6 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 13

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya.. ^___^
Tinggalkan jejak jika selesai membaca.

---------------------------------------------------


        Tanpa disadari oleh Rangga dan Andin, pegawai toko yang tengah menghitung belanjaannya itu melihatinya tanpa berkedip, “Mas! Mas ini artis bukan?” tanyanya kemudian.

        “Eh?”

        “Mas ini anak SMASH ‘kan?” tanyanya lagi.

        “Oalah, sampeyan ono-ono wae. Dudu lah, Mbak. Akeh emang sing bilang mirip. Tapi saya dudu anak SMASH. Saya iki Samsul, asal Mojokerto.”

        Kasir toko itu terkekeh malu. Buru-buru ia minta maaf, lalu menyilakan Rangga pergi setelah memberikan bungkusan belanjaannya.

        Beberapa langkah setelah keluar dari toko, Rangga langsung memasang kacamata dan topi yang baru saja dibelinya. Jantung berdegup kencang. Satu-satunya yang ia waspadai adalah jangan sampai fansnya menyerbunya di saat ia tanpa pengamanan seperti saat ini.

        “Loe bisa bahasa jawa?” tanya Andin. Ia memasang wajah keheranan di hadapan Rangga.

        “Waktu kecil gue sering bolak-balik Bandung-Malang.” Jawab Rangga pendek, “Buruan loe pakek kacamata dan topi lo, jangan sampai kita ketahuan sama orang.” Berkata demikian, Rangga lalu berjalan mendahului Andin menuju penginapan.

        “Heeeh! Samsul! Tunggu!!” goda Andin.

        Rangga menghentikan kakinya. Ia membalas Andin dengan tatapan tajam.

        “Samsul. Hahahahah! Cocok juga buat elo! Lumayan kampungan!”

        “Loe tuh yang kampungan!!” balas Rangga.


        *********

        Terik panas matahari memanggang seluruh isi Kota Jakarta. Panasnya membuat orang enggan beranjak dari dalam ruangan. Terkecuali buat Om Rully. Sedari tadi ia mati-matian ingin keluar dari ruangan ini dan mencari anak semata wayangnya. Tapi akal sehatnya menolaknya. Dia tidak akan bisa menemukan Rangga dengan selang infus di lengannya. Tekanan darahnya spontan naik karena terlalu memikirkan masalah yang menimpa Rangga.

        “Om, tidur, ya, Om....” bujuk Rafael. Sudah berjam-jam ia duduk di samping Om Rully.

        “Mana mungkin Om tidur di saat Rangga tak jelas keberadaannya seperti sekarang.” Tolak Om Rully. Di sudut ruangan yang lain, istrinya telah terlelap setelah berhari-hari kemarin menangis tanpa henti.

        “Rangga pasti baik-baik saja, Om...”

        “Kamu kira Om bodoh? Kamu bilang Rangga baik-baik saja padahal kamu juga tidak tahu apa-apa.” Balas Om Rully lirih.

        Rafael menghela nafas berat. Dia sudah kehabisan cara untuk menenangkan Om Rully. Dia hanya bisa duduk di sampingnya dan memastikan dia tidak melakukan hal yang tidak-tidak.

        Tiba-tiba pintu terbuka. Muncul Mas Pancunk dari balik pintu.

        “Ada kabar dari Rangga??” sergah Om Rully. Ia spontan berdiri dari duduknya. Tabung infus yang tergantung di sampingnya bergoyang.

        “Kami sudah berusaha keras, Pak.” Sahut seorang pria di belakang Mas Pancunk. Pria berseragam polisi itu mendekat ke depan Om Rully.

        “Saya sudah mengerahkan bawahan saya dan saya sebar di seluruh titik Pulau Bali. Sejauh ini belum ada kabar. Kesatuan saya sedang bekerja keras. Kita tunggu saja dengan doa.”

        Om Rully menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tangannya memijat pelipisnya. Jawaban yang sama tiap jam. Dasar tidak bisa diandalkan!

        “Mana gadis sialan itu?” kata Om Rully tiba-tiba. Ia berdiri dari duduknya sambil mengepalkan tangan. Buru-buru Rafael memegangi pundak Om Rully dan berusaha menenangkannya.

        Semua orang di ruangan itu tahu siapa yang dia maksud. Gadis yang mampu membuat seorang realistis menjadi gila, siapa lagi jika bukan Ola?

        “Gadis tidak tahu diuntung!!!” teriak Om Rully.

        “Om, tenang, Om!”

        Ilham, Dicky dan Bisma menundukkan kepala mendengar amukan Om Rully dari dalam ruangan. Terlebih lagi Ilham. Satu-satunya orang yang melindungi Ola dari semua masalah ini adalah Reza, kakaknya. Dia seperti ikut menanggung salah dengan semua kelakuan Reza.

        “Sampai saat ini media masih menganggap kalau Rangga berkali-kali tidak ikut show bareng SMASH dan sama sekali tidak memperbarui twitternya adalah karena ingin keluar dari SMASH. Mereka tidak tahu bahwa Rangga menghilang.” Ucap Mas Pancunk.

        “Sama aja. Ujung-ujungnya dampaknya ya ke kita.” Sahut Ilham.

        “Dari tadi mention gue penuh. Mereka pada nangis nanyain Rangga keluar beneran apa enggak.” Timpal Dicky.

        “Jangan jawab apapun.” Kata Mas Pancunk.

        “Terus sampai kapan kita diam begini?” protes Bisma.

        Seluruh orang di ruangan itu terdiam. Kalut dengan pikiran masing-masing.

        Sebuah panggilan masuk di handphone Bisma. Bisma beranjak keluar dari ruangan itu untuk mengangkat teleponnya.

        “Loe nggak syuting lagi, Bis?” tanya sebuah suara dari seberang sana.

        “Sorry, Angel. Gue belum bisa keluar dari manajemen. Keadaan sedang genting.”

        “Rangga masih belum ketemu ya?” tanya Angel, teman syuting Bisma.

        “Belum. Doakan saja.”

        “Iya...”

        “Salam buat sutradara.”

        “Iya...”

        “Ya sudah...”

        “Cepet ke sini, Bis. Gue kangen loe.”

        Angel menutup teleponnya. Menambah besar beban di pikiran Bisma. Di satu sisi ia ingin menjaga rapat-rapat masalah di manajemennya, tapi di sisi lain, ia juga harus keluar dari gedung ini untuk syutingnya. Tapi sama saja ia dengan menjemput masalah besar jika menginjakkan kaki dari sini. Ratusan wartawan akan menyerbunya.

        “Gue juga kangen loe, Angel.” Batin Bisma.

        ************

        Tik... tik... tik...

        Detik jarum jam mengisi keheningan salah satu ruangan di kantor manajemen. Dicky fokus memainkan game di smartphone-nya. Sementara Ilham duduk bertopang dagu tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Sudah sejak tiga hari kemarin dia dilarang keluar dari manajemen. Jika tidak di apartemen, dia pasti diperintah Mas Pancunk untuk berada di kantor manajemen.

        “Aku keluar, Mas.” Kata Bisma memecah keheningan.

        “Mau apa?” tanya Mas Pancunk. Matanya tak beralih dari majalah yang dia baca.

        “Mau nyari makan.”

        “Biar Dedi yang beli. Kamu di sini aja.” Tolak Mas Pancunk. Sekali lagi tugas keluar manajemen diserahkan pada kru.

        Bisma menghentakkan jemarinya. Menyebalkan!

        “Gimana kalau kita jujur saja sama publik?” sahut ilham tiba-tiba. Bisma, Dicky dan Mas Pancunk langsung mengarahkan perhatiannya pada Ilham.

        “Maksud kamu?” tanya Mas Pancunk.

        “Ya, kita jujur sama mereka. Bahwa Rangga sebenarnya hilang dari seminggu lalu, bukan keluar.” Jelas Ilham dengan nada naik satu oktaf. Nampak jelas kejengkelan di matanya atas semua masalah ini.

        “Jangan ngawur kamu.”

        “Dipikir logis saja, Mas. Kalau semua orang tahu bahwa Rangga menghilang di Bali, mereka akan membantu kita mencari keberadaan Rangga. Seratus polisi disebar di Bali itu nggak ada gunanya. Bali itu luas! Ditambah lagi smashblast itu kan banyak, mereka akan membantu kita!” tambah Ilham.

        Mas Pancunk berdecak. Kehabisan kata untuk menanggapi Ilham, “Ham, ini dunia nyata. Bukan film.” Timpal Mas Pancunk.

        Belum sempat Ilham mengeluarkan suara untuk membalas perkataan Mas Pancunk, tiba-tiba pintu ruangan dibuka oleh seseorang. Muncul seorang berseragam polisi. Dia menghampiri Mas Pancunk dan membisikkan sesuatu. Ilham, Dicky dan Bisma memperhatikan mereka dengan seksama.

        *********

        “Ben, ini gue Ipunk. Gue mau nanya, loe lihat temen gue nggak, Andin. Iya... iya... temen band gue. Iya, yang tomboy itu. Loe lihat nggak?.... iya? He’em..... iya,.... oh, ya udah.... iya.....”

        Pemuda berkepala plontos itu mematikan teleponnya. Wajah kecewa untuk yang ke sekian kalinya terpasang di wajahnya. Entah ini telepon yang keberapa, sudah berjam-jam ia menelepon semua temannya termasuk teman-teman Andin, tapi tak satupun dari mereka tahu dimana rimba Andin.

        “Busett!! Nyerah gue, Punk! Capek gue nyari Andin. Mana Jakarta lagi panas-panasnya lagi!!” sebuah suara muncul dari pintu. Ardhy menyapu mukanya yang dibanjiri keringat dengan lengan bajunya. Sejak pagi tadi dia telah berkeliling Jakarta mencari Andin.

        “Udah loe cari di rumah Erna?” tanya Ipunk.

        “Udah!!”

        “Shanti?”

        “Udah!! Udah semua! Loe kagak percaya amat sih? Erna, Shanti, Lina, Mona, sampe mantan-mantannya semua gue datengin. Mereka semua bilang nggak tahu!!” jawab Ardhy. Ia lalu menenggak minuman dingin di tangannya.

        “Erwin? Ada kabar dari dia?” tanya Ipunk lagi.

        “Dia sekarang di Tangerang, di rumahnya neneknya Andin. Dia BBM gue, katanya juga nggak ada! Sebelum berangkat tadi dia ditangisin sama nyokapnya Andin, nangis-nangis nanyain Andin dimana. Ya mana kita tahu! Sialan tuh cewek satu, ngilang kemana sih? Handphone juga nggak aktif!” gerutu Ardhy.

        Ipunk menghempaskan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya nampak serius memikirkan sesuatu.

        “Apa tuh cewek beneran di hutan, ya?” gumam Ardhy.

        “Hah?”

        “Ya, sebelum break dulu, Andin bilang mau ngilang ke hutan. Gue jadi kepikiran, jangan-jangan dia di hutan beneran. Apa dia di Kalimantan ya sekarang?!”

        “Ngaco loe!!” balas Ipunk.

        “Gue takut ada apa-apa sama Andin. Setomboy-tomboynya Andin, gimanapun juga dia itu cewek kan?” tambah Ardhy.

        “Daripada loe ngelantur, mending loe sekarang bantu gue nyari alasan lagi buat nolak tawaran manggung di Surabaya besok. Masa iya kita bilang Andin sakit lagi?”

        “Tuhan!!! Nolak manggung lagi, rejeki gue kabur....”

        Ipunk meremas pelipisnya. Satu-satunya orang yang biasa ia andalkan jika bandnya dalam masalah seperti saat ini adalah Andin. Sifat tomboynya terkadang berkamuflase menjadi sifat tegas dan pintar memutuskan jalan keluar. Tapi dia justru menghilang, rasanya masalah kecil menjadi runyam.

        Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Ipunk dan Ardhy saling pandang.

        “Loe pesen pizza?” tanya Ardhy.

        “Nggak! Erwin kali...” jawab Ipunk.

        “Mana mungkin. Sini-Tangerang jauh kali.” Ardhy lalu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Begitu pintu studio dibuka, muncul cowok berkemeja rapi dengan rambut cepak. Hendy, mantan Andin.

        “Ngapain loe ke sini?” tanya Ardhy.

        “Kata Tante Melly, udah seminggu Andin nggak pulang-pulang, jadi gue nyari dia.” kata Hendy.

        “Kita aja nyarinya keluar, loe malah nyari di mari, ya mana ada.”

        “Oh, begitu ya? Beneran nggak ada ya?” kata Hendy. Sedikit-sedikit matanya melirik ke dalam studio untuk memastikan.

        “Apa perlu loe masuk dan nyari di dalam?” tawar Ardhy jengkel.

        “Nggak. Kalo gitu, gue balik aja. Gue nyari di tempat lain.” Tolak Hendy. Ia lalu mengucap salam dan masuk ke dalam mobil.

        “Jujur, gue pengen nonjok tuh orang dari dulu.” Kata Ardhy sambil menutup pintu.

        Ipunk tersenyum simpul. Semua teman-teman bandnya memang jengkel dengan cowok satu itu. tapi tak satu orangpun berani berurusan dengan dia. Andin akan berada di barisan paling depan demi membela mantan yang paling dikasihinya itu.

        *********

        Rangga mengemasi semua barangnya ke dalam ranselnya. Dipakainya kacamata dan topinya dan memastikannya di depan kaca. Diputarnya kepalanya ke kanan dan ke kiri. Meyakinkan diri bahwa kamuflasenya sudah sempurna.

        Diraihnya handphonenya yang tengah ia charge di atas meja. Sesuai dugaannya, pesan BBM, SMS, mention hingga komentar IG memenuhi semua jejaring sosialnya. Seminggu bukan waktu yang sebentar bagi seseorang seperti dia untuk menghilang.

        “Rang, loe masih idup ‘kan?” teriak Andin dari luar kamarnya.

        Rangga tersenyum, “Nggak! Gue udah mati!” balas Rangga. Ia lalu keluar dari kamar dan siap-siap check out dari penginapan itu.

        “Ayo ke bandara sekarang!!” sambut Andin begitu Rangga muncul dari balik pintu.

        “Sebelum itu kita ke Singaraja dulu!” balas Rangga singkat.

        “Singa apa? Loe mau nemuin cewek itu? Loe udah janji ‘kan, Rang, mau mulangin gue dulu ke Jakarta baru setelah itu loe nyelesein masalah loe sama cewek loe.” Protes Andin.

        “Singaraja tuh deket dari sini. Sejalur sama Denpasar.” Jawab Rangga kemudian.

        “Loe mau naik apa ke Singaraja? Jalan kaki?”

        “Gue udah nyewa mobil!”

        Andin mendengus, “Loe punya waktu buat ke Singaraja dan nemuin cewek loe. Tapi kenapa loe nggak punya waktu buat nganterin gue ke mall dan nyari celana jeans dan T-shirt buat gue?”

        Sedikitpun Rangga tidak menoleh dan tetap berjalan lurus ke depan.

        “Rangga! loe denger gue nggak?!! Ranggaaaa!!”

        Andin menjambak rambutnya. Kesal dan jengkel. Dia berdiri dengan penuh kengerian. Sedikitpun hatinya masih belum ikhlas untuk mengenakan long dress dengan motif bunga-bunga yang baru saja dibelikan Rangga.

        “Liat aja kalo udah di Jakarta, bakal gue lempar tuh cowok dari Monas!”

------------------------------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 14

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar