31 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 14


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo



        “Sebenarnya Eriska dihukum apa, Ustad? Kenapa sampai sekarang tidak kembali ke asrama?”

        “Kamu bilang, Eriska pergi tanpa membawa tasnya kan? Dia pasti juga tidak membawa uang. Mungkin dia pergi di sekitar sini! Biar Ustad yang mencari, kamu kembali saja ke asrama.”

##########

        “Kamu hujan-hujanan begini bisa sakit! Ayo cepat pulang! Mau kamu dimarahi Ustad Reza, ha??!” bentak Rangga. Ia langsung menyodorkan payungnya untuk memayungi Eriska.

        “Tidak mau! Ustad tidak perlu perhatian sama saya lagi! Saya bisa pulang sendiri!” sanggah Eriska. Air matanya lagi-lagi mengalir.

        “Eriska!!”

        “Ustad perhatikan saja Dina! Saya bukan siapa-siapa di sini! Mending saya kembali ke rumah!”

        “Eris, Ustad minta maaf.”

         "Kamu kembali ke pesantren duluan! Ustad tidak bisa kembali bareng-bareng kamu. Bisa gawat jika dilihat orang.” Ujar Rangga sambil menyodorkan payung hitam yang ia pegang ke tangan Eriska.

        Dengan tangan bergetar Eriska meraih payung tersebut. Sekilas ia menatap wajah Rangga yang dipenuhi air hujan. Eriska lalu berbalik badan dan pulang ke pesantren seperti yang diperintahkan Rangga padanya.

        BRUAAGKHH!!

        EH?


        Eriska menghentika langkahnya. Apa barusan yang didengar telinganya??!

        Dengan jantung berdegub kencang, Eriska memberanikan diri menolehkan wajahnya ke belakang. Dan seketika ia menjerit keras!

        Dilihatnya gubuk reyot yang baru saja didudukinya roboh tak berbentuk. Gubuk lapuk yang termakan usia itu sepertinya tak mampu menahan terjangan angin yang semakin lama semakin kencang. Sontak saja ia roboh dan menimbun Rangga yang tengah berdiri di bawahnya.

        “Uuustaaaaaaadd!!!” jerit Eriska.

        Ia melempar payung yang dipegangnya lalu berlari menghampiri puing-puing gubuk itu. Genting-genting yang semula tersusun rapi kini telah pecah berkeping-keping di tanah. Dengan tangan mungilnya, Eriska menyingkirkan satu per satu bongkahan yang menimbun Rangga. Jantungnya serasa berhenti seketika. Dilihatnya cairan merah pekat menggenang bercampur air hujan.

        “Ustaaad! Usstaaad Ranggaaaa!”


        Cinta itu rahmat Illahi. Cahaya suci yang ia anugrahkan pada setiap insanNya. Tapi saat api keegoisan muncul, terkadang kesuciannya terkubur.

        Angkasa bahkan ikut menangis jika mendengar cerita pengorbanan. Hujan deras bercampur angin kala itu adalah saksi bisu yang merekam semua kronologi pengorbanan Rangga. Entah ingin Eriska lepas dari hukuman, atau ingin Eriska berlindung dari dinginnya hujan. Yang ia tahu, ia harus membuat Eriska kerasan dan menjadi gadis sholehah di pesantren.

        “Hayyul hadi bia ‘ajmal dzikro.... Shollu ma’anaa yaa hudhor...”

        “Kkh...” Rangga mengerang pelan. Bisma yang tengah duduk di sampingnya langsung menutup kitabnya dan mendekat ke wajah Rangga.

        “Rangga?”

        Rangga mengerjap-ngerjapkan matanya. Tabung infus menjadi obyek pertama yang tertangkap matanya. Sejurus kemudian, dia melihat perabotan-perabotan asing berwarna putih bersih.

        “Rangga? Udah siuman? Alhamdulillah....” ucap Bisma sumringah.

        Tanpa merespon tatapan tidak mengerti dari wajah Rangga, Bisma lalu berlari keluar ruangan memanggil dokter.

        Diiringi oleh Kiai Mahmud, seorang dokter muda berjalan masuk ke ruangan di mana Rangga dirawat. Ia langsung melakukan pemeriksaan pendek untuk memastikan kondisi Rangga.

        “Kemajuan baik! Pasien berhasil melewati masa kritis. Sedikit-sedikit ajak pasien bicara, agar kesadarannya benar-benar pulih.” Ucap dokter berbadan jangkung itu sambil membenarkan gulungan stetoskopnya.

        Bisma menatap sayu ke arah Rangga yang terbujur lemas di atas ranjang. Sementara Kiai Mahmud mengantar kepergian dokter keluar ruangan, Bisma berjalan mendekat ke ranjang Rangga.

        “Rumah sakit, Bis?” tanya Rangga menebak. Suaranya parau sampai-sampai Bisma harus mendekatkan telinganya.

        “Iya, Ngga.”

        “Kapan aku boleh pulang?”

        Bisma menganga, “Kamu cari masalah ya? Tiga hari ngga sadarkan diri tiba-tiba minta pulang!” omel Bisma tidak habis pikir.

        Tiga hari?

        “Jantungku hampir copot tau nggak? Hampir saja kamu divonis koma sama dokter!”

        Koma?

        “Kamu mau apa? Minum? Bilang aja, biar aku ambilin.” Tanya Bisma menawarkan.

        “Eriska ngga apa-apa ‘kan, Bis?”

        “HAH?”

        Sekian detik Bisma bengong menatap Rangga.

        “I-iya! Eriska ngga apa-apa kok. Dia sekarang di pesantren.”

        “Dia demam nggak?”

        “Ng-nggak. Eriska baik-baik aja.” Jawab Bisma. Sumpah demi apapun, dia hanya bisa keheranan sendiri mendengar pertanyaan Rangga.

        “Mending kamu pulang sekarang Bis. Pastiin keadaannya Eriska. Dia kemaren kehujanan berjam-jam. Sekalian beliin obat....”

        “Rangga!!” bentak Bisma dengan nada naik satu oktaf. Perlahan ia mulai tidak tahan dengan celotehan Rangga tentang Eriska.

        “Apa?”

        “Mending kamu koma lagi deh sekarang! Daripada bicara ngelantur kemana-mana! Yang sakit itu kamu! Masih sempet-sempetnya mikirin Eriska!” omel Bisma.

        Rangga terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke atap ruangan yang putih silau.

        Bisma memandang Rangga teduh. Sebenarnya iba melihat balutan perban memenuhi kepala Rangga. Tapi entah apa yang merasuki pikiran Rangga, sadar-sadar malah menanyakan Eriska.

        Bisma meraih kitabnya. Kembali mendengungkan Sholawat di samping Rangga.

        # # # # # # # # # # # # #

        Selama Rangga absen mengajar dan terbaring di rumah sakit, banyak jam pelajaran kosong. Neng Fatimah bahkan ikut mengajar untuk menghindari kekosongan. Sejauh ini mereka hanya bisa meneba-nebak, separah apa luka Rangga. Yang mereka tahu, Rangga dibopong dari sawah dalam keadaan sekujur tubuh berlumuran darah.

        “Eriska, makan ya?” tawar Dina sambil menyodorkan sepiring nasi. Terhitung empat hari sejak Rangga dirawat di rumah sakit, Eriska hanya makan dua kali.

        Eriska diam bersandar di dinding kamarnya. Genangan darah bercampur air hujan yang melumuri tangannya beberapa hari lalu kembali melayang di otaknya. Genangan darah penuh pengorbanan. Yang mengalir begitu saja karena dirinya.

        “Din, kalo Ustad Rangga mati gimana Din?” tanya Eriska tiba-tiba.

        “Hush! Ngawur kamu! Jangan ngomong yang macem-macem!” tukas Dina.

        “Aku takut, Din~...” kata Eriska kembali bergumam sendiri.

        “Sudah, Eris! Kamu makan dulu! Gara-gara ngga makan dari kemarin bicaramu jadi ngga karuan!”

        “Lidahku pahit, Din.”

        “Tapi kamu tetep harus makan, Eris!”

        “Udah mau ashar, nanti saja habis jamaah.” Tolak Eriska sekali lagi. Dia beranjak berdiri lalu berjalan menuju tempat wudhu.

        Senakal-nakalnya ia selama ini, baru kali ini ia merasa sebersalah ini. Ia sendiri baru sadar kalau sejak kemarin tidak makan. Lapar atau haus seperti tidak ada bedanya. Sensenya serasa mati rasa!

        “Eriska!” sebuah suara dari belakang mengagetkan Eriska. Ia yang hendak masuk ke dalam mushalah menghentikan langkahnya sejenak.

        “Dicky?”

        “Kamu tadi kenapa tidak masuk sekolah?” tanya Dicky ramah. Senyum manis terlukis di bibirnya.

        Eriska mengalihkan pandangannya. Tak berminat menjawab pertanyaan Dicky.

        “Aku udah punya komik baru yang kamu pengen.”

        “Aku ke mushalah dulu, Dick. Jamaah udah mau mulai.” Sahut Eriska tanpa mengindahkan perkataan Dicky.

         Eriska menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak pergi dari hadapan Dicky. Sedikitpun hatinya tidak tertarik untuk membahas hal demikian. Benar dia dulu sangat suka menyimak komik yang Dicky pinjamkan padanya. Entah ia kehilangan selera, atau memang hatinya yang sudah berpaling.

         # # # # # # # # # # # # # #

         Senja menjelang. Gelapnya perlahan merambat dan membuat ruangan tempat Rangga dirawat menjadi remang-remang. Rangga diam menatap atap. Dibiarkannya Bisma tidur terduduk di sampingnya. Ia tidak berani membangunkan sahabatnya meski sekedar untuk menyalakan lampu.

         Cklek!

         Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria berjas putih masuk ke dalam ruangan dibarengi seorang perawat. Buru-buru Rangga menutup matanya berpura-pura tidur.

         Perawat menyalakan lampu ruangan dan memeriksa selang infus Rangga. Sontak Bisma terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya dan mendapati dokter berdiri di depannya.

         “Anda keluarga pasien?” tanya Dokter.

         Bisma mengucek matanya. Sejenak ia berpikir, beberapa jam lalu Kiai Mahmud pamit kembali ke pesantren untuk melihat keadaan pesantren, terang saja tinggal dia sendiri yang menunggu Rangga sekarang.

         “Iya, Dokter.” Jawab Bisma kemudian.

         “Ada hal penting yang perlu saya sampaikan. Hal ini terkait dengan hasil diagnosa pasien yang baru keluar tadi. Sebenarnya saya sudah mendapat hasilnya beberapa hari lalu, tapi saya tidak yakin. Akhirnya saya meminta bantuan Dokter spesialis otak untuk mendiagnosa.” Jelas dokter sambil memampangkan foto x-ray ke hadapan Bisma.

         Bisma memandangi foto plastik yang dipegang dokter di depannya. Sedikitpun ia tidak paham dengan gambar bulatan-bulatan yang ada di sana.

         “Kami menemukan gumpalan darah. Belum terlalu besar, tapi akan terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Sepertinya gumpalan ini yang menyebabkan pasien tidak sadarkan diri selama tiga hari kemarin.”

         Bisma nanar menatap jari telunjuk dokter yang menunjuk-nunjuk foto X-ray. Hanya hitam dam putih yang tertangkap matanya.

         “Sepertinya kepala pasien terlalu banyak mendapat hantaman pada saat kejadian. Terjadi pendarahan antara otak dan epidura. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami kerusakan otak sedikit demi sedikit.”

         “Eh? Kerusakan otak?”

         “Masalah ini bisa dipecahkan dengan operasi. Menghentikan pendarahan, sehingga gumpalan darah tidak semakin besar.”

         Bisma terdiam. Ia menatap bola mata dokter yang ada di depannya dalam-dalam.

         “Saya harap Anda tanggap. Silakan mengurus surat untuk menyetujui operasi di bagian administrasi.” Ucap Dokter berkacamata tebal itu. Ia menganggukkan kepala, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum membuka kenop pintu, ia menoleh lagi pada Bisma, “Saya harap Anda merahasiakan keadaan ini dari pasien. Bisa gawat jika psikologinya terguncang. Pendarahan bisa-bisa bertambah parah.”

         “I-iya...”

         Diikuti oleh perawat, dokter tersebut keluar dari ruangan. Meninggalkan Bisma yang masih berdiri membatu di tengah ruangan.

         Bisma menghela nafas berat. Jika diperbolehkan, ia ingin menjerit sekencang-kencangnya saat ini juga. Kenapa ia harus mendengar hal menakutkan seperti itu?

         Pendarahan otak? Separah itukah? Sebenarnya sekencang apa badai angin yang terjadi waktu itu? Hanya gubuk reyot tak bermakna, kenapa bisa melukai Rangga hingga separah ini?

         “Pendarahan ya, Bis?”

         “Aaakhhh!!!” Bisma tersentak kaget. Tiba-tiba dilihatnya Rangga tengah menatapnya dari ranjang.

         “Pen-pendarahan apaan? Ngigau kamu!” sergah Bisma.

         “Aku ngga mau operasi, Bis.” Kata Rangga.

         EH?

         “Kamu ngomong apa sih? Bangun-bangun malah ngomong ngelantur. Sudah tidur aja lagi!” tukas Bisma. Sebisa dirinya menyembunyikan apa yang diomongkan dokter dari Rangga.

         “Aku serius, Bis. Aku ngga mau dioperasi!”

         “R-rangga...”

         “Aku udah dengar semuanya! Kamu pikir berapa uang yang dikeluarkan Kiai Mahmud untuk membayar biaya rumah sakit sekarang? Dimana sopan santunku tiba-tiba minta dibiayai operasi juga?” sahut Rangga. matanya kosong menatap Bisma.

         “Tapi...”

         “Hanya pendarahan kecil, nyantai saja!”

         “Rangga! Dengerin aku!” bentak Bisma.

         “Aku tahu kamu mau ngomong apa. Aku akan operasi, Bis! Tapi tidak sekarang!”

         Bisma diam sejenak memandangi Rangga, “Aku telpon orang tuamu saja.”

         “Berani kamu telpon mereka, aku hajar kamu!”

         “Tapi, Rangga! kalau bukan orang tuamu, siapa lagi yang akan membiayai operasi?”

         “Kamu diam saja! Cukup diam! Aku yang urus. Jika waktunya sudah tiba, aku akan operasi.”

         Bisma menghela nafas. Air matanya mulai berlinang.

         “Satu lagi, cukup kita berdua yang tahu hal ini. Rahasiakan dari orang lain.” Ucap Rangga tegas.

         “Kamu nyadar tidak sih, Ngga?! Nyawamu sekarang sedang dalam bahaya! Masih sempat-sempatnya kamu main rahasia-rahasiaan??”

         “Sudah petang, kamu ngga sholat maghrib?” tegur Rangga tanpa mengindahkan perkataan Bisma.

         Bisma berdecak. Jantungnya serasa semakin sesak. Kekhawatirannya menggunung, tapi kenapa Rangga bisa sesantai itu?!

         Tanpa pikir panjang, Bisma berlari keluar dari ruangan. Ia berlari sepanjang lorong rumah sakit menuju mushalah. Sesekali ia mengusap air matanya dengan lengan bajunya.

         Kenapa harus dia? Kenapa bukan pada Kiai Mahmud dokter itu bercerita? Jika Kiai Mahmud yang tahu, Rangga pasti akan dioperasi. Entah bagaimanapun caranya!

         Sementara itu, Rangga diam terpaut di ranjangnya. Tidak bergeming. Matanya masih istiqomah memandang langit-langit ruangan yang putih bersih. Lelah berpura-pura tegar di hadapan Bisma. Lelah berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Sebenarnya jika diperbolehkan, ia ingin bersandar dan mengungkapkan seluruh uneg-uneg di hatinya.

         Bisa apa dia? Bertahun-tahun lalu orang tuanya tersandung kasus penggelapan uang. Keduanya menitipkannya pada Kiai Mahmud di usianya yang sepuluh tahun, lalu pergi entah kemana untuk melarikan diri.

         Sudah cukup Kiai Mahmud merawatnya hingga dewasa seperti sekarang. Sosoknya yang semakin renta sudah tidak mumpuni jika dibebani biaya operasi.

         Operasi apa? Percuma! Toh manusia lambat laun pasti akan mati!

---------------------------

Bersambung ke part 15 !!

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar