16 Agustus 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 17

Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini) / Admin4

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo

----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"

---------------------------------------------------------------------


        “Gimana? Sudah belanja buat dimasak besok?”

         “Belanja apa, Abah?”

         “Rangga barusan ngomong sama Kiai. Oalaah, Rangga dimasakin, masa abah sendiri tidak dimasakin juga~..”

         “Kok diam? Gimana kalau Abah ngomong ke Rangga?”

         “Abah apaan sih...”

         “Atau sekalian Abah hubungi neneknya Rangga? Biar ada pertemuan keluarga?”

         ##############

         “Ustad sudah sembuh?”

         “Sudah,”

         “Tapi, kenapa sekarang tidak pernah mengajar?”

         “Eriska! Udah lama nunggu? Maaf lama, tadi aku ke toilet sebentar...” seru Dicky. Ia memasang wajah sumringah dan tidak menyadari keberadaan Rangga.

         “Udah, Dick!” bentak Eriska sambil menghempaskan genggaman tangan Dicky.

         Dicky menoleh. Ia menatap Eriska keheranan.

         “Apa?”



         “Aku bilang udah. Kamu narik-narik tangan aku, kita ini bukan muhrim! Kalau Ustadzah tahu gimana?!”

         “Kamu kenapa, sih?” bentak Dicky balik bertanya. Ia ikut memasang wajah emosi.

         “Aku bisa jalan sendiri, ngga usah dipegangi.” Jawab Eriska ketus.

         “Kamu berubah Eris! Kamu ngga kayak dulu lagi! Kamu nyadar nggak?”

         Prakk!!

         Dicky membanting buku yang dipegangnya ke lantai. Emosinya serasa meletup-letup.


         Tanpa sepengetahuan Dicky, Eriska memutar langkahnya melewati halaman madrasah. Tidak peduli bel masuk akan segera berdering, Eriska tetap berbulat hati untuk kembali ke perpustakaan. Ia ingin menemui Rangga. Ia ingin kembali seperti dulu, dan yang terpenting, Ustad Rangga harus tahu bahwa sekarang dia dan Dicky tidak ada apa-apa lagi.

         Namun, nihil. Begitu ia sampai di perpustkaan, tidak dilihatnya Ustad Rangga di sana. Lemari tempat Rangga menata Al Quran pun telah tertutup rapi.

         Eriska mendesah. Ia menggigit bibirnya kencang, berusaha untuk tidak menangis.

         “Kamu ngga ke kelas, Eris?” tegur seseorang dari belakang. Eriska menoleh, dilihatnya Dina berdiri di belakangnya.

         “Kamu lihat Ustad Rangga nggak?”

         Dina menekuk alisnya, “Nggak tuh.”

         Eriska memasamkan wajahnya. Pelan ia berbalik badan lalu berjalan ke kelas.

         “Ada apa? Kenapa tiba-tiba nyari Ustad Rangga di perpustakaan?” tanya Dina. Ia berjalan cepat mengiringi langkah Eriska.

         “Aku kangen sama dia, Din. Udah berminggu-minggu ngga lihat dia ngajar, kangen banget. Tadi sempat bicara dengan dia di perpustakaan, tapi ada cungkring jelek ngerusak.” Terang Eriska.

         “Mending kamu bilang saja ke Dicky. Bilang kalau kamu nggak suka dia lagi.”

         Eriska terdiam sejenak, “Nggak semudah itu, Din. Kamu ini kayak nggak ngerti aja. Masalah perasaan mana bisa diomongin begitu. Aku takut Dicky sakit hati.”

         Dina mengalihkan matanya, “Ya, aku mana ngerti soal begituan. Yang mahir ‘kan kamu.”

         “Nggak usah merendah! Sok nggak ngerti soal cinta, kamu ‘kan tiap hari mikirin Ustad Bisma...” seloroh Eriska.

         “Tapi ‘kan nggak seperti kamu. Kamu suka Ustad Rangga terus dibalas. Nah aku? Dari dulu bertepuk sebelah tangan terus.”

         Sreeet.

         Dina dan Eriska menghentikan langkahnya. Tiba-tiba keduanya merasakan seseorang tengah berdiri di belakang mereka. Dina memandang Eriska tegang. Perlahan lalu keduanya menolehkan kepala ke belakang. Dan seketika itu juga Dina serasa ingin menjerit.

         Ustad Bisma???!!!

         Dilihatnya Ustad Bisma tengah berdiri beberapa meter di belakang mereka. Dina dan Eriska mengatupkan bibir rapat-rapat. Bisma pun diam menatap dua orang santri di depannya. Sekian detik suasana hening. Hingga kemudian Bisma melangkahkan kakinya lalu berbelok ke tikungan lorong.

         “Eriskaaaa! Gimana ini?! Gimana ini?!” pekik Dina. Dia beringas mengguncang-guncangkan lengan Eriska. Darahnya serasa berhenti mengalir saat itu juga.

         “Apanya yang gimana ini?” balas Eriska.

         “Tamat riwayatku! Ustad Bisma denger semuanya, Eris! Kamu kenapa nggak bilang tadi kalau di belakang ada Ustad Bisma?” kata Dina panik.

         Eriska menatap kosong ke arah Dina. Tanpa mempedulikan rengekan Dina, ia lalu berjalan mendahului Dina.

         “Eriska!!”

         “Aku bersyukur banget tadi Ustad Bisma dengerin omongan kamu. Selama ini aku gregetan tahu nggak lihat kamu! Suka sama orang tapi diam-diaman terus! Kayak anak SD aja!”

         “Aku malu tau!! Aku nggak kayak kamu!”

         “Nggak usah malu-malu. Ntar kalau Ustad Bisma diembat cewek lain, kamu yang nangis~...”

         Dina memanyunkan bibirnya. Dalam keadaan panik begini, Eriska malah meledeknya. Dengan langkah cepat Dina berjalan menyalip Eriska dan masuk ke kelas.

         Eriska tersenyum simpul melihat tingkah Dina. Baru sekarang dilihatnya Dina sepanik itu.

         # # # # # # # # # # # #

         Malam menjelang. Dengung tasrif sharaf dari para santri yang sedang kajian ba’da maghrib menggema  ke seluruh penjuru pesantren. Istiqomah yang demikian adanya. Hanya satu yang beda. Kali ini lagi-lagi Rangga hanya bisa berdiri mengawasi santri dari kejauhan. Nampak Bisma berdiri di depan sana mengajar dengan sebuah kitab terbuka di tangannya.

        Rangga mendesah. Jika begini apa bedanya dengan menginap di rumah sakit? Bosan tiap hari hanya diam tidak beraktivitas.

         “Tidak ngajar, Ngga?” tegur Kiai Mahmud dari belakang.

         Rangga menoleh. Ia lalu mundur selangkah memberi hormat pada Kiai Mahmud.

         “Kiai lihat-lihat kamu jarang ngajar belakangan ini.”

         “Ehm, bagi tugas dengan Bisma, Kiai.”

         “Oh...” Kiai Mahmud mendehem. Ia mendekat selangkah ke arah Rangga.

         “Bagaimana kabar nenekmu di rumah? Masih sering telpon?” tanya Kiai Mahmud membuka pembicaraan.

         “Iya, Kiai...”

         “Bertahun-tahun kamu tinggal, pasti nenekmu tambah renta. Kamu nggak pengen nemanin dia?”

         Rangga terdiam. Apa maksud Kiai Mahmud?

         “Buruan ajak calonmu ke pelaminan, lalu tinggal di rumah nenekmu sekalian nemanin dia.”

         Rangga terhenyak.

         “Kenapa diam? Atau belum punya calon?” tanya Kiai Mahmud.

         “Be-belum, Kiai. Belum berpikir ke sana.”

         “Oalah, sudah sebesar ini, masih saja belum punya calon.”

         Rangga diam menatap tanah. Dalam hati ia sibuk menebak-nebak, ada apa Kiai Mahmud tiba-tiba menanyakan hal ini?

         Kiai Mahmud menatap langit dengan teduh. Rangga pun turut diam selama Kiai Mahmud tidak membuka pembicaraan. Lama keduanya saling hening.

         “Fatimah itu cerai dari Ilham, karena memang sejak dulu tidak punya perasaan pada Ilham. Kiai yang terlalu memaksa dia.” Kata Kiai Mahmud tiba-tiba.

         Rangga menatap Kiai Mahmud sepintas.

         “Bagaimana menurutmu Fatimah?”

         “Eh?”

         “Menurut kamu, Fatimah itu perempuan yang bagaimana?”

         “B-baik, Kiai. Neng Fatimah juga cerdas, pintar, ....”

         “Cantik?”

         “Iya, cantik....”

         Kiai Mahmud terkekeh. Ditatapnya Rangga sumringah. Rangga turut tersenyum mendengar tawa Kiai Mahmud.

         Kiai Mahmud menepuk pundak Rangga pelan. Beliau lalu pamit pergi menuju rumahnya.

         Rangga diam dalam tanda tanya besar sepergi Kiai Mahmud. Satu per satu ia mencoba mencerna maksud Kiai Mahmud tiba-tiba membicarakan soal calon dan menanyakan Neng Fatimah. Ada apa? Apakah Kiai Mahmud tidak salah orang?

         “Ciyee! Yang lagi dicalon-calonin sama Kiai...” goda seseorang dari belakang. Muncul Reza sambil melipat sajadahnya.

         “Eja?!”

         “Afwan, Ngga. Sebenarnya nggak maksud nguping. Tapi dari tadi aku duduk di sana sambil ngaji. Kiai Mahmud ngomongnya keras banget, mau tidak mau ya dengar aku.”

         Rangga menatap Reza tanpa ekspresi. Ia lebih memilih sibuk dengan pikirannya sendiri.

         “Kayaknya Kiai Mahmud suka sama kamu, Ngga!” ujar Reza.

         “Salah orang kali, Ja!”

         “Nggak usah ditutup-tutupin. Rejeki jangan ditolak! Dapat perempuan sholehah, pintar, cantik, putri Kiai lagi!”

         Rangga menyikut Reza. Sontak Reza tertawa. Sukses menggoda Rangga dan membuat Rangga tersipu malu.

         “Wooy! Isya’ !! Siapa jadwal adzan hari ini?” Seru Bisma dari pintu mushalah. ia lalu mendekat ke arah Reza dan Rangga.

        “Bentar, Bis! Ada kabar hangat, nih! Ada yang mau dijodohin sama Neng Fatimah!” ucap Reza.

         “Udah, Ja! Jangan asal ceplas-ceplos. Belum jelas Kiai Mahmud mau ngejodohin apa engga!” sergah Rangga.

         “Beliau udah ngomong panjang lebar begitu, ngga peka banget kamu!” tukas Reza.

         “Dijodohin? Sama Kiai Mahmud? Serius, Ngga?!” sahut Bisma.

         Rangga diam. Digodai Reza saja ia sudah kewalahan. Ditambah Bisma, ia hanya bisa pasrah menjadi bulan-bulanan teman-temannya.

         “Ciyeee! Nggak bisa ngomong orangnya! Malu nih ye?” seru Reza.

         “Adzan isya’! Buruan! Diomelin Kiai Mahmud baru tahu rasa kamu!” perintah Rangga sambil mendorong Reza masuk ke teras mushalah. Sebisa mungkin menghentikan aksi kedua temannya.

         Sepergi Reza, Rangga ganti menatap tajam ke arah Bisma.

         “Apa? Mau ngeledek juga?!” tanya Rangga.

         “Kamu itu kayak peribahasa  Pucuk dicinta ulampun sayang...”

         “Pucuk dicinta ulampun tiba!” Ralat Rangga.

         “Iya, maksudku itu. Emang dari dulu kan kamu suka Neng Fatimah?” kata Bisma.

         Rangga terdiam.

         “Terus, kalau kamu dijodohin sama Neng Fatimah, Eriska gimana, Ngga?”

         Rangga tercekat. Ia sontak menoleh ke arah Bisma.

         “Aku ngerasa, Eriska suka beneran sama kamu, Ngga. Tadi siang di sekolah aku ngga sengaja dengar dia ngomong itu.”

         Hening.

         “Kenapa diam? Sebenarnya kamu juga suka sama Eriska ‘kan?”

         “Sudahlah, Bis!”

         “Kamu harus pilih, Ngga! Kamu jelasin ke Eriska besok, atau kamu jelasin ke Kiai Mahmud segera! Sebelum semua terlambat...”

         “Aku bilang sudah!!! Aaaaaghr!”

         Tiba-tiba Rangga meremas kepalanya. Ia berdiri sempoyongan dan kehilangan keseimbangan.

         “Rangga!!!” pekik Bisma. Sontak ia berlari dan berusaha memegangi Rangga.

-------------------------------------------

Bersambung ke part 18

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar