowok yang terlalu vulgar. Deketin aja dia pelan-pelan dan secara alami.” kata Bisma kemudian.

           “Tapi gue risau, Bi! Pertama kali ngomong sama dia di telpon, gue malah bikin dia ketakutan. Loe tahu? Gue kayak teroris yang mau ngebom rumah dia! Gue mengenalkan diri kayak orang tahun 80-an. Pake nyebutin nama lengkap lagi.”

          Bisma nampak berpikir sejenak, kemudian dia tersenyum, “Itu cuma pikiran loe aja. Hati loe resah. Loe perlu menenangkan diri. Sholat malam, Ham. Terus berdoa, minta sama Yang Kuasa ketenangan hati.” kata Bisma ala Ustad Yusuf Mansyur.

          Gue menelan ludah. Antara paham dan ngga paham, gue manggut-manggut aja. Nasihat Bisma dari jaman baheula sampe era globalisasi ngga pernah berubah. Ujung-ujungnya dia pasti nyuruh sholat malam.

          Tapi memang benar, hati gue ngga tenang seperti yang disimpulkan Bisma. Gue merisaukan hal yang ngga jelas. Baru menapaki tahap awal kenalan dengan Aini, gue udah bingung ngga karuan. Tuh cewek hebat banget. Belum apa-apa udah bikin gue kalang kabut.

          Gue keluar dari kamar Bisma dan kembali ke kamar gue. Gue hitung tiap ubin yang gue langkahi. Gue menutup mata, lalu melenggang ke kamar mandi. Gue wudhu.

½¼½¼½¼½¼½¼½¼


          Pagi menjelang. Seperti yang dikatakan Mas Kunto, hari ini kami kembali menuju Sentul untuk meneruskan syuting. Perasaan gue udah kayak gado-gado disiram es kopyor. Seneng, kangen, gugup, malu dan takut campur aduk jadi satu.

          Dua puluh menit berlalu, mobil kami pun sampai di lokasi syuting. Gue langsung menebar pandangan ke segala arah. Mencari sosok berkerudung yang bersinar damai, Aini.

           “Kita kumpul dulu di halaman samping masjid!” seru Mas Kunto diikuti semua personel Smash.

          Kecuali gue.

          Bisma sempat melirik gue sekilas. Ngga tahu kenapa, gue merasa sedang disemangati. Gue membelok ke arah lain. Menerobos di antara kru dan properti syuting. Tiap celah gue hampiri. Tempat rias, tenda artis, tenda kru, hingga tempat menyimpan properti syuting, ngga satu pun luput dari pencarian gue. Tapi...

          Nihil.

          Hingga kemudian gue berkeliling masjid ngga karuan. Entah angin mana yang mengarahkan kaki gue, tiba-tiba gue sampai di tempat parkir mobil.

          Di situlah sosok yang gue cari-cari muncul. Aini keluar dari mobilnya dengan anggunnya. Kali ini ia berkerudung pink. Sesuai banget dengan suasana hati gue!

          Gue menganggukkan kepala.

          Aini juga mengangguk.

           “Aini, ya?” kata gue membuka pembicaraan.

           “Iya.” Jawab Aini.

           “Gu-gue Ilham.”

          Aini tersenyum, “Ilham siapa, ya?”

          Gue cengo.

          DIA NGGA TAHU SIAPA GUE???

           “Gue Ilham.” Gue menarik nafas, “Ilham, yang kemarin nelpon kamu.”

           “Eh, kemarin nelpon aku? Yang mana, ya?”

          Tiba-tiba seorang cowok keluar dari mobil Aini. Dia membawa perlengkapan syuting Aini lalu berjalan menghampiri Aini. Dia tersenyum ke gue dan mengangguk.

          Gue rasakan dahi gue penuh dengan keringat dingin.

           “Ada perlu apa, ya, Ham?” tanya Aini memecah keheningan.

           “Ngga ada apa-apa. Cuma pengen nyapa aja.” jawab gue.

          Gue tersenyum, balik badan, lalu berjalan meninggalkan tempat parkir. Aini melihati gue dari belakang.

          Cowok itu?

          Gue ngga tahu harus nulis apa di sini. Entah sakit, entah perih, entah kecewa. Gue ngga tahu. Yang gue tahu, semuanya hampa.

          Gue menghentikan langkah gue begitu sampai di dekat tenda tempat personel Smash berada. Tiba-tiba gue lihat Rangga berjalan mengendap-endap sambil menjinjing seikat rambutan.

           “Rangga!” panggil gue. Rangga tersentak kaget. Dia menatap gue jengkel.

           “Sial loe ngagetin gue!” bentak Rangga.

           “Rambutan sebanyak itu dapat dari mana?” tanya gue.

           “Ini gue pesen langsung dari Pekalongan! Gue mau balas dendam sama Dicky. Tuh bocah sialan udah nyeburin sepatu impor gue ke kolam hotel!” kata Rangga.

          Gue menganga.

           “Udah! Loe diam aja! Lihat baik-baik cara gue balas dendam ke dia!” kata Rangga. Kemudian dia masuk lalu memasukkan rambutan yang dikerubuti semut itu ke dalam tas Dicky.

          Gue tersenyum tipis. Dasar! Dari dulu rutinitas gila seperti ini ngga pernah berakhir! Dijaili dan menjaili. Mereka ngga pernah jera meski kadang sampai bikin nangis orang lain.

          Tak berapa lama kemudian, Dicky keluar dari ruang ganti sambil menjinjing pakaiannya. Dia lalu menghampiri tasnya untuk memasukkan pakaian yang tidak dipakainya itu. Gue berhitung dalam hati. Tepat hitungan ketiga, Dicky meloncat mundur sambil jejeritan kayak habis ketemu kuntilanak.

           “Aaaaaaaghrr!!! Rambutan! Rambut!! Ram! Butan!! #$%?%$&” Dicky berteriak pakai bahasa planet alay. Dia berlari hendak keluar dari tenda.

          Dengan sigap Rangga mengambil tas berisi rambutan itu lalu mengejar Dicky. Di sisi lain, Bang Reza udah siap menghadang Dicky dan memegangnya agar tidak berlari keluar.
         
          Suasana semakin ricuh. Dicky berontak. Bang Reza dan Rangga semakin beringas ngerjain dia. Tepat di saat-saat klimaks, Rafael datang lalu melerai ketiganya. Karena berkelai melawan Rafael dan Dicky, rambutan yang berada di tangan Rangga tanpa sengaja terjatuh. Buah rambutan merah itu menggelinding kemana-mana. Semut yang sebelumnya memenuhinya kini memenuhi lantai dan berlarian tak tentu arah.

          Rafael, Reza dan Rangga lompat-lompat kegatalan menghindari semut-semut itu. Sementara Dicky sudah seperti orang struk kesetrum listrik. Dia shock berat melihat rambutan menggelinding kemana-mana, dan itu masih ditambah ribuan semut memenuhi lantai. Dicky megap-megap kekurangan oksigen.

          Morgan dan Bisma ketawa ngakak melihat kejadian ajaib itu. Gue apalagi. Gue bahkan ketawa ngakak ampe nangis-nangis. Udah resiko punya teman abnormal kayak mereka. Gue sering sakit perut gara-gara ketawa ngga berhenti-berhenti.

          Di sela tawanya, Bisma tiba-tiba mengalihkan tatapannya ke gue. Gue terdiam lalu balas menatap Bisma. Dia mengangguk.

          Gue tersenyum. Entah kenapa, lagi-lagi gue merasa Bisma lagi nyemangatin gue.

          Loe benar, Bis. Serisau apapun gue, kalian tetap ada di samping gue dan selalu berhasil mengusir kegundahan hati gue. Aini sudah ada yang memiliki. Gue cukup berharap, cowok berwajah tirus di parkiran mobil tadi bisa membahagiakan Aini.

          Perempuan cantik tak ada apa-apanya dibanding sahabat sendiri.

------------------------------------------

END

7 komentar:

  1. ciyyee...

    sempet terharu juga kak,

    hahaa bayangin ajja saya yang jadi Aini, toh sama2 Aini.. heheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan kan... -___- Kegeeran sendiri gara2 nama sama... -___-

      Hapus
  2. ahahaha sempet cemburu ngbaca cerita'a ....tp ajung2'a seneng kq ,,Aini udah ada yg punya,,,, biar iam'a buat saia ajah :*

    BalasHapus