Rangga
menghentikan langkahnya. Matanya mengikuti jalan pria itu. Arah pria itu muncul
adalah ujung koridor. Rangga mengalihkan tatap matanya ke ujung lorong. Ujung
lorong, bukankah itu kamarnya?!!
Brakkk!!
“Kok loe di
sini?!!” pertanyaan Rafael menyambut Rangga begitu ia membuka pintu apartemen.
Nafas Rangga ngos-ngosan. Entah bagaimana caranya, dia berhasil membawa tasnya
sampai di depan pintu.
“Itu tadi
siapa?!!”
“Ha?” Rafael terbengong-bengong
mendengar pertanyaan Rangga.
“Itu yang tadi!!”
“Loe masuk aja dulu! Loe ngomong
nggaj jelas banget!! Tanya yang bener! Duduk dulu!!” perintah Rafael.
“Tadi... ada bapak-bapak pakek jaket
item, papasan sama gue di depan!”
“Ooh...” Rafael membuka kulkas, “Pak
Ikhsan...”
“Pak Ikhsan siapa??”
Rafael mengambil sebotol minuman
dingin, “Bawahannya Pak Hartono. Tadi bawa foto jam tangan ke sini, katanya
nemu di TKP. Dia nanya itu milik siapa.”
“Terus?”
“Ya gue jawab nggak tahu, lah.
Lagian jam tangannya juga jelek, gue yakin bukan punya loe, atau bisma, atau
anak-anak lain. Paling-paling punya orangnya Tomy Huang.”
“Polisi sering ke sini?!”
Rafael tersenyum, “Nggak....”
jawabnya singkat lalu melenggang ke kasur.
Rangga memicingkan matanya.
Diletakkannya tasnya di sofa. Dengan terburu-buru dia membuka laci lemarinya.
Diambilnya kunci mobilnya. Dan dalam sekejap mata, Rangga kembali menghilang
dari apartemen.
“Oh, iya, tadi malam anak-anak
beli pizza masih sisa. Loe kalo lapar ambil aja di kulkas.”
“.........”
“Rang?!”
“.........”
“Rangga?!!” Rafael bangkit dari
tidurnya. Dilihatnya Rangga telah lenyap dari apartemen.
****************
Interogasi cuman satu hari?
Manajemen sudah menutup kesaksian? Bullshit! Menghalangi polisi memecahkan
kasus sama saja dengan melindungi pelaku dan bisa terancam pidana! Bego banget
selama ini Rangga percaya perkataan Om Panchunk dan Rafael! Kasus itu belum
ditutup. Bahkan polisi masih melakukan penyelidikan dan menginterogasi
kawan-kawannya secara sembunyi-sembunyi.
Rangga melajukan mobilnya dengan
kecepatan penuh. Tiap ada celah, Rangga langsung menyalip. Matanya mencari-cari
mobil sedan berwarna abu-abu dengan bodi mobil dipenuhi sticker khas
kepolisian.
Langit bersemburat merah. Senja
mulai menjelang. Jalanan kota Jakarta padat merayap. Jika tak salah, ketika
papanya menurunkannya di depan apartemen tadi, sepintas Rangga melihat mobil
kepolisian. Bodohnya dia tidak mengingat plat nomornya. Saat itu otaknya sedang
dipenuhi ceramahan papanya yang udah menjelam menjadi Ustad Yusuf Mansyur.
Lampu lalu lintas berubah merah.
Rangga terjebak di antara tumpukan kendaraan. Kepala Rangga celingak-celinguk.
Tanpa sengaja dia melihat mobil polisi yang dia cari-cari. Buru-buru Rangga
membuka kaca mobilnya.
BRAVOO!!! Seru Rangga dalam hati.
Akhirnya ketemu juga. Dia harus berhasil bertemu dengan polisi itu dan
menanyakan semua pertanyaan yang memenuhi otaknya selama ini.
Lampu lalu lintas berubah hijau. Rangga
bersiap tancap gas. Maksud hati ingin menghampiri mobil sasarannya, tapi gagal.
Rangga malah terjebak arus mobil. Bodohnya ia meletakkan mobilnya di lajur
lurus. Sementara mobil polisi yang ia cari-cari berada di lajur belok ke kanan.
“MINGGIR WOOOY!! MINGGIRRR!!!”
Rangga berteriak-teriak dari dalam
mobil. Tiap ada mobil depannya, Rangga klakson dengan kencang. Dia berusaha
membelokkan mobilnya di tengah puluhan kendaraan yang memenuhi persimpangan
jalan.
“Punya mata kagak?!! Gue mau
belok!!”
“Loe yang nggak punya mata!!!”
balas seorang sopir taksi.
Rangga mendengus. Sekenanya
memutar kemudi, yang penting tancap gas. Sekian menit bergumul di tengah
persimpangan jalan, Rangga akhirnya bisa terbebas dan berada di lajur di mana
mobil polisi yang dia cari tadi berada.
Rangga menambah kecepatan
mobilnya. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil orang. Dalam hati dia
mengumpat, kampret tuh sopir taksi! Gara-gara dia Rangga kehilangan jejak.
Ngilang kemana lagi itu polisi?
Kian lama langit kian gelap. Sudah
ratusan meter Rangga menyusuri jalan, tapi mobil polisi yang ia cari tak
kunjung kelihatan. Apa belok? Apa berhenti di suatu tempat?
Di depan sebuah pom bensin,
pencarian Rangga bersua. Dilihatnya mobil sedan abu-abu itu berhenti di tepi
jalan. Begonya, Rangga malah kebablasan. Rangga menyadari mobil polisi itu
setelah melewatinya sekian meter.
Lagi-lagi Rangga membuat keributan. Dia
ngerem mendadak di tengah jalan. Beruntung mobil box di belakangnya langsung
berhenti. Rangga berusaha untuk putar balik.
“Udah bosen idup loe?!!” kali ini
bapak-bapak tukang ojek yang ngebentak Rangga.
“Tabrak kalo berani!!!” tantang
Rangga masa bodo.
Putar balik berhasil. Rangga
menyelinap ke lajur di sebelahnya. Ia kembali ke pom bensin di belakangnya.
Mobil polisi itu sudah di depan mata. Rangga bersiap menyeberang.
Tapi Rangga terlambat. Polisi
berjaket kulit itu baru saja kembali dari rumah makan dengan membawa sebungkus
keresek hitam.
“Paaaakkkkk!!!! Paaaakkkk!!!”
Rangga berteriak-teriak dari
seberang jalan. Ia berusaha mengalihkan perhatian Pak Ikhsan.
Nihil! Polisi berjaket hitam itu
dengan santainya masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobilnya ke arah
berlawanan.
“Kampret!! Budek amat tuh
bapak-bapak!!!”
Rangga mencari akal. Kali ini
dengan cara yang lebih cerdik. Rangga memanfaatkan lahan pom bensin untuk putar
balik. Mobilnya menelusup di antara kendaraan yang sedang antri isi bensin.
Petugas pom hampir saja dia serempet. Di luar semua kegilaanyya, Rangga cuman
memanggil-manggil nama Pak Ikhsan. Mirip emak-emak lagi nyariin anaknya yang
tersesat di mall.
Sesi pengejaran selanjutnya, kali
ini Rangga tidak akan melepaskan Pak Ikhsan. Tangannya erat mengenggam kemudi
mobil. Sorot matanya menyala-nyala. Mobil Pak Ikhsan terpaut tiga mobil di
depannya. Tiap kali mau menyalip, Rangga selalu dihalang-halangi mobil di
depannya.
“Mobil kampret!! Minggir woooy!!
Wooooyyy!!!”
Keadaan menjengkelkan itu
berlangsung hampir setengah jam lamanya. Rangga berusaha mencapai mobil Pak
Ikhsan, namun ada saja mobil yang menjadi penengah di depannya. Rangga berharap
Pak Ikshan berhenti di suatu tempat, atau kembali ke markasnya, sehingga Rangga
bisa langsung menemuinya dan menghentikan aksi kejar-kejaran yang melelahkan
ini.
Tapi harapannya nihil, mobil Pak
Ikhsan terus saja melaju. Bahkan kian lama kecepatannya kian bertambah. Markas
kepolisian mana yang ia tuju? Kenapa sejauh ini? Entah Pak Ikhsan sudah membawa
Rangga ke Jakarta bagian mana. Gedung-gedung pencakar langit yang menjadi ciri
khas Jakarta mulai tidak nampak. Keadaan gelap gulita. Lampu jalan hanya
beberapa saja yang menyala.
Tiba-tiba mobil Pak Ikhsan
membelok ke sebuah gang sempit. Rangga tersentak kaget. Lagi-lagi dia
kebablasan. Buru-buru dia putar balik. Bahaya jika dia kehilangan jejak Pak
Ikhsan di daerah antah berantah ini. Rangga menyusul Pak Ikhsan ke sebuah gang
kecil.
Gang sempit itu hanya muat untuk
satu mobil. Kanan kirinya dibatasi pagar tinggi. Sangat sepi. Terasa dunia lain
bagi sebuah ibukota megapolitan semacam Jakarta.
Rangga mulai merasa ada yang tidak
beres. Kenapa Pak Ikhsan pergi ke tempat semacam ini? Markas polisi mana yang
lokasinya terpencil seperti ini? Atau jangan-jangan, mobil tadi bukan mobil
polisi?
Puluhan meter Rangga menyusuri
gang sempit tidak berujung itu. Di tengah pengejarannya, Rangga dikagetkan
dengan mobil Pak Ikhsan yang teronggok di tengah jalan. Rangga seketika
menghentikan mobilnya. Ia menyorotkan lampu mobilnya ke depan. Benar itu mobil
yang ia kejar tadi. Tergeletak begitu saja di tengah gang. Pintu depan terbuka.
Seperti ditinggalkan secara tergesa-gesa oleh pemiliknya.
Rangga membuka pintu mobilnya. Ia
menghampiri mobil sedan abu-abu di depannya itu dengan penuh penasaran. Rangga
melongokkan kepalanya ke kursi kemudi.
Kosong.
Aneh! Mesin mobil sudah dimatikan.
Namun Rangga masih bisa mencium gas buangnya. Mobil itu ditinggalkan tak lebih
dari lima menit. Mungkin ketika Rangga kebablasan tadi, Pak Ikhsan keluar dari
mobilnya. Tapi... kemana?
Rangga celingak-celinguk. Tapi
pandangannya terbatas oleh gelap malam. Lalu dari sisi kiri mobil, tanpa
diduga, sebuah sosok menyergap Rangga dari belakang.
“JANGAN BERGERAK!!!”
Rangga didorong ke bodi mobil.
Tangannya dibekuk ke belakang. Sebuah logam dingin menempel di kepalanya.
Rangga melirik, PISTOL??!!
“AAAAA!!! AMPUN, PAK!! AMPUN!!
PAAAKKK!!”
“Jangan melawan!!”
“Enggaaakkkk!! Enggak
melawaaannn!! Iya! Iya!! Jangan tembak!”
Pria itu mulai meraba-raba saku
baju Rangga. Dimulai dari saku baju sampai ujung sepatu. Rangga hanya bisa
komat-kamit sambil melirik senjata api di kepalanya.
“Mana senjatamu?!!” tanya pria itu
garang.
“Senjata apa, Pak?!! Ampun, Pak!!
Jangan tembak, Pak! Jangan tembak! Jangan tembak!! Jangan tembakk!!”
“JAWAB YANG BENER!!”
“Uuuuu-udah bener, Pak!! Udah
bener!!” suara Rangga gemeteran.
“Nggak ada pisau?!!”
“Nggak ada, Pak!! Please! Please!!
Jangan tembak, Pak!!”
“YANG JELAS KALO NGOMONG!!”
“NGGAK ADA PISAU PAAAKKK!!” Rangga
mengeraskan suaranya.
“Saya tembak kamu!!”
“Saya nggak bersalah, Pak!! Saya
warga negara yang baik, Pak! Bukan orang jahat!!”
Pria tinggi yang membengkuk Rangga
itu mulai curiga. Dia memandangi Rangga dengan muka cengo.
“Saya nggak pernah nyuri apa-apa,
Pak! Saya nggak punya pistol! Nggak punya pisau juga! Ada sih di apartemen,
tapi biasanya dipakek masak! Bukan buat bunuh orang, Pak! Saya orang baik Pak!!
Percaya sama saya”
“DIAMM!!!” bentak pria itu.
“Eh, diam! Eh, iya diam!!”
“Kamu bukan Sumaryo?”
“Ha?” Rangga melongo.
“JAWAB!!!”
“Ah,, Bukan bukan bukan bukan
bukan!!”
“Kamu temannya Sumaryo?!!”
“Sumaryo siapa, Pak? Saya nggak
kenal sama yang namanya Sumaryo! Teman saya namanya Bisma, Reza, Ilham, Rafael,
Dicky. Kagak ada yang namanya Sumaryo.”
Pria itu diam. Tidak
bertanya-tanya lagi. Rangga masih kaku menempel di bodi mobil. Tangannya
dipegang erat ke belakang. Pelan-pelan ia mulai bisa bernafas dengan lega.
Pistol di kepalanya mulai dilepas.
“Mungkin temen SMA saya, Pak. Coba
saya lihat dulu fotonya, kali aja saya ingat. Saya sering ketuker soalnya, mana
Sumaryo dan mana Sukandar.”
“Nama saudara siapa?”
Nada bicara pria tinggi itu
tiba-tiba berubah. Dengan sopan dia memanggil Rangga ‘saudara’. Suaranya juga
dikecilkan.
“Sa-saya?” ulang Rangga bingung.
“Nama lengkap dan tempat tinggal?”
“Ss...saya, Rangga Dewamoela
Sukarta, tinggal di Bandung, Jalan HOS Cokroaminoto nomor 34 B. Depan indomart
ke kanan dikit. Sampingnya Masjid Al Mubarok. Sekarang tinggal di Jakarta,
Daerah Menteng, Komplek Apartemen Buana Indah, nomor 208. Nomor telepon kosong-delapan-lim.....”
“Cukup...”
Pria itu melepas cengkeramannya
dari tangan Rangga. Dia mundur selangkah ke belakang. Sebelah tangannya
memasukkan pistol revolver ke tempatnya semula di samping pinggangnya.
Rangga menarik nafas panjang.
Tubuhnya masih kaku kayak es batu. Dia pelan-pelan menoleh ke belakang. Dalam
hati membaca bismilah berkali-kali. Begitu ia menghadap ke belakang, jelaslah
kini bagaimana wajah pria yang tadi menyergapnya dan hampir meletuskan pistol
di kepalanya. Wajah teduh pria berumur empat puluhan. Rambutnya cepak rapi. Alisnya
tebal. Benar, dia pria yang berpapasan dengan Rangga di apartemen tadi sore.
PAK IKHSAN!!!
“Saya minta maaf! Saya salah
orang! Saya pikir, Anda salah satu buronan yang saya cari...”
Rangga menelan ludah. Salah orang
mata loe kelilipan ban mobil?!! Hampir aja bikin orang mati jantungan!!
Seenaknya main sergap anak orang!! Dia pikir ditodong pistol begitu enak?!!
NGGAK BISA NAFAS WOYY!!
“Iya, enggak apa-apa... hahaha!!”
balas Rangga ramah. Menyembunyikan semua kejengkelannya di dalam hati.
“Aaaahahaha!” Pak Ikhsan ikutan
ketawa.
Rangga menghentikan tawanya. Malah
ketawa tuh om-om! Seneng abis nyiksa anak orang?!!
“Saya terbawa suasana. Saya sedang
melakukan penyelidikan sebuah kasus. Saya banyak menemui masalah sejak
ditugaskan di kasus ini, jadi... ya begitulah... hahahah!” Pak Ikhsan tertawa
dengan lantangnya.
“Masalah gimana, Pak?” tanya
Rangga.
“Ya, masalah yang begitu lahhh...
diteror lewat telpon. Kadang-kadang diiikutin orang. Tadi, sejak dari arah
Pancoran, Anda mengikuti mobil saya terus-terusan. Tapi kayaknya, itu cuma
perasaan saya. Saya salah paham.”
Jlebb!! Rangga cuman bisa
manggut-manggut. Itu beneran mah, Rangga emang ngejar Pak Ikhsan. Ternyata Pak
Ikhsan menyadari keberadaan Rangga. Tapi dia malah disangka sebagai buronan
polisi.
“Saya Ikhsan Feriyanto. Panggil
saja Ikhsan. Kalau saudara?” polisi itu menyodorkan tangannya ke hadapan
Rangga.
“Saya... Rangga, Pak...”
“Oh, iya, sudah kenalan ya tadi...
hahaha!” lagi-lagi Pak Ikhsan tertawa dengan kencang, “Yang tinggal di komplek
Buana Indah itu ya? Hahah! Eh? Lho saya tadi sore dari sana!!”
“Iya, Bapak bertemu dengan Rafael
Landri Tanubrata kan? Apartemen nomor 208!”
“Kok Anda tahu?”
“Saya temannya Rafael!!”
“Oooh... eh? LOH?!! ANDA INI
JANGAN-JANGAN RANGGA DEWAMOELA SUKARTA!! YANG TERLIBAT KASUS PEMBONGKARANG
MAFIA HUMAN TRAFFICING 8 FEBRUARI KEMAREN DI DAERAH KALIBARU?!! IYA?!! IYA
KAN??!!”
Rangga menjauhkan kepalanya satu
jengkal ke belakang. Tuh bapak-bapak suaranya gede banget kayak terompet tahun
baru. Ngomong biasa aja udah keras suaranya. Nggak perlu teriak-teriak juga
kale!
“Benar Anda ini Rangga Dewamoela
Sukarta?!!”
“Iya, Pak! Rangga, Kan tadi udah
disebutkan lengkap, Pak...”
“Anda kok di Jakarta??”
Makin lama pertanayaan Pak Ikhsan
makin kelihatan bego. Nanyain nama Rangga sampe tiga kali. Dan sekarang malah
nanya kenapa Rangga di Jakarta. Udah dijelasin tadi kalo Rangga tinggal di
Jakarta. Kenapa nanyanya belibet begono? Pasti habis ini nanya, apakah Anda
manusia?
“Iya! Saya emang di Jakarta! Kan
tadi udah saya bilang di awal!”
“Bukan begitu!! Atasan saya
bilang, Anda ini sedang dirawat di Singapura karena mengalami luka parah waktu penyergapan
kemarin. Katanya Anda mendapat pukulan keras, Anda mengalami pendarahan otak
dan koma. Anda sempat di rawat di Dharma Husada, tapi kemudian dirujuk ke
Singapura untuk operasi.”
Rangga mangap.
WHAT?!!!
“Di berkas saya, laporannya
begitu! makanya kita mewakilkan kesaksian pada Saudara Saiful! Eh kok Saiful...
Rafael!”
“Saya koma?!!!” ulang Rangga tidak
percaya.
“Iya, koma. Katanya juga, Anda
patah tulang di bagian lengan.”
“Naudzubillah!!! Amit-amit!! Yang
ngomong gitu siapa?!!”
Pak Ikhsan menggeleng, “Di laporan
yang saya dapat begitu.”
“Yang bikin laporan itu siapa?!!”
Pak Ikhsan menggeleng lagi,
“Laporan ini? Ya dari bagian penyidik! Sudah disebar ke semua bagian! Sudah
diberikan pada jaksa umum juga!”
What the hell!!!
------------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 30
(nggak nyangka ye udah part 30....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar