25 November 2013

(Cerbung SMASH) "Menatap Flamboyan" / Part 10 END



Judul : Menatap Flamboyan
Author : Fitri Fauziya
Editor : @ariek_andini
Genre : Romantic
Cover : @ariek_andini
Cast :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Dicky Prasetyo
- Danita 'Princess'

**************


     Dicky mematung. Kaki tangannya terasa mati rasa.

     "Bukannya Ilham minta kamu kembali?" tanya Dicky bingung.

       "Memang iya, tapi ku pikir aku menyukaimu." tutur Danita. Kini Dicky mengembangkan senyumnya.

       "Kalau pembicaraan kalian di teras rumah tadi, itu apa?" tanya Dicky.

       "Itu hanya obrolan biasa saja. Lagian Ilham akan melanjutkan kuliah dan tinggal bersama ayah dan ibu tirinya di Kendari."

       Dicky hanya senyum-senyum sendiri sambil melirik ke arah lain.

       "Kamu tau? Wajahmu jelek tau pas masuk kesini, sekarang malah senyum-senyum sendiri." seloroh Danita meledek.

       "Apa? Kamu tuh yang jelek." kata Dicky tak terima lalu menggelitiki pinggang Danita, Danita hanya tertawa geli sambil memohon pada Dicky.

************

       Hari berganti hari. Matahari tenggelam dan terbit terasa lebih cepat dari biasanya. Hari dimana Eriska harus terbaring di meja operasi pun tiba. Di sini saat-saat penentuan apakah Eriska bisa melihat dunia apa tidak sedang terjadi. Dicky, Rangga dan ibu Eriska duduk anteng di depan pintu operasi. Hening. Hanya derap langkah suster rumah sakit menggema dari kejauhan.


       Hanya sekilas Rangga melihat Eriska keluar dari kamar operasi di atas ranjang yang didorong dokter dan perawat. Matanya tertutup perban. Rangga menjingkatkan kakinya berusaha melihat Eriska lebih leluasa. Tapi percuma. Dokter dan perawat berbaju putih bersih itu secepat kilat membawa Eriska masuk ke dalam sebuah ruangan sesaat setelah operasi selesai.

       Bagaimana Eriska? Apa ia sudah bisa melihat?

       Tiga hari setelah hari menegangkan itu, dokter mengabarkan perban di mata Eriska sudah bisa dibuka. Ditemani seorang perawat, seorang dokter masuk ke dalam kamar Eriska dan meraba perban putih di mata Eriska. Hanya Dicky dan ibu Eriska yang khidmat mengikuti tiap jengkal detik-detik perban itu dilepas dari mata Eriska.

       Dengan menggunakan sebuah gunting, dokter membuka perban putih yang melilit di kepala Eriska. Dokter menyuruh agar Eriska membuka matanya pelan-pelan. Dengan hati-hati Eriska membuka mata kecilnya. Sedikit-sedikit ia mulai menangkap cahaya terang, mengedip-ngedipkan matanya lalu terlihat seorang wanita separuh baya tersenyum dihadapannya.

       "Ibu?" tanya Eriska masih berusaha mempertajam penglihatannya yang masih agak kabur.

       "Kamu sudah bisa lihat dengan jelas, nak?" tanya ibu Eriska lalu memeluknya tanpa menunggu jawaban dari Eriska.

       "Eris, kamu kok cuekin aku sih? Ini aku Dicky." Sahut Dicky sambil mencondongkan wajah tirusnya.

       "Ha? Dicky?" Eriska memperhatikan pemuda hitam manis itu lalu memeluknya, ibu Eriska juga ikut-ikutan memeluk Eriska dan Dicky. Berusaha melengkapi kebahagian siang itu.

*******

       Kebiasaannya duduk di taman tak pernah berubah. Bukan hanya menghirup udara dan merasakan panas menyengatnya saja, Eriska kini bisa melihat keindahan alamnya. Jujur, suasana taman ini tak seperti yang Eriska bayangkan ketika masih buta, lebih dari itu dan sangat indah.

       Eriska duduk di bangku dengan buku braile yang diberikan Rangga di pangkuannya.

       "Eris, ternyata kamu disini, tadi aku ke rumahmu." kata Dicky datang bersama Danita. Eriska menoleh lalu bergeser agar Dicky dan Danita bisa duduk disampingnya.

       "Kamu kan sekarang udah bisa melihat, kenapa masih murung, Eris?" tanya Danita.

       "Gak tau nih, kayaknya ada yang kurang."

       "Kurang apa?" tanya Dicky.

       "Kak Rangga. Sudah empat hari bisa melihat, tapi aku belum lihat dia dan ucapin terima kasih."

       Hening. Cicit burung bersahut-sahutan.

       "Sebenarnya dia kemana?" lanjut Eriska.

       Dicky dan Danita saling pandang sejenak.

       "Maaf sebelumnya aku belum cerita sama kamu. Pas kamu operasi mata, kak Rangga emang sempat temani kamu, tapi pas hari itu juga dia harus berangkat ke Belanda. Aku sendiri yang antar dia ke bandara." tutur Danita.

       "Belanda?"

       "Iya, dia dapat beasiswa melanjutkan kuliah disana. Itu adalah impiannya sejak dulu. Beasiswanya terancam dicabut kalau dia tidak berangkat hari itu juga." jelas Danita, Eriska hanya menunduk.

       "Padahal kan dia janji akan selalu disampingku."

       "Cuma 2 tahun kok, Eris. Dia juga bilang sama aku akan segera pulang untukmu jika sudah lulus." tutur Danita yang membuat Eriska tenang.

       2 tahun??

       Hidup tak selamanya berjalan sesuai angan-angan. Ini bukan drama yang cerita akhirnya selalu bahagia. Hidup sekompleks fakta. Cinta hanya hiasan, cita-cita dan keyakinan terkadang mampu menggesernya.

       Terkadang Eriska bertanya-tanya dalam hati. Bagaimanakah Januari di Belanda? Apakah penuh hujan seperti di Jakarta? Bagaimana dengan Juni? Apakah terik? Lalu bagaimana dengan Juli, Agustus dan September?

       Eriska menggenggam erat sebuah buku bersampul tebal. Tetap rapi dan terawat. Buku bersampul biru yang dipenuhi huruf braile. Buku dimana Rangga mengajarinya membaca dulu.

       “Jangan lelet! Ayolah, Kak!”

       “Aku ngga yakin, Danita!”

       Tidak peduli tolakan dari pemuda di belakangnya, Danita kukuh menyeret tangan pemuda berpipi chubby itu masuk ke dalam sebuah taman.

       “Dia pasti sudah lupa sama aku!”

       Rangga pasrah sementara tangannya ditarik ke sana kemari oleh Danita, sepupunya. Pagi-pagi Danita menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta, dan langsung memboyongnya ke taman kota. Hiruk pikuk Jakarta pagi itu kian ramai. Hiruk pikuk yang khas. Rangga bahkan tak bisa lupa meski dua tahun menetap di negeri Kincir Angin.

       “Aku ngga berani!!” lagi-lagi Rangga menolak. Ia seketika membalikkan badannya membelakangi Danita dan memandang cakrawala kosong di pintu taman.

       “Sudah lama, Eris?”

       “Tidak juga. Mana Dicky?”

       “Taulah dia, selalu aja kalau aku ajak keluar bilangnya banyak tugas kuliah.”

       “Hati-hati, Danita! Awas dia nekong.” goda Eris.

       Rangga menutup mata. Khidmat menyimak obrolan dua gadis di belakang punggungnya. Hingga detik inipun ia tidak berani membalikkan badan. Bagaimanakah wajah Eriska sekarang? Pakai baju apa dia sekarang?

       Obrolan Danita dan Eriska terhenti sejenak. Eriska diam mengamati pemuda tegap yang berdiri di belakang Danita. Pemandangan yang lain dari biasanya.

       Danita tersenyum simpul. Merinding juga rasanya melihat detik-detik pertemuan dua sejoli yang telah dua tahun tidak bertemu ini. Tuhan tak pernah menjanjikan langit selalu cerah, tapi Dia selalu menjanjikan pelangi di balik hujan badai.

       “Kak~... Kak Rangga?”

       DEG!!

       “As, Assalamu’alaikum, Eriska. Apa kabar?”

       Suara baritonnya khas. Caranya bernada dalam berkata tidak pernah berubah. Eriska menggigit bibirnya. Entah harus dimulai dari mana. Pemuda yang selama ini ia hayati dalam gelap, kini berwujud di hadapannya. Hangatnya atmosfer pagi Jakarta, sehangat bening air yang menetes di pipinya.

       “Wa’alaikum salam, Kak!”

**************
TAMAT
 

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar