16 Agustus 2013

(Cerbung Religi) "Ustad Keren-keren" / Part 18

Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini) / Admin4

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo

----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"

---------------------------------------------------------------------


         “Bertahun-tahun kamu tinggal, pasti nenekmu tambah renta. Kamu nggak pengen nemanin dia?”

         “Buruan ajak calonmu ke pelaminan, lalu tinggal di rumah nenekmu sekalian nemanin dia.”

         “Kenapa diam? Atau belum punya calon?” tanya Kiai Mahmud.

         “Be-belum, Kiai. Belum berpikir ke sana.”

         “Oalah, sudah sebesar ini, masih saja belum punya calon.”

###

         “Fatimah itu cerai dari Ilham, karena memang sejak dulu tidak punya perasaan pada Ilham. Kiai yang terlalu memaksa dia.”

###

         “Ciyee! Yang lagi dicalon-calonin sama Kiai...”

         “Eja?!”

         “Nggak usah ditutup-tutupin. Rejeki jangan ditolak! Dapat perempuan sholehah, pintar, cantik, putri Kiai lagi!”

         “Terus, kalau kamu dijodohin sama Neng Fatimah, Eriska gimana, Ngga?”


         “Aku ngerasa, Eriska suka beneran sama kamu, Ngga. Tadi siang di sekolah aku ngga sengaja dengar dia ngomong itu.”

         “Kenapa diam? Sebenarnya kamu juga suka sama Eriska ‘kan?”

         “Sudahlah, Bis!”

         “Kamu harus pilih, Ngga! Kamu jelasin ke Eriska besok, atau kamu jelasin ke Kiai Mahmud segera! Sebelum semua terlambat...”

         “Aku bilang sudah!!! Aaaaaghr!”

         Tiba-tiba Rangga meremas kepalanya. Ia berdiri sempoyongan dan kehilangan keseimbangan.

         “Rangga!!!” pekik Bisma. Sontak ia berlari dan berusaha memegangi Rangga.

         Luar biasa! Sakit kali ini lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Serasa membuatnya kehilangan kesadaran. Bahkan jika diperbolehkan, ia ingin melepas kepalanya saat itu juga!

         Beberapa orang santri yang melihat kejadian itu berlari membantu Bisma. Mereka memegang tubuh Rangga yang mulai lemas. Pelan-pelan mereka membopong Rangga ke teras mushalah, sementara seorang santri lainnya berlari ke rumah Kiai Mahmud untuk melaporkan kejadian itu.

         # # # # # # # # #

         “Pendarahan otak?!!” ulang Kiai Mahmud dengan penekanan. Ia memandangi dokter muda yang duduk di depannya lekat-lekat.

         Segera setelah Rangga pingsan, Kiai Mahmud dan Bisma membawa Rangga ke rumah sakit. Sementara Rangga terbaring di ranjang rumah sakit, Kiai Mahmud, Bisma dan Neng Fatimah menemui dokter di ruangannya. Tapi bukan kabar baik, Beliau malah mendapat kabar mengejutkan tentang Rangga. Pendarahan otak? Gumpalan darah?

         “Anda baru tahu?? Saya pikir Anda sudah mengetahuinya dari dulu. Saya sudah menjelaskannya pada saudara yang duduk di samping Anda.” Jawab Dokter itu.

         Kiai Mahmud melirik Bisma. Sejurus kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Fatimah yang duduk di sisi kanannya. Tertunduk. Hanya bisa mendengar penjelasan dokter dengan air mata berlinangan.

         “Masalah ini bisa dipecahkan dengan operasi. Pendarahan harus dihentikan agar gumpalan darah tidak semakin besar.”

         Kiai Mahmud mendesah. Ia mengangguk pasrah.

         “Tapi....”

         “Tapi apa, Dokter?” sahut Bisma.

         “Sudah hampir sebulan sejak kecelakaan terjadi, saya tidak bisa memastikan kondisi pasien. Jika sejak awal operasi dilakukan, kemungkinan berhasil akan besar. Melihat keadaan pasien sekarang ini, kemungkinan hidupnya 50:50.” Jelas Dokter berjas putih tersebut.

         Kiai Mahmud dan Bisma terdiam. Hanya isakan Fatimah yang terdengar.

         “Kalaupun berhasil, pasien harus menerima efek sampingnya. Resiko kehilangan memori otak bisa saja terjadi.” Dokter menarik nafas pendek, “Tapi usaha harus tetap dilakukan. Tetap berusaha yang terbaik untuk pasien. Masih ada kesempatan untuk kesembuhannya.” Ujar dokter tersebut. Ia tersenyum tipis untuk meringankan ketakutan Kiai Mahmud.

         Dokter memberi instruksi pada Kiai Mahmud untuk menandatangani surat persetujuan operasi. Beliau lalu beranjak pergi ke lobi utama untuk menyelesaikan  administrasi.

         “Abah duluan saja, Fatimah akan menunggu di sini.” Kata Neng Fatimah pada Kiai Mahmud yang bersiap meninggalkan ruangan dokter

         “Tapi kamu sendirian di sini~....”

         “Tidak apa-apa, nanti Fatimah menyusul~...” ujar Neng Fatimah.

         Kiai Mahmud mengangguk. Ia dan Bisma lalu meninggalkan ruangan dokter. Tinggallah Neng Fatimah dan dokter berdua di ruangan itu.

         “Sebelum saya keluar dari sini, ada yang ingin saya tanyakan pada Dokter.” Ujar Fatimah dengan suara berbisik.


         “Ehm~... iya? Apa?” tanya dokter itu keheranan.

         “Gumpalan darah itu berada di otak bagian mana?” tanya Fatimah.

         “Eh?”

         “Hanya itu yang ingin saya tahu, Dokter.” bujuk Neng Fatimah.

         “P-pendarahan terjadi antara epidura dan otak bagian kiri.” jawab dokter tersebut dengan raut wajah penuh tanda tanya.

         Fatimah mengangguk. Raut wajahnya berubah setelah mendengar jawaban dokter. Ia lalu memohon diri dan pergi dari ruangan itu dengan senyum tertahan di bibirnya.

         Fatimah melangkahkan kakinya menuju lobi utama untuk menemui Abahnya. Sekedar memastikan, apakah administrasi untuk operasi sudah dirampungkan.

         “Tidak jadi operasi?!” sergah Fatimah kaget. Dipandanginya Kiai Mahmud dan Bisma yang duduk di kursi tunggu di depan resepsionis. Bukannya menyelesaikan surat-surat untuk memulai operasi, Kiai Mahmud malah duduk lesu di kursi dan mengatakan Rangga tidak jadi dioperasi.

         “Tapi, Abah! Bagaimana keadaan Rangga jika tidak segera dioperasi?” tanya Fatimah.


         “Kamu dengar ‘kan penjelasan dokter tadi? Kemungkinan hidup Rangga hanya 50:50. Dan kalaupun berhasil, banyak resiko yang harus dia tanggung. Lagipula, dari mana Abah punya uang sebanyak itu untuk membayar operasi? Biayanya puluhan juta, Nak~...” jelas Kiai Mahmud pasrah.

         “Jual saja perhiasan Fatimah. Tanah yang Abah belikan untuk pernikahan Fatimah kemarin juga dijual. Jika ditambah dengan tabungan Fatimah di ATM dan meminjam sedikit dari tetangga, uangnya pasti cukup.” jawab Fatimah beruntun.

         Kiai Mahmud terhenyak. Ia memandang Fatimah keheranan.

         Harus dioperasi! Rangga harus dioperasi! Fatimah terus mengulang kata-kata itu di hatinya. Tidak ada rasa takut sedikitpun. Efek samping tentang kehilangan memori otak sama sekali tidak membuatnya gentar. Justru itu yang ia tunggu-tunggu. Pendarahan terjadi di otak kiri. Dan ia tahu sejak awal, Rangga akan beresiko kehilangan memori otak jangka pendek. Dan itu berarti, ingatannya beberapa tahun terakhir akan terhapus.

         Eriska~.... Iya! Gadis itu yang beberapa tahun belakangan ini memenuhi otak Rangga. Jika memori itu dihilangkan, semuanya akan beres! Ia bisa memiliki Rangga seutuhnya tanpa bayang-bayang Eriska.

         “Fatimah akan pulang ke pesantren sekarang untuk mengurus surat tanah dan perhiasan. Insyaallah sore hari Fatimah akan membawa uangnya ke rumah sakit. Sekarang Abah urusi dulu administrasinya.” Ujar Fatimah.

         Usai berkata demikian, Fatimah mencium tangan Kiai Mahmud khidmat. Ia lalu berbalik badan dan pulang ke pesantren ditemani Bisma. Meninggalkan Kiai Mahmud yang masih diliputi tanda tanya besar.

         Kenapa Fatimah sengotot itu meminta Rangga dioperasi~...

         Setelah menyelesaikan administrasi di resepsionis, Kiai Mahmud melangkahkan kakinya menuju kamar tempat Rangga dirawat. Dilihatnya Rangga masih terbaring di ranjangnya. Selang oksigen melintang di wajahnya yang putih pucat. Kiai Mahmud hanya bisa menghela nafas iba melihat kondisi Rangga.

         Dibenarkannya letak selimut yag menyelimuti Rangga. Jika saja kedua orang tua Rangga yang berada entah dimana tahu hal ini, mungkin mereka bisa membantu. Tapi entahlah, sudah puluhan tahun mereka tidak pernah muncul. Meninggalkan Rangga sendiri di pesantrennya.

         Tok, tok, tok....

         Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar dari luar. Kiai Mahmud menoleh. Muncul Ilham dari balik pintu.

         “Ilham?”


         “Assalamu’alaikum~...” salam Ilham sambil mengangguk kecil.

         “Wa’alaikum salam warrahmatullah~...”      

         “Apa kabar, Kiai?” sapa Ilham. Ia maju beberapa langkah lalu mencium tangan Kiai Mahmud.

         “Alhamdulillah, kabar baik.” Jawab Kiai Mahmud pendek.

         “Tadi saya ke pesantren, tapi Kiai dan Fatimah tidak ada. Setelah tanya-tanya ke Ustad Reza, saya langsung ke sini.”

         “Iya, tadi tiba-tiba ada kejadian genting.” jawab Kiai Mahmud sambil melirik Rangga.

         “Bagaimana keadaannya, Kiai?” tanya Ilham.

         “Sudah diperiksa sama dokter. Rangga sedang tidur sekarang.”

         Ilham terdiam.

         Kiai Mahmud pun turut diam. Dalam hati Beliau menunggu Ilham mengatakan maksud kedatangannya mencari dirinya dan Fatimah.

         “Saya ingin tahu kabar Kiai sekeluarga. Sudah dua bulan tidak bertemu...” kata Ilham memecah keheningan.

         “Kiai sekeluarga, atau Fatimah?”

         Ilham terdiam.

         “Fatimah baru saja pulang ke pesantren. Sepertinya kalian salipan di jalan.”

         “Iya, mungkin saya akan ke sini lagi besok...” kata Ilham. Ia bersiap berbalik badan.

         “Ilham!” panggil Kiai Mahmud, “Sejak awal kamu memang ingin menemui Fatimah, iya ‘kan?”

         Ilham tercekat.

         “Tidak usah ditutup-tutupi, dari dulu Kiai tahu kalau kamu masih mencintai Fatimah.”

         Ilham menghembuskan nafas berat, “S-saya.... saya ingin membicarakan masalah pernikahan kami, Kiai.”

         Kiai Mahmud mengernyitkan dahinya, “Maksud kamu? Kamu ingin rujuk dengan Fatimah?”

         Ilham mengangguk mantap. Ia menatap Kiai Mahmud tanpa keraguan.

         Jadi ini maksud Ilham tiba-tiba mencari Fatimah?

         “Dari dulu saya takut untuk muncul. Takut kedatangan saya tidak diterima. Baru sekarang saya berani melangkah. Saya tidak bisa lagi berbohong Kiai, saya masih mengharapkan Fatimah.”

         Kiai Mahmud mendehem, “Kiai tahu. Karena itulah Kiai berani memasrahkan Fatimah kepada kamu. Hidup wanita pasti akan bahagia di tangan lelaki yang mencintainya. Sebisa kamu bicara pada Fatimah. Fatimah memang gadis penurut, tapi adakalanya dia keras kepala.”

         Kiai Mahmud ganti menatap Ilham lekat-lekat. Dia pernah melihat masa depan Fatimah di dalam mata Ilham. Mestinya bisa. Tapi entahlah, perasaan Fatimah memang susah ditebak.

         Usai mengucap pamit, Ilham memohon pulang. Kiai Mahmud pun keluar dari ruangan mengantar Ilham. Selayaknya mertua yang telah lama tidak berjumpa dengan menantunya, ia ingin mengantar kepulangan Ilham setidaknya sampai beberapa langkah ke depan.

         Pintu ditutup. Ruang kamar kembali sunyi. Semakin lama suara langkah kaki Kiai Mahmud dan Ilham menghilang. Beberapa detik setelahnya, Rangga membuka mata. Ia mendesah.

         Rujuk?

         Benar dugaannya, tidak akan semudah itu selesai. Pasti akan ada ekor masalah dari perceraian Neng Fatimah. Ilham, suaminya, mengharap rujuk selama masa idah Neng Fatimah belum berakhir. Lalu bisa apa dia?

         Rangga masih istiqomah memandang langit-langit kamar rumah sakit. Cahaya lampu sedikitpun tidak mengganggu matanya.

         Fatimah? Ck, sudahlah~....

-------------------------------------

Bersambung ke part 19.... 



Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar