Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
-------------------------------
“Adoooh!!”
“Sini!!”
“Loe mau
ngapain?!!”
“Udah sini!!!”
“Heh! Bego!! Ini
lift!!”
Rangga berusaha
menghentikan tangan Andin yang ingin membuka kancing bajunya. Tapi Andin tetap
bersihkukuh. Dengan paksa ia membuka kancing baju Rangga. Begitu seragam pasien
biru muda itu tersingkap, Andin terhenyak.
Lebam? Ada warna
kebiruan di sana. Terlihat sangat jelas jika dibandingkan kulit Rangga yang
sangat putih. Pelan-pelan Andin meraba luka memar itu. Rangga tersentak
kesakitan.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Cuma memar biasa.
Gue jatuh dari tangga, makanya begini.”
Rangga menjawab sekenanya. Jatuh
dari tangga alasan yang cukup masuk akal. Daripada ia menjawab karena tendangan
Doni Sambara, urusannya akan tambah panjang.
Pintu lift terbuka. Rangga menarik
Andin keluar. Suasana terasa meredup. Andin tidak berkata sepatah katapun.
Wajahnya terlihat suram.
“Bukannya sembuh, loe malah tambah
parah...”
“Ndin...”
Andin melepas pegangan tangannya.
Langkahnya terhenti. Wajahnya menunduk dengan raut tak tentu.
“Maaf....”
“........”
“Ndin?” Rangga berusaha meraih
tangan Andin yang terlepas dari genggamannya.
Andin bergeming.
“Gue minta maaf...” Rangga
akhirnya bersuara, “Gue janji nggak bakal bikin loe khawatir lagi...”
Andin masih diam.
Rangga kehabisan cara. Jujur saja,
dia lebih milih Andin marah kayak singa daripada marahnya diem-dieman kayak
gini. Malah tiga kali lipat lebih serem.
“Andin... maafin gue...”
Rangga memegang dagu Andin.
Diangkatnya wajah Andin. Menatap matanya lekat-lekat.
“Udah jangan cemberut... Loe kayak
kudanil kalo manyun...” goda Rangga.
“Kampret!” balas Andin.
Rangga memegang tangan Andin.
Dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Mending begini, Andin mulai mau bicara.
“Sekali lagi loe ngilang, gue
borgol loe di tiang listrik!”
Sampai di dalam kamar, Om Panchunk
telah berdiri di tengah ruangan. Tangannya berkacak pinggang. Ia menoleh ke
arah Rangga dan Andin.
“Dari mana?!!” tanya Om Panchunk
singkat.
Rangga belingsatan, “Ini... nggak
dari mana-mana, Cuma jemput Andin di lift.”
“Cepetan ganti baju! Kita pulang.”
“Hah?”
“Suruh Pak Manche ke depan rumah
sakit!” suruh Om Panchunk pada salah satu asistennya. Mengabaikan Rangga yang
masih mangap keheranan.
Ranjang tempat Rangga tidur juga
telah dirapikan. Tabung infus dan segala tetek bengek peralatan medis di sana
telah dibersihkan.
“Kenapa masih berdiri di sana?!!
Buruan ganti baju!” sergah Om Panchunk melihat Rangga yang masih ngejogrok di
depan pintu.
“Emangnya dokter udah ngebolehin
pulang?” balas Rangga.
“Nggak pulang ke rumah, tapi
pulang ke Dharma Husada. Rawat inapmu di sana belum selesai. Masih nyewa.”
“Dicabut kan bisa.”
“Om terlanjur bayar
administrasinya dulu! Udah balik sekarang. Ganti baju! Nyewa kamar rumah sakit
banyak amat, kamu pikir ini hotel?!”
“Sana ganti...” ucap Andin sambil
menyenggol siku Rangga.
Rangga menurut. Dengan wajah nggak
ikhlas, dia meraih bajunya yang telah disiapkan di atas ranjang.
“Lima menit! Jangan lama-lama!”
tandas Om Panchunk sambil menutup pintu.
Rangga mendengus, “Dasar PMS....”
“Loe kenapa sih?!” tanya Andin. Nggak
ikhlas banget Rangga diajak check out dari rumah sakit.
“Lagian ribet amat! tinggal cabut
aja kan gampang!”
“Ya loe diajak check out susah
amat. Barang loe udah diberesin. Udah dimasukin bagasi. Loe cuman tinggal ganti
baju aja, terus masuk ke mobil!”
“Gue lebih suka di sini, Ndin!
Rumah sakitnya keren!! Ada tamannya! Ada air mancurnya!! Nah di sana? Kagak ada
apa-apanya! Ngebosenin!!”
Andin melongo mendengar penuturan
Rangga. Sebenernya tuh cowok isi otaknya apa sih?? Dia pikir nginep di rumah
sakit kayak liburan di hotel? Bisa milih mana yang ada air mancurnya dan mana yang
enggak?
“Gue yakin, pas loe jatuh dari
tangga, otak loe ngebentur lantai keras banget.” Gumam Andin.
“Apa?”
“Nggak ada apa-apa.”
“Loe ngomong apa tadi?!”
“Nggak ngomong apa-apa! Udah
buruan ganti baju!!”
Andin mendorong Rangga masuk ke
dalam kamar mandi.
Sambil menunggu Rangga, Andin
berkeliling kamar untuk mengusir kebosanan. Dia berani bersumpah, seperempat
jam nggak cukup buat Rangga untuk sekedar ganti baju. Rangga mah ganti baju
belibet. Ngaca sana, ngaca sini. Benerin rambut aja setahun.
Andin menempatkan tubuhnya di
sofa. Matanya menatap pemandangan di balik kaca. Padatnya Jakarta terlihat
jelas dari ketinggian itu. Pantesan Rangga kerasan di sini, view-nya keren
banget.
Andin menggeser duduknya.
Disandarkannya punggungnya. Terasa sebuah benda keras mengganjal. Andin
bangkit. Diambilnya benda hitam yang menyelip di sofa itu.
Handphone?
Andin menyalakannya. Setahunya
handphone Rangga berwarna putih. Lalu, handphone siapa? Begitu diaktifkan, foto
Eriska terpampang di sana. Andin mengernyitkan dahinya. Digeser-gesernya layar
handphone ke bawah. Itu akun sosial Eriska. Banyak foto-fotonya di sana.
BRAKKK!!!
Pintu kamar terbuka. Dicky berlari
masuk dengan nafas terengah-engah. Ia berhenti di bibir pintu saat melihat
Andin di dalam.
Dicky menatap Andin. Andin balas
memandangnya kaget. Sejenak suasana hening.
“A.... itu... handphone gue...”
Dicky bersuara.
“Oh! Ini?!! Oh!! Iya! Iya!!” Andin
tersadar. Ia berdiri dari duduknya.
Dicky berjalan masuk. Mendekat ke
depan Andin dengan terburu-buru. Diambilnya handpdhonenya yang ada di tangan
Andin. Dia mengucap terima kasih sekenanya. Pamitan, lalu keluar dari kamar.
Andin terkesima.
“Siapa?”
“Akh!!!” Andin tersentak kaget.
Tiba-tiba Rangga telah berdiri di sampingnya. “Loe jangan suka ngagetin orang
gitu kek!! Jantungan nih!!!” omel Andin.
“Gue nanya biasa aja! Loe tuh yang
ngelamun!!” Rangga balas ngomel. Lama-lama dia juga yang jantungan. Demen
banget Andin ngebentak orang.
“Tadi, Dicky... handphonenya ketinggalan,”
Rangga Cuma ber-oh mendengar
penuturan Andin. Ia berjalan ke ranjang. Diambilnya masker yang tergeletak di
sana. Satu paket dengan kacamata hitam yang sudah dipersiapkan Om Panchunk.
“Ayo....” ajak Rangga.
Digandengnya tangan Andin keluar dari kamar.
“Dicky sama Eriska.... mereka....
gimana?”
Rangga menghentikan langkahnya.
Heran dengan pertanyaan Andin.
“Kenapa loe tiba-tiba nanya gitu?
“Enggak, maksud gue...” Andin
tidak meneruskan kalimatnya. Jarinya membenarkan anak rambutnya yang menghelai
di dahinya, “Tadi, gue nggak sengaja buka HP Dicky. Ada foto Eriska. Ah, tidak.
Maksud gue, instagramnya Eriska...”
Rangga tersenyum.
“Jadi mereka berdua, sekarang
gimana? Pacaran?”
Rangga menggeleng.
“Eh?”
“Enggak..”
“Enggak?”
“He’em.. enggak...”
“Enggak gimana? Enggak pacaran
atau enggak tahu?”
“Nggak pacaran, Andin...”
“..........”
“Eriska pingsan pas tahu Dicky nglindungin
dia dari tusukan preman. Waktu itu kejadiannya lagi panik-paniknya. Semua orang
bingung ngurusin Dicky. Eriska dibawa masuk ke dalam studio sama kru. Setelah
itu, nggak ada yang tahu gimana ujungnya. Eriska tiba-tiba udah di Jogja.
Syuting film.”
“Terus, Dicky?”
“Dicky?” Rangga tersenyum, dia melanjutkan
langkahnya menuju lift, “Dicky... ya begitulah Dicky. Tetap seperti dulu. Dia
sama sekali nggak ngungkit-ngungkit Eriska setelah penyerangan itu. Gue juga
nggak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka berdua.”
Rangga menekan tombol lift.
Menunggu pintu lift terbuka dengan pikiran menerawang jauh. Dicky selalu
bergerak sendiri. Dari dulu begitu. Bahkan meskipun Eriska mengabaikannya,
Dicky ya tetap begitu. Hatinya buta.
“Buruan....” ucap Rangga begitu lift
terbuka.
“Ha?”
“Loe duluan...”
“Gue?”
“Loe duluan yang turun. Ntar kalo
ketemu wartawan di depan, bilang kayak tadi, barusan selesai syuting. Gue lewat
belakang.”
Andin mengangguk. Dia melangkahkan
kakinya ke dalam lift. Kadang dia lupa. Lupa dengan hal semacam ini. Kapan dia
harus berjalan di depan umum dengan tenang, dan kapan dia harus
sembunyi-sembunyi.
“Nanti gue telpon...” pungkas
Rangga sebelum pintu lift tertutup.
Seperempat jam kemudian Rangga
baru bisa turun dari rumah sakit. Om Panchunk telah menunggunya di dalam mobil.
Begitu Rangga masuk, mobil berjalan meninggalkan rumah sakit.
Suasana mobil sepi senyap selama
perjalanan. Om Panchunk sibuk berkutat dengan buku agenda di tangannya. Rangga
duduk bertopang dagu. Menerawang kosong ke jalanan.
“Om....”
“Hmmmm?” jawab Om Panchunk sambil
tetap melihati buku di tangannya.
“Kenapa kita nggak pulang ke rumah
aja?”
Om Panchunk menoleh.
Rangga salah tingkah, “Maksud aku,
kenapa aku nggak pulang ke apartemen aja? Aku udah baikan kan? Udah bisa jalan.
Kenapa malah pulang ke rumah sakit?”
“Kamu masih butuh pengawasan!!”
“Pengawasan apa lagi?” sergah
Rangga.
“Kalau kamu pulang ke apartemen,
kamu bakalan tambah parah!! Pasti nanti Dicky sama Bisma ngajak kamu keluyuran!
Kalau di rumah sakit kan kamu ada yang ngawasin!! Ada perawat, dokter, dan Om
akan sering-sering datang!”
Rangga memutar bola matanya. Ya
kenapa bukan Dicky, Bisma, Reza sama Ilham aja yang disuruh pindah dari
apartemen? Kenapa malah dia yang harus mengungsi di rumah sakit? Rese!
Suasana kembali hening, Rangga
sibuk menggerutu, sementara Om Panchunk sibuk mencorat-coret buku agendanya.
“Om....”
“Hmmmmm?”
“Nggak ada kabar dari polisi?”
Om Panchunk menutup bukunya. Dia
tertegun. Menoleh ke arah Rangga dengan wajah kaget.
Lagi-lagi Rangga salah tingkah,
“Maksud aku, kabar atau info apa gitu. Kan udah seminggu.”
“Kamu kenapa tiba-tiba nanya itu?”
“Cuma pengen tahu. Lagian ini udah
seminggu. Masa nggak ada perkembangan sama kasus itu? aku dengar, mereka mafia
human trafficing. Terus? habis itu gimana?”
Om Panchunk menghela nafas.
“Orang yang nyerang aku di lokasi
syuting dulu, yang kata Om dia adalah preman kampung yang mau ngerampok aku,
Aku ketemu dia pas nyariin Andin dulu Om! Dia anggota mafia itu!”
“Cukup...”
“Bukanya gitu! Kalau dia ternyata
anggota mafia, terus kenapa dia tiba-tiba nyerang aku?! Gang besar kayak mereka
nggak bakalan mau kalo ngerampok-ngerampok gini. Mereka maunya yang hasilnya
besar!! Kasus penyerangan aku itu pasti bukan penyerangan biasa, Om!! Pasti
ada...”
“CUKUP!!!”
Rangga mengatupkan bibirnya.
“Nggak bisa diam kamu?!” bentak Om
Panchunk.
“Om?!!”
“Om bilang cukup, Rangga! Jangan
pernah ungkit-ungkit lagi hal itu! polisi udah menutup kasus penyeranganmu!”
“Ditutup?”
“Dengar! Kamu nggak punya urusan
apa-apa dengan kasus itu! jangan pernah ikut campur! Kalau publik sampai tahu
hal ini, atau melihat polisi mendatangi kamu, bisa kacau urusannya! Manajemen
sudah mengatur kasus penyerangan kamu dulu sebagai kasus perampokan biasa.
Pelakunya adalah preman kampung. Palu sudah diketuk. Kasus sudah selesai!!”
Rangga mengerutkan dahinya tidak
percaya.
“Dan soal mafia human trafficing
itu, kalian nggak lebih dari saksi jalan. Kalian nggak sengaja bersalipan
dengan mobil Tomy Huang, kalian melihat wajah Tomy Huang, dan polisi
membutuhkan keterangan kalian. Udah! Rafael dan Bisma sudah mewakili proses
penyelidikan. Dan sekarang polisi tidak memiliki urusan apapun dengan kalian.”
“......Jadi, jangan pernah kamu
tanya-tanya lagi soal kasus itu. semuanya udah selesai! Kamu fokus saja sama
pekerjaan dan kesehatan kamu! Itu aja! Ngerti?”
Om Panchunk menatap tajam ke arah
Rangga. Memperingatkannya secara isyarat. Tak ada yang perlu ditanyakan. Dan
tak ada yang perlu dibahas lagi. Om Panchunk menyandarkan tubuhnya. Pura-pura
sibuk dengan buku agendanya.
“Om sudah berkali-kali dipanggil
manajemen karena kalian. Ditambah lagi pemberitaan media sekarang sedang nggak
karu-karuan... Ck!”
Rangga memalingkan wajahnya.
Memandangi lampu lalu lintas yang tak juga berganti warna. Media memberitakan
hal buruk, itu bukan salahnya kan?
****************
Angin malam berhembus. Aromanya bercampur dengan asap knalpot. Decit
mobil kadang terdengar sampai ke dalam rumah. Andin berlarian menuruni anak
tangga. Sampai di tengah dia berhenti. Dia naik lagi ke atas untuk mengambil
sesuatu. Setelah itu ia turun lagi melewati anak tangga. Baru tiga kali
menapakkan kaki, Andin kembali berbalik badan dan masuk lagi ke dalam kamarnya.
“Inget! Lokasinya di Cibinong!
Ntar ada Somad nyusulin loe di sana!”
“Iya! Iya! Gue tahu!! Udah loe
nggak usah cerewet! Gara-gara loe nih kunci mobil gue ketinggalan!! Gue nggak
bisa konsentrasi!!”
“Gimana gue nggak cerewet! Dulu ada
manggung di Cikeas, loe malah nyasar ke Cilacap! Loe tuh susah bedain nama
tempat!!”
“Siapa suruh ngasih nama depannya “ci”
semua! Gue kan jadi susah bedainnya!!”
“Heh bego!! Itu dari sononya
begitu! Loe aja yang o’on!!”
“Udah gue tutup telponnya! Gue mau
masuk ke mobil!!”
Andin menyentuh tombol end call
mesikpun Erwin belum ber-iya kepadanya. Baginya, Erwin seperti nyokap keduanya
yang tahan menceramahinya panjang lebar kayak emak-emak.
Andin menyalakan mesin mobil.
Dimundurkannya mobilnya beberapa meter. Ketika ia bersiap membelok ke gerbang
rumahnya, dilihatnya sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman rumah. Mobil
ayahnya!
Andin menginjak pedal rem. Dia
diam sejenak mengamati mobil di depannya. Ayahnya nampak turun dari mobil. Di
belakangnya, seorang laki-laki berperut buncit dengan setelan jas necis turun
dari kursi penumpang. Om Budy menggandeng ramah tamunya. Dituntunnya ke dalam
rumahnya sambil berbicara ramah.
Andin mendesis. Bukan hal baru.
Ayahnya membawa Bunawa ke rumahnya sudah berkali-kali sejak ia masih kecil.
Tapi entahlah dengan sekarang, dia merasa muak sampai ingin muntah. Kenapa
ayahnya seperti kerbau dicocok hidungnya di depan Bunawar? Apa-apa dituruti!
apa-apa diiyakan! Shit!
Genggaman tangan Andin di lingkar
kemudi semakin erat. Kencang seperti cengkeraman burung gagak. Andin mengubah
porsenelingnya. Dia lalu tancap gas meninggalkan rumahnya dengan pikiran tak
keruan.
Andin memacu mobilnya menuju
lokasi manggungnya. Jam menunjuk angka tujuh. Acara akan digelar dua jam lagi.
Ada waktu panjang baginya untuk menikmati perjalanan dan bersiap. Setidaknya
melupakan kebetannya akan papanya.
Andin menekan tombol on radio
mobilnya. Dentum musik langsung mengisi mobil. Andin mengetuk-ngetukkan
jarinya. Menikmati irama musik.
“Iya, itu tadi satu lagu dari Justin Timberlake. Nadia masih buka
kesempatan buat sobat Power Fm yang ingin request lagu...”
Lampu lalu lintas berubah warna
merah. Andin menghentikan mobilnya. Ia bersandar ke kursi mobil sambil
mengamati rambu.
“Segmen tadi kita udah menyimak bareng gosip dari si Kitty Woman,
Taylor Swift. Selanjutnya, ada berita hangat dari artis dalam negeri. Pastinya
sobat semua sudah nggak asing lagi dengan cowok satu ini, salah satu personil
SMASH, yang sekarang lagi.....”
Andin mengerutkan dahinya. Dia
menoleh pada radio di sampingnya. Andin menaikkan volume radionya. Matanya
lekat-lekat mengamati angka frekuensi radio yang muncul di sana.
“Pengamat musik Indonesia mengungkap alasan dibalik kedekatan Rangga
SMASH dengan Andin D’Uneven selama ini. Si doi kedapatan berpacaran dengan sang
vokalis demi mempertahankan popularitasnya di kancah musik.. Wow... sadis nih
ya beritanya... sang pengamat musik tersebut juga menambahkan kalau....”
“BULLSHIT!!!” umpat Andin.
“Belakangan Andin dan Rangga juga mulai jarang menunjukkan kemesraan di
depan publik.. ehem, ada apa nih ya? Ok, sobat Power Fm, jangan kemana-mana
dulu. Temukan jawabannya di segmen selanjutnya. Nadia akan baca dulu mention
yang udah masuk. Buat sobat yang pengen telpon ke sini silakan hubungi...”
Andin meraih handphonenya. Dengan
wajah garang ditekannya nomor angka yang disebutkan si penyiar radio. Andin
menatap lurus ke depan. Kupingnya panas. Tangannya menahan diri untuk nggak
banting setir ke stasiun radio itu berada.
“Halo..”
“Ya, Hallo! 102,1 Mz! Power Fm!
Dengan siapa dimana?”
Andin diam.
“Hallo?”
“Ah, iya, hallo...”
“Dengan siapa? Silakan sebutin
namanya...”
“Salma...”
“Ok, Salma. Mau request lagu apa?”
“Nggak!”
“Hah?”
“Aku nelpon Cuma mau nanya, tadi,
di berita yang loe baca, tuh pengamat musik siapa namanya?”
“Hah?”
---------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 27....
hahayyyy
Great!
BalasHapus