4 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 29

Cerbung Rangga SMASH
Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Detik-detik perjuangan Rangga kembali mendapatkan Andin...

-------------------------------------

        “Kita harus bicara!!” sergah Rangga.

        Andin menghempaskan tangan Rangga, “Ok, silakan!”

        “Nggak di sini!!”

        “Di sini! Di sana! Nggak ada bedanya! Ngomong ya ngomong aja!!” bentak Andin.

        “Ikut gue!!”

        “Enggak!!” sekali lagi Andin menghempaskan tangannya dari genggaman Rangga.

        “Andin!!” Rangga meninggikan suaranya.

        “Nggak usah ngatur-ngatur gue!! Loe siapa, ha?!!”

        “Ngapain loe tadi bilang kita putus di depan wartawan?!”

        Andin tersenyum masam. Hampir saja dia tertawa terbahak-bahak, “Loh? Emang iya kan?! Kita udah putus dari dua minggu lalu!! Loe lupa? Lagian, emangnya kita pernah pacaran??”

        Eh?

        “Gue ngerasa nggak pernah sekalipun gue pacaran sama loe! Loe dan gue pacaran cuman di acara gosip!! Lalu dibawa-bawa ke konser! Kenyataannya? Loe punya cewek lain!!”

        “Ndin! Loe harus dengerin gue! Gue udah nggak ada apa-apa dengan Ola...!”

        “Bullshit!!!”

        “Gue udah putus dengan Ola dan....”

        “BULLSHITT!!!”

        “Loe dengerin gue!!”

        “Loe yang dengerin gue!! Berengsek!!” Andin mendorong tubuh Rangga ke belakang, “Putus sama Ola? Udah lima kali loe bilang itu!! Sejak di Singaraja loe bilang loe putus sama Ola! Tapi apa buktinya?! Omong kosong! Loe tuh banyak omong, ngerti loe?!!”

        “Ndin! Loe harus percaya gue kali ini....”

        “CUKUP!!!”


        Saat Rangga hendak mengeluarkan suara, Andin melengos. Hanya vokal gamang yang keluar dari kerongkongannya. Andin membalikkan badan. Sepenuhnya membelakanginya. Dalam sekejap mata, Andin langsung berlari kencang meninggalkannya. Untuk kedua kalinya Rangga hanya mematung. Melihat punggung Andin dari kejauhan. Lalu sirnah saat ia menikung di pintu hotel.

        Dada Rangga kembang kempis. Jutaan kata yang akan ia ucapkan pada Andin menguap bersama nafasnya. Tak ada kesempatan. Bahkan Andin tidak memberinya ruang untuk bicara. Runyam. Andin benar-benar tidak menghiraukannya.

        “Aaaagh!!!” Rangga meremas pelipisnya. Sialan!!

        ************    

        Sore itu Pontianak berteman mendung. Hari tampak remang-remang padahal jam masih menunjukkan jam tiga sore. Langit seperti bertabur kapas. Hanya saja tak ada warna putih yang mencerahkan mata. Kapas di angkasa kali ini benar-benar abu-abu. Kelam.

        Kegiatan terakhir sebelum konser terlaksana esok. Semua personil melakukan fitting baju. Beberapa desainer ternama sudah disewa oleh Zeptaria untuk menangani outfit. Dengan wajah kosong, Rangga menurut saja saat kru menyuruhnya menjajal ini itu. Beberapa jas dia coba. Topi, kalung, sepatu, dan celana. Rangga pasrah.

        Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham melihat pemandangan itu dengan raut keheranan. Sedikit bercampur iba. Iya, iba. Rangga yang biasanya paling banyak komentar jika sudah menyangkut pakaian dan fashion, sekarang menjadi pendiam.

        Tak terkecuali dengan Andin. Meski tubuhnya menunjukkan gelagat yang biasa, tapi tersirat keterpaksaan di sana. Beberapa kali dia bercanda dengan kru yang menemaninya memilih pakaiannya, tapi tunanetra sekalipun tahu, itu kedok.

        “Segmen rainy stage akan dilangsungkan di paling akhir. Jadi nggak masalah kalo tersiram hujan buatan, itu akan menjadi twist of concert. Nanti semua personil akan berpakaian serba putih. Kemeja putih, celana putih, juga tshirt putih.” Jelas salah satu kru.

        “Jadi nanti gue pakek ini, ya?” kata Andin sembari membentangkan pakaian di tangannya.

        Kru berambut pendek itu mengangguk, “Kalau ini punya Rangga.  Pas nggak ya? Dicoba dulu, gih...” ucapnya pada Rangga.

        Rangga mendekat. Diraihnya kemeja berwarna putih tulang itu.

        “Mau ke kamar pas? Silakan, gue udahan kok....” kata Andin dengan senyum simpul.

        Rangga terdiam. Mengangguk. Lalu ia berjalan ke dalam kamar ganti.

        Hening. Suasana terasa mencekam. Ardhy, Erwin dan Ipunk menganga. Ketiganya berdiri di depan gantungan baju dengan bulu kuduk berdiri. Andin tersenyum pada Rangga? What the hell is going on?!!

        “Sumpah demi nenek gue yang lagi semedi di Gunung Kidul, gue lebih suka lihat Andin dan Rangga bertengkar dan saling menghina daripada baik-baikan kayak tadi!” bisik Erwin.

        Ardhy dan Ipunk mengangguk setuju. Andin tersenyum pada Rangga seperti saat dia tersenyum pada karyawan hotel, pada kru, dan pada sopir mobil. Andin menganggap Rangga seperti orang lain. Tamat sudah!

        Kegiatan malam itu dilanjutkan dengan makan malam bersama di sebuah rumah makan kuliner khas Pontianak. Bersama konseptor konser dan seluruh personil yang terlibat. Konser akan digelar esok sore. Setelah hari ini, kegiatan mereka hanyalah istirahat dan menyiapkan diri untuk konser.

        “Loe... beneran udahan sama Andin?” tanya Rafael di sela makannya. Ia merendahkan suaranya. Mungkin hanya Rangga yang bisa mendengarnya.

        Tapi Rangga tak menjawab apapun. Dia diam. Masih sama ketika tadi dia fitting baju, selalu diam.

        “Gue pernah lihat dia subuh-subuh keluar dari kamar loe saat loe kecelakaan dulu di Bali.” Lanjut Rafael.

        Rangga menoleh.

        “Dia nangis...”

        “Eh?”

        Rafael tak melanjutkan kalimatnya. Menunggu Rangga yang nampak berpikir keras. Menangis? Iya, benar tengah malam Andin mendatangi kamarnya. Dia bertengkar dan bercanda sepanjang malam. Andin melemparinya dengan Jeruk Mandarin. Beberapa menggelinding hingga membentur gips di kakinya. Rangga mengumpat. Tapi Andin malah kesenangan.

        Lalu, kenapa dia menangis?

        Otak Rangga memutar ulang kaset usang yang berisi kejadian di masa lalu. Saat ia dan Andin terdampar di pulau terpencil. Saat ia dan Andin berhasil menemukan Pak Sugimin. Saat Andin tiba-tiba pesimis dan ogah-ogahan kembali ke Bali padahal perahu jemputan akan datang esok hari. Saat Andin merengkuhnya di depan villa Reza di Singaraja. Saat Andin menemaninya semalam suntuk di rumah sakit di Jakarta untuk bermain monopoli. Dan.... saat Andin menunggunya selama empat jam di sebuah cafe.

        Benar! Semua kesediaan itu! semua gelagat itu! Kenapa dia buta selama ini?! Andin telah memiliki rasa padanya sejak ia terdampar di pulau kecil itu sebulan lalu!

        Dan terakhir, saat ia tiba-tiba menemukan sekotak nasi goreng di tas ranselnya. Kru telah bilang bahwa hari itu makan pagi akan terlambat. Andin diam-diam memasukkan nasi goreng ke ranselnya. Iya! Karena Andin tahu, dia memiliki mag.

        “Andin mana?” gumam Rangga tiba-tiba. Matanya menyapu seluruh wajah yang duduk di meja di depannya.

        Nihil! Tak ada Andin di sana. Rangga bangkit. Dengan tergesa-gesa dia berjalan ke arah Erwin, Ardhy dan Ipunk yang duduk di samping cendela.

        “Andin mana?” tanya Rangga.

        Ketiga cowok di depannya itu menatapnya kaget. Tak ada satupun dari mereka yang menjawab. Erwin, Ardhy dan Ipunk menelisik ke dalam bola mata Rangga. Meneliti dan mengamati maksud yang tersembunyi di sana.

        “Andin udah balik ke hotel dari jam lima tadi..” ucap Ardhy akhirnya.

        “Hah? Sendiri?”

        “Enggak, sama Hendy?” sahut Ipunk.

        “Siapa?”

        “Mantannya Andin...”

        Mantan?

        Ardhy menelengkan matanya. Mengisyaratkan Rangga untuk segera bergegas ke hotel.

        “Good luck....” gumam Erwin sepeninggal Rangga. Tak tahu mengapa. Jujur saja, sejak lama dia sudah membenci boyband. Apalagi setelah tahu Andin kepergok bersama dengan Rangga di Bali. Dia dan kedua kawannya mati-matian mencibir Rangga. Tapi entah dengan sekarang. Rangga menjelma menjadi teman baik. Berkali-kali tinjunya pernah melayang ke wajah Rangga. Lalu persepsinya berpindah. Bersama Rangga lah Andin kembali ke dirinya yang sebenarnya. Bukan yang sok manis seperti ketika ia bersama Hendy saat ini.

        Langit mendung di angkasa semakin menjadi-jadi. Gemuruh petir beberapa kali meraung. Tapi hujan tak kunjung menetes. Hanya mengisi kesunyian gulita. Iya, suara guntur yang ingin menguasai malam.

        “Kamu yakin nggak mau makan?” tanya Hendy sambil memainkan jemarinya di dagu Andin.

        “Enggak, aku nggak lapar...” Andin menggeleng. Menggeleng melebihi kewajaran. Dia berusaha berkelit dari tangan Hendy yang sejak tadi tak berhenti meraba wajahnya.

        “Tapi tadi kamu Cuma makan pastry.” Bujuk Hendy lagi.

        “Aku lagi nggak selera.” Andin berdiri dari duduknya. Matanya menerawang tepi kolam yang bermandikan lampu oranye, “Aku balik ke kamar aja. Kayaknya mau hujan.”

        “Kok buru-buru? Nggak bakal hujan kok~...” Hendy meraih lengan Andin lalu menempelkan tubuh Andin ke tubuhnya. Dia mencoba memeluk Andin. Andin berkelit. Tangannya memutar mencoba menghindari pelukan Hendy selembut mungkin. Hendy tak menyerah. Sekali lagi tangannya mencengkeram lengan Andin dan menariknya ke tubuhnya. Andin melangkah mundur. Hendy mengikutinya. Hingga kemudian Andin terpojok di pinggiran kolam.

        Kali ini Andin melepaskan tangannya sedikit lebih kasar. Terjadi aksi saling tarik antara keduanya.

        Cringg!!!

        Gelang berbandul litontin mungil di tangan Andin terjatuh ke dalam kolam. Gelang berwarna putih keperakan itu terlempar begitu saja karena tarikan Hendy. Andin tertegun. Dia menatap dasar kolam yang dipenuhi batuan putih itu dengan pandangan bingung.

        “Aku akan beliin kamu yang baru dan lebih bagus...” pungkas Hendy.

        Andin menggigit bibirnya. Ketika ia akan membalas ucapan Hendy, tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang.

        Suara itu? Rangga?? Ada apa lagi dia ke sini?

        Buru-buru Andin melepas genggaman tangan Hendy dan menjauh tiga langkah darinya. Matanya menoleh pada Rangga yang berdiri lima meter darinya.

        “Gue harus ngomong sama loe!” ucap Rangga.

        Andin terdiam. Di sisinya yang lain, Hendy memandangnya sebal.

        “Gue minta maaf sama loe. Gue minta maaf!”

        “Rang! Udahlah....” Andin berusaha menghentikan Rangga.

        Rangga mendekat beberapa langkah, “Maaf gue nggak peka. Maaf gue terlalu bego! Gue buta! Gue nggak pernah ngerti loe! Gue terlalu sibuk sama urusan gue sendiri sampai nggak pernah merhatiin perasaan loe!”

        “Loe.... ini.... udahlah! Loe nggak capek? Kita udah selesai, Rang!”

        “Kalau loe nyuruh gue ngelupain Ola, gue akan lakuin sekarang juga! Kalau loe nyuruh gue membuang Ola dari hati dan otak gue, gue akan lakuin! Apapun! Please!”

        Kian lama Rangga kian dekat. Satu gapaian, tangan Andin bisa ia raih. Andin memundurkan langkahnya. Lalu ia menabrak Hendy yang berdiri di belakangnya. Hendy memajukan badannya. Direntangkannya tangannya seolah berusaha menyembunyikan Andin di belakangnya.

        “Minggir!” bentak Rangga.

        “Loe yang minggir!! Loe nggak denger Andin nggak mau ngomong sama loe?!” Hendy balas membentak.

        “Pergi, Rang!!” pinta Andin. Keadaan mulai memanas.

        “Gue cinta sama loe, Ndin!”

        “Loe cuman ngejadiin gue sebagai pelarian!!” balas Andin tak mau tahu.

        “Pelarian? Terus apa yang loe lakuin sekarang? Loe juga ngejadiin cowok ini sebagai perlarian, iya ‘kan?!”

        “Gue nggak cinta sama loe!!!” Andin menaikkan suaranya satu oktaf. Dia lalu membalikkan badannya. Masih dengan rangkulan Hendy di bahunya, Andin mulai berjalan meninggalkan Rangga.

        “Kalau loe nggak cinta sama gue, lalu kenapa kemaren diam-diam loe naruh bekal di tas gue?” teriak Rangga.

        Eh?

        “Loe tahu kalau gue punya mag, makanya loe bawain gue nasi goreng untuk sarapan! Gue tahu itu!”

        Andin menghentikan langkahnya. Separuh wajahnya menoleh ke arah Rangga yang berdiri lusuh di sana. Sinis, “Loe kepedean banget ya jadi orang.” Andin tersenyum masam, “Dengar! Tadi gue ngejatuhin gelang gue di kolam itu. Gue tunggu sampe besok! Kalau loe berhasil nemuin gelang itu, gue mau dengerin loe!”

        Rangga melirik kolam air terjun buatan di sebelah kanannya. Dahinya berkerut. Memandang kolam sedalam satu setengah meter itu dengan tatapan putus asa.

        “Loe ngerti kan sekarang? Mustahil!! Kita udah selesai, Rang! Gue dan loe udah bukan siapa-siapa.”

        Rangga tercengang.

        “Masuklah ke kamar! Udah malam...” berkata demikian, Andin kembali berjalan meninggalkan Rangga. Sekilas Hendy melempar tatapan nyinyir ke arah Rangga.

        Gemuruh petir makin menjadi-jadi. Meraung-raung bak ledakan meriam.  Lalu langit menumpahkan isinya. Tetes hujan berjatuhan. Sangat deras. Petir menyambar-nyambar. Kilat mengerjap seperti cahaya kamera. Membuat langit benderang untuk sesaat.

        Setelah melepas kepergian Hendy, Andin mengunci pintu kamarnya. Ia bersandar pada daun pintu. Gemuruh petir beriringan dengan detak jantungnya yang menggila.

        Sudah berakhir. Sudah usai. Apapun yang pernah ia alami bersama Rangga di masa lalu, tak lebih dari takdir yang lewat.

        Bulir air mata menganaksungai di pipi Andin. Bibirnya bergetar. Andin terisak. Lututnya lunglai. Ia lalu merosot, jatuh terduduk di kamarnya. Lelah berpura-pura kuat di depan Rangga. Setiap kata yang ia katakan dengan tegas, sejatinya menyimpan setetes air mata di hatinya. Ia sesenggukan. Kian lama kian keras. Beradu dengan deru hujan dari langit.

-----------------------------

BERSAMBUNG KE PART 30

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar