20 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 8


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini) / Admin4

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo


         “Besok mereka mau konser, Din. Konser besar! Namanya Big Concert, dalam rangka ulang tahun mereka yang ketiga.” Kata Eriska bercerita.

         “Pasti seru banget! Mereka itu keren, pinter nyanyi, pinter nari.” Kata Eriska lagi.

         “Iya, aku tahu mereka pinter nyanyi dan nari. Kamu bilang itu berkali-kali.” Balas Dina.

         “Aku besok mau nonton!”

         “Mau nonton dimana? TV di kantin kan lagi rusak.” Tanya Dina.

         “Aku mau nonton langsung. Kamu tidak tahu, ya? Aku sudah beli tiketnya diam-diam.”

         Eriska kembali mengalihkan pandangannya pada majalah di depannya. Ia bersiul kecil menyanyikan lagu favoritnya. Di tengah suasana larut malam, ia tenggelam dalam dunianya sendiri.

         Seperti rencana yang ia katakan semalam, Eriska pamit pada Ustadzahnya akan memfotocopy buku pelajaran. Tempat fotocopy yang berada di luar lingkungan pesantren dimanfaatkan oleh Eriska untuk kabur ke terminal bus. Tas ranselnya menggembung dari biasanya. Tentu saja, Eriska harus menyiapkan pakaian ganti agar bisa masuk lokasi konser.

         Pagi buta Eriska pamit keluar. Hitungan menit kemudian, ia pun lenyap.

         Dina sebagai satu-satunya orang yang mengetahui rencana nakal Eriska terus merasakan risau di hatinya. Ia menjalani kegiatan belajar mengajar di kelas dengan pikiran melayang ke mana-mana. Satu-satunya yang menjadi beban pikirannya adalah, Apa yang harus ia katakan jika seseorang bertanya tenyang Eriska? Jika ia mengatakan Eriska sakit, bahaya jika seseorang mengecek ke kamar.

         “Pramudina!”

         “Akhh!” Dina tersentak kaget. Tiba-tiba dilihatnya Reza telah berdiri di depan bangkunya. Sontak jantungnya berdegub kencang.

         “Ngelihatin apa kamu? Kamu tidak menyimak pelajaran dari tadi?” tegur Reza. Sepertinya dia menangkap gelagat aneh dari Dina. Reza menutup buku fisika di tangannya lalu mendekat ke arah Dina.

         “Jelaskan apa faktor utama yang mempengaruhi gerak sentrifugal?” tanya Reza mengetes.


         “Gaya gesekan, Ustad.” Jawab Dina. Ia menunduk dan menjawab pertanyaan Ustadnya sebisanya.

         “Oh ya? Bagaimana bisa? Jelaskan secara sistematis!” perintah Reza.

         Dina merasa terpojok. Seketika suasana kelas terasa hening. Semalam ia memang belajar. Tapi dalam keadaan tertekan seperti ini, semua teori yang ia baca langsung hilang seketika.

         “Mana teman sebangku kamu?” tanya Reza.

         DEG!

         “Karena gaya gesekan mampu menahan gerak keluar dari gaya sentrifugal, Ustad.”

         “Aku tidak menanyakan itu lagi. Mana Eriska?” sergah Reza. Ia tidak tertarik lagi dengan teori fisika yang dijawab Dina. Kosongnya bangku Eriska nyatanya lebih menarik perhatian Reza.

         Dina nampak berpikir keras. Eriska sedang sakit! Ia ingin menjawab begitu. Tapi kenapa suaranya tidak mau keluar??!

         “Jawab, Dina! Eriska kemana? Dia bolos?” tanya Reza.

         Bibir dina masih mengatup. Dilema antara membela sahabat sendiri, atau berbohong di depan ustadnya?

         Reza menegakkan badannya. Ia berjalan ke meja guru.

         “Buka halaman 50, kerjakan di buku, pulang sekolah nanti kumpulkan di meja Ustad.” Kata Reza. Usai berkata demikian, Reza berjalan keluar kelas.

         Dina menatap kepergian Reza dari bangkunya. Apa lagi yang bisa ia perbuat? Tamat sudah!

         Reza melangkah tegap menuju asrama putri. Dengan bantuan Ustadzah Umi, Reza memeriksa seluruh penjuru asrama. Terutama kamar Eriska. Dan nihil! Ia tidak menemukan Eriska di manapun.

         Bulat kesimpulannya, Eriska kabur lagi!

         Kegentingan siang itu mulai merambat keluar. Tanpa ragu Reza langsung melaporkan hilangnya Eriska ke Kiai Mahmud. Lagi-lagi Kiai Mahmud memerintahkan beberapa orang ustad dan santri senior untuk berpencar mencari Eriska. Dina pun tak luput dari introgasinya.

         “K-ke... Ke Jakarta, Kiai.” Jawab Dina tertunduk. ia tak lagi memiliki kekuatan untuk mengelak. Terlebih lagi pada sosok yang saat ini sedang berdiri di depannya.

         Kiai Mahmud menghembuskan nafas berat. Faktanya, memanggil Dina langsung ke rumahnya tidak mampu memberikan jawaban yang dapat menyelesaikan masalah.

         “Ada apa Eriska ke Jakarta?” tanya Kiai Mahmud.

         “M-menonton konser~...”

         Hening.

         Kiai Mahmud meraih gagang telepon yang terpajang di atas mejanya.

         “Jakarta sebelah mana?” tanya Kiai Mahmud.

         “Saya tidak tahu, Kiai.” Dina menarik nafas panjang, “Katanya, di Balai Sarbini.”

         Kiai Mahmud mengalihkan pendangannya. Ia meneruskan memencet nomor telepon dan memanggil bawahannya yang berdomisili di Jakarta. Beberapa menit ia nampak berbicara dengan seseorang di seberang sana.

         “Reza!” panggil Kiai Mahmud.

         Reza yang sedari tadi berdiri di belakang Kiai Mahmud mendekat.

         “Suruh Rangga bersiap-siap. Sebentar lagi ia harus ikut menjemput Eriska ke Jakarta. Keluarkan mobil dari garasi sekarang juga!” perintah Kiai Mahmud. Beliau lalu beranjak pergi meninggalkan Dina.

         11.00 WIB.

         Matahari bersinar semakin terik. Ratusan orang nampak berkumpul di depan sebuah gedung. Berbagai spanduk terpasang di sana. Dalam hitungan menit, perhelatan konser besar akan dimulai.

         Eriska nampak berdiri tepat di depan pintu. Ia tersenyum simpul sambil memandangi tiket konser di genggaman tangannya. Tinggal menghitung menit, pintu konser akan dibuka dan ia bisa melihat idolanya secara langsung.

         “Eriskaaaa!”

         EH?

         Eriska mengernyitkan dahinya. Terdengar seseorang yang tidak asing lagi memanggil namanya.

         “Eriskaaa!”

         Kedua kalinya namanya disebut. Eriska menolehkan kepalanya. Dan sontak membulatkan matanya.

         “Ustad Rangga???!” pekik Eriska.

         Dilihatnya Rangga berlari di tengah antrean penonton lengkap dengan baju takwa dan celana hitamnya.

         “Ayo! Pulang sekarang!” ajak Rangga. Namun, Eriska hanya berdiri kaku di depannya.

         “Kamu nunggu apa? Ayo cepetan pulang!” perintah Rangga lagi.

         “Tidak, Ustad! Aku ada urusan.” Tolak Eriska. Ia mundur selangkah dari posisinya.

         “Urusan apa? Kamu keluar dari pesantren dan tiba-tiba berada di Jakarta. Mestinya kamu pamit jika ada urusan penting. Kamu ada urusan apa di Jakarta?” tanya Rangga beruntun.

         Eriska diam seribu bahasa. Bisa apa dia? Jujur kalau ingin nonton konser?

         “Kiai menunggu kamu di mobil. Ayo, pulang!” kata Rangga. Ia mencekeram tangan Eriska dan menariknya pergi. Namun, dengan tegas Eriska melepaskan tangan Ustadnya.

         “Saya tidak mau, Ustad.” Tolak Eriska sambil menunduk. Antara takut dan berani melawan ustadnya.

         Rangga diam menatap Eriska. Tanpa diduga, muncul tiga orang berjas hitam dari kerumunan penonton. Tiga pria besar itu memegeng tangan Eriska lalu menyeretnya pergi. Eriska berontak. Berkali-kali ia meminta agar dilepaskan, tapi tiga orang pria itu terus menyeretnya ke luar lokasi konser.

         Rangga menghembuskan nafas berat. Tiga orang pria itu tidak lain adalah bawahan Kiai Mahmud. Ia tahu, Kiai Mahmud pasti tahu Eriska akan menolak dibawa pulang.

---------------------------------------------------

Bersambung ke part 9



Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar