Title : Cewek Rockstar VS Cowok Boyband
Season : 2
Author : @ariek_andini (adm4)
Genre : Comedy - Romantic
Main Cast : Rangga, Andin, Dicky, Eriska Rein
-------------------------------
“Saya koma?!!!”
ulang Rangga tidak percaya.
“Iya, koma.
Katanya juga, Anda patah tulang di bagian lengan.”
“Naudzubillah!!!
Amit-amit!! Yang ngomong gitu siapa?!!”
Pak Ikhsan
menggeleng, “Di laporan yang saya dapat begitu.”
“Yang bikin tuh
laporan siapa?!!”
Pak Ikhsan
menggeleng lagi, “Laporan ini? Ya dari bagian penyidik! Sudah disebar ke semua
bagian! Sudah diberikan pada jaksa umum juga!”
What the hell!!!
Rangga mengibas-ngibaskan
tangannya. Sekujur tubuhnya langsung gerah. Entah harus memasang wajah gimana.
Koma? Jadi semua orang selama ini percaya kalau dia koma dan dirawat di
Singapura?!! terus yang sekarang berdiri ini siapa?!! Setan?!
Pantesan selama ini Om Panchunk
mati-matian menyuruhnya diam di kamar rumah sakit. Sejak awal Om Panchunk tahu
lukanya sudah baikan. Tapi dia terus saja disekap di sana. Mereka ingin
menyembunyikannya dari pihak kepolisian. Mereka takut polisi membawanya terlalu
jauh. Mereka takut keterlibatannya dalam kasus kriminal diketahui publik.
“Anda sudah nggak koma?!” dengan
lugunya Pak Ikhsan bertanya.
“Iya!! Betul! Saya sudah nggak
koma! Kemarin saya pulang dari Singapura!!” sahut Rangga. Secara insting, jiwa
aktingnya muncul.
“Sudah sembuh?” Pak Ikhsan
bertanya keheranan.
“Itu... masih pusing!!” serta
merta Rangga memegangi dahinya. Berdirinya yang semula tegap, langsung diubah
miring-miring nggak jelas, “Saya nggak bisa ngelihat dengan jelas... masih
pusing... burem...”
Pak Ikhsan memegangi lengan
Rangga, “Sebaiknya Anda pulang saja! Anda masih belum pulih benar!!”
Pak Ikhsan menuntun Rangga ke
mobil. Tapi kemudian dia melepas tubuh Rangga. Wajahnya bingung.
“Aduh!! Saya malah memegang lengan
Anda!! Maaf! Maaf!! Sakit ya?!! Lengan mana yang patah?!”
Rangga nampak berpikir. Tapi
kemudian dengan sigap dia meremas lengan kirinya.
“Ouuh! Yang ini! Patahhh....”
“Maaf!! Maaf!! Kalo begitu, saya
memegangi punggung Anda saja!”
“JANGANN!!!” Rangga melompat
menjauh, “Jangan pegang punggung!!”
Pak Ikhsan bengong.
“Saya jalan sendiri saja! nggak
usah dipegang-pegang!!” omel Rangga.
Rangga berjalan miring.
Mewanti-wanti kalau tiba-tiba Pak Ikhsan memegang punggungnya. Yang ada dia
malah mirip kepiting.
“Anda baru sembuh sudah berani
nyetir sendiri. Anda ini terlalu ambil resiko! Mestinya Anda pakai sopir...”
kata Pak Ikhsan menasehati Rangga.
“Saya kangen sama mobil saya, jadi
saya ajak dia jalan-jalan..” Rangga beralasan.
“Saya senang sekali bisa bertemu
Anda. Padahal banyak yang ingin saya tanyakan seputar kasus itu. Tapi mungkin
lusa, saya akan membuat surat ijin dulu. Semoga Anda cepat sembuh...”
Rangga membelalakkan matanya. Dia
menoleh.
“Tanya-tanyanya sekarang saja!! Saya juga
punya banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda! Sekarang saja!” serobot
Rangga.
“Tapi Anda sedang sakit...”
“Saya sudah sembuh!!”
“Anda masih pusing kan!!”
“Sekarang udah enggak!!”
Rangga mati-matian membantah.
Sedetik yang lalu dia ingin terlepas dari Pak Ikhsan. Tapi kini ia tak ingin
meninggalkannya.
“Saya ingin bertanya banyak kepada
Anda tentang Doni Sambara!”
Pak Ikhsan memicingkan matanya, “Anda
kenal Doni Sambara?!”
*************
“Om tidak bisa menolak permintaan
Label. Mereka pengen kamu tetap ke Jepang. Semua akomodasi sudah disusun. Kamu
bahkan sudah dapat segmen sendiri di sana.”
“...........”
“Bisma?”
“Ommmmmm....................”
Bisma merengek dari balik telepon.
“Kamu nggak usah ogah-ogahan
gitu!! Ponakan Om yang udah TK aja nggak pernah ngerengek kayak kamu!!” Om
Panchunk balas ngomelin Bisma.
“Tapi ini Oktober, Ooommmmm....”
Om Panchunk menyandarkan
punggungnya ke kursi. Harus gimana ngadepin Bisma? Yang bilang ini bulan
Januari juga siapa? Nenek-nenek keriput juga tahu kali kalo ini bulan Oktober.
“Oktober itu mulai masuk musim
gugur di sana. Om tau sendiri kan gimana parahnya udara di sana kalo udah mau
musim dingin gini?”
“Nanti Om bawain minyak kayu putih
yang banyak...”
“Mana memmpaaannnnn, Oooommmm....
Masyaallah!!”
Bisma ngelus dada. Om Panchunk
pengen dia mandi minyak kayu putih tiap hari biar tetep anget selama musim
gugur gitu? Rese banget tuh om-om kalo ngasih nasehat.
“Kamu harus lawan donk alergi
kamu. Masa kamu mau kalah sama penyakit kamu sendiri? Kamu sendiri kan yang
bilang pengen ikut adu dance bareng komunitas dance-street di luar negeri?
Label udah ngabulin, malah kamu yang pengen batalin sendiri. Sayang
kaaannnn...”
Keluar deh licinnya. Om panchunk
emang nomor satu kalo udah soal bolak-balikin omongan. Ujung-ujungnya Bisma
Cuma diam manyun. Jempolnya udah gatel pengen mencet tombol end-call.
“Mr. Akai akan sampai besok pagi.
Jadi kamu jam 8 sudah harus udah di ruangan Om. Ngerti?! Ngerti enggak?!! Awas
kalo molor! Pasang alarm itu yang bener makanya!! Om akan suruh Rafael buat
bangunin kamu besok!!”
“Iya ngerti...”
“Nggak usah main game. Kalo sampe
langsung tidur! Sudah sampe apartemen sekarang? Tidur sana! Nggak usah nonton
bola!! Kalo diajak sama Reza jangan mau!! ngerti?!”
“Apartemen apaan?!! Ini aku masih
di studio!!”
“APA?!!!”
“Mana tadi katanya Pak Mance bakal
jemput jam 8??? Ini udah jam 10, Om....”
Om Panchunk kelabakan. Dia berdiri
dari kursinya. Berjalan ke pintu, lalu melongok ke luar. Entah siapa yang ia
cari.
“Tapi tadi Om sendiri yang nyuruh
Pak Mance buat jemput kamu!! Masa iya nyasar??”
“Tau... pulang ke rumah bininya
kali...” sambung Bisma bete. Ditelpon-telpon disuruh pulang, taunya jemputan
nggak datang-datang. Kalo besok telat, pasti dia yang dihabisin.
Om Panchunk berjalan cepat dari
ruangannya. Tiap melewati lorong, dia menoleh. Kali aja Pak Manche lagi
nongkrong di sana.
Sampai di halaman depan, Om
Panchunk berkacak pinggang. Tatap mataya menyapu semua sudut. Mobil Pak Manche
yang semestinya ia gunakan untuk menjemput Bisma sekarang, masih teronggok di
tempat semula.
“Ben! Beni!! Pak Manche kemana?”
Om Panchunk memanggil Beni, office
boy yang kebetulan piket malam, yang sedang sibuk minggir-minggirin pot bunga
di teras gedung.
“Wah, udah sejam lalu Pak
berangkat...”
“Nyusul Bisma?”
“Enggak tahu. Tadi motoran sama
Jambrong ke Cileduk...”
“CILEDUK??!”
“Ngambil mobilnya, Mas Rangga,
Pak. Katanya bannya kempes...”
“HAHH????”
Om Panchunk kaget setengah mati.
Ia melototi Beni, si OB yang nggak tau apa-apa, dengan muka garang.
Ngambil mobil Rangga? Di Cileduk?
Karena kempes?!! Tuh kecebong ngapain sampe Cileduk segala??!!! Perasaan baru
tadi sore ia mengizinkan Rangga bebas dari rumah sakit karena permohonan
Papanya Rangga. Dan sekarang? Hanya selang dua jam? Rangga sudah berada di
daerah Banten?!!
ALLAHU AKBARRR!!
**************
“Setiap warga negara asing yang
masuk ke Indonesia, diwajibkan memperbarui statusnya di kantor keimigrasian.
Terakhir Tomy Huang memperbarui status kenegaraannya, ini, tahun 2002, dua belas
tahun lalu...”
Pak Ikhsan menyodorkan sebuah
berkas ke hadapan Rangga. Dibukanya lembar demi lembar.
“Saya sudah menghubungi semua
kantor keimigrasian. Tomy Huang pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1997.
Setahun sebelum kerusuhan reformasi terjadi.”
Deru mobil dari jalanan terdengar
sayup-sayup. Merasuk ke dalam ruang kerja Pak Ikhsan di kantor kesatuannya.
Larut malam selalu terasa berbeda dibanding siang hari. Hanya ada beberapa
polisi saja yang kebetulan shift malam. Terlebih di ruang kerja seperti ini,
kesunyian semakin menjadi-jadi. Suara Pak Ikhsan yang lirih, terdengar menggema
dan kencang.
“Terlepas dari statusnya sebagai
gembong mafia penjualan manusia, Tomy Huang menjadi kunci penting di banyak
kasus.” Pak Ikhsan meneruskan penjelasannya, “Satu hal yang ingin saya kejar.
Yang selalu menjadi pintu semua kejadian kriminal di Indonesia. Yaitu,
bagaimana bisa Tomy Huang lepas dari pengawasan petugas keimigrasian selama
lebih dari 10 tahun. Dia bebas dari pajak dan berkeliaran di negara kita dengan
bebas.”
“Dia tinggal dimana?” sahut
Rangga.
“Tidak ada yang tahu! Tomy Huang
bungkam soal keadaan dan masa lalunya. Dia menjelaskan dengan jelas sistem
penjualan manusia yang dia pimpin. Dia bahkan mau membongkar penadahnya. Tapi
tidak dengan yang satu itu. Dimana dia tinggal selama di Indonesia, bagaimana
dia hidup dengan sembunyi-sembunyi, tidak ada yang tahu.”
Pak Ikhsan membuka laci mejanya.
Dia membuka sebuah map tebal. Begitu dibuka, nampak selembar foto polisi
berseragam lengkap.
“Namanya Zainal. Muhammad Zainal
Abidin. Baru setahun bertugas. Dia ditemukan sekarat di belakang gudang waktu
penyergapan di daerah Kalibaru dulu. Tenggorokannya dirobek dengan benda tajam.
Dia dilarikan ke rumah sakit, tapi terlambat.”
Rangga mengamati foto yang
ditunjukkan Pak Ikhsan. Entah harus bagaimana dia menanggapi.
“Itu bukti, bahwa ada beberapa
anak buah Tomy Huang yang berhasil kabur saat penyergapan. Mereka membunuh
polisi yang membawa mereka lalu lari entah kemana. Buronan. Berdasarkan olah
TKP, kira-kira ada tiga orang yang kabur.”
Pak Ikhsan ganti membuka map
lainnya. Dia melempar tiga lembar foto ke depan Rangga.
“Foto-foto itu sudah di sebar ke
semua kesatuan polisi di daerah. Yang pertama namanya Sumaryo. Kancrut dari
daerah Tuban. Dulu pernah terlibat pencurian dan pembunuhan toko emas.
Dipenjara 11 tahun. Bebas. Lalu tiba-tiba sekarang menjadi bawahan Tomy Huang.”
“Yang kedua namanya Kacong. Anak
baru. Belum diketahui nama aslinya. Dia sering ngikut Sumaryo kemana-mana.
Termasuk ngikutin saya dan meneror saya. Nah, itu yang ketiga....”
Rangga memilah foto terakhir. Foto
seorang pemuda kekar memakai baju tahanan. Wajah yang tidak asing lagi. Wajah
yang hampir menyayat wajahnya di studio berbulan-bulan lalu. Wajah yang ia
kejar ketika syuting dan membuatnya jatuh di tangga darurat.
“Doni Sambara. Begundal tangan
dingin. Total sudah empat orang polisi mati karena dia. Dia tidak segan-segan
menghabisi orang yang sudah ada di depannya. Bukan dengan memukul, menembak,
atau mencekik. Caranya sangat khas. Selalu menggunakan silet, cutter, atau
pisau lipat kecil. Ditancapkan langsung di tenggorokan, lalu dirobek.”
Hening. Rangga mengamati foto di
depannya dengan kaki membeku. Duduknya tak lagi nyaman. Desah nafasnya juga mulai
tidak teratur.
“Anda tahu dimana dia tinggal?”
Pak Ikhsan menggeleng. Di matanya,
pertanyaan Rangga terdengar sangat polos. Selalu menanyakan dimana tempat
tinggal seorang buronan. Jika dia tahu, buronan itu pasti sudah habis dari
dulu.
“Dia bisa muncul di mana saja.
Namanya sering berubah-ubah. Dia pernah menikahi perempuan bernama Dewi
Wahyuni. Pernikahannya hanya berjalan 3 bulan. Dia digugat cerai oleh istrinya
sendiri karena keterlibatannya dalam jual beli ganja.”
Pak Ikhsan beranjak dari duduknya.
Dia berjalan ke cendela. Mengintip keluar. Lalu menutup kembali tirai yang ia
sibak.
“Sebenarnya itu semua adalah
informasi terlarang bagi orang sipil seperti kamu. Bisa saja saya dikeluarkan
secara tidak terhormat karena hal yang saya lakukan sekarang.”
Pak Ikhsan menutup map tebal yang
memenuhi mejanya. Lembaran foto yang ia lempar begitu saja ke depan Rangga, ia
ambil kembali.
“Jadi....” Pak Ikhsan menarik
nafas panjang, “Soal pemilik Bona Pictures itu, kamu yakin?”
Rangga menggigit bibirnya. Terlalu
banyak fakta yang dia ketahui. Dia menjadi ruwet sendiri.
“Kalau benar Doni Sambara bekerja
untuk Bunawar, maka sementara bisa kita simpulkan, Bunawar dan Tomy Huang
secara tidak langsung memiliki hubungan.”
Pak Ikhsan membuat coret-coretan
di selembar kertas. Dia melingkari sebuah huruf, menariknya dengan anak panah.
Lalu membuat lingkaran yang lain di sebelahnya.
“Doni, menjadi penengah di antara
mereka berdua.Tomy Huang adalah tersangka utama mafia human trafficing, dan
Bunawar.....” Pak Ikhsan menarik garis panjang di atas kertas, “...pemilik
production house besar di Indonesia. Lalu Doni menyerang kamu di parkiran
studio syuting. Dannn....”
“Mungkinkah? Bunawar yang
menyembunyikan Tomy Huang selama dia menjadi imigran gelap di Indonesia?”
Eh?
Pak Ikhsan terhenyak oleh penuturan
Rangga. Bulpen di tangannya hampir terjatuh. Tapi kemudian dengan sigap dia
mencoret kertas di depannya. Membuat lingkaran besar di antara nama Bunawar dan
Tomy Huang.
“Tapi saya masih tidak mengerti,
hubungan menguntungkan apa yang terjadi antara bos besar production house...
dengan.... otak human trafficing... eh?!!”
Pak Ikhsan membelalakkan matanya.
Kali ini bulpennya benar-benar jatuh ke lantai. Pak Ikhsan menggebrak meja di
depannya.
“Benar juga!! Kenapa ini nggak
terpikirkan sama sekali?!! Human trafficing, semua yang diselundupkan oleh Tomy
Huang adalah gadis muda di bawah umur!!”
Pak Ikhsan tersenyum sumringah.
Terlukis kemenangan di wajahnya. Dia menepuk bahu Rangga bangga. Misteri yang
sudah membuatnya jungkir balik. Akhirnya terkuak, beberapa jam saja setelah
Rangga muncul di depannya.
Malam itu, Rangga menyudahi
kunjungan diam-diamnya ke markas Pak Ikhsan tepat jam 11 malam. Dua jam
berkutat dengan berkas dan permainan tebak-tebakan, membuat angin malam terasa
menyegarkan.
“Saya bisa menyuruh bawahan saya
buat ngantarin kamu pulang. Nggak perlu naik taksi begini...” ucap Pak Ikhsan.
Rangga hanya tertawa. Mana mungkin
dia jawab jujur. Dimana-mana, yang namanya naik mobil polisi ya mana enak. Mau
masuk komplek apartemen ntar pasti urusannya ruwet. Bisa-bisa dia dikira
tahanan polisi.
“Jujur saya masih kepikiran. Itu
tadi beneran nggak apa-apa mobilnya ditinggal? Kalo ada yang ngambil gimana?”
tanya Pak Ikhsan. Rangga mati-matian minta naik di mobilnya dan meninggalkan
mobilnya sendiri di daerah Cileduk.
“Tenang, Pak! Saya sudah telpon
sopir buat ngambil...”
Taksi pesanan Pak Ikhsan menjemput
Rangga tepat di depan halaman kantor polisi. Rangga menguap bolak-balik saat
berpamitan dengan Pak Ikhsan. Masuk ke dalam mobil lebih parah. Rangga langsung
tertidur pulas. Sejak pagi dia menuruti Andin buat fitting baju, kejar-kejaran
sama Pak Ikhsan, lalu ngejogrog di kantor polisi selama berjam-jam. Sekujur
tubuhnya rasanya pegal-pegal.
“Mas! Mas!”
Rangga kedip-kedip.
“Mas!! Bangun, Mas!! Udah
nyampe!!” panggil sang sopir taksi.
Rangga menegakkan tubuhnya.
Wajahnya kucel abis. Kesadarannya belum pulih benar. Dengan lemas Rangga
membuka pintu taksi. Begitu wajahnya berhadapan dengan pemndangan di luar, mata
Rangga langsung terbuka lebar.
“INI DIMANA?!!!”
Rangga memekik kaget. Bukannya
komplek apartemen, dia malah menjumpai komplek pabrik dengan cerobongnya yang
menjulang tinggi. Suasana sepi dan gelap. Bangunan-bangunan pabrik berjajar di
depan Rangga dengan seramnya.
“Katanya tadi ke Buana Indah. Ya
ini Buana Indah, Mas...” jawab si Sopir Taksi.
“Ha?” Rangga berdiri mematung.
Sejak kapan apartemennya digusur dan berubah jadi bangunan pabrik kek begini?
Bapak Sopir Taksi berkumis tebal
itu mengamati Rangga dari balik kemudi. Rangga masih menempel di mobilnya.
Keluar kagak, duduk di dalam juga kagak. Rangga seperti kesurupan melihat
pemandangan di luar sana.
“Ini bukan Buana Indah, Pak!!”
semprot Rangga.
“Bukan gimana? Itu tulisannya!!”
balas si Sopir Taksi.
Rangga menoleh pada arah yang
ditunjuk si sopir taksi. “Pabrik Tekstil
Buana Indah”. What the hell!!
“Saya tujuannya ke Apartemen Buana
Indah!! Bukan pabriknya!!”
Sopir Taksi itu bengong.
“Apartemen Buana Indah! Di daerah
Menteng!”
“Ooooh! Yang itu!! jadi bukan
pabriknya, ya?”
Rangga masuk kembali ke dalam
mobil. Gimana sih sopir taksi?! Masa iya dia pikir dia tidur di pabrik?
“Buana Indah group itu buka usaha
di banyak sektor. Ada usaha tekstil, yang tadi itu pabriknya, ada apartemen, ada
perhotelan, ada restoran juga. Buana Indah emang banyak dimana-mana.”
“Ooooohhh...”
Sang sopir taksi Cuma ber-oh mendengar
penjelasan Rangga. Membuat Rangga semakin dongkol. Abis deh dia muter-muter
Jakarta tengah malem. Kenapa nasibnya selalu buruk kalo udah naik taksi?!
Setengah jam kemudian Rangga baru
bener-bener nyampe di apartemennya. Kesadarannya sudah hampir habis. Jam berapa
sekarang, berapa lama dia disasarkan sopir taksi, Rangga sudah tidak ingat.
Dengan mata merem melek, Rangga membayar si sopir taksi lalu masuk ke dalam
apartemen.
Rangga berjalan dengan langkah
super pelan. Hanya beberapa lampu saja yang menyala di sepanjang lorong.
Suasana begitu temaram. Rangga was-was dengan jalan yang dia lewati. Rasa
kantuk sudah menggantung di pelupuk matanya. Pot bunga hampir dia tabrak.
Sampai di depan pintu apartemen,
Rangga membuka password pintu apartemennya dengan usaha setengah mati.
Tangannya sudah tidak bisa diajak kompromi. Disuruh mencet angka 6, yang
kepencet angka 5. Disuruh mencet tombol enter, yang kepencet malah angka nol.
“Aaaaaghhrrr!!! Nyari gara-gara,
ha?!! Haaaaaa???!!!”
Rangga meracau di depan pintu. Dia
menendang-nendang emosi. Dia ingin cepat-cepat masuk ke dalam lalu tidur!
Matanya sudah ngantuk tingkat akut!
Cklek!!
Tiba-tiba seseorang membuka pintu
dari dalam. Sesosok orang berkaos biru muncul. Rambutnya mowhack ke depan.
Pakai celana jeans. Tangannya berkacak pinggang.
Rangga mengerjapkan matanya. Hm?
Rafael? Tapi sejak kapan Rafael keriput gitu?
Eh? Keriput??
“OM PANCHUNNKKK?!!!” pekik Rangga
kaget. Seketika matanya terbuka lebar.
--------------------------
BERSAMBUNG KE PART 31
kak andin part 31 kpn dilanjutin lg ?
BalasHapusUdah seabad gak lanjut... =__=
BalasHapus