20 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 7


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini) 

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo


----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"
---------------------------------------------------------------------

> > > > >  > > >

         “Neng Fatimah mau nikah? Kok bisa? Aku kok ngga denger kabar?” tanya Rangga beruntun.

        “Kamu ini mabuk ya? Yang namanya anak Kiai pasti nikahnya sama anak kiai juga.”

         BRUAKKK!

         Rangga membanting kursi yang berdiri tegap di depan mejanya ke arah pintu. Nafasnya memburu. Diambilnya kalender yang tergantung di dindingnya lalu melemparnya ke tempat sampah. Tanpa ia sadar ia jatuh terduduk di kasurnya.

         Terpekur.

         Rangga tenggelam dalam kelam malam sendirian.


         Rencana manusia tak selalu berjalan beriringan dengan rencana Tuhannya. Saat Dia memiliki rencana lain, manusia mau tak mau harus membuang rencananya yang dahulu. Pernikahan Fatimah, putri Kiai Mahmud, digelar sebulan setelahnya. Selayaknya hajatan nikah pada umumnya, Kiai Mahmud mengundang seluruh familinya dari berbagai daerah. Kegiatan belajar mengajar di Pesantren Al Hikmah untuk sementara terhenti. Ustad-ustad turut kebagian tugas mengatur jalannya pernikahan.



         Ilham, putra Kiai dari desa sebelah yang selalu dielu-elukan Kiai Mahmud adalah seorang lulusan sarjana Kimia. Rohaninya digembleng sejak ia lahir di lingkungan pesantren. Sementara akademiknya terbentuk dari lingkungan pendidikannya yang mencapai perguruan tinggi. Status sarjana di desa kecil semacam Sukorejo adalah status yang sangat langka dan orang akan berdecak kagum hanya dengan mendengarnya.

         Untuk pertama dan terakhir kalinya, Rangga melihat sosok Ilham saat ia mengucap ijab qobul di depan penghulu. Resepsi pernikahan digelar satu hari penuh. Setelah itu, ia tak pernah lagi melihat Ilham.

         Juga Fatimah.

         Dengan senyum sumringah, Kiai Mahmud menuturkan bahwa kini Fatimah mengikuti suami barunya dan tinggal di rumah mertuanya.

         “Kamu ngga enak badan, Ngga?” tanya Bisma pada Rangga. Dilihatnya temannya itu merapikan jemuran dengan pandangan kosong ke depan.


         “Ngga apa-apa. Emang kenapa?” jawab Rangga.

         “Kamu belakangan jadi pendiam, loh. Kenapa? Stres nungguin kiriman dari orang tua ya??” celetuk Bisma.

        Rangga tersenyum tipis mendengar celotehan Bisma.

         Saat hendak kembali menuju kamarnya, tiba-tiba dilihatnya Eriska dan teman-temannya tengah menyapu halaman depan mushalah. Rangga terhenti sejenak mengamati Eriska. Sinar matahari bersinar semakin terik. Rangga memejamkan mata, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar.

         Sebenarnya bisa saja Rangga mangkir dari permintaan Kiainya. Menolak untuk berpura-pura mendekati Eriska, dan berterus terang jika ingin mempersunting Fatimah. Tapi punya daya apa dia? Sejak pertama ia masuk ke pesantren ini dan mengabdi di sini, tak sekalipun ia menolak perintah Kiai Mahmud. Patuh pada guru adalah barokah utama sebuah ilmu.

         Nasi sudah menjadi bubur. percuma ia mempertahankan Fatimah, toh dia kini sudah dipersunting Ilham, seorang putra Kiai tersohor. Yang nampak di depan matanya sekarang hanyalah mengabdi pada Kiai Mahmud. Membuat Eriska kerasan demi al Islam. Innamal a’malu bin niat...

         # # # # # # # # # # # # # #

         Minggu yang cerah di pesantren Al Hikmah. Seperti hari-hari sebelumnya, seluruh santri diwajibkan piket bersama membersihkan pesantren di pagi buta. Kerja bakti bersama ini dipimpin oleh para ustad yang sudah terbagi ke dalam beberapa tugas.

         Eriska bersama sepuluh kawannya kebagian memasak di dapur umum pesantren dipimpin oleh Ustadzah Umi.

         Memasak besar untuk seluruh warga pesantren benar-benar membutuhkan tenaga besar. Ditambah lagi peralatan yang ada di sana terhitung sangat sederhana. Proses memasak masih dilakukan di atas kompor kayu.

         “Aduh, gimana ini? Apinya mati. Tidak mau nyala lagi.” Gerutu Ustadzah Umi. Tangannya sibuk membolak-balik kayu berharap api di kompor segera menyala. Asap abu-abu mengepul memenuhi dapur pesantren.

         Eriska yang berada di belakang Ustadzah Umi hanya diam tanpa tahu harus melakukan apa. Ia sendiri tidak tahu menahu bagaimana caranya menggunakan kompor kayu. Sementara itu, teman-temannya yang lain sedang berada di luar dapur mengupas sayur-sayuran. Hal itu sukses membuatnya satu-satunya santri yang harus membantu Ustadzah Umi menanak nasi di kompor.

         Butiran keringat mulai menyembul di balik kerudung Ustadzah Umi.

         “Eris, panggilkan ustad. Suruh membantu menyalakan kompor di dapur.” Perintah Ustadzah Umi.

         “Ustad siapa?” tanya Eriska.

         “Siapa saja, pokok yang bisa.” Jawab Ustadzah Umi. Ia mulai tidak tahan dengan asap yang semakin pekat.

         Eriska berjalan cepat keluar dapur. Dilihatnya sekumpulan santri tengah mengepel mushalah. Buru-buru ia menghampiri mereka. nampak Ustad Bisma tengah memimpin kegiatan piket di sana.

         “Ustad Bisma,” panggil Eriska. Bisma langsung menolehkan kepalanya begitu namanya dipanggil.

         “Ada apa?” jawab Bisma.

         “Kompor kayunya ngga mau nyala. Ustadzah Umi minta Ustad bantu menyalakan.” Kata Eriska.

         Bisma bersiap turun dari teras mushalah dan memakai sendalnya. Namun, tiba-tiba Rangga datang dan mencegah Bisma.

         “Aku saja.” Sahut Rangga. Dengan cekatan ia menghampiri Eriska.

         Eriska bengong. Bisma juga bengong. Keduanya menatap punggung Rangga yang berjalan menuju dapur.

         Eriska menyusul ke dapur setelah pamit pada Bisma. Begitu sampai dapur, dilihatnya Rangga tengah jongkok di depan kompor kayu membolak-balik kayu.

         Dalam hitungan detik, api menyala. Ustadzah Umi terdengar menghembuskan nafas lega. Entah bagaimana caranya, Rangga terlihat mahir menggunakan kompor itu.

         “Alhamdulillah, makasih, Ustad.” Ucap Ustadzah Umi.

         “Sama-sama, Ustadzah.” Jawab Rangga. Ia memandangi api dengan sayu.

         “Silakan kembali, Ustad. Nanti kalau apinya mati lagi baru saya panggil.” Kata Ustadzah Umi.

         Rangga tidak bergeming, “Tidak apa-apa, Ustadzah. Saya di sini saja. Ada yang membuat saya kerasan di sini.”

         EH?

         Eriska terhenyak.

         “Ehem, siapa nih, Ustad?” goda Ustadzah Umi.

         Rangga masih tidak bergeming. Ia tetap menghadap api dengan tatapan mata sayu.

         Eriska diam mematung di belakang Ustadzah Umi. Obrolan singkatnya dengan Vivi dan Indah beberapa waktu lalu terngiang di telinganya.

         Benarkah? Benarkah apa yang dilakukan Ustad Rangga?

         Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Kerja bakti bersama yang dilakukan sejak subuh tadi selesai sudah. Secara tertib para santri mengambil jatah sarapan paginya di dapur pesantren. Sebagai yang mendapat jadwal di dapur, Eriska bertugas membantu para Ustadzah membagi makanan pada santri.

         “Eriska!” panggil Rangga tiba-tiba. Di tengah hiruk pikuk pengambilan jatah sarapan, Eriska menoleh pada Rangga.

         “Sudah, duduk saja. Biar ustadzah yang membagikan makanannya. Kamu makan saja bagian kamu.” Kata Rangga.

         Eriska bengong. Rona merah merambat di pipinya yang mulus. Perlahan ia lalu beringsut dari kerumunan santri dan berjalan pergi sambil membawa jatah makanannya. Sesuai perintah Rangga, Eriska berkumpul dengan temannya yang lain dan ikut sarapan pagi.

         Jujur. Eriska sama sekali tidak merasakan makanan yang masuk ke mulutnya. Seluruh panca inderanya terasa mati rasa. Rona merah di pipinya pun tak juga hilang.

         Ada apa dengan Ustad Rangga?

         “Jadi, yang dibilang Reza itu benar, ya?” tanya Bisma tiba-tiba. Ia yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Rangga dan Eriska mulai menaruh curiga.

         “Apanya?” tanya Rangga enteng. Ia melahap sarapan paginya dengan lahap.

         “Yang dibilang Reza, kalau kamu suka Eriska, itu benar?” tanya Bisma.

         “Kalau tidak tahu apa-apa diam saja.” Balas Rangga.

         “Ya, makanya tidak tahu apa-apa aku nanya ke kamu.” Kata Bisma. Ia merasa tidak puas dengan jawaban Rangga yang pendek.

         “Aku sedang dakwah sekarang.” Jawab Rangga. Ia lalu pergi dari hadapan Bisma sambil menenteng piringnya yang kosong.

         “Heh? Dakwah? Dakwah apaan? Dakwah sama cewek?” teriak Bisma. Ia kadang-kadang sebal juga dengan temannya yang satu itu. Tidak pernah menanggapi orang dengan serius dan terkesan cuek.

         # # # # # # # # # # # # # #

         Malam semakin larut di pesantren. Bunyi jangkrik bersahut-sahutan dari kejauhan. Eriska tidur tengkurap di kasurnya. Semakin lama suasana asrama semakin sepi. Tapi entahlah, Eriska tak juga berminat untuk menutup matanya.

         Tangannya sibuk membolak-balik majalah remaja yang diam-diam ia simpan di bawah kasurnya. Ia bisa dihukum jika ketahuan membawa majalah demikian ke dalam asrama. Majalah itu secara sembunyi-sembunyi ia bawa dari rumahnya dan ia baca saat seorangpun sedang tidak ada.

         Bukannya menyeleweng dari peraturan, namun hanya itulah satu-satunya benda menyenangkan yang Eriska miliki. Majalah remaja yang secara khusus meliput sebuah boyband ternama Indonesia. Eriska memandangi satu demi satu foto-foto personelnya yang terpampang di sana. Di usianya yang menginjak remaja, cowok-cowok tampan di dalam majalah tersebut bagaikan menyiramkan oase ke dalam hatinya.

         Dina memandangi Eriska yang sibuk memandangi majalah dari ranjangnya. Hanya dia yang tahu kebiasaan Eriska tiap malam. Dan dia jugalah yang tahu betapa sukanya Eriska pada boyband itu.

         “Besok mereka mau konser, Din. Konser besar! Namanya Big Concert, dalam rangka ulang tahun mereka yang ketiga.” Kata Eriska bercerita.

         Dina diam. Apalagi yang bisa ia respon? Dengan mendengar Eriska berceloteh, itu sudah cukup membuat Eriska senang.

         “Pasti seru banget! Mereka itu keren, pinter nyanyi, pinter nari.” Kata Eriska lagi.

         “Iya, aku tahu mereka pinter nyanyi dan nari. Kamu bilang itu berkali-kali.” Balas Dina.

         “Aku besok mau nonton!”

         Dina tercengang. Ngomong apa Eriska? Dia ngelindur?

         “Mau nonton dimana? TV di kantin kan lagi rusak.” Tanya Dina.

         “Aku mau nonton langsung. Kamu tidak tahu, ya? Aku sudah beli tiketnya diam-diam.” Jawab Eriska. Rasa senang yang teramat sangat terpancar dari wajahnya.

         “Kamu ngigau, ya?” sergah Dina. Ia memandangi Eriska dengan tatapan heran.

         “Besok pagi-pagi pura-pura mau fotocopy buku biar bisa keluar dari gerbang. Lalu naik bus ke Jakarta.” Kata Eriska sambil membalik majalahnya, “Eh, Din, kamu jaga rahasia, ya. Bilang saja aku lagi sakit ke ustad pas jadwal ngaji ashar. Mungkin aku baru nyampe sini mau maghrib.”

         Dina menelan ludah.

-------------------------------------------------------


Bersambung ke Part 8 ....


Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar