Judul : "Sobat yang di Sini"
Genre : Friendship, Comedy
Author : @ariek_andini
Cover by : @ariek_andini
Cast : Ilham, Dicky, Rangga, Reza, Bisma, Rafael, Morgan
Description : Test, test, sebelum kalian membaca cerbung ini, saya pengen curcol sebentar. :) Sejujurnya ini cerbung udah lama saya buat, udah berbulan2 coy. Jadi, jangan kaget ya kalo misalnya masih ada Morgan di dalam cast.
Genre : Friendship, Comedy
Author : @ariek_andini
Cover by : @ariek_andini
Cast : Ilham, Dicky, Rangga, Reza, Bisma, Rafael, Morgan
Description : Test, test, sebelum kalian membaca cerbung ini, saya pengen curcol sebentar. :) Sejujurnya ini cerbung udah lama saya buat, udah berbulan2 coy. Jadi, jangan kaget ya kalo misalnya masih ada Morgan di dalam cast.
************
“Wooooi!! Pencuriii!” teriak Dicky
membahana. Dia meloncat dari depan kamera ke sofa tempat Rangga dan Reza duduk.
Nggak perlu menunggu lama, adu mulut langsung terjadi antara mereka bertiga.
Dicky langsung menyabet bungkusan permen dari tangan Rangga dan Reza.
“Loe lagi giliran dipotret!
Ngapain ke sini?!!” tegur Rangga.
“Pencuri kelas teri loe! Ini
yuppy gue!!!” bentak Dicky sambil menyembunyikan sebungkus permen Yuppy di
balik punggungnya.
“Halah! Ngambil sedikit aja
kenapa sih!! Jadi orang pelit amat!” sahut Reza.
“Apanya yang sedikit?! Loe
ngambil yuppy gue berkali-kali! Perampok loe!” balas Dicky. Beberapa orang kru yang sedang
berada di studio foto saat itu melihati Reza, Dicky dan Rangga keheranan. Heran
antara melihat keajaiban, atau
kekonyolan personel Smash yang sebenarnya. Perang mulut karena sebungkus
permen?
“Sudah! Sudah!” lerai Rafael
sambil berjalan menghampiri ketiganya, “Dick, loe kembali sana ke depan kamera.
Jangan ngulur waktu!” kata
Rafael pada Dicky.
Dicky
menatap Rangga dan Reza dengan tatapan membunuh. Sambil tetap memeluk bungkus
permennya, Dicky kembali ke depan kameramen yang sejak tadi ngga berkedip
melihatnya adu mulut dengan Reza dan Rangga.
“Woi! Ngapain loe bawa
permennya juga! Loe mau pemotretan!” teriak Rafael. Spontan Dicky menghentikan
langkahnya.
“Gue harus nyelametin Yuppy
gue, Raf. Atau kalau nggak, dua tuyul itu akan ngehabisin yuppy gue!”
“Loe tuh dipotret untuk
sampul majalah! Bukan iklan permen Yuppy! Dasar kodok sawah!” sergah Rangga.
Terang saja Dicky jadi emosi mendengar
kata-kata Rangga. Lagi-lagi terjadi adu mulut antar keduanya dengan topik yang
sama : Permen Yuppy.
Gue
hanya bisa duduk sambil geleng-geleng kepala melihat mereka berdebat hal yang
tidak penting. Tak perlu heboh, atau memanggil Mas Kunto hanya untuk melerai
mereka. Pertengkaran semacam ini sudah menjadi rutinitas harian di sela-sela
kepadatan jadwal kami sebagai personel boyband. Memang sih terasa nggak nyaman
di telinga, mereka saling bentak dengan suara ditekan di mana-mana. Tapi,
lumayan lah buat hiburan.
“Gue bertaruh, kali ini Dicky
yang menang.” kata
Morgan yang duduk di samping gue sambil asik menonton perdebatan
Rangga-Dicky-Rafael-Reza.
“Nggak! Menurut gue yang
menang kali ini kubu Reza!” sahut Bisma.
“Ilham! Loe pemotretan dulu, gih! Nunggu Dicky tenang, nggak
kelar-kelar nanti pemotretannya!” teriak Rafael.
Sambil
sedikit membenarkan jaket kulit yang gue kenakan, gue berjalan ke arah
kameramen. Sebisa mungkin gue memfokuskan pikiran ke lensa kamera. Sementara
perdebatan Dicky dan sekutu-sekutunya masih berlangsung dan memenuhi seluruh
sudut studio. Percuma, Raf, loe mencoba ngelerai Dicky dan Rangga. Hanya Tuhan
Semesta Alam yang bisa menenangkan kebisingan mereka.
Lima
belas menit berlalu, Dicky mulai bisa menenangkan diri. Dia mulai mau melakukan
pemotretan dengan syarat yuppy-nya dimasukin tasnya, dan tasnya ditaruh di
samping kameramen yang sedang motret dia. Itu juga masih ditambah dengan
penjagaan dari Rafael.
Dicky mulai bisa bernafas lega.
“Kalian kalo mau ngerjain
orang lihat-lihat situasi, donk. Jangan pas di waktu-waktu mepet kayak gini.
Kalo pengen permen, beli sendiri bisa ‘kan. Pemotretan kali ini waktunya sangat
mepet. Habis ini kita ada jadwal lagi. Untung aja Dicky bisa ditenangin.” kata Rafael menceramahi Rangga dan
Reza. Sementara itu Dicky mulai serius dijepret-jepret oleh kameramen.
“Halah~... Kayak loe nggak
pernah nyuri yuppy-nya Dicky aja.” celetuk
Rangga.
Sontak
Rafael menolehkan wajahnya ke arah Rangga, “Ssst! Jangan keras-keras!”
Ck!
Nggak yang tua, nggak yang muda, sama aja kelakuannya.
Tiba-tiba
segerombolan orang masuk ke dalam studio. Mereka berjalan menuju sudut ruangan
lain sambil mengusung tripot dan lightening. Sepertinya mereka kru untuk sesi
pemotretan yang lain. Mata gue asik menuntun kemana arah mereka berjalan.
Hingga kemudian tatapan gue berhenti di satu titik. Titik tengah di mana
gerombolan itu berada. Ia serasa bersinar di tengah kerumunan orang yang
mengelilinginya. Bukan model seksi dengan rambut panjang dan indah, melainkan
seorang cewek berkerudung dengan pandangan penuh takdzim.
Gue
mengerjapkan mata. Cewek itu nampak sedang dirias oleh seorang penata rias.
Sepertinya dia model di pemotretan itu. Gue mengernyitkan dahi, pemotretan apa?
“Lagi ngelihatin apa? Serius
amat.” tegur Morgan.
“Itu lagi ada apaan, ya? Kok
rame-rame.” kata gue balik
bertanya.
“Pemotretan juga kali.” jawab
Morgan.
“Modelnya kerudungan.” tambah
gue.
“Wajar kali. Sebulan lagi kan Ramadhan. Itu foto-foto
buat bulan puasa kali.” sahut Bisma ikut nimbrung.
Gue
manggut-manggut tanpa mengalihkan pandangan dari cewek itu.
½¼½¼½¼½¼½¼½¼
“Kalian nanti cuma perlu
berjalan dari ujung sana ke sana. Ini
syuting cuma buat tayangan pendek buat Ramadhan nanti, jadi cuma sebentar.
Habis dari sini nanti, kita langsung go untuk jadwal selanjutnya.” jelas
Mas Kunto sambil mengarahkan telunjuknya ke arah set syuting.
“Mas, harus pakek beginian,
yah?” tanya Dicky sambil menunjuk kopyah putih di tangannya. Kami bertujuh
menggunakan baju taqwa putih lengkap dengan kopyah di kepala. Tapi, entah apa
yang Dicky pikirkan. Dia terlihat keberatan untuk memakai kopyah itu di atas
kepalanya.
“Iya, kostumnya memang
seperti ini.” jawab Mas Kunto.
“Tapi...”
“Udah pakek aja! Banyak
komentar loe.” sahut Reza memotong kalimat Dicky.
Mas
Kunto berlalu. Syuting pun dimulai. Dicky ikut-ikutan melepas kopyahnya seperti
Morgan dan Rafael. Dicky mengaku nggak mau memakai kopyah di kepalanya untuk
sebab yang sangat darurat, yaitu : ‘takut rambutnya lecek’.
“Lagian gue kalau sholat
jarang pakek kopyah, kok. Itu kan cuma sunnah.” bela Dicky waktu ditanya.
“Bukan masalah sunnah atau
nggak. Ini properti buat di depan kamera nanti. Bukannya mirip muslim, loe jadi
mirip bule nyasar, tau nggak?!”
omel Rangga.
Dicky
menekuk wajahnya. Sejurus kemudian dia menatap Rafael dan Morgan bergantian.
Minta pembelaan.
Gue
menghela nafas. Lagi-lagi debat. Dan lagi-lagi jadi tontonan kru syuting.
Seperti antara percaya dan nggak, mereka melihat kami bertujuh dengan ironis.
Tidak jarang kami debat panjang kali lebar kali tinggi untuk hal yang amat
sangat tidak penting.
Malas
melihat wajah keenam teman gue yang nggak berhenti bersihtegang, gue beralih melihat sisi lain
lokasi syuting.
Dan
gue hanya bisa tercekat.
Cewek
itu?
Tepat
di seberang gue, cewek berjilbab yang gue lihat waktu pemotretan seminggu lalu
tengah berdiri. Dengan balutan kerudung warna pastel,
dia nampak asik memainkan i-Pad di tangannya.
Seorang
kru menyalip gue sambil membawa sekotak alat rias.
“Teteh!” panggil gue pada kru
cewek itu. Dia berhenti berjalan lalu menoleh ke gue.
“Cewek yang pakai kerudung
kuning itu siapa, ya?” tanya gue. Kru yang gue panggil teteh itu hanya diam
sambil melihati gue. Lumayan bikin gue kikuk. Tapi kemudian dengan gamblang dia
jelasin dari A ampe Z semua tentang cewek itu.
Namanya
Aini. Dia model berhijab dan jadi pemeran cewek di syuting kali ini. Tak
tanggung-tanggung, bahkan itu teteh ngasih nomor handphone Aini ke gue. Antara
gugup dan pengen sujud syukur, gue terima aja nomor ponsel yang dia berikan ke
gue.
½¼½¼½¼½¼½¼½¼
“Telpon. Nggak. Telpon.
Nggak. Telpon ~....”
“Pak! Gerakanya kebanyakan!
Tangannya diputar cuma sampe empat kali. Loe kelebihan tadi!” tegur Bisma.
“Gue nggak lagi latihan
dance. Cuma lagi dance suka-suka gue.” balas gue.
Tanpa
sadar gue jadiin gerakan dance Smash buat memutuskan untuk nelpon Aini apa
nggak. Jujur gue jadi bingung nggak karuan. Terselip ketakutan di hati gue
begitu akan nelpon Aini. Takut dia nerima telpon gue, atau malah dimatiin.
Lagian, apa yang harus gue bicarain sama si Aini di telpon nanti? Kenal aja
nggak.
“Loe nggak latihan, Gan?”
tegur gue sambil menghampiri Morgan yang duduk di sudut ruangan.
“Lagi istirahat.” jawab
Morgan singkat lalu menengguk habis sebotol air mineral di tangannya. Butiran keringat
mengalir dari dahinya.
“Loe minum kayak onta!”
celetuk gue. Morgan hanya diam dan mengeringkan keringat di tubuhnya dengan
handuk.
“Gan, nelpon orang tuh boleh
apa nggak?” tanya gue.
Morgan
menekuk alisnya.
“Maksud gue, nelpon orang
yang nggak kenal sama kita, itu boleh nggak?”
“Loe kenapa tiba-tiba nanya
kayak gitu? Loe mau neror orang, ya?!” tuduh Morgan. Gue menahan nafas.
Sebenarnya nih orang lagi mikir apa, sih? Pengen gue kempo saat itu juga
rasanya!
“Bukan gitu! Gue lagi suka
sama cewek. Tapi tuh cewek nggak kenal sama gue. Kalau gue telpon dia, menurut
loe itu bener apa nggak?!” jelas gue. Morgan manggut-manggut.
“Nggak ada yang salah, lah.
Telpon aja kalau loe emang suka. Mumpung belum disabet orang lain.” jawab Morgan sambil meneruskan tegukan terakhir air minumnya. Gue
tercengang beberapa saat, tumben Morgan bijak banget nasehatin soal cewek?
---------------------------------------
Bersambung ke Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar