22 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 9


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo



         “Eriskaaa!”

         “Ustad Rangga???!” pekik Eriska.

         “Ayo! Pulang sekarang!”

         Rangga diam menatap Eriska. Tanpa diduga, muncul tiga orang berjas hitam dari kerumunan penonton. Tiga pria besar itu memegeng tangan Eriska lalu menyeretnya pergi. Eriska berontak. Berkali-kali ia meminta agar dilepaskan, tapi tiga orang pria itu terus menyeretnya ke luar lokasi konser.

         Rangga menghembuskan nafas berat. Tiga orang pria itu tidak lain adalah bawahan Kiai Mahmud. Ia tahu, Kiai Mahmud pasti tahu Eriska akan menolak dibawa pulang.

         Tepat saat Eriska dipaksa masuk ke dalam mobil, gerbang konser dibuka. Eriska menatap ratusan penonton yang berjejelan masuk. Dan seharusnya ia berada di antara mereka. Ia mengepalkan tangannya. Tiket yang susah-susah ia beli entah terjatuh dimana.

         “Jalankan mobilnya.” Perintah Kiai Mahmud.

         Mobil melaju pelan. Rangga duduk di sisi kiri jok belakang. Eriska tepat duduk di sampingnya dengan wajah menunduk lesu. Sementara Kiai Mahmud duduk di jok depan di sebelah sopir mobilnya.

         Meski tidak nampak secara fisik, Rangga merasakan aura kemarahan dari Kiai Mahmud. Kemunculan tiga bodyguard tadi adalah bentuk dari greget Kiai Mahmud. Ia akan mengerahkan semua dayanya untuk menghentikan masalah yang baginya membebaninya.

         Sepanjang perjalanan tak seorangpun membuka suara. Kiai Mahmud diam menatap jalanan di depannya. Terlebih lagi Eriska, ia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

         Satu jam berlalu. Komplek pesantren Al Hikmah mulai kelihatan di depan mata. Mobil membelok ke halaman rumah Kiai Mahmud.

         “Cepat masuk ke asrama!” perintah Kiai Mahmud.

         Eriska perlahan membuka pintu mobil lalu berjalan menuju kamarnya. Tak ada lagi yang bisa ia perbuat selain menurut.

         Kiai Mahmud mengangkat sebelah tangannya. Ia mengisyaratkan sopirnya untuk keluar terlebih dahulu dari mobil. Kini tinggal Rangga dan Kiai Mahmud berdua di dalam mobil.

         “Sebenarnya apa saja yang kamu lakukan selama ini?” tanya Kiai Mahmud. Tatapan matanya tetap lurus ke depan.

         Rangga terpekur. Ia menatap kiainya yang duduk di depannya.

         “Aku menyuruh kamu untuk membuat Eriska kerasan di sini. Kenapa dia sampai kabur lagi? Sebenarnya apa saja yang kamu lakukan?” Kiai Mahmud menarik nafas pendek, “Bahkan sampai ke Jakarta. Perempuan kok keluyuran sampai jauh begitu. Kalau ada apa-apa bagaimana?”

         Rangga diam menunduk. Ia mulai paham apa maksud Kiainya. Bahwa dari semua kejadian ini, dialah yang salah.

         “Kiai ingin ini adalah teguran terakhir buat kamu.” Ucap Kiai Mahmud. Ia mendehem, lalu keluar dari mobil. Meninggalkan Rangga yang terpekur sendiri di mobil.

         # # # # # # # # # # # ## ## #  # # #

         Waktu berlalu. Senja mulai datang. Kegiatan kajian ba’da magrib di Pesantren Al Hikmah pun tetap berlangsung seperti sedia kala. Seperti biasanya, Rangga mengajar di kelas santri putri.

         Tak ada yang aneh. Ia mengajar seperti biasa. Sesekali diperhatikannya Eriska.

         “Eriska!” panggil Rangga usai kajian.

         Eriska yang hendak kembali ke asrama putri menghentikan langkahnya. Ia berbalik badan.

         “Ada apa, ustad?” tanya Eriska.

         “Cuma mau nanya, tadi kenapa kamu ke Jakarta? Mau ke rumah siapa?” tanya Rangga. Jujur saja, motif kaburnya Eriska kali ini masih menjadi misterius baginya.

         “Tidak ada apa-apa, Ustad. Kalau mau ngasih hukuman, langsung saja.” Kata Eriska.

         “Tidak, ustad tidak mau ngasih hukuman. Ustad ingin tahu saja, kenapa kamu kabur lagi?”

         Hening.

         Eriska diam seribu bahasa. Berkas sinar dari teras kelas menerpa wajah Eriska dan membuatnya terlihat semakin pucat.

         “Ehm, ya sudah. Tidak usah dijawab.” Kata Rangga kemudian. Ia menyerah memaksa Eriska menjawab pertanyaannya.

         Sejenak Rangga dan Eriska sama-sama diam.

         “Kamu sakit, ya? Pasti gara-gara kecapean sesiangan tadi ke Jakarta.” Kata Rangga.

         “eh?”

         “Sehabis jamaah isya, kamu langsung tidur, ya. Sakitnya biar ngga tambah parah.” Ucap Rangga lagi.

         Eriska tenggelam dalam tanda tanya besar. Jantungnya mulai berdegub kencang.

         “Ya, sudah. Kamu silakan kembali ke asrama.” Kata Rangga.

         Eriska mengangguk. Ia berbalik badan, lalu berjalan menuju asrama putri. Ia merasakan debaran jantungnya semakin kencang seiring langkah kakinya menginjak tanah. Tak hanya sekali atau dua kali. Ia mendapati Ustad Rangga sangat perhatian padanya berkali-kali.

         Dari mana Ustad Rangga tahu kalau dia sedang tidak enak badan?

         Usai jamaah isya, Eriska tiduran di kamarnya seperti yang disuruh Ustad Rangga. Hanya meriang. Mungkin ia masuk angin karena tidak terbiasa perjalanan jauh dengan angkutan umum.

         “Eriska!” panggil Dina sambil membuka pintu.

         “Apa?”

         “Ada titipan obat dari Ustad Rangga. Kamu disuruh minum sebelum tidur.” Kata Dina.


         “Ob-obat?” Eriska tersentak.

         “Iya, katanya parasetamol.” Jawab Dina.

         Eriska diam mematung di kasurnya. Lagi-lagi jantungnya berdegub kencang.

         “Kenapa Ustad Rangga ngasih obat? Emangnya kamu sakit?” tanya Dina.

         Eriska terdiam. Otaknya sibuk memikirkan pola tingkah Ustadnya ketimbang pertanyaan sahabatnya. Tidak hanya menanyakan kabarnya, bahkan Rangga sampai menitipkan obat padanya. Eriska merasa ada kembang api meletus di dalam otaknya.

         “Kenapa kamu tiba-tiba senyum-senyum sendiri?” tanya Dina. Dilihatinya Eriska yang mulai tersenyum sendirian.

         “Kalau laki-laki tiba-tiba perhatian sama kita, itu tandanya apa, Din?”

         “Heh??!” Dina terperangah mendengar pertanyaan Eriska. Ia lalu mendekatkan dirinya ke Eriska, “Maksud kamu apa?”

         Eriska diam menahan senyum.

         “Yang kamu maksud laki-laki itu jangan-jangan ustad Rangga ya? Beneran?!” tebak Dina. Dilihatnya rona merah merambat di pipi Eriska.

         “Kamu aja ngga tahu kalo aku lagi sakit. Tapi kenapa Ustad Rangga tahu?” kata Eriska, “Terus, dia tadi juga nyuruh aku istirahat, Din. Dia baik banget ya.”

         Dina terdiam melihat Eriska bercerita penuh senyum bahagia.

         “Dulu dia juga tiba-tiba menghapus hukuman aku. Sampe bikin ustad Reza marah. Kamu inget kan, Din?” kata Eriska.

         “Iya, aku inget.” Jawab Dina.

         Ini bukan main-main, sepertinya kali ini Eriska serius dengan perkataannya. Eriska benar-benar suka pada Ustad Rangga.

         “Kamu beneran suka sama Ustad Rangga?” tanya Dina.

         “Bukan aku, Din. Ustad Rangga duluan yang punya perasaan ke aku.” Kata Eriska.

         Wajah pucat Eriska seketika lenyap. Berganti dengan wajah penuh kegembiraan hingga penuh rona merah.

        Entah bagaimana, sejak saat itu Dina melihat Eriska dan Rangga semakin dekat. Eriska tidak pernah melewatkan malam tanpa bercerita tentang Rangga. Dan lagi, Dina hanya bisa menjadi pendengar.

        Meski tidak mewujudkan hubungan dengan berpacaran atau hal romantis lainnya seperti yang dilakukan pasangan lain, Rangga dan Eriska sudah nampak seperti sejoli. Kegiatan saling memperhatikan antar keduanya sudah lebih dari cukup mengingat lingkungan mereka adalah kehidupan pesantren.

        Eriska seperti melambung di mata Dina. Ia tidak seberapa pintar, juga cenderung bandel. Tapi dengan mudah mendapat perhatian dari laki-laki. Apalagi seorang Ustad. Sementara dirinya? Dari awal cintanya tak pernah bersambut.

        Dina menatap tulisan yang terpampang di kitabnya. Tulisan arab dengn bulatan merah di sana-sini. Baru saja ia mendapat koreksi dari Ustad Bisma atas tugas bahasa arabnya. Dua lafadz nampak disilang merah, sementara yang lain mendapat bulatan tinta merah yang menandakan pekerjaannya benar.

        Hanya coretan. Namun dengan memandanginya hati Dina sudah merasa tentram. Tidak seperti Eriska yang langsung mendapat perhatian secara langsung, ia hanya bisa mengagumi dari jauh. Bisma adalah ustad yang ramah. Kegiatan belajar mengajar selalu menyenangkan jika dia yang mengajar. Tapi di balik itu semua, dia pemuda yang menakjubkan.

        Dina mengalihkan pandangannya. Dilihatnya Bisma tengah duduk di depan sana sedang mengoreksi pekerjaan santri yang lain. Mungkinkah Bisma memberikan perhatian seperti Rangga pada Eriska?

        “Dina!”

        “Ekh...”

        Dina tersentak kaget. Tiba-tiba Eriska menyikutnya.

        “Kamu ngapain ngelihatin Ustad Bisma kayak gitu?” tanya Eriska. Sejak beberapa menit lalu ia mulai curiga dengan Dina yang memandangi Ustad Bisma tanpa berkedip.

        “Ngga kenapa-kenapa, kok.” Jawab Dina mengelak.

        “Jangan bohong. Aku ngelihatin kamu dari tadi.” Kata Eriska, ia mulai mendekatkan wajahnya, “Kamu suka ya sama Ustad Bisma?”

        “Seenaknya aja..”

        “Ngga apa-apa, Din. Biar pas. Aku sama Ustad Rangga, terus kamu sama Ustad Bisma.” Kata Eriska.

        Dina menarik tubunnya bersandar ke tembok. Membosankan! Bicara apapun, ujung-ujungnya Eriska pasti membangga-banggakan Ustad Rangga.

        “Kamu ngga usah malu. Kita kan cewek, wajar kali..” kata Eriska bersihkeras menggoda Dina.

        “Ngga, Eris. Ustad Bisma itu ngga seperti Ustad Rangga. Ustad Bisma itu ngga tertarik mendekati cewek.” Kata Dina.

         “Kamu aja yang terlalu pemalu.” Seloroh Eriska.

        “Lagian, kamu dekat banget sama Ustad Rangga, kamu ngga takut ketahuan Kiai? Kamu tahu kan ada sanksi kalau santri putri pacaran sama santri laki-laki?”

        “Aku ngga pacaran, kok.” Balas Eriska. Ia tersenyum lalu menoleh ke sisi lain.

        Dina membalas perkataan Eriska dengan pandangan sendu. Siapa yang pemalu? Ia hanya takut. Takut pada kenyataan kalau ternyata Bisma tidak menyukainya. Memendam perasaannya dalam-dalam adalah pilihan terbaik.

       ##########

        Waktu baru sebulan berlalu. Dan selama itulah Eriska saling menaruh perhatian dengan ustadnya. Tidak kasat mata, tapi angin dapat merasakannya. Hubungan diam-diam antara keduanya tidak dimengerti oleh siapapun, kecuali Dina. Serta Bisma yang kini mulai menaruh curiga.

        “Kau gadisku sa, sa, sayang! Milikku, adalah milikmu.”

        Buggh!!

        Rangga melempar sejadah ke wajah Bisma.

        “Bocah gemblung! Enak aja lempar-lempar muka orang!” kata Bisma tidak terima.

        “Maksud kamu nyanyi begitu apa?” tanya Rangga. Ia sadar sejak kejadian pembagian sarapan sebulan lalu, Bisma mulai mengawasi dia dan Eriska. Bisma bahkan tak jarang memancing dia agar mau mengakui kedekatannya dengan Eriska.

        “Aku cuma nyanyi! Masalah?” sergah Bisma.

        “Ck..” Rangga berdecak. Lalu melanjutkan aktivitasnya menghafal nadhoman.

        “Kau gadisku sa, sa, sayang. Dukamu, adalah dukaku. Kau gadiskuuuuu....” Bisma melanjutkan aksinya.

        Rangga menahan diri. Sebisa mungkin ia mengabaikan tingkah konyol Bisma. Hanya satu yang perlu ia lakukan sekarang, ia harus menjaga rahasia bahwa ia mendekati Eriska karena perintah Kiai Mahmud hingga dua tahun ke depan. Tak boleh seorangpun tahu. Termasuk kawan dekatnya sendiri, Bisma.

        “Setahuku kamu itu suka gadis pinter kayak Neng Fatimah. Tapi, kenapa tiba-tiba kamu deket sama Eriska? Eriska kan lumayan bandel.” Kata Bisma lagi.

        Rangga diam menekuri kitab di tangannya.

        “Kalau kamu deketin Eriska terus ketahuan Kiai Mahmud, bisa digantung kamu, Ngga.” celoteh Bisma.

        “Sudah hapalannya?” sergah Rangga.

        “Ha?”

        “Hapalanmu sudah? Kamu sudah hapal sama nadhomannya? Nanti subuh dites sama Kiai kamu sudah bisa?” balas Rangga.

        Bisma manyun. Ia lalu mengangkat kitabnya dan mulai menghapal.

        Rangga menghela nafas. Mudah ia mengelabuhi ustad yang lain. Sekalipun ustad yang tegas semacam Reza. Tapi entahlah dengan Bisma. Sekeras apapun ia memarahinya, Bisma tidak akan menyerah dan akan terus mengoreksi informasi untuk memuaskan keingintahuannya.

        Lalu bagaimana jika sebelum dua tahu berlalu dan Bisma keburu menyadari sandiwaranya?

        Rangga mendesah. Ada kemungkinan saat Bisma mulai mengetahui sandiwaranya, ia akan diam. Tapi ada juga kemungkinan Bisma akan membicarakannya dengan orang lain. Dan saat itu terjadi, ia bakal berada di ujung tanduk.

        “Bis...” panggil Rangga.

        Bisma menoleh.

        “Mengenai Eriska...”

        “Kamu sudah hapal?! Kalau besok dites Kiai kamu sudah bisa, ha?!” kata Bisma menirukan ucapan Rangga.

        Bukk!! Rangga meninju lengan Bisma.

        “Mau denger apa tidak?!” tanya Rangga gregetan.

        “Oke, oke, aku denger. Eriska kenapa?” kata Bisma sambil memasang wajah penuh perhatian.

        “Tapi kamu jangan bilang ini ke siapapun! Kalau sampai bocor, kamu punya masalah besar sama malaikat pencatat amal! Ngerti?” kata Rangga.

        “Iya! Ngerti!”

        Rangga menarik nafas, “Aku tahu Eriska santri bandel. Karena itulah aku mendekati dia. Ini agar Eriska kerasan di sini dan tidak kabur-kabur lagi, Bis. Aku harus bisa membuat Eriska kerasan. Seenggaknya sampai dua tahun lagi dia lulus. Kiai Mahmud yang memintaku.” Jelas Rangga.

        Bisma menganga.

        “Bisma?”

        Hening.

        “Bismaaa!!!”

        Bisma tersentak, “Jadi, jadi kamu sekarang berpura-pura?!”

        “Kecilin suara kamu!” bentak Rangga.

        Bisma spontan menutup mulutnya dengan tangannya.

        “Baru sekarang aku denger yang beginian, Ngga.” Kata Bisma.

        “Kamu tahu ‘kan Kiai itu orangnya kayak gimana? Ia akan berusaha setengah mati agar santri didikannya benar-benar menjadi sholeh—sholehah. Kiai sangat suka dengan orang tua Eriska yang pengen Eriska jadi cewek sholehah. Karena itu Beliau ingin membantu mereka.” kata Rangga.

        “Terus, Eriska ngerti ngga?” tanya Bisma.

        “Nggak lah! Dia orang pertama di muka bumi yang tidak boleh tahu tentang ini! Bisa buyar semua kalo dia sampe tahu!” balas Rangga.

        Bisma menutup kitab nadhomannya. Ia tidak tertarik lagi menghapal. Otaknya terlanjur penuh dengan kemustahilan yang baru didengarnya.

        “Ini semua demi kebaikan Eriska, Bis.” Kata Rangga. Ia lalu mengalihkan matanya ke hadapan kitabnya.

        Bisma memandangi Rangga yang berpura-pura sibuk menghapal nadhoman. Baru sekarang ia tahu, setertekan itukah Rangga?

        Angin malam berhembus semakin kencang menerobos cendela kamar Rangga. Suasana semakin gelap gulita. Gelap yang menimbulkan bayang-bayang tersendiri di luar pintu kamar Rangga. Bayang-bayang sosok yang berdiri tegap dengan otak berkecamuk. Reza menatap pintu kamar Rangga dengan nafas tertahan.

        “Berpura-pura?” desah Reza. Ia tenggelam dalam amukan tanda tanya besar di pikirannya sendiri. Tidak salahkah apa yang ia dengar barusan??

-------------------------------------------------------------------

Bersambung ke part 10


Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar