Judul :
Menatap Flamboyan
Author : Fitri Fauziya
Author : Fitri Fauziya
Editor :
@ariek_andini
Genre : Romantic
Cover : @ariek_andini
Cast :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Dicky Prasetyo
- Danita 'Princess'
Genre : Romantic
Cover : @ariek_andini
Cast :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Dicky Prasetyo
- Danita 'Princess'
********************
Campur aduk! Itulah yang ada di benak
Rangga antara bingung dan ada rasa senang dengan jawaban Eriska, 'apa
kakak malu punya pasangan yang buta?' pertanyaan yang terngiang-ngiang di
telinganya. Apa maksudnya? Apa suatu tanda kalau itu jawaban dari Eriska tempo
hari saat ia mengatakan perasaannya pada Eriska?
"Maksudnya?" tanya Dicky. Belum sempat Eriska menjawab pertanyaan Dicky sudah tepotong oleh Rangga.
"Maksud pertanyaan terakhirmu itu, apa artinya kamu juga punya perasaan yang sama sepertiku?" tanya Rangga ragu.
Eriska hanya memejamkan matanya sejenak,
beberapa detik. Sebenarnya dia masih mengharapkan Dicky tapi ia akan mencoba
membuang jauh-jauh rasa itu dan yang di pikirkan sekarang hanya Rangga, orang
yang tulus padanya.
Rangga tak mengerti pejaman mata Eriska. Ia melirik Dicky lalu Dicky
mengangguk seolah mengerti dan menjadi penerjemah maksud Eriska bahwa ia
berkata 'iya'. Rangga pun tersenyum kecil menyembunyikan rasa senangnya.
"Sumpah, Eris! Aku gak bermaksud begitu, aku gak malu kalau kamu buta. Aku hanya ingin kamu bisa merasakan melihat dunia lagi." jelas Rangga.
"Tapi gak seharusnya kakak kasih mata kakak buat aku. Aku hargai pengorbanan kakak." kata Eriska dengan mata berkaca-kaca. Dicky yang duduk disamping Eriska kini merangkul pundak Eriska dan menepuk-nepuk pundaknya.
Nampak hening, tak ada yang membuka suara untuk beberapa detik.
"Mungkin aku lebih senang kalau kakak cari orang lain yang mau mendonorkan matanya." tambah Eriska.
"Jadi, kamu gak marah sama aku? Kamu masih beri aku kesempatan?" tanya Rangga,
Eriska
hanya mengangguk mantap.
"Baiklah, aku akan carikan kamu pendonor mata. Aku janji!" ujar Rangga sumringah. Dicky dan ibu Eriska pun hanya mengembangkan senyumnya dan bernapas lega.
***************
Sempat putus asa. Namun, akhirnya pencarian Rangga menuai hasil. Ia akhirnya menemukan orang yang mengikhlaskan matanya. Seorang pasien di rumah sakit yang mengidap gagal ginjal yang di vonis dokter umurnya takkan lama lagi, ia berpesan jika meninggal anggota tubuh yang masih berfungsi ingin di berikan pada orang yang membutuhkan. Jarang sekali Rangga menemukan orang seperti itu.
Beberapa hari lagi Eriska akan di operasi mata, tak sabar rasanya menuju hari itu, ingin melihat dunia dan orang-orang yang ia sayangi termasuk Rangga.
Sementara Eriska sibuk menghitung hari
menunggu hari operasinya, Dicky memilih sibuk dengan Danita yang belum juga
memberi kejelasan. Sulit untuk menghubunginya lagi seperti dulu. Semua pesan
singkat Dicky tidak mendapat balasan. Hingga akhirnya Dicky memutuskan untuk
mendatangi rumah Danita.
Mungkin Tuhan tak menghendaki kedatangan
Dicky kali ini. Atau mungkin seharusnya dia tetap di rumah menemani Eriska. Bukan
Danita dengan wajah manisnya kali ini yang ia temui, melainkan Danita dengan
rona serius dengan Ilham yang duduk di sisinya. Lagi-lagi seperti menelan fakta
pahit.
Dicky sempat ingin mengurungkan niatnya.
Muak juga rasanya melihat Ilham di sana bersama Danita. Namun saat Dicky
membalikkan badan, tiba-tiba Danita memanggil nama Dicky.
"Dicky, aku minta maaf, ya. Waktu
itu aku pernah bersikap gak enak sama kamu." kata Ilham menyambut
kedatangan Dicky di teras rumah Danita. Ia lalu mengulurkan tangannya. Danita
yang melihatnya hanya tersenyum, sepertinya senang melihat Ilham yang punya
itikat baik meminta maaf terlebih dahulu.
Belum sempat Dicky membalas uluran tangan Ilham, Danita melihat dua orang pemuda berjalan cepat menghampiri Ilham.
Siapa mereka?
Sepersekian detik Danita berpikir keras.
Sejurus kemudian dia mengerjapkan mata. Dilihatnya dua pemuda tegap itu
memondong sebuah balok kayu. Dua pemuda itu semakin mendekat. Entah apa yang
menggerakkan kaki Danita. Gadis berambut sebahu itu langsung melompat ke arah
Ilham dan melindunginya dari ayunan balok kayu yang dihantamkan oleh dua pemuda
garang itu.
“Akh!!!”
Detik jam terasa berhenti seketika itu
juga. Dicky dan Ilham terperanjat. Belum sadar dengan kejadian yang baru saja
terjadi. Tiba-tiba dilihatnya Danita tergolek di lantai dengan darah mengucur
deras.
“Danitaaaa!!!”
Dicky dan Ilham menggoncang-goncangkan
tubuh Danita. Tak ada gerakan. Mata Danita terpejam erat. Ilham melemparkan
pandangannya pada dua orang laki-laki yang berlari kencang meninggalkan
halaman. Ia mendengus dan beranjak ingin mengejar.
“Nggak ada gunanya! Lebih baik bawa
Danita ke rumah sakit daripada mengurusi mereka!!” cegah Dicky.
***********
Selang infus menjuntai. Denting jam dinding
mengisi atmosfer kamar rumah sakit. Ilham menggenggam erat tangan Danita.
Pikirannya campur aduk. Sibuk meladeni kekhawatirannya tentang kondisi Danita
yang tak juga siuman, juga dua laki-laki yang berlari kencang memunggunginya
beberapa jam lalu. Sepenuhnya ia tahu siapa mereka, apa tujuan mereka dan siapa
sasaran mereka. Sial!! Kenapa harus Danita yang menjadi korban??!
Jemari Danita perlahan meremas telapak
tangan Ilham. Ilham terhenyak.
"Danita? Akhirnya kamu sadar juga!"
terlihat semburat senyuman di bibir Ilham. Danita hanya memutar bola matanya
memperhatikan seisi ruangan rumah sakit itu. Ia menyentuh kepalanya yang di
balut dengan perban dan terasa sakit.
"Ilham? Dicky?" tanya Danita yang melihat sosok yang tak asing baginya.
"Danita, maafin aku, ya. Gara-gara mau melindungi ku kamu jadi begini." ujar Ilham, Danita tersenyum.
"Dicky, kamu bisa tinggalin kita
sebentar? Aku mau bicara sama Ilham." pinta Danita.
Lagi-lagi terasa pahit. Dicky mengangguk
lalu melangkah meninggalkan ruang kamar rumah sakit. Tak ada yang bisa
dilakukannya selain menurut. Danita ingin bersama Ilham, begitu?
Aroma obat-obatan semakin menguat di
lorong rumah sakit. Dalam duduknya, Dicky berkutat dengan pikirannya. Ia takut
kalau Danita benar-benar kembali pada Ilham, atau memang mereka sudah kembali?
Jika benar, ia tak akan punya harapan.
"Dick, aku mau pulang dulu, Danita juga mau bicara sama kamu." kata Ilham keluar dari ruangan Danita setelah beberapa menit mengobrol.
Ilham menepuk-nepuk pundak Dicky sebelum
Dicky membuka pintu. Dicky menghentikan tangannya menekan kenop pintu. Heran
dengan tepukan tangan Ilham di pundaknya.
Di ambang pintu, Dicky terus memperhatikan Ilham yang berjalan membelakanginya lalu menghilang di tikungan.
"Kamu udah mendingan sekarang?" tanya Dicky yang kini duduk di tepi ranjang. Danita mengangguk dan tersenyum.
"Dick, aku haus." ucap Danita agak manja. Dicky pun segera menuangkan air kedalam gelas yang ada di atas meja di samping ranjang lalu meminumkan air itu pada Danita.
"Kamu sudah kasih tau hal ini sama orang tua kamu?" tanya Dicky basa basi.
"Sudah, tadi Ilham yang
telpon." jawab Danita.
"Emm, setelah ini aku janji tak akan mengharapkan kamu lagi, cukup berteman saja." kata Dicky menunduk memandang seprai putih di ranjang.
"Kenapa? Padahal aku sudah menolak Ilham."
EH?
*************************************************************
Bersambung ke part 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar