Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
Awal 2015! Happy New Year All!! ini kadonya buat tahun baruan! Happy Reading!!
-------------------------
“Gue pengen
ketemu sama Pak Hartono.”
Rafael terhenyak. Pak Hartono? Ada apa
Rangga tiba-tiba ingin bertemu dengan komisaris polisi yang menyelidiki kasus
penyerangannya dulu?
“Loe bilang loe
pengen angkat tangan...”
Rangga terpekur.
Itu dulu! Dulu ketika ia pikir kasus penyerangannya di studio syuting itu
adalah tindakan orang iseng. Menjadi takut ketika Om Budy bilang orang yang
menyerang itu adalah suruhan Bunawar. Ia ingin lepas tangan. Ingin melupakan
semua dan kembali hidup normal. Tapi setelah kejadian hari ini...
“Orang yang
nyerang gue, yang pengen menyilet wajah gue di studio dulu, yang hampir nembak
gue pas kita nyari Andin, hari ini.... muncul lagi...”
“Dia?”
Rangga
mengangguk, “Dia ada di bangku penonton pas kita syuting tadi malam.”
“Jadi karena itu loe menghilang?
Loe ngejar dia?”
Rangga diam.
“Buset! Gila, loe, Ngga!! Loe
nggak mikir ujung-ujungnya bakal kek gimana? Gimana kalo tuh orang bawa
senjata? Bisa mampus loe!!”
“Kalo dia bawa senjata, mestinya
dia langsung nyerang gue pas gue ada di dekat dia di studio. Bisa aja dia
manfaatin kerumunan orang sebagai kamuflase. Tapi dia nggak ngelakuin itu!”
“...........”
“Ketika gue ngejar dia, dia malah
lari. Dia udah bikin gue jatuh dari tangga dan pingsan. Tapi gue nggak
kenapa-kenapa. Dia malah ninggalin gue gitu aja. Aneh, ngerti kan?!”
Rafael menghela nafas, “Terus loe
ngapain pengen ketemu Pak Hartono?”
“Dia... yang memimpin penyelidikan
kasus penyerangan gue, iya kan?”
“Om Panchunk nggak bakal ngijinin
loe ketemu dia.”
“Ha?”
“Soal penangkapan Tomy Huang aja
manajemen hanya ngijinin polisi interogasi kita cuman sehari. Padahal mestinya
kita jadi saksi sampe kasus itu selesai. Manajemen nggak bakal ngijinin kita
berurusan lagi sama polisi. Gawat kalo sampe ada media yang tahu.”
Rangga diam.
“Udah loe jangan kebanyakan
tingkah. Om Panchunk udah emosi gara-gara loe. Manajemen terpaksa ganti rugi
gara-gara pakaian yang loe pakek kena darah.”
Siapa suruh nyewa baju ke
desainer, gerutu Rangga dalam hati. Koleksi baju SMASH aja udah segudang,
ngapain nyewa-nyewa lagi.
“Gue harus cabut...” ucap Rafael
sambil berdiri.
“Kemana?”
“Ada urusan sebentar.”
“Jangan!”
“Apanya yang jangan?”
“Gue sama siapa di sini?”
“Kalo loe butuh apa-apa, bangunin
aja mereka!” jawab Rafael sambil menuding Bisma dan Dicky.
Rangga memandang Rafael dengan
wajah nggak ikhlas. Menyerahkan dirinya pada Dicky dan Bisma? Bukannya tambah
sembuh, yang tuh kamar ntar berupa jadi lapangan sepak bola. Kayak nggak tahu
tingkah mereka aja.
“Ya udah, gue telponin Andin.”
“Eeet! Eeet! JANGAN!!” Rangga
mengibas-ngibaskan tangannya.
“Apa lagi?” Rafael mengurungkan
tangannya yang hendak merogoh ponselnya.
“Jangan pernah ngasih tau Andin
kalo gue masuk rumah sakit lagi!! Bisa kemana-mana ntar urusannya!!”
Rafael menatap Rangga.
Rangga balas menatap Rafael.
Dahinya berkerut heran. Ada apa? Kenapa tiba-tiba Rafael memasang wajah sok
lugu begitu?
“Maksud loe... loe udah ngasih
tahu Andin kalau....”
Rafael mengangguk. Ya iya lah dia
ngasih tahu Andin. Tuh cewek ikut-ikutan keliling nyari Rangga sampe larut
malam, masa iya dia nggak ngasih kabar kalo Rangga udah ditemuin?
Haduh! Gimana ini?! Rangga
gelagapan. Om Panchunk aja bisa menceramahinya sampe dua jam. Apalagi Andin
yang kelebayannya sepuluh kali lipat lebih parah dari Om Panchunk?!!
Rangga menengok ke jam yang
menggantung di dinding. Masih jam delapan pagi. Mending pura-pura tidur! Biar
nanti pas Andin datang, dia bisa selamat dari serangannya.
Rangga bersiap merebahkan
tubuhnya. Tapi kemudian urung. Dokter melarangnya tidur melentang. Ia
diharuskan tidur miring sampai punggungnya baikan. Dan sejak datang ke rumah
sakit, dia sudah berjam-jam tidur miring. Rasanya sekujur tubuh kram. Kalau
harus tidur miring lagi, dia nggak kuat. Kesiksa.
Terus mesti gimana sekarang? Apa
tidur sambil duduk aja?
Rangga seketika memejamkan
matanya. Mirip orang lagi kena hipnotis.
“Loe kenapa, sih?!!” tanya Rafael
nggak tahan.
“Cocoh siih....”
“Ngapa jadi gue?!”
“Ya loe ngapain cerita ke Andin
kalo gue masuk rumah sakit?!! Berabe kan urusannya!!”
“Heh, Sotong!! Cewek lu
bela-belain pulang larut malam demi nyariin loe!! loe tiba-tiba ngilang sari
studio sampe tengah malem!! Tas ditinggal! HP ditinggal! Siapa yang nggak
bingung?!! Makanya gue ngasih tau Andin kalo loe udah pulang, biar dia nggak
khawatir!!”
“Ya, loe nggak usah bilang pakek
masuk rumah sakit segala kan!? Bilang gue udah pulang, gitu aja...”
“Kenapa loe nggak bilang ke gue??”
“Mana sempet!! Assghr!!!
Asdfghjkl!!!”
“Bodo! Gue cabut!!”
“Coh!! Bantuin gue! seenggaknya
temenin gue sampe Andin...”
“Bye!!”
“Cooooohhhhhh!!!”
Pintu tertutup. Tinggal Rangga
ngejogrog di atas kasur. Speechless. Dia tak kuasa menghentikan Rafael untuk
dijadikan tameng. Rangga balik melirik Dicky dan Bisma yang masih molor.
Boro-boro ngejadiin mereka berdua tempat berlindung, yang malah mereka tambah
ngompor-ngomporin ntar.
Rangga menjulurkan kakinya ke
lantai. Ia berdiri dari tempat tidurnya. Ia mengendap-endap keluar dari kamar
pelan-pelan. Jalan keluar kedua yang ia ambil, kabur dari dalam kamar.
Suasana rumah sakit begitu
lengang. Hampir nggak ada orang, kecuali perawat yang kebetulan lewat. Rangga
membaca papan nama yang tertempel di dinding.
“Lantai 20, Blok Cendana.”
Fix. Pantesan sepi. Ini mah blok
kamar VVIP.
Sambil menjaga ketegapan
punggungnya, Rangga berjalan menyusuri lorong. Kepalanya celingak-celinguk.
Tiap menemui sebuah lorong, Rangga berhenti. Dalam hati menimang-nimang. Belok
apa enggak?
Putus asa. Sepanjang mata
memandang, hanya nampak lorong panjang dan pintu kamar pasien yang tertutup
rapat. Ini rumah sakit apa hotel sih?
Rangga melongokkan kepalanya ke
cendela kaca. Matanya menerawang pemadangan di luar. Komplek rumah sakit
terlihat sangat jelas dari situ. Genting-genting bangunan rumah sakit di
komplek halaman belakang terlihat seperti pondok kecil. Lorong-lorong panjang
menghubungkannya dengan bangunan utama. Di sekelilingnya, taman hijau
terhampar. Beberapa tanaman perdu menyembul. Bunga Bugenville memberi titik
warna-warni di tengah bentangan rumput hijau segar. Ada kursi taman yang
sengaja dipasang. Dua-tiga orang pasien nampak bersantai di sana.
Rangga tersenyum simpul. Tanpa
banyak berpikir, ia langsung melesat ke dalam lift. Ditekannya lantai satu.
Jujur saja, matanya seketika segar setelah melihat taman rumah sakit yang
didesain apik. Berjam-jam berada di kamar lumayan membuatnya setengah depresi.
Ditambah lagi ada Dicky dan Bisma.
Sampai di lantai dasar, Rangga
langsung menuju ke halaman belakang rumah sakit. Balutan seragam pasien yang
menutup tubuhnya membuatnya tampak melebur dengan pasien-pasien lain. Rangga
tak canggung-canggung mengambil duduk di kursi di tengah taman. Sengaja dia
mengambil yang dekat kolam agar sesekali bisa mainan air.
Seorang kakek tua duduk tak jauh
dari Rangga. Rangga menganggukkan kepala ramah. Seorang pasien lewat di
depannya dengan kursi roda. Rangga juga menganggukkan kepala ramah. Sesama
pasien harus saling menyapa, batinnya. Hingga akhirnya, ada seorang pria
benar-benar menyapanya. Bahkan menyebut namanya lengkap.
“Rangga Moela? Rangga SMASH?”
Rangga menoleh. Ingin menyapa
balik. Tapi seketika senyumnya hilang. Laki-laki yang menyapanya dari belakang
tidak memakai seragam pasien. Pakaiannya rapi dengan sebuah kartu nama
tercantol di saku dadanya.
Pilar News?
Wartawan?
Mampus!!
“Rangga SMASH? Wah, benar
Rangga?!”
“..........”
“Fuuuul! Saiiifuuullll!! Sini!
Sini!” pria itu melambai-lambaikan tangannya ke temannya. Seorang pria dengan
seragam yang sama, juga dengan kartu nama di dadanya, datang dengan memondong
sebuah kamera HD.
MAMPUSSS!!! Batin Rangga.
Jantungnya berhenti berdetak. Badannya seketika membeku. Duduk di bangku taman
seperti orang mau interview kerja. Tegap dan kaku.
“Wah, Rangga? Beneran Rangga
SMASH? Wahhh! Apa kabar?” sapa orang yang bernama Saiful.
“Ahahaha!” Rangga tertawa. Entah
apa yang dia tertawakan. Otaknya mati-matian mencari cara untuk kabur.
Pura-pura pingsan? Pura-pura kena serangan jantung? Lari dengan kecepatan penuh
ke kamar?
“Sedang apa di sini?”
“Aaah... haha... ini.... apa ya...
Cuma bersantai aja...”
Bola mata Rangga beralih pada si
pria yang memegang kamera. Tangannya mulai menekan-nekan tombol. Habis deh!
Habis!! Bakalan mati dia kalo sampe gambarnya diambil!
“Tumben di rumah sakit?”
“....Nenek....”
“Nenek?”
“Iya! Iya nenek! Lagi sakit,
makanya aku jenguk beliau.”
“Oooh. Kok pakai baju pasien?”
Rangga melirik bajunya, “Ah! Ini!
Anu....”
“Anu?”
“Biar kembaran sama nenek.”
Seketika jawaban itu muncul dari bibir Rangga.
Dua orang wartawan di depan Rangga
bengong.
“Kembaran? Kembaran pakek baju
pasien?”
%#&K@#!!!!!
“Iya... anu, maksudnya...”
“RANGGAAA!!!!”
Rangga dan dua orang wartawan itu
menoleh ke arah sumber suara.
“Andin?!!!” pekik Rangga kaget.
“Kamu kok di sini?!! Dicariin
sutradara loooh!!!” teriak Andin sambil berjalan mendekat.
“Sutradara?”
“Iya! Kita harus lanjut ke adegan
selanjutnya!!”
“Adegan?”
Andin memonyongkan bibirnya. Bego
banget sih tuh cowok kok nggak ngerti-ngerti!
“Kita lagi syuting di sini!
Syuting sinetron! Iya, kan Rang? Iya kan? Yuk! Kita udah ditunggu pemain
lain!!”
Andin menyeret tangan Rangga. Keduanya
langsung kabur dari taman rumah sakit. Menyelinap ke dalam lift. Lalu kembali
ke dalam kamar. Secepat kilat meninggalkan dua wartawan yang masih
terbengong-bengong itu.
Selamat dari lubang singa, masuk
lubang buaya. Iya benar Rangga selamat dari serangan wartawan, namun sesi
berikutnya, giliran Andin yang mengacak-acak jantungnya.
“LOE MAU MATI, HA?!! MAU MATI?!!!”
“Gue tadi cuman main....”
“MAIN?!! LOE SEKARAT MASIH SEMPET
MAIN-MAIN?!! LOE PIKIR INI MALL??! GIMANA KALO TADI NGGAK ADA GUE??! HA?
GIMANA?!!”
“Tapi gue tadi.....”
“Loe tuh emang bebal!! Dari dulu nggak
berubah-berubah!! Nggak pernah mau dengerin orang!! Sakit bukannya istirahat,
malah keluyuran!!! Semalaman nggak ada kabar! Pergi dari studio nggak
bilang-bilang!! Loe punya otak nggak sih?!!”
“Ceritanya nggak begitu!!!”
“Nggak begitu gimana?!!! Loe
pulang tengah malam!! Luka loe berdarah lagi!! Padahal hampir sembuh!! Sekarang
lihat! Lihat!! Sakit lagi kan?!! Diperban lagi kan?!!”
“Aghrr!! Nggak usah pukul-pukul!!”
“Apa?!! Ha?!! Apa?!! Biar tau rasa
loe!!”
“Sakit bego!!”
Eh?
Andin menghentikan aksinya
meninju-ninju dada Rangga. Ia mengernyitkan dahinya. Sakit? Rangga kesakitan
pas ia meninju dadanya? Selama ini ia bercanda dengan memukuli Rangga nggak ada
masalah. Hanya punggungnya yang terluka.
Atau...
“Adoooh!!”
“Sini!!”
“Loe mau ngapain?!!”
“Udah sini!!!”
“Heh! Bego!! Ini lift!!”
Rangga berusaha menghentikan
tangan Andin yang ingin membuka kancing bajunya. Tapi Andin tetap bersihkukuh.
Dengan paksa ia membuka kancing baju Rangga. Begitu seragam pasien biru muda
itu tersingkap, Andin terhenyak.
Lebam? Ada warna kebiruan di sana.
Terlihat sangat jelas jika dibandingkan kulit Rangga yang sangat putih.
Pelan-pelan Andin meraba luka memar itu. Rangga tersentak kesakitan.
“Kenapa?”
---------------
BERSAMBUNG KE PART 26
---------------
BERSAMBUNG KE PART 26
Yeaaahhh udh dilanjut ^_^
BalasHapusYehhh.... ikutin terus ya ceritanya... :D
Hapuspasti kak!!!
Hapus