27 Juni 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 11

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya.. ^___^
Tinggalkan jejak jika selesai membaca.

------------------------------------

        “Aaaaaaaaghrrr!!!”

        “Lariiiiii, Rang!!!”

        Crooottt!!

        Tiba-tiba sebuah batang kayu lancip melesat ke arah ular itu. Menusuk perut ular itu hingga tembus. Sepercik darah mewarnai daun dan rating. Menggeliat dan melingkar. Dalam hitungan detik ular itu jatuh ke tanah.

        Rangga dan Andin bengong. Keduanya memandangi ular mati itu dengan mata terbelalak.

        “Oalah, adek di sini? Syukur ketemu. Saya kira sudah...” ujar sebuah suara berat dari belakang. Rangga dan Andin mengalihkan matanya pada sosok yang baru datang itu.

        “PAK SUGIMIN???!”

        Laki-laki bertubuh tambun itu tersenyum lugu. Brewok di wajahnya terasa semakin lebat saja setelah dua hari terpisah. Pak Sugimin mengusap kedua belah tangannya pada kaos lusuhnya, lalu menyalami Andin dan Rangga yang masih setengah sadar.

        “Selama ini adik berdua ini ada di mana? Saya dan teman saya sudah keliling pulau tapi nggak ketemu-ketemu.”

        Rangga dan Andin cuma manggut-manggut.

        “Ayo keluar dari sini. Kita ke pantai saja, di sini lumayan bahaya, banyak binatang liar.” Ajak Pak Sugimin. Sebelum menuntun Andin dan Rangga keluar, dia mengambil ular yang mati tadi lalu memondongnya di bahunya.

        “I-itu, buat apa?” tanya Rangga smabil menudingkan jarinya ke arah bangkai ular itu.

        “Ya buat makan.”

        “HAH??!”

        “Mari...” kata Pak Sugimin menyilakan. Ia lalu memimpin berjalan di depan sementara Rangga dan Andin yang masih maraton jantung dengan pikiran tidak karuan.


        Pak Sugimin menggiring Rangga dan Andin menuju bebatuan karang. Besar dan menjulang. Lubang-lubang di tengahnya bisa digunakan sebagai tempat berteduh. Seorang laki-laki berbadan ceking yang tidak lain teman Pak Sugimin, menyambut kedatangan Pak Sugimin, Rangga dan Andin. Ia meraih ular dari tangan Pak Sugimin lalu menghempaskannya ke atas batu karang. Dikeluarkannya sebuah belati dari balik bajunya, lalu bersiap memotong ular itu.

        “Aaaaah! Stop! Stop!!” teriak Andin.

        “Ada apa?” tanya Pak Sugimin.

        “Gimana kalo ularnya kita kubur saja, kasihan!”

        “Nggak apa-apa, Dek. Ini buat makan siang kita.”

        Slaaassh!!

        Satu tebasan, ular itu langsung terbelah menjadi dua bagian. Rangga dan Andin langsung membalikkan badan. Menutup mulut dan mengalihkan pandangan ke laut lepas. Berusaha keras menahan rasa mual melihat bangkai ular itu dimutilasi.

        “Adik ini selama ini ada di mana? Saya udah putus asa loh nyari kalian. Saya kira sudah mati..”

        “Nggak, kok. Kami berdua ada di pantai ini, nggak kemana-mana. Saya juga nyari Pak Sugimin, tapi baru hari ini ketemu.” Sahut Andin. Dalam hati ia begidik, Amit-amit jabang bayi. Mati? Elu aja kali!

        Pak Sugimin menata kayu dan menunpuknya memutar. Ia meraih korek api dari dalam sakunya lalu menyulut kayu itu dengan api. Seperti telah mahir, ia lalu menajajarkan bangkai ular yang telah ia tusuk dengan kayu di atas bara api.

        “Ehm, Pak, ini kira-kira dimana ya? Bagaimana caranya kita keluar dari sini?” tanya Rangga memberanikan diri.

        “Tenang saja, Dek. Besok pasti ada perahu yang jemput ke sini. Saya sudah tiga kali kok terdampar di sini. Dan selalu ada perahu yang jemput.”

        “Buset! Tiga kali??” tanya Andin tercengang.

        “Ini nggak ada apa-apanya. Saya sudah empat belas kali tenggelam di laut.  Saya ditolong perahu nelayan yang lain. Pernah juga berenang balik ke Lombok, dan berkali-kali terdampar di pulau, seperti saat ini.”

        Rangga dan Andin menganga.

        “Tapi itu semua tidak membuat saya takut. Justru semakin tertantang. Jadi nelayan itu kan nggak bisa setengah-setengah. Saya suka menjelajahi laut. Saya pernah masuk rumah sakit gara-gara tersengat ubur-ubur, tapi besoknya saya berlayar lagi.”

        Pak Sugimin membalikkan ular yang ia panggang. Mencium aromanya sebentar, lalu memanggangnya lagi.

        “Adek berdua ini bernasib mujur. Soalnya, biasanya, penumpang yang saya bawa itu meninggal dunia karena tenggelam. Baru adek berdua ini yang selamat. Saya salut.”

        Rangga dan Andin semakin terbengong-bengong. Keduanya duduk tegap di atas pasir tanpa bergerak sedikitpun. Seluruh ototnya kaku.

        Yang pertama yang selamat?! Buset! 

        “Sudah matang, silakan, Dek.” Kata Pak Sugimin. Dia menyodorkan dua tusuk ular ke hadapan Rangga dan Andin.

        “Enggak, Pak. Makasih. Nggak perlu repot-repot.” tolak Rangga.

        “Nggak usah sungkan! Silakan!” kata Pak Sugimin meyakinkan.

        “Enggak apa-apa! Saya nggak lapar!”

        “Jangan malu-malu. Emang sih nggak ada bumbunya. Tapi ini enak kok. Kayak daging ayam.”

        “Tadi saya dan Rangga udah makan, Pak! Serius! Ini masih kenyang.” Serobot Andin.

        Pak Sugimin terdiam. Dia manggut-manggut, lalu menarik tusukan ular itu ke hadapannya.

        “Bapak berdua silakan makan, kami mau ke sana dulu.” ucap Rangga. Ia dan Andin lalu beranjak pergi dan  menjauh dari tempat Pak Sugimin dan temannya.

        “Hadooohhh! Bangun-bangun makan nasi jengkol saus pete ikan asin! Mual perut gue ngeliat kelakuan mereka!! Lo lihat nelayan pilihan lo?! Lebih parah dari Sumanto!!” kata Andin. Ia mengelus perutnya menahan mual.

        “Biasa aja kali, Ndin. Namanya juga orang pribumi, masih tradisional, masih primitif.”

        “Oooh! Jadi lo maklum?! Kenapa lo nggak ngikut mereka aja makan ular sana!!”

        “Lo uring-uringan mulu dari tadi! Kalem dikit ngapa! Besok kita udah bisa pulang! Mestinya lo seneng!”

        “Kalo misalnya besok kita tenggelem terus mati kayak cerita Pak Sugimin tadi gimana?! Lo mau tanggung jawab? Lo mau jagain gue?!”

        “Iya!! Gue bakal jagain lo!” pungkas Rangga.

        Andin terdiam. Dia menghela nafas lalu mengalihkan mata ke laut lepas. Angin laut berhembus kencang memainkan rambutnya. Seperti ikut memainkan degub jantungnya. Entah mengapa, belakangan ini, ia selalu deg-degan tiap kali Rangga memberinya perhatian.

        Rangga mengernyitkan dahinya. Dia melihati Andin heran, “Kenapa lo tiba-tiba diam?” tanyanya.

        “Gue cerewet lo protes! Buruan gue diem, lo juga protes! Mau lo apa, sih?!”

        “Ya takut aja, kali aja lo kesurupan nyi roro kidul.” celetuk Rangga. Dia lalu melangkahkan kaki menuju Pak Sugimin.

        Andin menghela nafas. Melempar matanya ke laut lepas. Menatap laut biru yang dalam hitungan jam akan dia tinggalkan. Permadani alam yang liar dan alami. Beratapkan langit berlantaikan pasir. Dia marah-marah sejak tadi bukan tanpa sebab. Di sudut hatinya yang paling dalam, sejujurnya ia sedih. Meninggalkan semua petualangan ini, ia tak rela. Juga meninggalkan Rangga. Ia sungguh tak rela.

        “Gue masih pengen bareng lo, Rang!”

        *************

        Lukisan Tuhan terbingkai di langit. Jingga dan merah beradu. Matahari mengintip di ufuk barat. Bersiap menyambut gelap malam untuk meraja di langit. Sekali lagi angin malam menyapa Andin. Dingin yag khas. Tapi tetap tak bisa membuatnya menggigil. Dekapan baju dari Rangga masih menyelimuti tubuhnya.

        Rangga, Pak Sugimin, dan Maleo, temannya, bergerombol mengerubuti api unggun. Sesorean tadi mereka mencari ikan di laut. Bermodal batangan kayu yang telah dilancipkan, mereka memburu ikan di laut dangkal. Meski hanya bisa berteriak dan nimbrung di samping Pak Sugimin, Rangga akhirnya bisa menenteng tiga ikan besar.

        Andin menatap tiga orang laki-laki itu dari kejauhan. Sesekali ia tersenyum mendengar gelak tawa Rangga yang keras. Seperti baru sekali ini ia menangkap ikan dengan tangan sendiri.

        Ada apa dengannya? Sepertinya baru 24 jam lalu ia mati-matian ingin berpisah dari Rangga. Cowok boyband alay, hanya bisa joget di atas panggung, dan nyebelin. Semua label buruk itu sudah ia stempel permanen di atas nama Rangga. Kenapa sekarang ia merasa takut?

        “Nih!!” sebuah suara berat menegur Andin dari belakang.

        “Bujubuneng!!!” Andin tersentak kaget, “Rese lo! Ngagetin gue!!” bentak Andin pada Rangga yang tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.

        “Ngelamun mulu dari tadi! Nih!!” Rangga menyodorkan setusuk ikan besar yang sudah ia panggang.

        Andin diam. Ia menatap ikan di sampingnya sinis.

        “Ini ikan! Bukan ular!!” tegas Rangga.

        Andin masih tak bergeming. Rangga gregetan sendiri jadinya. Dicuilnya daging ikan di tangannya, lalu ia suapkan secara paksa ke mulut Andin.

        Andin mengelak. Ia melangkah mundur. Rangga tak mau kalah, ia kejar kemana Andin menghindar. Terjadi pergulatan antar keduanya. Tawa Andin dan Rangga langsung pecah.

        “Oke! Oke! Gue nyerah! Gue makan!!” teriak Andin.

        “Gitu dong! Sok jual mahal lo!” Rangga menyodorkan ikan di tangannya pada Andin.

        Andin menyuapkan daging ke mulutnya. Sejenak ia mengernyitkan dahi, “Kok pahit?”

        “Banyak komentar! Iya lah pahit! Nggak pakek bumbu! Ini aja nangkepnya udah setengah mati! Lo enak tinggal makan!!” kata Rangga tidak terima.

        “Halahhh! Kerjaan lo cuman neriakin Pak Sugimin! Gue lihat tadi!!”

        “Gue ngarahin dia~..” bela Rangga.

        Pahit, tawar, panas, dan sedikit gosong. Biasanya dia akan memuntahkan makanan seperti ini dari mulutnya. Tapi entahlah, kali ini Andin melahapnya sampai habis. Indera perasanya seperti mati rasa. Semua hal terasa manis.

        “Sayang banget hape gue mati. Besok udah pergi dari sini, nggak bisa ngambil foto kenangan kan jadinya.” celetuk Rangga. Ia memandang ombak di depannya seperti teman akrab.

        “Yakin banget lo besok beneran ada perahu yang jemput.” sahut Andin.

        “Pak Sugimin yang bilang. Udah jadi adat orang sini, tiga hari sekali mereka menangkap ikan ke daerah selatan. Mereka selalu lewat pulau ini. Jadi nanti pasti ada yang jemput.”

        “Kalo nggak lewat?”

        “Pasti lewat!”

        “Kalo misalnya nggak?”

        “Lo kenapa sih?!” protes Rangga. Ia mulai terganggu dengan sikap Andin yang pesimis.

        “Ya kan cuma misal, Rang!”

        “Perkataan itu doa! Mestinya lo percaya kalo besok ada perahu lewat sini! Lo mau selamanya tinggal di sini?! Lo mau dingin-dinginan terus kena angin?”

        Andin menatap mata Rangga dalam. Berusaha meluapkan kata hatinya yang lain. “Kalo gue bilang iya, lo mau apa?”

        “Keracunan ikan tongkol nih anak!!” kata Rangga sambil memegang dahi Andin.

        Tak pernah bisa mengalihkan mata dari Rangga, Andin tetap intens menatap bola mata Rangga, “Lo tahu? Saat kita keluar dari sini, mungkin kita akan jadi orang yang saling membenci.”

        Rangga menghentikan aksinya mengacak-acak rambut Andin. Ia terheran, “Ndin?”

        “Kita akan jadi orang yang nggak saling kenal. Gue akan jadi orang yang tiap hari ngebully boyband lo. Dan lo dan temen-temen lo, akan jadi orang yang ngebenci band rock. Seperti semula, Rang.”

        “.........”


        “Gue...” Andin tak meneruskan kalimatnya.

----------------------------------------------------------------------
Bersambung ke part 12

2 komentar:

  1. part 12 nya mana?
    lanjutin donk!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yak sist.. barusan dipost.. :)

      Lama gk bisa post cerbung, Laptop baru keluar dr rumah sakit... :3

      Hapus