4 Agustus 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 16


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo

----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"

---------------------------------------------------------------------

         “Pulang? Besok pagi kamu pulang, Ngga??!”

         “Iya, bosan aku tidur terus.”

         “Kamu mikir apa sih, Ngga?! Bukan masalah bosan atau tidak! Pendarahan di otak kamu masih....”

         # # # # #

         “Sudahlah, Bis. Tidak usah memasang muka cemberut seperti itu. Kamu jadi tambah jelek.”

         “Lagipula apa bedanya? Jika nanti aku dioperasi lalu mati di atas meja operasi. Sama saja kan?”

         Bisma ganti menatap Rangga.

         “Atau operasinya berhasil, tapi aku harus menerima efek sampingnya? Bagaimana jika aku lumpuh setelah operasi? Atau aku hilang ingatan?”


         Semakin hening. Bisma benar-benar kehabisan kata-kata untuk menanggapi pemikiran Rangga.

         Percuma marah dan memasang wajah ngambek, kepulangan Rangga tetap terjadi. Pagi hari Kiai Mahmud datang dengan membawa mobil untuk membawa Rangga kembali ke pesantren.

         Benar memang Rangga menunjukkan gelagat sehat bugar. Ia berjalan tanpa dituntun dengan gesitnya. Seorang dokter sekalipun akan mengira bahwa ia benar-benar sehat.


         Tapi tidak dengan Bisma. Di matanya kepura-puraan Rangga benar-benar cacat. Sebisa ia mengelabuhi orang lain, tapi tidak dengan dia. Berkali-kali terjadi perseteruan di hatinya. Ingin bilang pada Kiai Mahmud tentang kondisi Rangga yang sebenarnya, tapi seketika itu juga sudut hatinya yang lain mencegah. Bisma mengucap istighfar, berusaha keras mengingat perkataan Rangga tempo hari.

         “Iya! Aku akan operasi! Tapi suatu saat nanti jika saatnya sudah tiba!”

         Kedatangan mobil Kiai Mahmud disambut decak syukur dari santri yang berkerumun di depan gerbang. Mengelus lega akhirnya melihat kepulangan ustad mereka yang sempat terancam nyawanya beberapa waktu lalu. Reza menyambut Rangga turun dari mobil. Sementara Bisma dibantu santri lain menurunkan barang dari bagasi.

         “Tidak usah, Za. Aku bisa sendiri.” Sahut Rangga lirih saat Reza berusaha memapahnya. Ia lalu berjalan tegap menuju kamarnya. Bahkan sempat menyalami santri-santri yang mengerumuninya.

         Bisma berdecak. Lagi-lagi berpura-pura!

         Agak jauh dari keramaian itu, sepasang bola mata mengawasi Rangga dengan jeli. Tatap mata penuh ucap syukur namun bercampur rasa bersalah.

         “Maafin Eriska, Ustad.” Batin Eriska dengan air mata berlinang.

         # # # # # # # # # #

        Tidak ada yang lebih baik selain kembali ke rumah sendiri. Jika Tuhan memberikan kesempatan terakhir, berada di tengah orang yang kita sayangi adalah pilihan terbaik.

         Jamaah subuh baru saja usai. Rangga berjalan menuju kamarnya sambil melipat sejadah di tangannya. Tidak ada yang berbeda. Rutinitasnya masih sama seperti dahulu.

         Menginjak depan kamarnya, dilihatnya Neng Fatimah tengah berdiri di sana sambil membawa nampan makanan. Seketika Rangga menghentikan langkahnya.

         “Neng Fatimah?” tegur Rangga.

         Fatimah menoleh, “Ustad, saya datang membawa makanan untuk Ustad.” Kata Fatimah.

         “Tidak usah repot-repot, Neng.”

         “Ini disuruh Abah.” Balas Fatimah. Ia lalu menyodorkan senampan makanan itu ke tangan Rangga. Setelah itu, Neng Fatimah menganggukkan kepalanya dan berlalu pergi.

         Rangga diam menatap makanan di tangannya. Tidak hanya sekali ini. Sudah seminggu sejak ia kembali ke pesantren, Neng Fatimah selalu mengantarkan makanan untuknya di subuh hari.

         Jika diinginkan, ia ingin sepenuhnya kembali menjadi Rangga yang dulu. Mendapat perhatian lebih seperti ini sangat membuatnya tidak nyaman. Justru hanya mengingatkannya lagi ke otaknya.

         Rangga meletakkan nampan makanan ke atas mejanya dengan tergesa-gesa. Ia memejamkan matanya, sementara tangan kirinya meremas pelipis kepalanya.

         Lagi, rasa sakit itu datang! Rangga meremas sebelah kepalanya keras-keras. Sebisa mungkin menekan nyeri yang menyerang kepalanya. Digigitnya bibirnya. Berusaha menahan suaranya yang ingin menjerit.

         Hilang~...

         Hitungan detik setelahnya rasa nyeri yang luar biasa itu hilang. Rangga melepas cengkeraman kepalanya dengan nafas tersengal-sengal. Untuk ke sekian kalinya hal tersebut terjadi. Sesuai dengan perkataan dokter beberapa waktu lalu. Ia akan mengalami sakit yang hebat di kepalanya selama beberapa detik. Namun kemudian hilang tanpa sebab.


         Tidak masalah! Tidak apa-apa selama tidak ada orang tahu!

         Rangga meraih kitab yang tertata di raknya. Ia lalu berjalan menuju teras mushalah bersiap mengisi kajian subuh. Namun, dilihatnya Bisma telah berdiri di sana mengajar para santri.

         Rangga berdecak. Untuk ke sekian kalinya. Semua jam mengajar Rangga diambil alih oleh Bisma. Ia rela kelimpungan berlari dari kelas ke kelas demi mengisi pelajaran yang milik Rangga.

         “Kamu mau sampe kapan merebut jam pelajaranku?” sergah Rangga sesaat setelah kajian subuh usai.

         “Sampe kamu sadar diri dan mau operasi!” jawab Bisma sambil merapikan kitab-kitabnya.

         “Ck! Sudahlah, Bis!”

         “Nggak ada sudahlah! Kamu ngga akan aku ijinin ngajar sampai kamu mau operasi!” balas Bisma.

         Rangga terdiam. Malas membicarakan masalah operasinya di pesantren.

         Tiba-tiba dilihatnya Kiai Mahmud berjalan menuju mushalah. Rangga sontak menghampiri Kiai Mahmud.

         “Kiriman Al Quran dari yayasan sebentar lagi datang. Kamu yang urus, ya. Tata di perpustakaan.” jelas Kiai Mahmud pendek.

         “Iya, Kiai.”

         Kiai Mahmud mengangguk. Ia membalikkan badan dan bersiap pergi. Namun, dipanggil lagi oleh Rangga.

         “Ehm, Kiai...”

         “Ada apa?” tanya Kiai Mahmud.

         “T-tentang kiriman makanan tiap subuh. Besok tidak usah mengirim ke kamar tidak apa-apa, Kiai. Saya jadi tidak enak.” Ucap Rangga.

         Kiai Mahmud mengernyitkan dahinya, “Kiriman makanan tiap subuh?”

         Rangga bingung, kenapa Kiai balik bertanya?

         “Kiriman makanan apa? Kiai tidak pernah ngirimi makanan ke kamarmu.” Kata Kiai Mahmud.

         “Ta-tapi, kata Neng Fatimah~...”

         “Oalaah, jadi itu tujuan dia masak subuh-subuh.” kata Kiai Mahmud sambil tersenyum, “Bukan Kiai yang nyuruh. Itu maunya Fatimah sendiri.”

         Rangga bengong. Kiai Mahmud tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya menuju rumahnya. Selama ini ia hanya bisa keheranan melihat Fatimah masak di dapur subuh-subuh. Tahunya makanan yang ia masak ia berikan pada Rangga. Sepertinya diam-diam Fatimah memberi perhatian pada Rangga.

         “Gimana? Sudah belanja buat dimasak besok?” tegur Kiai Mahmud begitu sampai di rumahnya. Dilihatnya Fatimah tengah duduk menonton TV di ruang keluarga.

         “Belanja apa, Abah?” tanya Fatimah.

         “Rangga barusan ngomong sama Kiai. Oalaah, Rangga dimasakin, masa abah sendiri tidak dimasakin juga~..” goda Kiai Mahmud.

         Fatimah sontak mengalihkan wajahnya. Rona merah menyemburat di pipinya yang putih langsat.

         “Kok diam? Gimana kalau Abah ngomong ke Rangga?”

         “Abah apaan sih...”

         “Atau sekalian Abah hubungi neneknya Rangga? Biar ada pertemuan keluarga?”

         Rona merah semakin menjadi-jadi di pipi Fatimah. Ia hanya diam cemberut mendengar candaan Abahnya. Kiai Mahmud justru tertawa melihat putrinya tersipu malu.

         Kiai Mahmud diam sejenak. Terbesit hal yang sudah familiar di otaknya. Pantas saja Fatimah merasa tidak kerasan berumahtangga dengan Ilham. Mungkin perasaan Fatimah yang sampai sekarang tidak bisa berubah. Sejak masih remaja ia memang menyimpan rasa pada Rangga.

         Tidak semudah itu menjodohkan Fatimah dan Rangga. Benar Fatimah ada rasa pada Rangga, tapi Rangga?

         Kiai Mahmud menghela nafas. Lebih baik ia menyimpan dulu rencananya, toh masa idah Fatimah masih belum habis.

         Sementara itu, tak jauh dari sana, nampak Rangga mengusung sebuah kardus ke dalam perpustakaan. Namun, saat hendak masuk ke dalam perpustakaan, dilihatnya Eriska berjalan dari arah berlawanan sambil memeluk sebuuah buku. Sontak Rangga menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian ia menglihkan pandangannya lalu melanjutkan langkahnya.

         Eriska terhenyak. Begitu saja? Hanya bersalipan tanpa saling menyapa.

         “Ustad~...” panggil Eriska.

         Rangga meletakkan kardus di tangannya. Ia lalu menolehkan kepalanya, “Ada apa?”

         “Ustad sudah sembuh?”

         “Sudah,” jawab Rangga.

         “Tapi, kenapa sekarang tidak pernah mengajar?” tanya Eriska. Ia memberanikan diri menatap mata Rangga. tapi, entahlah. Rangga justru berusaha menghindar darinya.

         Rangga diam berpikir. Berusaha keras menemukan alasan di depan Eriska. Tanpa ia duga tiba-tiba muncul Dicky dari balik pintu.

         “Eriska! Udah lama nunggu? Maaf lama, tadi aku ke toilet sebentar...” seru Dicky. Ia memasang wajah sumringah dan tidak menyadari keberadaan Rangga.

         Eriska tersentak kaget. Tidak sempat ia menjawab kata-kata Dicky, dilihatnya Rangga telah berbalik badan.

         “Ayo! Buruan...” ajak Dicky. Tanpa sungkan ia menarik tangan Eriska dan mengajaknya keluar dari perpustakaan.

         Rangga menundukkan kepalanya. Tangannya lemas mengeluarkan Al Quran dari dalam kardus satu per satu.

         Mereka berdua masih berhubungan? Ck...!

         Srettt!!!

         Tiba-tiba sakit itu datang lagi. Spontan Rangga meletakkan Al Quran di tangannya dan berganti memegang kepalanya. Terasa pening. Ia bahkan tidak bisa merasakan apakah kakinya menginjak lantai apa tidak sekarang. Sepersekian detik kemudian sakitnya tiba-tiba berhenti. Berganti dengan nafasnya yang tersengal-sengal.

         Sementara itu di koridor sekolah, nampak Eriska berjalan mengekor di belakang Dicky. Ia menatap Dicky emosi sementara sebelah tangannya ditarik oleh Dicky.

         “Udah, Dick!” bentak Eriska sambil menghempaskan genggaman tangan Dicky.

         Dicky menoleh. Ia menatap Eriska keheranan.

         “Apa?”

         “Aku bilang udah. Kamu narik-narik tangan aku, kita ini bukan muhrim! Kalau Ustadzah tahu gimana?!”

         “Kamu kenapa, sih?” bentak Dicky balik bertanya. Ia ikut memasang wajah emosi.

         “Aku bisa jalan sendiri, ngga usah dipegangi.” Jawab Eriska ketus.

         “Kamu berubah Eris! Kamu ngga kayak dulu lagi! Kamu nyadar nggak?”

         Eriska menghembuskan nafas berat. Tanpa mengindahkan perkataan Dicky, ia berjalan mendahului Dicky ke kelas. Sebisa mungkin ia menahan perasaan untuk kembali ke perpustakaan. Lama tidak berbicara dengan Ustad Rangga. ia ingin lebih lama menanyakan kondisi Rangga. Tapi di saat momen itu datang, Dicky justru merusak semuanya. Menyebalkan!

         “Eriska!” panggil Dicky.

         Tidak bergeming. Eriska tetap berjalan lurus meninggalkan Dicky.


         Prakk!!

         Dicky membanting buku yang dipegangnya ke lantai. Emosinya serasa meletup-letup.

-----------------------------

Bersambung ke Part 17




Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar