23 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 24

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.



-------------------------------------------

        “Kekanak-kanakkan?! Loe yang kekanak-kanakkan!!! Sekarang gue nanya, apa pernah loe bilang cinta ke gue??”

        Rangga terdiam. Nafasnya mulai tidak beraturan.

        “Enggak kan? Loe nggak pernah bilang cinta ke gue. Loe Cuma bilang kalo gue pacar loe. Loe nggak pernah mencintai gue!!”

        Andin memundurkan langkahnya ke belakang. Matanya masih lekat menatap Rangga.

        “Kembalilah ke dia.....”ucapnya terisak. Andin memutar badannya. Dia berlari menuju mobil. Meninggalkan Rangga yang diam membatu. Kakinya seolah terpaku ke bumi. Jantungnya berdesir. Otaknya mencari-cari alasan untuk mencegat Andin. Tapi kosong. Tak ada apapun. Maka Rangga kembali terdiam. Menyaksikan gadis berambut lurus itu menghilang dari matanya.

        Siang itu awan tengah di angkasa berubah menjadi awan hujan. Sinar matahari masih terlihat di celah-celah awan. Namun rintik air telah mencapai bumi. Melukis garis putus-putus keputihan. Menghubungkan haribaan langit kepada bumi.

        Dunia ini butuh keseimbangan, begitu kata orang. Saat kita menginginkan satu hal, maka kita harus siap meninggalkan hal yang lain. Tapi manusia selalu memungkiri perpisahan. Perih katanya. Sakit katanya.

        Rangga terpekur di dalam mobilnya. Tak beranjak dari depan restaurant. Dua jam mobilnya tak juga berpindah dari sana. Jikapun mau pergi, memangnya mau kemana? Jiwanya melayang mengikuti irama hujan. Meluncur cepat dari langit, lalu pecah begitu menghantam kaca mobil.


        Benak Rangga melayang pada kekakuannya dua jam lalu. Ketidakmampuannya untuk mencegat Andin. Ia malah mematung. Sementara Andin kian jauh, otaknya malah sibuk mencari alasan. Tentang cinta.

        Rangga menyalakan mesin mobilnya. Dimundurkanya beberapa meter, lalu meluncur pergi. Tak tahu kemana. Jauh ke batas hujan. Tempat dimana hujan hanya angan-angan dan matahari bersinar benderang. Mungkin.

        Sepekan hampir berlalu. Kondisi Ola perlahan pulih. Operasi penggantian katup jantung beberapa hari lalu membuatnya lebih baik daripada saat ia hanya mengonsumsi obat-obatan. Dokter mensyaratkannya untuk tinggal di rumah sakit sebelum dia benar-benar diperbolehkan pulang.

        Pada hari-hari itu, Reza sering mengunjunginya. Tiap ia selesai dengan pekerjaannya, dia pasti mampir ke rumah sakit. Tapi sering kunjungannya hanya terbatas di pintu kamar. Dia berhenti. Mengintip dari celah pintu. Dan terdiam. Dilihatnya Rangga telah berada di dalam sana bersama Ola. Mengobrol dan bercanda. Gelak tawa mengiringi.

        Benar cinta bukan perlombaan. Mungkin hanya dia yang egois. Dia malah menganggap kawannya sebagai rival. Rival untuk mendapatkan cinta Ola. Lalu dia memilih mundur. Karena sekeras apapun dia berusaha, Ola tak pernah menoleh padanya. Hanya Rangga yang ada di otaknya.

        Ini yang orang katakan tentang kehidupan yang kembali normal. Setelah semua badai yang turun naik, keadaan nampak pulih. Rangga mulai beraktivitas seperti biasa dengan SMASH. Kakinya telah sembuh. Dia bisa mengikuti semua show tanpa absen seperti dulu. Ola juga telah pulang dari rumah sakit. Setelah masa krisis yang menimpanya, papa-mamanya kembali sayang padanya. Keluhannya dulu tentang Papanya yang lebih peduli pada pekerjaan, atau mamanya yang sibuk dengan karir, kini tak ada. Dia juga telah tinggal di rumahnya sendiri. Kadang saat lenggang, Rangga menjemputnya. Mengajaknya makan siang bersama, atau ke apartemen sekedar main-main. Ola sumringah, selain orang tuanya, Rangga kini juga telah kembali ke sisinya.

        Sejak kejadian di apartemen beberapa pekan lalu, Rangga berubah. Dia tidak lagi dingin padanya. Dia kembali hangat dan penuh cinta, seperti saat Rangga baru menembaknya empat tahun lalu. Meski ada sedikit yang berbeda.

        Iya, berbeda. Kadang Rangga melamun. Entah saat dia sedang sendiri, atau sedang tampil on air di televisi, dia melamun. Rangga akan tersadar jika ada yang menyenggolnya. Pernah suatu kali tangannya hampir terjepit bagasi mobil karena sebab yang sama, melamun.

        Mungkin dia terlalu penat dengan pekerjaan, begitu simpul Ola. Dia menawari Rangga liburan beberapa hari ke tempat yang indah, Rangga hanya tersenyum. Pekerjaan masih padat, jawabnya. Maka hari-hari berlangsung seperti semula. Hari yang berat, dan Rangga seperti boneka kosong tak bermakna.

        Pergantian tahun semakin dekat. Proyek manggung tahun baru di depan mata. Om Panchunk mencanangkan keberangkatan ke Pontianak lebih awal. Latihan intens akan dilakukan di sana.

        “Konsernya Cuma semalam. Nanti sisanya kita bisa main.” Ucap Ola. Itu alasan dia ikut bersama kru-kru SMASH ke Pontianak. Sekali lagi ia bertekad mengajak Rangga berlibur.

        Rangga hanya mengiyakan. Mau gimana lagi, dia juga lelah menolak Ola terus-terusan. Ola berniat baik ingin mengajaknya refreshing. Itu saja.

        “Apa nggak terlalu mendadak? Kita aja baru latihan satu kali...” ujar Rangga. Baginya keberangkatan ke Pontianak, tempat yang dipilih promotornya, terlalu awal. Konser masih lima hari lagi, kenapa berangkat sekarang?

        “Kita udah difasilitasi dari sana. Latihannya total di sana.” Jawab Rafael.

        “Loe tahu kan ada mall baru dibangun di sana? Ada regency juga. Tempatnya keren kayak di Jakarta, tapi lebih hijau dan bersih.” Tambah Bisma.

        Rangga memainkan jarinya. Hanya mengangguk.

        “Lagian, yang mau kolaborasi sama kita juga udah di sana sekarang. Tinggal kita yang belum berangkat.” Timpal Rafael.

        “Kolaborasi?” ulang Rangga.

        “Iya, D’Uneven..”

        “HAHHH???!” Rangga yang semula menunjukkan gelagat kalem, tiba-tiba terpekik kaget. Dia menganga. Menatap kelima kawannya tidak percaya.

        “Loe kenapa?”

        “Beneran kita kolaborasi sama D’Uneven?” ulang Rangga. Lagi.

        Tak ada yang menyahut. Mereka malah sibuk mengawasi Rangga.

        Pintu terbuka. Muncul Om Panchunk dengan lembaran tiket pesawat di tangannya. Buru-buru Rangga bangkit dan menanyakan hal yang serupa. Om Panchunk malah balik memberinya tatapan kaget.

        “Kamu baru tahu?” tanya Om Panchunk kemudian. “Well, media emang gila. Dalam dua minggu aja udah ada tiga promotor yang menawari konser kolaborasi SMASH dan D’Uneven. Publik sangat heboh. Kamu dan Andin masuk acara gosip tiap hari!”

        “Makanya, nonton TV!” sahut Dicky. Rangga menyipitkan matanya. Dia bukan Dicky yang suka melihat liputan diri sendiri di TV dan melihat seberapa manis dia di layar kaca. Itu alay!

        “Kita udah briefing ‘kan dulu? Sama Zeptaria juga. Kamu aja yang waktu itu nggak dateng.” tambah Om Panchunk.

        Rangga terdiam. Tidak datang meeting. Iya benar. Waktu itu ia lebih memilih nonton Smurf di bioskop daripada meeting. Dikiranya meeting yang begitu-begitu aja. Konsep manggung dan tetek bengeknya. Dia tidak menyangka kalau meeting waktu itu ada sangkut pautnya sama D’Uneven.

        Rafael, Bisma, Dicky, Ilham dan Reza mengamati Rangga dengan pandangan penuh tanda tanya. Wajah Rangga gusar dan nampak berpikir keras. Tatapannya bingung. Sebentar menatap lantai, sebentar kemudian menatap Om Panchunk.

        “Loe kenapa, sih??!” tanya Rafael.

        “Loe mestinya seneng bisa manggung bareng D’Uneven. Enak kan bisa ketemu Andin. Loe kan udah lama nggak ketemu dia gara-gara jadwal padat.” Ujar Ilham.

        Rangga menjatuhkan tubuhnya di sofa. Pening.

        “Jangan bilang loe udah putus sama dia..” ucap Dicky. Semua orang menatap Rangga, calon maskot konser. Konsep konser sudah diciptakan matang-matang oleh Zeptaria. Akan ada banyak segmen dimana SMASH dan D’Uneven sepanggung, hujan air buatan di atas panggung, dan hal menakjubkan lainnya. Juga segmen khusus yang disiapkan untuk Rangga dan Andin duet berdua. Itu yang dicari-cari wartawan, begitu katanya.

        “Tempat konser sengaja dipilih di Pontianak, untuk menarik fans dari Malaysia dan Singapore.” Tambah Om Panchunk. Dia hanya mendapat balasan tatapan bunuh-gue dari Rangga.

        Kalimat Dicky seliweran di otak Rangga. Putus? Jika memang putus, itu adalah masa pacaran paling pendek yang pernah ia jalani karena terhitung hanya 6 hari ia dan Andin bersama. Dia tidak putus. Hanya bertengkar. Begitu. Ia bertengkar hebat, tidak pernah bertemu, lalu akrab denga cewek lain, Ola. Iya, itu bukan putus. Menurutnya.

        Dia pernah dua kali mengunjungi Andin. Pertama, di rumahnya, dan ia hanya disambut pembantunya. Kedua, di studionya, dan dia hampir tawuran dengan Erwin, Ardhy dan Ipunk untuk kedua kalinya. Dan ketiga, Rangga memutuskan untuk menjadikannya masa lalu dan kembali pada hidupnya. Itu final.

        Malam itu, rombongan berangkat. Kru lengkap, semua personel, Om Panchunk, dam Ola. Jutaan kata “tidak siap” meluncur dari bibir Rangga, tapi tak ada yang mendengarnya. Orang-orang berpura-pura tuli, dan memberikan Rangga tatapan kita-nggak-mungkin-batalin-kontrak-Cuma-karena-elu.

        Salah satu sisi Kota Pontianak. Benar kata Dicky dan Bisma, ada mall keren seperti di Dubai, hanya saja ini lima kali lipat lebih mungil. Bangunan modern beradu dengan suasana hijau yang masih asri ala Kalimantan. Sedap dipandang mata. Di dekat sana, hotel tempat mereka menginap dan latihan berada.

        “Nanti loe sama Andin duet lagu Selalu Tentang Kamu, dan Ingin Kamu punya D’Uneven. Aransemennya sudah ada, tinggal take vocal.” Jelas Rafael begitu sampai di hotel.

        “Gimana kalo diganti “Indonesia Raya” dan “Maju Tak Gentar”?” tawar Rangga.

        “Loe pikir ini acara tujuh belasan?” timpal Rafael. Cengo.

        “Selalu Tentang Kamu kan lagunya smashblast. Masa gue nyanyiin buat Andin? Nggak etis lah! Ntar mereka sakit hati.” Pancing Rangga. Berusaha membujuk teman-temannya untuk mengganti lagu. Seenggaknya bukan lagu cinta-cintaan lah. Mungkin Refresh and Renew.

        “Iya, bener juga...” Rafael manggut-manggut, “Kalo gitu, ganti I Heart You aja!”

        “ITU LEBIH PARAH!!!”

        “Loe mau sampe kapan gonta-ganti lagu terus. Loe pikir bikin aransemen satu kedipan mata jadi apa?” gerutu Bisma.

        “NAH! Kenapa nggak loe aja yang duet sama D’Uneven? Loe kan dulu anak band juga!” Rangga mulai menjatuhkan perannya pada Bisma. Entahlah, bisa saja habis ini giliran Ilham dan Dicky yang ia suruh menggantikannya duet dengan Andin.

        “Ini konsep udah dari sananya, Rang! Loe pengen bikin konser ini berantakan? Dulu kita udah hampir kehilangan kontrak gara-gara loe ngilang di Bali.”

        “Gue heran! Loe sebenernya kenapa sih sama Andin? Dulu loe romantis banget sama dia. Kemana-mana berdua. Loe habis bertengkar? Ya baikan aja, kali. Anak SD aja habis bertengkar pasti baikan.” Kata Rafael.

        “Loe pikir gue anak SD?!!”

        “Loe sih malah ngajak Ola ke sini.”

        “Sssstttt!!!! Kecilin suara loe!!” gertak Rangga.

        Rafael dan Bisma manyun. Jengkel juga rasanya melihat tingkah Rangga. Dia ogah-ogahan duet dengan Andin. Sepanjang perjalanan ke Pontianak saja dia memasang muka tidak ikhlas. Dia bilang mengajak Ola ke Pontianak untuk mengajaknya berlibur. Memangnya mereka buta? Dia selalu menunjukkan kebahagiaan palsu di depan Ola. Perhatian, berkata lembut, dan sedikit-sedikit menelepon Ola, itu semua fake!  Rangga lebih terlihat seperti sedang mengerjakan tugas kemanusiaan ketimbang menjalin hubungan dengan perempuan. Dia terbelenggu!

        “Loe Cuma kepikiran kesehatannya Ola, iya kan?” ucap Bisma.

        “Apaan?”

        “Dokter bilang Ola nggak bisa menerima tekanan pikiran berlebihan, makanya loe baik sama dia. Loe mencoba balikan lagi sama dia. Iya kan?” terang Bisma.

        Rangga terdiam. Ia membuang wajahnya ke cendela hotel. Pemandangan biru langit Pontianak menyambutya.

        “Cinta itu dari hati, Rang. Kalau karena kasihan, itu bukan cinta.”

        Rangga memainkan tali sepatunya. Ia duduk menghadap cendela kaca yang sangat lebar. Lagi. Bisma bicara soal cinta. Kalau sudah begini, kata-katanya seperti lirik lagu. Pantesan Om Panchunk sering nunjuk Bisma bikinin konsep lagu SMASH. Kata-katanya kayak Kahil Gibran.

        Hari pertama di Pontianak berakhir begitu saja. Rangga gagal bernegoisasi dengan kawannya. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah menyiapkan mental untuk menghadapi Andin. Tentang harus bagaimana jika dia bersikap nanti. Haruskah dia cuek dan pura-pura nggak kenal, atau menyapanya dan memeluknya seperti bapak-bapak yang udah lima tahun nggak ketemu anaknya, atau menabrakkan diri ke dinding lalu amnesia.

        “Loe mau kemana?” tegur Bisma melihat Rangga keluar dari kamar. Biasanya setelah menempuh perjalanan jauh, dia akan tidur.

        “Bunuh diri...” jawab Rangga singkat, cuek, dan dingin.

        “Nitip salam buat malaikatnya, ya!” teriak Bisma.

        BRAKKK!

        Rangga berjalan menyisiri lorong hotel. Candaan Bisma malah membuatnya semakin jengkel. Nitip salam buat malaikat, dia pikir malaikat ngerti bahasa Indonesia?

        Rangga membelokkan langkahnya ke dalam lift. Dicky bilang, ada kolam air besar di belakang hotel. Ada air terjun buatan di sebelahnya dan kebun anggrek yang mengelilinginya. Nuansa kental Pulau Tropis khas Borneo menjadi andalan hotel berbintang ini. Dia sendiri heran, Dicky selalu tahu seluk-beluk hotel yang akan dia datangi. Baginya, bekerja itu sama dengan rekreasi.

        Angin membelai Rangga begitu ia sampai di kolam. Sedikit bercampur serbuk sari bunga anggrek yang banyak ditanam di sana. Bentangan kolam air berwarna biru terhampar di depannya. Komplit, udara bercampur serbuk sari bunga anggrek dan sedikit uap air. Segar.

        Rangga menghampiri sebuah kursi di tepi kolam lalu duduk di atasnya. Matanya asik mengamati kucuran air terjun buatan. Dilambaikannya tangannya kepada seorang pelayan hotel. Benar, segelas minuman segar akan membuat semedinya lebih menenangkan.

        “Permisi...” sebuah suara menegur Rangga dari belakang. Ia tahu itu bukan pelayan, ia baru memesannya semenit lalu dan segelas Vanilla Delight nggak akan siap dalam waktu sesingkat itu. Mungkin bukan dia yang dipanggil.

        “Permisi, Om. Itu meja saya.”

        Rangga berdecak. Ada belasan meja kursi di tepi kolam ini dan itu semua kosong. Kenapa harus dia yang diganggu. Rangga menoleh dan siap menyantap orang di belakangnya dengan emosi. Kursi ini sudah saya dapatkan lebih dulu, silakan ke sebelah, banyak kursi kosong di sana!!

        Rangga menoleh ke belakang dan....

        Hening.

        Gemericik air mancur mengisi udara. Anggrek Hitam, puspa khas Pulau Kalimantan, bergoyang dimainkan angin. Selebihnya, sepi.

        Tak ada yang mengeluarkan suara. Tak ada gerakan sejengkalpun. Rangga menatap orang di belakangnya dengan mulut terbuka. Tubuhnya kaku. Jantungnya berdegub kencang.

        “ANDIN??!!” pekik Rangga dalam hati.

---------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 25

:D :D

1 komentar:

  1. Kak, cerbung ini kapan dilanjut? Kalo bisa besok pagi ya, abis sahur... (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus