29 November 2013

(Cerbung SMASH) "Sobat yang di Sini" / Part 1

Judul : "Sobat yang di Sini"
Genre : Friendship, Comedy
Author : @ariek_andini
Cover by : @ariek_andini
Cast : Ilham, Dicky, Rangga, Reza, Bisma, Rafael, Morgan

Description : Test, test, sebelum kalian membaca cerbung ini, saya pengen curcol sebentar. :) Sejujurnya ini cerbung udah lama saya buat, udah berbulan2 coy. Jadi, jangan kaget ya kalo misalnya masih ada Morgan di dalam cast.

************

          Wooooi!! Pencuriii!” teriak Dicky membahana. Dia meloncat dari depan kamera ke sofa tempat Rangga dan Reza duduk. Nggak perlu menunggu lama, adu mulut langsung terjadi antara mereka bertiga. Dicky langsung menyabet bungkusan permen dari tangan Rangga dan Reza.

           “Loe lagi giliran dipotret! Ngapain ke sini?!!” tegur Rangga.

           “Pencuri kelas teri loe! Ini yuppy gue!!!” bentak Dicky sambil menyembunyikan sebungkus permen Yuppy di balik punggungnya.

           “Halah! Ngambil sedikit aja kenapa sih!! Jadi orang pelit amat!” sahut Reza.


           “Apanya yang sedikit?! Loe ngambil yuppy gue berkali-kali! Perampok loe!” balas Dicky. Beberapa orang kru yang sedang berada di studio foto saat itu melihati Reza, Dicky dan Rangga keheranan. Heran antara melihat keajaiban, atau kekonyolan personel Smash yang sebenarnya. Perang mulut karena sebungkus permen?

           “Sudah! Sudah!” lerai Rafael sambil berjalan menghampiri ketiganya, “Dick, loe kembali sana ke depan kamera. Jangan ngulur waktu!” kata Rafael pada Dicky.

          Dicky menatap Rangga dan Reza dengan tatapan membunuh. Sambil tetap memeluk bungkus permennya, Dicky kembali ke depan kameramen yang sejak tadi ngga berkedip melihatnya adu mulut dengan Reza dan Rangga.

           “Woi! Ngapain loe bawa permennya juga! Loe mau pemotretan!” teriak Rafael. Spontan Dicky menghentikan langkahnya.

           “Gue harus nyelametin Yuppy gue, Raf. Atau kalau nggak, dua tuyul itu akan ngehabisin yuppy gue!”

           “Loe tuh dipotret untuk sampul majalah! Bukan iklan permen Yuppy! Dasar kodok sawah!” sergah Rangga. Terang saja Dicky jadi emosi mendengar kata-kata Rangga. Lagi-lagi terjadi adu mulut antar keduanya dengan topik yang sama : Permen Yuppy.

          Gue hanya bisa duduk sambil geleng-geleng kepala melihat mereka berdebat hal yang tidak penting. Tak perlu heboh, atau memanggil Mas Kunto hanya untuk melerai mereka. Pertengkaran semacam ini sudah menjadi rutinitas harian di sela-sela kepadatan jadwal kami sebagai personel boyband. Memang sih terasa nggak nyaman di telinga, mereka saling bentak dengan suara ditekan di mana-mana. Tapi, lumayan lah buat hiburan.

           “Gue bertaruh, kali ini Dicky yang menang.” kata Morgan yang duduk di samping gue sambil asik menonton perdebatan Rangga-Dicky-Rafael-Reza.

           “Nggak! Menurut gue yang menang kali ini kubu Reza!” sahut Bisma.

           “Ilham! Loe pemotretan dulu, gih! Nunggu Dicky tenang, nggak kelar-kelar nanti pemotretannya!” teriak Rafael.

          Sambil sedikit membenarkan jaket kulit yang gue kenakan, gue berjalan ke arah kameramen. Sebisa mungkin gue memfokuskan pikiran ke lensa kamera. Sementara perdebatan Dicky dan sekutu-sekutunya masih berlangsung dan memenuhi seluruh sudut studio. Percuma, Raf, loe mencoba ngelerai Dicky dan Rangga. Hanya Tuhan Semesta Alam yang bisa menenangkan kebisingan mereka.

          Lima belas menit berlalu, Dicky mulai bisa menenangkan diri. Dia mulai mau melakukan pemotretan dengan syarat yuppy-nya dimasukin tasnya, dan tasnya ditaruh di samping kameramen yang sedang motret dia. Itu juga masih ditambah dengan penjagaan dari Rafael. Dicky mulai bisa bernafas lega.

           “Kalian kalo mau ngerjain orang lihat-lihat situasi, donk. Jangan pas di waktu-waktu mepet kayak gini. Kalo pengen permen, beli sendiri bisa ‘kan. Pemotretan kali ini waktunya sangat mepet. Habis ini kita ada jadwal lagi. Untung aja Dicky bisa ditenangin.” kata Rafael menceramahi Rangga dan Reza. Sementara itu Dicky mulai serius dijepret-jepret oleh kameramen.

           “Halah~... Kayak loe nggak pernah nyuri yuppy-nya Dicky aja.” celetuk Rangga.

          Sontak Rafael menolehkan wajahnya ke arah Rangga, “Ssst! Jangan keras-keras!”

          Ck! Nggak yang tua, nggak yang muda, sama aja kelakuannya.

          Tiba-tiba segerombolan orang masuk ke dalam studio. Mereka berjalan menuju sudut ruangan lain sambil mengusung tripot dan lightening. Sepertinya mereka kru untuk sesi pemotretan yang lain. Mata gue asik menuntun kemana arah mereka berjalan. Hingga kemudian tatapan gue berhenti di satu titik. Titik tengah di mana gerombolan itu berada. Ia serasa bersinar di tengah kerumunan orang yang mengelilinginya. Bukan model seksi dengan rambut panjang dan indah, melainkan seorang cewek berkerudung dengan pandangan penuh takdzim.

          Gue mengerjapkan mata. Cewek itu nampak sedang dirias oleh seorang penata rias. Sepertinya dia model di pemotretan itu. Gue mengernyitkan dahi, pemotretan apa?

           “Lagi ngelihatin apa? Serius amat.” tegur Morgan.

           “Itu lagi ada apaan, ya? Kok rame-rame.” kata gue balik bertanya.

           “Pemotretan juga kali.” jawab Morgan.

           “Modelnya kerudungan.” tambah gue.

           “Wajar kali. Sebulan lagi kan Ramadhan. Itu foto-foto buat bulan puasa kali.” sahut Bisma ikut nimbrung.

          Gue manggut-manggut tanpa mengalihkan pandangan dari cewek itu.

½¼½¼½¼½¼½¼½¼

           “Kalian nanti cuma perlu berjalan dari ujung sana ke sana. Ini syuting cuma buat tayangan pendek buat Ramadhan nanti, jadi cuma sebentar. Habis dari sini nanti, kita langsung go untuk jadwal selanjutnya.” jelas Mas Kunto sambil mengarahkan telunjuknya ke arah set syuting.

           “Mas, harus pakek beginian, yah?” tanya Dicky sambil menunjuk kopyah putih di tangannya. Kami bertujuh menggunakan baju taqwa putih lengkap dengan kopyah di kepala. Tapi, entah apa yang Dicky pikirkan. Dia terlihat keberatan untuk memakai kopyah itu di atas kepalanya.

           “Iya, kostumnya memang seperti ini.” jawab Mas Kunto.

           “Tapi...”

           “Udah pakek aja! Banyak komentar loe.” sahut Reza memotong kalimat Dicky.

          Mas Kunto berlalu. Syuting pun dimulai. Dicky ikut-ikutan melepas kopyahnya seperti Morgan dan Rafael. Dicky mengaku nggak mau memakai kopyah di kepalanya untuk sebab yang sangat darurat, yaitu : ‘takut rambutnya lecek’.

           “Lagian gue kalau sholat jarang pakek kopyah, kok. Itu kan cuma sunnah.” bela Dicky waktu ditanya.

           “Bukan masalah sunnah atau nggak. Ini properti buat di depan kamera nanti. Bukannya mirip muslim, loe jadi mirip bule nyasar, tau nggak?!” omel Rangga.

          Dicky menekuk wajahnya. Sejurus kemudian dia menatap Rafael dan Morgan bergantian. Minta pembelaan.

          Gue menghela nafas. Lagi-lagi debat. Dan lagi-lagi jadi tontonan kru syuting. Seperti antara percaya dan nggak, mereka melihat kami bertujuh dengan ironis. Tidak jarang kami debat panjang kali lebar kali tinggi untuk hal yang amat sangat tidak penting.

          Malas melihat wajah keenam teman gue yang nggak berhenti bersihtegang, gue beralih melihat sisi lain lokasi syuting.

          Dan gue hanya bisa tercekat.

          Cewek itu?

          Tepat di seberang gue, cewek berjilbab yang gue lihat waktu pemotretan seminggu lalu tengah berdiri. Dengan balutan kerudung warna pastel, dia nampak asik memainkan i-Pad di tangannya.

          Seorang kru menyalip gue sambil membawa sekotak alat rias.

           “Teteh!” panggil gue pada kru cewek itu. Dia berhenti berjalan lalu menoleh ke gue.

           “Cewek yang pakai kerudung kuning itu siapa, ya?” tanya gue. Kru yang gue panggil teteh itu hanya diam sambil melihati gue. Lumayan bikin gue kikuk. Tapi kemudian dengan gamblang dia jelasin dari A ampe Z semua tentang cewek itu.

          Namanya Aini. Dia model berhijab dan jadi pemeran cewek di syuting kali ini. Tak tanggung-tanggung, bahkan itu teteh ngasih nomor handphone Aini ke gue. Antara gugup dan pengen sujud syukur, gue terima aja nomor ponsel yang dia berikan ke gue.

½¼½¼½¼½¼½¼½¼

           “Telpon. Nggak. Telpon. Nggak. Telpon ~....”

           “Pak! Gerakanya kebanyakan! Tangannya diputar cuma sampe empat kali. Loe kelebihan tadi!” tegur Bisma.

           “Gue nggak lagi latihan dance. Cuma lagi dance suka-suka gue.” balas gue.

          Tanpa sadar gue jadiin gerakan dance Smash buat memutuskan untuk nelpon Aini apa nggak. Jujur gue jadi bingung nggak karuan. Terselip ketakutan di hati gue begitu akan nelpon Aini. Takut dia nerima telpon gue, atau malah dimatiin. Lagian, apa yang harus gue bicarain sama si Aini di telpon nanti? Kenal aja nggak.

           “Loe nggak latihan, Gan?” tegur gue sambil menghampiri Morgan yang duduk di sudut ruangan.

           “Lagi istirahat.” jawab Morgan singkat lalu menengguk habis sebotol air mineral di tangannya. Butiran keringat mengalir dari dahinya.

           “Loe minum kayak onta!” celetuk gue. Morgan hanya diam dan mengeringkan keringat di tubuhnya dengan handuk.

           “Gan, nelpon orang tuh boleh apa nggak?” tanya gue.

          Morgan menekuk alisnya.

           “Maksud gue, nelpon orang yang nggak kenal sama kita, itu boleh nggak?”

           “Loe kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu? Loe mau neror orang, ya?!” tuduh Morgan. Gue menahan nafas. Sebenarnya nih orang lagi mikir apa, sih? Pengen gue kempo saat itu juga rasanya!

           “Bukan gitu! Gue lagi suka sama cewek. Tapi tuh cewek nggak kenal sama gue. Kalau gue telpon dia, menurut loe itu bener apa nggak?!” jelas gue. Morgan manggut-manggut.

           “Nggak ada yang salah, lah. Telpon aja kalau loe emang suka. Mumpung belum disabet orang lain.” jawab Morgan sambil meneruskan tegukan terakhir air minumnya. Gue tercengang beberapa saat, tumben Morgan bijak banget nasehatin soal cewek?

---------------------------------------
Bersambung ke Part 2

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar