5 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 12

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya.. ^___^
Tinggalkan jejak jika selesai membaca.

------------------------------------


        “Kita akan jadi orang yang nggak saling kenal. Gue akan jadi orang yang tiap hari ngebully boyband lo. Dan lo dan temen-temen lo, akan jadi orang yang ngebenci band rock. Seperti semula, Rang.”

        “.........”

        “Gue...” Andin tak meneruskan kalimatnya. 

        “Ck! Lupain! Gue ngantuk! Gue pengen tidur!” kata Andin mengalihkan. Dia memalingkan wajahnya dan beranjak berdiri.

        Buru-buru Rangga mencengkeram tangan Andin. Dipaksanya Andin duduk di tempat semula.

        “Lo mau ngomong apa?!”

        “Nggak penting!!” tukas Andin.

        “Penting buat gue! Cepet terusin! Lo mau ngomong apa?!”

        “Bener kata lo! Gue keracunan ikan tongkol! Jadi, lupain!!” pungkas Andin tak ingin meneruskan omongannya. Ia lepas tangan Rangga paksa, lalu pergi menjauh.

        Andin berjalan menuju api unggun buatan Pak Sugimin. Dipilihnya pasir yang tidak berbatu, lalu bersiap untuk tidur. Kerlip api unggun yang bergoyang-goyang terkena angin menjadi satu-satunya penerang malam itu. Beradu dengan cahaya bulan di angkasa hitam.

        Andin memejamkan matanya. Dimiringkannya tubuhnya membelakangi Rangga. Dalam hati ia membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Hampir saja ia keceplosan soal perasaanya pada Rangga. mana punya muka dia kalau sampai jujur pada Rangga bahwa dia suka Rangga. Itu tidak mungkin! Harga dirinya akan tamat, karirnya akan tamat, dan dunia juga akan tamat. Dia harus menutup perasaannya dalam-dalam. Jatuh cinta pada cowok boyband alay yang ia benci adalah hal paling memalukan yang pernah terjadi padanya.


        ************

        “........Beberapa hari mangkir dari shownya, benarkan Rangga telah hengkang dari boyband yang telah membesarkan namanya tersebut?”

        “.......Dua hari ini trending topic jejaring sosial dipenuhi oleh nama Rangga SMASH, benarkan cowok kelahiran Belanda ini.......”

        KLIKKK!!!

        Sekali tekan, Rafael langsung mematikan TV yang menyala di depannya. Ia mendengus.

        “Sekali lagi lo nyalain TV, awas lo!” ancam Rafael pada Dicky.

        “Gue bosen, Cohhh!!! Dari kemarin kita di apartemen terus! Keluar nggak boleh, main nggak boleh, bisa mati kering gue di sini!!” gerutu Dicky.

        “Keluar aja kalo lo pengen keluar. Biar tau rasa diserbu wartawan!!” balas Rafael. Dicky langsung menutup bibirnya.

        “Dari pagi tadi TV isinya berita Rangga semua. Isinya kemana-mana, tim kecelakaan lah, hengkang lah...” timpal Bisma.

        “Yang gue heran, gimana bisa beritanya sampai bocor ke media?? Kita kan lapornya udah diam-diam. Kita juga udah ngomong ke kepolisian buat ngerahasiain ini!”

        “Sepertinya ada yang bocorin!” jawab Rafael.

        “HAH??”

        “Karena itu gue minta sama kalian, matiin hape kalian. Jangan angkat telpon dari siapapun sampai masalah ini reda.”


        “Duh mampus gue!! Kalo pacar gue yang telpon gimana? Masa cuman bela-belain Rangga gue ngorbanin cewek gue!??” kata dicky tidak terima.

        “Dick!” sahut Bisma memberi isyarat. Dicky langsung diam.

        “Gue juga penasaran, siapa yang mancing semua wartawan-wartawan itu. Akan gue habisin dia kalo sampe ketemu.”

        “Percaya atau enggak, gue denger dari temen gue kalau Andini Salma juga menghilang.” Ujar Ilham.

        “Andini Salma? Siapa?” tanya Dicky.

        “Vokalis D’Uneven, bro! Kemana aja lo?”

        “Dih, band rock urakan itu? bodo amat gue mah! Nggak ada hubungannya sama kita!!” kata Dicky.

        “Mending mikirin Rangga, temen lo sendiri, daripada mikirin orang lain!” tambah Bisma.

        “Ya ‘kan gue cuma bilang doank kabar dari temen gue.”

        “Bilangin ke temen lo tuh, kalo denger info tentang Rangga bilang, jangan info orang lain dikasih!”

        “STOP! Ini kenapa malah debat?” potong Rafael, “Mending hapalin lirik lagu daripada bertengkar terus.”

        Bisma, Dicky dan Ilham langsung menghentikan perdebatannya.

        “Tunggu, dari pagi tadi gue nggak lihat Reza, dia dimana?” tanya Rafael kemudian.

        “Kayak nggak ngerti aja. Sahabatnya kan baru pulang,  lagi nemenin dia kali.” celetuk Ilham.

        Rafael menghela nafas. Siapa lagi yang dimaksud Ilham jika bukan Ola? Terkadang ia resah sendiri melihat Reza begitu memperhatikan Ola. Meski hanya sahabat, apa jadinya kalau Rangga marah?

        ************

        “Gue nggak mau masuk ke dalam.” sergah Ola. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang berada di lobi utama kantor manajemen.

        “Seenggaknya lo nemenin Tante Yudith, La.” Ujar Reza.

        Isakan Tante Yudith, mama Rangga, bahkan terdengar sampai ke ruang tengah lobi utama. Sementara amukan Om Rully menjadi jeda drama pagi itu. Mereka berdua menagih pihak manajemen yang baginya tidak profesional menjaga keselamatan artisnya.

        “Rangga pergi tanpa sepengetahuan kami. Masing-masing personil memang diberi kebebasan untuk melakukan urusan pribadinya. Hilangnya Rangga tidak ada hubungannya dengan kami.” Jelas salah satu staf manajemen.

        Kalimatnya sontak memicu kemarahan Om Rully semakin besar, “Kalian lupa kontrak kalian, ha? Jangan kira saya tidak akan membawanya ke pengadilan!”

        “Rangga pasti baik-baik saja. Kita pecahkan masalah ini bersama. Kami juga sudah menghubungi kepolisian Provinsi Bali untuk mencari Rangga.”

        Ola menutup telinganya dengan kedua tangannya. Berusaha menghentikan bentakan-bentakan yang menjejali gendang telinganya.

        “Mereka nyalahin gue.” Kata Ola lirih.

        “Jangan didengar, La. Mereka cuma lagi kalut.” Kata Reza. Tangannya ikut mendekap telinga Ola.

        “Gue takut dipenjara~...”

        “Siapa bilang?!! Nggak ada yang mau menjarain loe, Ola!! Loe nggak usah takut!”

        “Mereka manggil polisi, Ja!!”

        “Itu untuk nyari Rangga!! Udah, loe jadi paranoid sendiri!! Mending kita pulang sekarang, istirahat di apartemen gue!!” Reza lalu mengangkat bahu Ola pelan. Dituntunnya Ola menuju mobil. Secepat mungkin ia berjalan dan melewati area parkir di belakang gedung. Tempat parkir dimana tak ada satupun kerumunan wartawan yang akan menyerbunya.

        Mungkin mudah bagi Ola untuk keluar dan masuk kantor manajemen tanpa diserbu wartawan. Karena tak seorangpun tahu bahwa dia adalah pacar Rangga. Rangga lebih memilih menyembunyikan hubungan percintaannya karena tak ingin membebani Ola.

        Tapi tidak dengan psikis Ola. Bagi Reza, dalam keadaan genting seperti ini, ia harus menemani Ola.

        *************

        Sudah menjadi slogan klasik.  Love for a reason, love for a season, and love forever. Cinta untuk satu alasan, cinta untuk satu musim, dan cinta untuk selamanya, ketiga-tiganya jelas berbeda. Namun kadang manusia sering terjebak. Menjadikan cinta yang datang sementara untuk selama-lamanya. Tinggal menunggu waktu, patah hati akan datang.

        Dan mungkin, sudah saatnya ini semua diakhiri. Laut biru, langit yang membentang, dan pasir putih yang kemilau, sudah saatnya berpamitan pada mereka.

        “Jujur aja, kadang gue merasa berat pergi dari pulau ini.” Ujar Rangga membuka pembicaraan. Mendampingi Andin yang berdiri mematung menatap cakrawala. Sementara Pak Sugimin dan temannya sibuk mengarahkan perahu yang datang menjemput untuk menepi ke pantai.

        “Yaudah! Gue balik ke Jakarta, lo tetap di sini!!” balas Andin.

        “Gue kangen nyokap gue, makanya gue kudu pulang!”

        “Anak mama~...”

        Rangga menatap Andin tajam.

        Dari kejauhan, Pak Sugimin berteriak memanggil-manggil Andin dan Rangga. Perahu telah siap berangkat. Andin berjalan mendahului Rangga. Langkah demi langkah, Andin menikmati tekstur bulat pasir pantai yang ia injak. Mendekati perahu, sejuk air laut menyambut kakinya.

        Selamat tinggal~... Andin melepas pulau tak berpenghuni itu dengan memandanginya. Bahkan hingga perahu jauh meninggalkan pulau. Semakin jauh, pasir putih pantai makin melebur karena cahaya matahari. Hanya pucuk pohon tertinggi yang nampak. Selebihnya, hanya biru lautan yang bisa ditangkap mata.

        “Kita menuju Bali, Dek. Ini perahu punya nelayan Bali.” Kata Pak Sugimin.

        Rangga manggut-manggut. Tangannya sibuk membolak-balik smartphone-nya yang mati sejak tiga hari lalu, “Ada stop kontak nggak, Pak?” tanya Rangga.

        “Stop apa?” tanya Pak Sugimin.

        “Kenapa nggak sekalian aja lo minta pulsa ke mereka? Pea!! Mana ada stop kontak di perahu kecil begini! Lampu aja masih pakek lampu minyak!” sahut Andin.

        “Ya kali aja ada. Gue mesti nelpon nyokap gue! Dia pasti bingung nyariin gue!!”

        Andin mendesis, “Dia pasti ngirimin tentara buat nyariin elo! Nyantai aja!”

        “Emang gue teroris apa?!”

        “Pokok begitu sampai Bali, kita ke ATM dulu. Gue pinjem uang lo buat beli baju ganti. Udah gatel-gatel gue pakek baju lo. Habis itu, kita langsung ke bandara dan balik ke Jakarta.”

        Rangga diam sejenak. Ia nampak memikirkan sesuatu, “Lo balik duluan ke Jakarta. Gue masih ada urusan di Bali.”

        “Urusan apa? Sama cewek itu?” tanya Andin.

        “Iya...” jawab Rangga singkat.

        Lima belas menit perjalanan. Pulau Bali mulai nampak di depan mata. Payung-payung peneduh berjajar di sepanjang pantai. Nampak seperti kuncup bunga dari kejauhan. Orang-orang memadati semua sudut pantai. Berjemur dan bersantai.

        Perahu menepi perlahan. Beberapa awak perahu melompat ke pantai dan mendorongnya ke tepi. Hiruk pikuk Pulau Dewata yang khas langsung memenuhi telinga Rangga. Dengan dituntun Pak Sugimin, ia berjalan masuk ke pantai.

        “Jam tangan ini harganya lima belas juta, Pak. Silakan diambil.” Ucap Rangga sebelum berpamitan. Terang saja ia tak memiliki selembar uangpun untuk membayar nahkoda amatiran yang ia sewa itu.

        Pak Sugimin meraih jam tangan berwarna perak itu lalu menerawangnya dengan seksama. Sejurus kemudian ia tersenyum lebar, “Wah, terima kasih, Dek. Besok-besok, kalau butuh apa-apa, jangan sungkan untuk menemui saya.”

        Rangga membalasnya dengan anggukan kepala. Usai berpamitan, termasuk dengan nelayan Bali yang baru saja menjemputnya, Rangga dan Andin berlalu meninggalkan pantai.

        Aksen bunga Sepatu yang menjadi ikon pulau tropis, terhampar di tiap sudut yang dilalui Rangga dan Andin. Warna warninya menambah segar pemandangan.

        “Kita ke toko itu.” kata Rangga sambil menunjukkan jarinya.

        “Kenapa ke situ?”

        “Gue butuh mesin ATM buat ngambil uang. Baru setelah itu ke bandara.”

        Keduanya berjalan masuk ke dalam toko yang menjual baju dan aksesoris khas Bali itu. Andin menggigit bibirnya. Dalam hati ia mati-matian menahan malu. Ia masuk ke dalam toko dengan kaki telanjang dan muka lusuh.

        “Cepetan, Rang.” Pinta Andin.

        “Sekalian kita beli baju di sini. Lo pilih baju lo, setelah itu bayar di kasir pakai ATM. Begitu lebih gampang.” Jawab Rangga.

        “HAH? Beli baju di sini??!”

        “Udah jangan banyak protes!!”

        “Gue nggak bercanda, Rang! Lo nyuruh gue beli baju di sini?! Baju gambar bunga-bunga gede norak begitu? Ogah gue!” protes Andin bergidik.

        “Oh, jadi lo pengen keliling nyari toko buat baju yang pas buat lo dengan kaki telanjang dan muka kayak mak lampir kayak gitu?”

        “Ya bukan begitu....”

        “Ini lokasi wisata. Semua tokonya menjual baju kayak begini. Baju yang lo pengen adanya cuman di mall. Sekarang lo pergi ambil baju lo, gue tunggu sepuluh menit lagi di kasir.”

        Andin tak punya pilihan lain selain menuruti perintah Rangga. Dia tidak memiliki sepeser uangpun. Untuk sementara ini hidupnya berada di tangan anak boyband keras kepala itu.

        Sepenuhnya hatinya memberontak. Jika tidak kaos bunga-bunga, isi toko itu hanya long dress dengan motif bunga Sepatu warna-warni. Di matanya, semua baju itu tidak ada bedanya dengan daster yang biasa dipakai pembantunya di rumahnya. Amit-amit sumpah!

        Andin hampir putus asa. Bulu kuduknya tak berhenti bergidik selama dia memilah-milah semua gantungan baju itu. Dengan mata terpejam, ia menyabet salah satu baju lalu berjalan ke depan kasir. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah cepat-cepat pergi dari toko itu, dan kembali ke Jakarta.

        “Habis ini kita ke penginapan di samping toko ini. Membersihkan diri, ganti baju, makan, lalu ke bandara. Jangan lelet, ngerti?” ucap Rangga sembari membayar di kasir.

        Andin mengernyitkan dahi melihat barang yang dibayar Rangga di kasir, “Ngapain lo beli topi pantai dan kacamata item itu?”

        “Ini buat loe. Untuk keamanan.”

        Tanpa disadari oleh Rangga dan Andin, pegawai toko yang tengah menghitung belanjaannya itu melihatinya tanpa berkedip, “Mas! Mas ini artis bukan?” tanyanya kemudian.

        “Eh?”

        “Mas ini anak SMASH ‘kan?” tanyanya lagi.

        ".............................................."

-----------------------------------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 13

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar