4 Agustus 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 15


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo



         “Anda keluarga pasien?”

         “Iya, Dokter.”

         “Kami menemukan gumpalan darah. Belum terlalu besar, tapi akan terus tumbuh seiring berjalannya waktu. Sepertinya gumpalan ini yang menyebabkan pasien tidak sadarkan diri selama tiga hari kemarin.”

         “Sepertinya kepala pasien terlalu banyak mendapat hantaman pada saat kejadian. Terjadi pendarahan antara otak dan epidura. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami kerusakan otak sedikit demi sedikit.”

         “Masalah ini bisa dipecahkan dengan operasi. Menghentikan pendarahan, sehingga gumpalan darah tidak semakin besar.”

         “Saya harap Anda merahasiakan keadaan ini dari pasien. Bisa gawat jika psikologinya terguncang. Pendarahan bisa-bisa bertambah parah.”

         “I-iya...”

          # # # # # # # # # #

         “Pendarahan ya, Bis?”


         “Pen-pendarahan apaan? Ngigau kamu!”

         “Aku ngga mau operasi, Bis.”

         EH?

         “Hanya pendarahan kecil, nyantai saja!”

         “Kamu nyadar tidak sih, Ngga?! Nyawamu sekarang sedang dalam bahaya! Masih sempat-sempatnya kamu main rahasia-rahasiaan??”

         “Sudah petang, kamu ngga sholat maghrib?” tegur Rangga tanpa mengindahkan perkataan Bisma.

         Bisma berdecak. Jantungnya serasa semakin sesak. Kekhawatirannya menggunung, tapi kenapa Rangga bisa sesantai itu?!

         # # # # # # # # # # # # #

         Pagi menjelang. Sinar matahari perlahan muncul dan menggantikan gelap malam. Bulir embun masih bergantungan di pucuk-pucuk dedaunan. Lelah berseteru semalaman, Bisma kembali masuk ke dalam ruangan dan menengok Rangga. Semalaman ia tidur di mushalah rumah sakit.

         Masih sama. Begitu masuk ke dalam kamar, pemandangan yang sama dari awal ia masuk tidak berubah. Rangga masih terbaring di ranjangnya dengan kabel-kabel medis di sekelilingnya. Bedanya, sekarang Rangga lebih sering terjaga. Meski sekedar memandangi langit-langit dengan tatapan hampa.

         “Keluyuran kemana semalam?” tegur Rangga begitu melihat Bisma masuk ruangan.

         Bisma mendengus.

         “Kamu pulang aja, Bis!” perintah Rangga.

         “Hah?”

         “Pulang ke pesantren! Kamu ingat ngga kapan terakhir kamu mandi? Pulang aja sana! Mandi! Ganti baju!”

         “Ngga penting. Wudhu lima kali sehari udah cukup!” bela Bisma.

         “Jangan nyangkal! Pulang sana!”

         Bisma memandang Rangga sinis. Bernada membentak, tapi ia tahu Rangga sengaja melakukan itu demi dirinya. Lelah dari semalam bersihtegang dengan Rangga. Tidak ada pilihan lain selain menurutinya kali ini.

         “Sekalian, lihatin Eriska.” pesan Rangga pendek sejenak sebelum Bisma keluar kamar.

         Sontak Bisma menghentikan langkahnya. Sudah ia duga! Selain ngaji, yang ada di otak Rangga itu hanya Eriska!

         Angin pagi masih berhembus. Meski matahari telah bersinar, namun dingin subuh belum juga hilang. Bisma memasuki gerbang pesantren dengan langkah tegap. Dilihatnya para santri masih duduk berjajar di teras mushalah mengikuti kajian subuh.

         Bisma mengepalkan tangannya. Lama tak berhadapan dengan para santri. Sepertinya terlalu lama ia absen mengajar. Rindu rasanya.

         “Kamu kok di sini, Bis?” tegur Reza.

         Bisma menoleh, “Aku disuruh pulang sama Rangga.”

         “Kenapa? Rangga udah dibolehin pulang dari rumah sakit, ya?” tanya Reza.

         Kkh!

         Sepenggal udara serasa menyumbat tenggorokan Bisma. Rangga sudah dibolehkan pulang? Keadaannya saja sekarat sekarang!

         “Bis?”

         “Aah! Iya! Rangga udah baikan, makanya aku disuruh pulang sama dia. Ntar habis dzuhur aku balik lagi ke rumah sakit!” jawab Bisma.

         Bohong!

         “Kalau bisa aku pengen gantiin kamu jaga Rangga, Bis. Tapi di sini lagi banyak tugas. Rangga absen mengajar, aku jadi kelimpungan sendiri. Untung ada Neng Fatimah yang bantu.”

         “I-iya...” Bisma menghela nafas, “Ya sudah, aku ke kamar dulu.” Pamit Bisma. Ia membalikkan badan lalu menyingkir dari hadapan Reza. Dalam hati ia berontak. Rangga sekarat, Za! Rangga sekarat!

         Sibuk dengan pikirannya, Bisma hampir bertubrukan dengan seorang santri. Dilihatnya Dina yang baru turun dari teras mushalah dan hendak kembali ke asrama tiba-tiba berada di depannya.

         “M-maaf, Ustad.” kata Dina. Hatinya berdesir. Seketika ia melangkah mundur ke belakang.

         Bisma mengangguk. Ia melanjutkan langkahnya, namun sejurus kemudian ia mengurungkan niatnya. Tiba-tiba ia teringat permintaan Rangga.

         “Eh, Eriska mana?” tanya Bisma.

         Dina membuka matanya lebar-lebar, “D-di kamar, Ustad.”

         “Tidak ikut kajian?”

         “Badannya panas. Jadi saya tidak tega membangunkan dia.”

         Bisma merogoh saku bajunya. Diambilnya satu bungkus parasetamol dan menyodorkannya pada Dina.

         “Kasih ini ke Eriska. Tiga kali setiap hari sesudah makan, ya.”

         Dina semakin terbengong-bengong. Dengan tangan bergetar ia mengambil obat dari tangan Bisma.

         Bisma tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Ia kemudian berlalu pergi dari hadapan Dina. Meninggalkan Dina yang masih sibuk mencerna apa yang baru saja Bisma katakan padanya. Hampir seminggu tidak ada di pesantren. Begitu datang, Bisma tiba-tiba menanyakan Eriska dan menitipkan obat padanya.

         Ada apa?

         Dina kembali ke dalam asrama. Dilihatnya Eriska tengah duduk di lantai.

         “Udah shalat subuh?” sapa Dina.

         “Sudah barusan. Kamu kenapa tidak bangunin aku?” tanya Eriska.

         “Tidurmu pulas banget, aku ngga tega bangunin. Aku udah ijinin kok ke Ustadzah Fatimah.”

         Dina meletakkan kitabnya. Ia lalu mendekati Eriska dan menyodorkan obat yang Bisma titipkan padanya.

         “Apa ini?” tanya Eriska melihat Dina menyodorkan obat ke hadapannya.

         “Panasmu ngga turun-turun. Ustad Bisma nitipin ini buat kamu.” jawab Dina.

         Tanpa banyak berpikir Eriska meraih sebungkus obat dari tangan Dina. Ia lalu mengambil segelas air dan meminumnya.

         “Ustad Bisma udah balik ke pesantren?” tanya Eriska.

         Dina mengangguk.

         Eriska meneruskan meneguk air dari gelasnya. Sedikitpun tidak ada yang terbesit di pikirannya. Hingga kemudian ia teringat sesuatu tepat pada tegukan terakhir. Sesuatu yang sangat sensitif yang seharusnya ia ingat-ingat sebagai orang yang paling dekat dengan Dina. Sesuatu yang rapuh, bahwa obat yang ia minum sekarang ini adalah pemberian dari orang yang dicintai Dina.

         Eriska terdiam. Dipandanginya Dina yang duduk menunduk di sebelahnya. Di saat yang bersamaan Dina balik menatapnya.

         “Maafin aku, Din.” Ucap Eriska.

         Sebisa Dina tersenyum. Sebisanya menyembunyikan kecemburuannya. Eriska akan tetap tahu apa yang ada di hatinya.

         “Ngga apa-apa, Eris. Aku sendiri juga kaget tiba-tiba Ustad Bisma nanyain kamu ke aku.”

         “Aku ngga ada maksud, Din.”

         “Iya, aku tahu.” Sergah Dina. Ia lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju lemari pakaiannya. Ia mengambil seragam sekolahnya dan berganti pakaian.

         Hanya bisa menjawab tiga kata. Selebihnya, hatinya semrawut. Jika diperbolehkan, ia ingin seperti Eriska. Sering mendapat perhatian dari para ustad, termasuk ustad yang ia kagumi.

         # # # # # # # # # # # # # # # # # #

         “Eriska....” panggil Dicky sumringah. Ia berjalan menghampiri Eriska yang baru duduk di bangkunya.

         Eriska menoleh.

         “Udah sembuh sakitnya?” tanya Dicky.

         “Udah.”

         “Nanti ke perpustakaan bareng, ya.”

         “Udah bel, Dick.” sahut Eriska. Sedikitpun ia tidak menatap mata Dicky saat bicara.

         Kembalilah Dick. Aku ingin istirahat dari kamu.

         “Kamu kenapa sihh?” sergah Dicky dengan nada naik satu oktaf.

         “Udah bel, Dicky. Mending kamu kembali ke meja kamu, Ustadzah bentar lagi datang.”

         “Aku ngga peduli! Aku tunggu di perpustakaan nanti saat istirahat.” Ucap Dicky lalu berlalu ke mejanya.

         Eriska menundukkan wajahnya. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Dicky? Tidak kapok dia dengan hukuman dan amukan Ustad Reza beberapa minggu lalu??

         # # # # # # # # # # # # # #

         Matahari semakin beranjak tinggi. Masih di atas ranjangnya, Rangga terduduk sayu. Ia memandangi layar handphone hampa. Seperti hendak melakukan sesuatu, namun selalu ia urungkan niatnya.

         Ia menghela nafas. Akhirnya ia putuskan bulat-bulat untuk menelpon ayahnya.

         Tuuut, tuuut....

         Tidak ada jawaban. Hingga kemudian suara operator yang menyambut panggilan Rangga.

         Tidak menyerah, Rangga kembali menekan nomor ayahnya dan meneleponnya sekali lagi.

         “Hallo?” jawab seseorang bersuara berat dari seberang sana.

         “Hallo, Ayah...” jawab Rangga.

         “Rangga? ada apa?”

         “Ayah dimana?”

         “Ada apa kamu tiba-tiba tanya keberadaan ayah?”

         “Kapan ayah pulang?”

         “Ayah dan ibumu masih sibuk. Sudahlah! Sudah ada Kiai Mahmud, kamu tidak usah menanyakan Ayah Ibumu lagi.”

         Sebenarnya aku anak siapa?!

         Rangga mengangguk. Ia mengucap salam lalu menutup telponnya.

         Sudah ia duga. Pasti akan percuma! Percuma menelpon orang tuanya. Seolah tenang telah menitipkannya pada Kiai Mahmud dan melepasnya tanpa ikatan. Benar ia sudah dewasa, tapi bukankah keluarga tetaplah keluarga?

         “Rangga? Sudah bangun?” tiba-tiba Kiai Mahmud menegur Rangga dari balik pintu.

         “I-iya, Kiai.”

         Kiai Mahmud masuk diikuti oleh Fatimah dari belakang. Rangga terhenyak Pesona jelita Neng Fatimah seperti memberikan warna lain di kamarnya.

         “Kiai bawakan kamu buah-buahan.” ujar Kiai Mahmud sambil melihat Fatimah meletakkan sekeranjang buah dan termos air di atas meja.

         “Sejak awal Kiai sudah bilang untuk berhenti memperhatikan Eriska, tapi masih saja kamu lakukan. Tidak nyangka akan separah ini dampaknya.” kata Kiai Mahmud. Seperti tidak habis pikir dengan yang terjadi pada Rangga dan sebab yang ada di baliknya.

         Rangga duduk terdiam di atas ranjangnya.


         “Ehm, Kiai...” panggil Rangga takdzim.

         Kiai Mahmud menoleh.

         “Saya ingin pulang.” Ucap Rangga

         “Loh? Sudah minta pulang? Emangnya kamu sudah sembuh?”

         “Sudah, Kiai. Luka-lukanya juga sudah sembuh. Saya sudah bisa berjalan.”

         Kiai Mahmud memandangi Rangga cermat-cermat. Sejurus kemudian ia mengangguk maklum. Sejenak menunggu Fatimah menuangkan teh hangat ke gelas dan memberikannya pada Rangga, Kiai Mahmud lalu keluar dibarengi Fatimah. Berdua menuju meja administrasi menanyakan ijin kepulangan Rangga.

         Rangga diam menatap segelas teh hangat di tangannya. Di matanya masih terbayang tangan lembut Fatimah saat menyodorkannya padanya. Rangga lagi-lagi menghela nafas.

         Tiba-tiba pintu terbuka. Muncul Bisma dari balik pintu sambil bersiul kecil.

         “Ngapain kamu di sini?” tegur Rangga melihat kemunculan Bisma.

         “HAH?!”

         “Kamu udah pulang ke pesantren, ngapain balik lagi ke sini?!”

         “Jahat banget! Ya nengok kamu, lah!” jawab Bisma gregetan.

         “Udah ada Kiai Mahmud sama Neng Fatimah di sini, mending kamu balik aja ke pesantren.”

         “Kiai Mahmud dan Neng Fatimah? Mana?” tanya Bisma kaget. Ia celingukan ke sekeliling kamar. Hingga kemudian pintu dibuka oleh seseorang. Muncul Kiai Mahmud sambil memegang selembar kertas.

         “Bisma? Di sini kamu?” sapa Kiai Mahmud.

         “Iya, Kiai. Barusan sampai.”

         “Ya, sudah. Kamu saja yang menemani Rangga. Sekalian bantuin mengemas barangnya. Besok pagi Rangga sudah boleh pulang.”

         Bisma tersentak kaget mendengar perkataan Kiai Mahmud.

         “Kiai duluan. Sudah ditunggu Fatimah di mobil. Assalamu’alaikum.” pamit Kiai Mahmud.

         “Wa’alaikum salam.” jawab Rangga. Sementara Bisma hanya sempat menganga tanpa sempat menjawab salam dari Kiai Mahmud. Sontak ia menoleh ke arah Rangga dengan mata terbuka lebar.

         “Pulang? Besok pagi kamu pulang, Ngga??!” pekik Bisma.

         “Iya, bosan aku tidur terus.” jawab Rangga enteng.

         “Kamu mikir apa sih, Ngga?! Bukan masalah bosan atau tidak! Pendarahan di otak kamu masih....”

         BUGGH!

         Rangga melempar bantal yang ada di sampingnya ke wajah Bisma.

         “Hush! Diam kamu! Kiai Mahmud belum terlalu jauh! Bisa gawat kalau dia dengar.” sahut Rangga sebal.

         Bisma menatap Rangga miris, “Y-ya, setidaknya biarin kamu sembuh dulu!”

         “Aku sudah sembuh! Luka-lukanya ngga seberapa, dan sekarang semua sudah kering.”

         Hap! Rangga turun dari ranjangnya. Ia berjalan menghampiri cendela kamar dan menikmati pemandangan di luar sana. Mengacuhkan Bisma yang masih berdiri tegap memandanginya dari belakang.

         “Kalau kamu keberatan mengemasi barangku, biar aku sendiri yang melakukannya.” ujar Rangga kemudian.

         Bisma menunduk. Ia berjalan menghampiri ranjang milik Rangga lalu mendudukinya. Hangat. Terasa nyaman dan membuat betah. Tapi entah kenapa Rangga terlihat tidak kerasan beristirahat di situ.

         Dilihatnya selang infus menjuntai di atas selimut Rangga. Seperti baru saja dilepas paksa.

         Memang benar semua lukanya sembuh. Tapi luka yang ada di dalam tubuhnya tidak ada satupun yang membaik. Seharusnya Rangga menyadari itu!

         “Sudahlah, Bis. Tidak usah memasang muka cemberut seperti itu. Kamu jadi tambah jelek.” seloroh Rangga.

         Bisma masih terdiam. Tidak berminat membalas gurauan Rangga.

         “Lagipula apa bedanya? Jika nanti aku dioperasi lalu mati di atas meja operasi. Sama saja kan?”

         Bisma ganti menatap Rangga.

         “Atau operasinya berhasil, tapi aku harus menerima efek sampingnya? Bagaimana jika aku lumpuh setelah operasi? Atau aku hilang ingatan?”

         Hening. Bisma diam seribu bahasa.

---------------------------------------------------


Bersambung ke part 16

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar