5 Juni 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 1

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Description : Sedikit sapaan dari gue sebelum membaca cerbung ini. Selamat datang di dunia imajinasi ^___^ ... Cerbung ini gue buat udah lama dan baru sekarang gue post. Jadi kalo di cerita ini ada bawa-bawa manajemen lama SMASH, itu cuma fiksi ya. This is just a story. Keep enjoying!


---------------------------------------


        "Latihan, Ndin!" kata seorang pemuda berambut gondrong. Ia masuk menggebrak pintu dengan gitar elektrik di tangan kanannya.

        "Males." jawab Andin singkat sambil memainkan smartphone-nya.

        "Males, males kepala loe!"

        "Lagian Erwin juga nggak ada." sahut Andin lagi.

        "Hah, kemana?"

        "Tau." Andin masih berkutat pada gadgetnya. Malas menanggapi temannya satu itu yang selalu terobsesi latihan band. Latihan dan latihan! toh lagu yang dimainkan tiap hari sama! Tampil dari stasiun TV satu ke stasiun TV lainnya, lama-lama bikin mual juga.

        "Jangan-jangan Erwin masih di Malaysia." kata Ardhy lagi.


        "Ya iya lah, bosen kali. Gue juga pengen liburan!" timpal Andin.

        "Kalo loe liburan, terus gue gimana? Ipunk masih sibuk sama anaknya yang lagi sakit."

        "Terserah loe lah! Tidur kek, maen ke rumah nenek loe kek! Intinya, kita break dulu! Gue capek!"

        "Loe mau kemana?" tanya Ardhy dengan nada naik satu oktaf. Berusaha mencegat Andin yang mulai bergegas pergi.

        "Gue mau ke hutan!" sahut Andin. Dia berjalan keluar, meraih tasnya, lalu masuk ke dalam mobil.

        Ardhy terbengong melihat vokalis cewek bandnya itu menghilang dalam hitungan menit. Datang jauh-jauh dari Bandung setelah tiga hari liburan, ternyata teman-temannya masih sibuk dengan urusan masing-masing. Ardhy melepas pembungkus gitarnya. Satu-satu memetik senar gitar.

        *******************

        "Papa mana, Ma?" sergah Andin begitu ia sampai di rumahnya.

        "Di garasi. Ada apa datang-datang nanyain papamu?"

        "Bilang ke papa, aku pinjam kartu debetnya!"

        Nggak butuh koper besar atau perpisahan dramatis, Andin langsung cabut pergi setelah merogoh selembar kartu debet dari jaket papanya. Cuma butuh menenangkan pikiran di  tempat yang hening dan penuh rimbun pepohonan, dia hanya butuh itu. Berbekal kartu debet milik papanya ditambah miliknya sendiri, pasti cukup untuk kabur selama beberapa hari di Bali.

        Selang setengah jam kemudian, Andin telah menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno-Hatta. Dipilihnya penerbangan ke Bali dengan kelas eksklusif. Sebuah ransel hitam menggantung di punggungnya sementara topi merah menutupi rambutnya yang panjang. Andin duduk di kursi peesawat sesuai dengan nomor yang tertera pada tiketnya. Suasana hening dan tenang. Sesekali terdengar suara pramugari yang menawarkan minuman pada penumpang. Beberapa co-pilot mondar-mandir mengecek persiapan penerbangan.

        Tiba-tiba sebuah hentakan aneh mengagetkan seluruh penumpang. Muncul asap abu-abu dari sayap kanan pesawat. Seketika suasana menjadi hiruk pikuk. Beberapa co-pilot berlarian tak tentu arah, sementara beberapa lainnya menggiring penumpang turun dari pesawat.

        “Ada apa? Kenapa disuruh turun??” Tanya Andin pada seorang pramugari.

        “Terjadi kerusakan pada sayap pesawat. Anda akan kami antar ke penerbangan yang lain.” Jawab pramugari.

        Andin mengangguk sekilas. Tak masalah ada kerusakan apa pada pesawat, yang terpenting ia ingin sampai di Bali, itu saja!

        Andin menghempaskan badannya di salah satu kursi di pesawat begitu sampai di pesawat yang baru. Ia memasang earphone di telinganya, lalu bersiap untuk bersantai ria. Namun keinginannya itu tak berlangsung lama, belum habis satu lagu diputar, tiba-tiba sebuah colekan membangunkannya dari belakang.

        Andin menoleh, “Apa?”

        “Sorry, itu kursi gue.” jawab seorang cowok berkacamata hitam di hadapan Andin.

        “Nama loe siapa?” kata Andin balas bertanya.

        “Kenapa nanyain nama gue?”

        “Udah jawab aja.”

        “Gue Rangga.”

        Andin berdiri, membungkuk, lalu meneliti tiap celah kursi yang dia duduki. Rangga melihati Andin  keheranan.

        “Nggak ada nama loe tuh di sini. Kayaknya, ini bukan kursi loe.”

        Rangga berdecak. Sedikit merasa dipermainkan oleh cewek bertopi dengan kacamata hitam yang sekarang bersikap angkuh padanya.

        “Gue duduk di kursi ini duluan! Tuh tas gue!”

        Andin melirik ke sisi kanannya. Benar! Dilihatnya sebuah tas punggung berwarna biru tergeletak di sana.

        “Apa perlu gue membongkar isi tas gue lalu menunjukkan KTP gue ke loe?” tambah Rangga.

        Skak Mat! Kali ini dia berhasil mengunci Andin.

        Andin mendesis, sedikit menahan tawa, “Mana slogan Lady is first di sini?”

        “Loe tanya aja sana sama guru bahasa inggris loe!” jawab Rangga semakin pedas. Tanpa banyak kata ia lalu mengambil duduk di samping Andin. Mau tak mau Andin menggeser duduknya semakin menempel ke candela. Pun begitu, Rangga semakin bersikap acuh dengan berpura-pura tidur dan memakan tempat sebanyak mungkin.

        Suasana sejenak hening setelah insiden perebutan kursi antara Rangga dan Andin. Keduanya sama-sama terlelap selama perjalanan.

        Tiga puluh menit berlalu. Rangga terbangun dari tidurnya. Dirasakannya sesuatu yang basah menempel di pundaknya. Rangga langsung membelalakkan matanya begitu dilihatnya Andin, cewek yang baru saja bersihtegang dengannya, tidur di pundaknya sambil ngeces. Rangga bergidik. Buru-buru ia mendorong kepala Andin menjauh hingga Andin menghantam candela pesawat.

        “Parah loe, ya! Cewek tapi tidurnya kayak kuli!” bentak Rangga sambil melepas jacket yang ia kenakan.

        Andin yang baru terbangun hanya mengusap bibirnya yang basah sambil mengedip-ngedipkan matanya.

        “Kalo loe nggak mau gue ngecess di samping loe, loe pindah kursi aja sana!” bentak Andin nggak mau kalah.

        “Loe aja yang pindah! Udah nyerobot, cari ribut lagi!” balas Rangga sambil mengibas-ngibaskan jaketnya.

        “Loe nggak ada sopan-sopannya ya sama cewek!”

        Rangga nggak mau nyari ribut dengan Andin. Ia langsung cabut ke kamar mandi dan mencuci lengan jaketnya yang basah. Hatinya bergidik. Ia paling benci dengan hal jorok seperti itu. Parahnya, itu adalah kelakuan cewek.

        “Shit!”

        Sekembalinya dari kamar mandi, Rangga meraih iPad-nya lalu duduk di samping Andin. Kali ini ia melancarkan balas dendam dengan membunyikan lagu kencang-kencang. Lumayan berhasil. Andin langsung memasang wajah kusut karena tidurnya merasa terganggu. Dari tadi ia hanya mengubah badannya miring ke kanan dan ke kiri. Dalam hati ia menggerutu. Ia tahu kalau dia protes, Rangga akan memancingnya untuk mencari kursi lain. Dia tidak akan kalah dalam pertempuran perebutan kursi pesawat ini.

        Beberapa jam berlalu, Andin dan Rangga sama-sama bertahan di posisi semula tanpa ada yang mau mengalah mencari kursi lain. Keduanya sama-sama tertidur pulas dengan lagu masih diputar kencang. Begitu pesawat mendarat, seorang pramugari membangunkan Andin.

        Andin mengerjapkan matanya. Dilihatnya Rangga sudah tidak ada di kursinya bersama barang-barangnya. Andin lalu turun dari pesawat dengan menjinjing ranselnya. Bibirnya asik bersiul. Sebentar lagi ajang rilekasasi dan liburan yang ia damba-dambakan bias ia dapat. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah check in hotel lalu mencari restaurant untuk makan. Perutnya udah mulai keroncongan.

        Tiba di pintu keluar, Andin merasakan sesuatu yang aneh dengan situasi bandara. Sejujurnya, bukan sekali ini ia ke Bali. Sudah tak terhitung lagi berapa kali ia pergi ke Pulau Dewata baik untuk manggung maupun liburan. Sedikit banyak ia hapal dengan bandara internasional satu ini. Turis asing sliweran kesana kemari. Bahkan rakyat pribumi hampir tak Nampak - tenggelam oleh jumlah wisatawan.

        Tapi ada apa dengan bandara yang ia injak sekarang?

        Sepi. Fasilitas minim. Tak nampak seperti bandara internasional. Tak ada turis asing berambut pirang sliweran. Yang ada justru orang-orang berkulit gelap. Dan klimaksnya, tidak ada tulisan “Bandara Ngurah Rai” seperti yang biasa ia jumpai begitu keluar dari pintu keluar.

        “Permisi, ini Bandara Ngurah Rai bukan?” tanya Andin pada salah satu petugas bandara.

        Petugas itu mengernyitkan dahinya, “Ngurah Rai? Ini Lombok, Mbak, bukan Bali.”

        “HAH? Kok bisa?!”

        “Mbak ini tujuannya mau kemana tadi?”

        “Saya mau ke Bali, kok bisa nyampe ke Lombok sih?”

        “Mbak salah beli tiket mungkin.”

        “Nggak kok, bener!”

        Andin bersihkukuh bahwa tiket yang ia beli tadi memang benar di loket tiket Bali. Seingatnya, di tiket itu memang tertulis tujuannya, Bali. Raut panik mulai muncul di wajah Andin. Ia hanya menurut saat petugas berbadan ceking itu menuntunnya menuju kantor petugas.

        Begitu sampai di dalam ruangan, petugas yang menuntun Andin berbisik pada seorang perempuan paruh baya berjas biru.

        “Mbak ini salah penerbangan? Tadi waktu membeli tiket sudah dicek?” tanyanya kemudian.

        “Sudah! Saya memang ingin ke Bali. Tadi juga beli tiketnya tiket ke Bali.”

        Andin diam sejenak. Ia nampak berpikir. Otaknya teringat pada insiden kebakaran sayap pesawat ketika ia masih di Bandara Soekarno-Hatta. What the hell!! Mungkin itu penyebabnya hingga ia nyasar ke Lombok! Ia dituntun ke pesawat yang salah!

        “Ya sudah. Mbak silakan menunggu di ruang informan kami. Soal penerbangan Anda berdua akan kami urus secepat mungkin.” kata petugas wanita.

        “Anda berdua?” tanya Andin mengulang kalimat sang petugas.

        “Iya! Anda berdua.” Kata perempuan itu sambil mengarahkan tangannya ke sofa di sisi ruangan.

        “HAH??”

        Andin membelalakkan matanya. Dilihatnya cowok rese yang sejak di pesawat tadi bersihtegang dengannya tengah duduk di sofa di ruang informan itu. Rangga menopang dagu lesu.

        “Anda berdua ini sama-sama naik penerbangan yang salah.”

        “HAHHHH??”

        ***************************

        “Coh! Meeting!” seru Dicky sambil masuk ke dalam base camp. Tangannya sibuk menurunkan kantong berisi baju.

        “Meeting apa?” tanya Rafael.

        “Tau. Tadi aku disms Bisma, disuruh ngumpul di manajemen.”

        Rafael dan Dicky lalu meluncur menuju kantor manajemen mereka tempat kawan-kawannya berkumpul. Dilihatnya Om Pancunk, Manajer mereka, tengah berdiri di depan pintu menunggu mereka berdua.

        “Meeting apa, Om?” tanya Rafael.

        “Proyek. Rangga mana?”

        “Rangga bukannya udah di sini?”

        “Kata Bisma, Rangga sama kamu.”

        “Hah?”

        *************************

        Matahari lengser ke arah barat. Menimbulkan bayang memanjang di setiap ruas bandara. Andin memainkan gadgetnya lesu sambil sesekali mengintip petugas bandara yang sibuk mengotak-atik komputer. Di sebelahnya, Rangga duduk melipat tangan dengan mata menerawang ke keluar cendela.

        “Permisi, Pak! Paaak!”

        Petugas bandara itu menoleh ke arah Andin.

        “Ini kapan saya diberangkatkan ke Bali-nya?”

        “Sebentar.”

        Andin cengo. Seketika emosi mendengar jawaban pendek petugas bandara itu.

        “Ini pasti gara-gara gue nggak pamit ke bokap gue waktu gue berangkat tadi! Ini karma! KARMA!”

        Rangga tersenyum simpul. Lucu mendengar cewek kuli itu menggerutu di sampingnya.

        “Naik penerbangan salah, rebutan kursi sama cowok egois, dan sekarang malah kejebak sama dia di satu ruangan!”

        “Heh!! Loe nggerutu, nggerutu aja! Nggak usah bawa-bawa gue!” balas Rangga tidak terima.

        “Emang bener kan! Tingkah loe dari awal emang gak ada sopan-sopannya ke gue!”

        “Loe yang mulai duluan!”

        “Nggak mau ngakuin kesalahan sendiri, malah nyalahin orang lain! Cowok baik udah musnah kali ya dari dunia ini!”

        “Mana ada cowok mau baik sama cewek judes kayak loe!”

        “Ehem, permisi!”

        Seketika Andin dan Rangga menghentikan perdebatannya. Keduanya menoleh ke arah pintu. Dilihatnya petugas bandara perempuan paruh baya tengah berdiri di sana.

        “Maaf, kami belum bisa memberikan penerbangan ke Bali untuk anda berdua.” Kata petugas Bandara itu.

        “Hah? Kenapa Bu?”

        “Info dari BMKG kami menyatakan akan terjadi hujan deras dan angin kencang sebentar lagi. Penerbangan sore ini hingga nanti malam masih belum bisa kami prediksi.”

        “Tap, tapi....”

        “Saya sarankan Anda berdua ini mencari penginapan untuk sementara. Anda akan kami data, sehingga saat pesawat sudah siap besok, Anda bisa langsung memperoleh tiket.”

        Andin dan Rangga sama-sama diam, sama-sama memasang wajah putus asa, dan menurut saat petugas mulai menanyai mereka. tidak ada pilihan lain. Berdebat dengan petugas bandara pun hanya akan membuang-buang waktu.

        “Silakan isi blanko ini.” Petugas Bandara menyodorkan secarik kertas ke hadapan Andin dan Rangga. Tanpa ekspresi, keduanya lalu mengisi kertas itu. Beberapa menit kemudian, keduanya menyerahkannya lagi pada petugas.

        “Biar saya ulang. Nama Rangga Dewamoela Sukarta. Kota asal Jakarta. Tujuan penerbangan Denpasar, Bali. Yang berikutnya, nama Andini Salma. Kota asal Jakarta, Tujuan penerbangan Denpasar, Bali. Data Anda akan kami simpan. Silakan tunggu informasi dari kami. Sekarang, Anda sudah boleh keluar.”

        “Rangga?” kata Andin mengulang nama cowok yang ada di sampingnya.

        “Andini Salma....” Rangga juga mengulang nama cewek di sampingnya.

        “Loe? Loe Rangga personil boyband itu?!”

        “Loe? Vokalis D’Uneven ??!”

        Andin dan Rangga saling mengacungkan telunjuknya. Keduanya menganga.

------------------------------------------------------------------------------------
Bersambung ke part 2

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar