6 Juni 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 2

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Description : Sedikit sapaan dari gue sebelum membaca cerbung ini. Selamat datang di dunia imajinasi ^___^ ... Cerbung ini gue buat udah lama dan baru sekarang gue post. Jadi kalo di cerita ini ada bawa-bawa manajemen lama SMASH, itu cuma fiksi ya. This is just a story. Keep enjoying!

----------------------------------------


        “Rangga?” kata Andin mengulang nama cowok yang ada di sampingnya.

        “Andini Salma....” Rangga juga mengulang nama cewek di sampingnya.

        “Loe? Loe Rangga personil boyband itu?!”

        “Loe? Vokalis D’Uneven ??!”

        Andin dan Rangga saling mengacungkan telunjuknya. Keduanya menganga. Sama-sama membulatkan mata. Kaget menyadari siapa sebenarnya orang yang berada di hadapan mereka.

        ******************

        Sementara itu, kelima member SMASH yang melakukan meeting dengan manajer mereka hanya bisa duduk lesu menunggu Rangga datang. Pihak promotor akan datang dalam hitungan menit. Dan jika dalam jangka waktu itu Rangga nggak datang, tanda tangan kontrak akan terancam.

        “Manggung di Ancol kemarin, kalian berenam. Terus kemana Rangga setelah dari Ancol?” tanya Om Pancunk. Nggak habis pikir, sedikit saja tidak mengawasi boyband naungannya itu, anak-anaknya pasti mencar-mencar.

        “Kemarin pagi Rangga semobil sama loe kan, Ja?” tanya Rafael.

        Semua mata tertuju pada Reza.

        “Gue nggak tahu.” Kata Reza.

        “Sebenernya ada apa sih, Ja? Belakangan gue lihat loe nggak akur sama Rangga.”


        “Nggak ada apa-apa.”

        “Gimana, Bis? Udah bisa?” sahut Om Pancunk pada Bisma yang sedari tadi mencoba menghubungi handphone Rangga.

        “Nggak bisa, Om. Nomornya nggak aktif.” Jawab Bisma.

        “Ditelpon ke Bandung juga nggak ada, kemana sih tuh anak?!” gerutu Rafael.

        “Zeptaria itu promotor besar. Sementara kita tangani saja dulu berlima. Biar Rangga nanti menyusul.” Usul Reza.

        “Maksud loe, loe mau kita ninggalin Rangga?” tanya Dicky.

        “Bukan begitu! Ini juga menyangkut manajemen kita, ‘kan? Jangan sampai kita dicap tidak profesional gara-gara membatalkan kontrak!” bela Reza.

        Sejenak suasan hening. Membenarkan perkataan Reza, tapi di sisi lain juga dilema jika harus meninggalkan Rangga.

        “Masih ada waktu. Hubungi terus Rangga!” kata Om Pancunk.

        ******************

        Sementara itu, di tengah ribuan orang yang memadati jalanan di salah satu sudut Pulau Lombok, Rangga berjalan sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu berada di kota apa sekarang. Sudut matanya sibuk mencari hotel. Handphonenya sudah mati sejak di bandara tadi. Ia harus cepat-cepat menemukan tempat bermalam sebelum malam semakin gelap.

        Sesuai petunjuk petugas bandara, Rangga menemukan sebuah penginapan tak jauh dari bandara. Ia lalu masuk ke dalam.

        Petugas penginapan menerimanya dengan hangat. Sebuah bangunan rumah kecil dan penuh hiasan etnik khas Lombok. Tak masalah! Yang penting ada tempat untuk istirahat. Kebetulan malam itu kamar yang tersisa tinggal satu. Cukup untuknya seorang.

        “Maaf, Pak. Kami hanya menerima uang tunai, bukan kartu debet.” Tolak petugas penginapan saat Rangga menyodorkan kartu ATM-nya bersiap membayar kamar.

        “Yahh, Mbak, saya adanya kartu ini. Tidak ada uang tunai. Sudah habis tadi waktu di bandara.”

        Petugas penginapan itu menggeleng. Ia justru menunjukkan Rangga letak bank yang jauhnya ratusan meter. Rangga menghela nafas panjang. Maklum memang itu penginapan kecil. Jika dia memilih pergi ke hotel, ia justru tidak akan kebagian kamar. Suasana libur natal seperti ini dimana-mana hotel memang selalu penuh.

        Masih dengan topi dan kacamata hitamnya, Rangga lalu beranjak keluar menuju bank. hampir seperempat jam ia habiskan untuk mencegat taksi. Selesai menarik uang, Rangga lalu kembali menuju penginapan. Namun sayang, kali ini sepertinya ia hampir kehilangan kesempatannya menginap.

        “Mbak, saya yang tadi.” Ucap Rangga sambil mengeluarkan uang dari ranselnya.

        Petugas penginapan itu memandangi Rangga bingung. Bergantian ia menatap Rangga, lalu menatap perempuan yang ada di depannya yang tengah sibuk mengisi buku tamu penginapan.

        “Maaf, Mas. Sudah diambil sama orang lain.” Jawabnya.

        “Sudah diambil??!” Rangga terperanjat. Ia langsung menatap perempuan yang masih sibuk dengan buku tamu di depannya. Sepertinya dia yang telah menyerobot check-in kamarnya.

        Merasa diawasi, perempuan berambut kuncir kuda itu membalikkan badan.

        “Loe lagi??!” teriak Andin.

        “Ck! Mestinya gue yang bilang gitu! Ngapain loe di sini?!” tanya Rangga.

        “Terserah gue lah mau apa!”

        “Tentu aja urusan gue! Loe ngerebut kamar gue, tau nggak?!”

        “Nge-ngerebut?! Enak aja asal ngomong! Gue dapet kamar di sini setelah dikasih tahu petugas bandara!”

        “Ya, tapi gue duluan yang di sini!”

        “Apa buktinya?! Loe aja baru datang!”

        “Loe tanya aja resepsionis! Gue yang ke sini duluan! Gue tadi ke ATM dulu ngambil uang!” Rangga melempar tatapannya ke petugas penginapan meminta dukungan.

        Petugas berambut sebahu itu kelabakan. Tidak tahu harus menimpali Rangga bagaimana. Benar memang Rangga yang datang duluan. Tapi di sisi lain, Andin lah yang melunasi biaya sewa kamar.

        “Eh, saya, saya....”

        “Mbak nggak bisa gitu donk! Mestinya urutkan pengunjung sesuai antrian!” Rangga berganti memarahi petugas penginapan.

        “Heh! Loe jadi cowok emang nggak punya sopan santun ya sama cewek! Kenapa loe jadi marahin dia?! Mending loe keluar terus nyari penginapan laen!” balas Andin membela petugas.

        “Loe tukang serobot mending diem kalo nggak ngerti apa-apa!”

        Perang mulut antara Andin dan Rangga sontak mengundang perhatian petugas penginapan lainnya. Manajer penginapan langsung turun tangan dan menengahi Andin dan Rangga. Sekali lagi Rangga berganti ngomel ke manajer personalia bertubuh gemuk itu. Rangga mati-matian meyakinkan bahwa dia lah yang pertama kali datang dan berhak mendapatkan kamar.

        “Begini, sebenarnya, kamar yang tersisa itu kamar besar. Di dalamnya ada 4 ranjang. Biasanya disewa oleh rombongan besar. Saya rasa, itu cukup untuk Anda berdua.” Kata manajer penginapan itu memberi saran.

        Andin dan Rangga seketika membelalakkan matanya. Nggak habis pikir dengan solusi yng ditawarkan petugas penginapan.

        “Nggak bisa gitu donk! Mana mungkin saya sekamar dengan dia! Anda ini mikirnya gimana sih?” sergah Andin.

        “Oke! Saya setuju!” sahut Rangga dengan senyum lebar. Andin langsung menatapnya tajam.

        “Nah? Setuju? Baik, silakan tanda tangan di sini.” Sambut petugas penginapan sumringah. Merasa konflik malam ini bisa diakhiri.

        “Nggak! Saya nggak setuju! Enak aja nyuruh saya sekamar sama dia!” tolak Andin mati-matian.

        “Kenapa emang? Apa salahnya sekamar sama gue?” goda Rangga penuh kemenangan.

        “Loe nggak punya otak apa? Gue cewek!”

        “Kalo loe nggak mau, ya nyari aja sana penginapan yang lain!” pancing Rangga. Sekali lagi, Skak Mat!!

        Andin mengatupkan bibirnya. Giginya bergemelatuk. Dalam hati ia merutuk Rangga habis-habisan. Sepertinya ia sengaja menerima tawaran sekamar itu karena tahu mana mungkin ia mau sekamar dengan cowok.

        “Oke, gue juga setuju!” kata Andin kemudian.

        Kali ini Rangga yang membelalakkan matanya.

        “Loe setuju???” tanya Rangga.

        “Why not! Gue nggak takut sama loe! Lagian, loe nggak lebih dari sekumpulan banci di boyband loe. Emang loe bisa apa ke gue?!!.”

        Rangga menahan nafas. Telinganya seketika memanas. Langsung disambernya kunci kamar yang tergeletak di meja resepsionis lalu berjalan mendahului ke kamar. Andin tersenyum sinis. Yes! 1-1!

        Sesuai perkataan petugas penginapan, kamar itu memang benar-benar luas. Ada empat ranjang ditata berjajar. Dua lemari besar menjadi penengah di tengah ruangan. Nampak seperti terlalu luas untuk dihuni dua orang saja.

        Andin langsung menuju ranjang yang berada di paling ujung. Sementara Rangga memilih ranjang yang dekat dengan pintu kamar. Keduanya duduk saling memunggungi. Untuk pertama kalinya sekamar dengan orang asing. Terasa sedikit horor.

        “Dengar, lemari itu adalah batas wilayah gue! Selangkah loe mendekat ke sini, gue bunuh loe!” kata Andin sambil menunjuk lemari besar di tengah ruangan.

        “Terserah.” timpal Rangga datar. Tanpa pikir panjang, ia lalu membuka jaket dan bajunya. Sejurus kemudian, Rangga juga melepas celananya.

        “HEH! BEGOK! Loe kalo ganti baju di kamar mandi ngapa!” jerit Andin histeris.

        “Ngapain takut? Bukannya kata loe gue nggak lebih dari banci? Ya terserah gue lah mau buka baju dimana.”

        Andin menutupi matanya dengan telapak tangannya. Jantungnya berdegub kencang. Seburuk apapun ejekannya pada Rangga, gimana pun juga Rangga itu cowok! Andin membalikkan badannya. Sedikitpun tidak berani menoleh ke arah Rangga.

        Rangga tersenyum sinis melihat respon Andin. Ia justru semakin menjadi-jadi. Menyalakan TV, berjalan kesana-kemari hanya dengan celana pendek.

        Andin merebahkan badannya. Berusaha sekeras mungkin untuk tidur dan tidak menghiraukan tingkah Rangga. Tapi percuma. Otaknya masih saja dipenuhi pikiran yang tidak-tidak jika dia tidur nanti.

        “Loe tuh porno banget sih jadi cowok! Pakai baju ngapa??!” bentak Andin tidak tahan.

        “Loe jadi cewek plin-plan banget. Tadi manggil gue banci, sekarang manggil gue cowok. Yang bener yang mana?” goda Rangga.

        Andin geram sendiri mendengar jawaban Rangga.

        “Dengar ya! Sejengkal aja loe mendekati gue, gue akan lapor polisi!”

        “Kegeeran banget jadi cewek. Cowok mana yang mau deketin cewek kuli kayak loe? Kasar naudzubillah!” Rangga begidik.

        Andin melototi Rangga. Menahan diri untuk tidak melempar pajangan keramik yang ada di sampingnya ke kepala Rangga. Sekali lagi Andin merebahkan badannya dan berusaha tidur. Besok pagi-pagi ia sudah harus di Bandara dan bersiap terbang ke Bali. Anggap saja seharian ini ia sedang mimpi buruk. Sejak pagi terus-terusan bermasalah dengan personil boyband rese itu. Ini mimpi buruk paling buruk yang pernah ada.

        Sementara Andin mulai terlelap tidur, Rangga masih sibuk berkutat dengan hadphonenya. Begitu handphonenya menyala, muncul puluhan panggilan tak terjawab dan pesan singkat masuk.

        Rafael - Friday [at 04:23 pm]
        Meeting sekarang jg!

        Rafael - Friday [at 04:36 pm]
        Ada meeting sm Zeptaria. Lo dimana?

        Bisma - Friday [at 05:02 pm]
        Lo ditunggu anak2. Knapa gk aktif?

        Reza - Friday [at 05:33 pm]
        Lo gk ngerti apa2 ttg dia! Jk memang lo suka dia, knp lo diem? Lo pengecut!

        Rangga terdiam di SMS terakhir. Matanya menatap kosong. Dadanya kembali sesak mengingat pertengkarannya dengan Reza kemarin silam. Sejurus kemudian otaknya beralih memikirkan sesosok gadis berambut ikal dengan lesung pipit di pipinya. Mestinya dia sudah di Bali sekarang dan bersama dengan Ola. Mestinya Ia sudah bisa membawa Ola pulang ke Jakarta besok pagi.

        Rangga menghela nafas. Ia tidak akan membiarkan siapapun mendekati Ola. Sekalipun itu temannya sendiri. Ia dekat dengan Ola bahkan sejak ia belum berkarir di SMASH. Ia tidak akan membiarkan gadis itu pergi darinya.

        **************

        Pagi menjelang. Andin terbangun dari lelapnya. Hal pertama yang ia lakukan begitu membuka mata adalah mengecek apa bajunya masih menempel di badannya apa tidak. Andin meraba sekujur tubuhnya. Ia lalu menghela nafas setelah yakin tidak terjadi apapun padanya. Sepertinya personil boyband nyebelin itu tidak bertingkah aneh semalam.

        Sedikit mencuci muka dan gosok gigi, Andin lalu bersiap pergi dari penginapan. Ia bahkan tidak berminat mengganti bajunya. Hal yang paling penting sekarang adalah pergi dari samping cowok keras kepala itu.

        Andin berjalan mengendap-ngendap menuju pintu. Didapatinya Rangga tertidur di ranjang masih tanpa pakaian. Andin begidik. Ia langsung melesat pergi.

        “APA? DIBATALIN LAGI??!” ulang Andin. Ia memasang wajah penuh kecewa di hadapan petugas bandara. Di luar dugaan, petugas bandara justru mengatakan bahwa bandara masih ditutup sampai saat ini.

        “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda. Terjadi badai tropis di Samudera Hindia. BMKG memperkirakan akan terjadi hujan deras dan badai selama tiga hari di sepanjang bagian selatan Indonesia.” Jelas petugas bandara.

        “Tiga hariiii???” pekik Andin.

        “Kami mohon maaf.”

        “Lalu saya bagaimana, Pak? Mau sampai kapan saya terjebak terus di sini?”

        “Anda silakan kembali ke penginapan sampai badai reda.”

        Andin hanya sempat memandanginya dengan masam, lalu berbalik badan dengan wajah cemberut. Tamat riwayatnya! Tamat liburannya! Kenapa urusannya jadi serumit ini? Ia hanya mengharapkan liburan kecil dan simpel, kenapa begitu sulit untuk sekedar bersantai di pantai Kutai?

        Ringtone handphone Andin berbunyi. Buru-buru Andin mengangkat teleponnya.

        “Halo, Ipunk?... Nggak bisa! Nggak!.... Kenapa? Gue nggak lagi di Jakarta sekarang!.... Nggak.... Nggak tahu! Gue belum bisa pulang! Bandaranya masih ditutup! Mampus gue!”

        Andin nampak serius bicara di handphonenya. Di luar dugaan, aktivitasnya itu justru mengundang perhatian salah seorang laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. Laki-laki berjaket kulit hitam itu mendekati Andin selangkah demi selangkah. Dalam hitungan detik, saat Andin mengakhiri teleponnya dan berniat memasukkannya ke dalam tas punggungnya, laki-laki itu menyabet tas Andin lalu membawanya kabur.

        “Copeeet! Copeett!”

        Suasana bandara yang sepi, hanya nampak beberapa orang saja di sana, membuat Andin terpaksa mengejar copet itu sendirian. Andin berlari sekencang yang dia bisa. Mulutnya tidak berhenti berteriak copet. Namun tak seorangpun datang membantunya.

        Di salah satu tikungan, muncul Rangga secara tiba-tiba. Sontak copet yang dikejar Andin menabrak Rangga. Keduanya sama-sama jatuh terduduk.

        “Maaf, Pak. Maaf.” Ucap Rangga. Diambilnya tas punggung yang terjatuh di samping copet itu lalu membantunya berdiri.

        “Saya minta maaf, Pak. Tadi saya tidak sengaja.” Ucap Rangga lagi.

        Laki-laki itu menganggukkan kepalanya sekilas, lalu kembali melanjutkan larinya.

        “BEGOOKKK!!! NGAPAIN LOE KASIH TAS GUE KE DIAAA???!” teriak Andin.

        Rangga bengong. Dilihatnya Andin berlari ngos-ngosan ke arahnya dan tiba-tiba memarahinya habis-habisan. Belum sempat dia mengerti maksud Andin, Andin kembali berlari dan berteriak copet.

        “Loh? Itu tadi copet?” gumam Rangga.

        Sekian detik berpikir, Rangga lalu ikut berlari mengejar copet yang baru saja ditolongnya. Memasuki area parkir, dilihatnya Andin berdiri membungkuk memegangi lutut. Nafasnya memburu.

        “Copetnya mana?” tanya Rangga panik.

        Andin diam. Hanya nafasnya yang ngos-ngosan yang terdengar.

---------------------------------------------------------------------------
Bersambung ke Part 3 ^____^



3 komentar:

  1. keren nih ceritanya next dong,,bdw aku minta tolong boleh g buatin sampul cerbung hehe

    BalasHapus
  2. judul cerbungnya

    Cahaya Cinta Shafira,,Pu ceweknya teh dina,Pu cowok:Kak Bii,ada cocoh,iam dan Eja juga tapi yang di sampul kasih fto PraBis aja sma coRaf

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya aku sih nerima buat SB yang mau pesan cover... tapi sementara ini blm buka order... ditunggu aja ya.. soalnya mau UAS.. :)
      Kalo pengen pesen, coba kamu inbox ke Facebook http://www.facebook.com/SmashblastGlobal

      Hapus