Judul : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”
Pengarang :
@ariek_andini
Genre : Comedy-Romantic
Cast : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza
dan Ilham.
----------------------
“Apaan?” tanya Andin
ketus.
“Lo laper kan?”
“Gue nggak butuh
makanan yang udah kesiram air laut! Asin!!”
Rangga memukul
kepala Andin, “Nggak usah belagu lo! Makan ya makan aja! Lo mau hidup kagak?!”
Dengan wajah masih
cemberut, Andin meraih cokelat dari tangan Rangga.
“Lo mau kemana?”
tanya Andin melihat Rangga beranjak pergi dari sampingnya.
“Mau pipis, lo mau
ikut?”
“KAGAKK!!”
Memang terasa aneh.
Cokelat basah bercampur rasa asin. Tapi nggak ada pilihan lain. Sebatang coklat
itu udah bisa mengganjal perutnya.
Angin pantai
berhembus pelan menerpa wajah Andin. Matahari perlahan bergeser ke barat.
Lama-lama Andin merasa mengantuk. Lama-lama telinganya terbiasa dengan suara
debur ombak yang saling bersahutan. Musik alam yang indah. Sejurus kemudian
Andin mulai terlelap ke dalam mimpinya. Tubuh lusuhnya bersandar pada sebuah
batang kelapa.
Jujur saja,
sebenarnya tak semua hal yang ia lewati seharian ini adalah hal buruk. Ketika
ia terbangun pagi tadi dari pingsannya, matanya terbelalak dengan pantai biru
dan pasir putih yang terbentang di depannya. Bukan Kutai yang ramai. Ini adalah
pantai alami yang keindahannya belum pernah terjamah. Tak ada sampah plastik
atau petugas pantai. Pantai ini seperti miliknya.
Gemertak kayu yang
terbakar membangunkan Andin dari tidurnya. Begitu matanya terbuka, dilihatnya
api unggun sudah teronggok di depannya. Langit telah menghitam bertabur bintang.
Angin laut membelai kulitnya.
“Lo tidur? Kirain
udah mati.” tegur Rangga.
“Ini lo yang bikin
api unggun?”
“Males gue ngomong
sama lo.” Timpal Andin.
“Nih!” Rangga
menyodorkan sebuah baju ke hadapan Andin.
“Apaan?”
“Lo nggak mungkin
kan pakek baju gembel itu terus? Nih pakek!”
“Baju gembel mulut
lo kayak prosotan TK!”
“Udah! Buruan
pakek!”
Andin menuruti perintah Rangga. Benar sih kaos
yang ia kenakan tipis dan berlengan pendek. Tak mungkin bisa melindunginya dari
dinginnya angin laut di malam hari.
“Lo ganti aja sana
di semak-semak. Gue bakal menghadap ke sini!” kata Rangga. Ia membalikkan badan
membelakangi Andin.
Beberapa menit
berlalu. Andin kembali ke hadapan Rangga usai berganti baju.
“Nah, ‘kan, pas...”
kata Rangga.
“Pas apanya?!
Kebesaran tau nggak!!”
“Ya iya lah
kebesaran! Badan lo cungkring kayak batang kelapa!!”
“Nggak ada baju lain
apa?!” tanya Andin. Tangan dan lehernya tenggelam dibalik baju.
“Lo pilih-pilih amat
jadi orang! Gue bawanya cuma itu! Itu baju dari brand fashion gue sendiri,
Edjeh!! Mahal tau!”
“Dari brand fashion lo? Pantes gambarnya jelek!”
“Orang buta fashion
kayak lo mana ngerti dengan desain kayak begitu!”
“Emang jelek!”
“Lo tuh yang jelek!”
Andin tersenyum jail. Lucu juga melihat Rangga marah
karena ia goda. Andin lalu duduk di samping Rangga.
Menikmati hangat api unggun dari dekat.
“Menurut lo, ini
dimana?” tanya Andin membuka pembicaraan.
“Ini di Bali...”
“Nyadar, Rang!
Seharian ini lo muterin nih pulau, lo masih yakin ini Bali? Mabok lo ya!”
“Emang menurut lo
ini dimana?”
“Tau lah dimana?
Indonesia itu kan negara kepulauan. Ada 1700 pulau yang belum dinamai. Mungkin
ini salah satu pulau itu!”
“Lagak lo kayak guru
IPS!”
“Gue kan pintar. Nggak
kayak elo!”
“Gimana kalo
seandainya kita nggak bisa pulang dari sini?” tanya Rangga kemudian.
Andin bengong.
Ekspresinya sontak berubah. Ditatapnya Rangga dengan alis mata hampir menyatu.
“Lo jangan bilang
gitu donk! Lo nakut-nakutin gue tau nggak! Gue nggak mau di sini terus! Gue
nggak mau mati di sini!” sergah Andin emosi.
“Iya! Iya! Gue kan
cuma nanya! Serius amat, sih.”
“Elo, sih! Perkataan
adalah doa! Lo hati-hati donk kalo ngomong!”
“IYA! ANDINI
SALMAAAA! Besok pagi-pagi gue bakal nyari Pak Sugimin!”
“Nyari Pak Sugimin?
Ngapain? Emang dia ada di sini?”
“Kita berdua aja
terdampar di sini. Ya mungkin dia juga terdampar di sini. Lo lihat kan pecahan
perahu dia pas kita bangun. Semuanya ada di pulau ini.” Jelas Rangga.
Andin menyimak
Rangga dengan seksama. Menebak-nebak keberadaan Pak Sugimin seperti yang
dikatakan Rangga. Jika memang dia ada di pulau ini, emangnya dia masih hidup?
Rangga dan Andin
menerawang jauh ke garis horizontal pantai. Keduanya sama-sama terdiam. Hening.
Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
“Nyokap gue pasti
nyariin gue. Biasanya kalo udah malam gini, dia nelponin gue.” Kata Andin
memecah keheningan.
Rangga menoleh ke
arah Andin.
“Gue jadi kepikiran.
Handphone gue pasti udah dijual sama tuh pencopet rese.”
“Udah, lo anggap aja
sedekah. Lo kan bisa beli yang baru.”
Andin
manggut-manggut, “Kalo lo, nyokap lo nyariin lo juga nggak?”
“Dia sih pasti
ngiranya gue lagi sibuk show. Paling-paling, yang nyariin gue ya temen-temen
gue.”
“Temen-temen boyband
lo?”
“Iya lah, siapa
lagi?”
“Kenapa lo dulu mau
jadi boyband?”
“Hah?”
“Ya, aneh aja. Kan
nggak wajar, sekumpulan cowok, nyanyi sambil nari gitu.”
“Hal baru emang
selalu dianggap aneh. Lo pikir, awal dulu band Rock masuk ke Indonesia,
orang-orang langsung nerima gitu? Butuh waktu, sampe semuanya diterima dan
nggak lagi dianggap aneh. Indonesia butuh genre musik baru, nggak itu-itu aja.”
“Iya, gue tahu. Dulu
genre rock emang ga langsung diterima gitu aja.”
“Lagian, nyanyi
sambil nari itu asik. Nggak cuman berdiri megangin mic.”
“Halah, nari doank.
Gue juga bisa.”
“Oh ya? Coba gue pengen lihat.” Goda Rangga
Andin mengernyitkan
dahinya, “Ok-Oke, gue akan tunjukin ke elo!”
Andin lalu berdiri.
Ia membenarkan bajunya dan rambutnya yang tergerai. Sejenak ia nampak berpikir.
Diangkatnya tangannya sebelah. Digerakkannya ke depan dan ke belakang. Ia juga
meliuk-liukkan tubuhnya. Saat Andin akan mengangkat kakinya, tawa Rangga
langsung pecah.
“Pea! Ngapain lo
ketawa? Lo ngetawain gue?!!” bentak Andin nggak terima.
“Lo ngedance, apa
lagi kena kejang tetanus??!” tanya Rangga di sela tawanya.
“Lo tuh nggak ngerti
seni tari!! Ini namanya tari jaipong modern!”
“Lo nari kayak
ultraman kesetrum listrik PLN!! Sini gue ajarin!!”
Rangga berdiri dari
duduknya. Ia mendekati Andin dan memegang lengan Andin.
“Tangan lo jangan
kaku begitu! Lemesin! Gerakin sesuai ketukan musik!”
“Nggak ada
musiknya!”
“Lo bayangin aja
musiknya di otak lo! Angkat tangan kiri lo. Saat tangan lo udah di atas, lo
gerakin juga kaki lo! Nih lihat gue!”
Rangga ngedance.
Andin melihatinya cengo. Berusaha mencerna tarian apa yang tengah dilakukan
Rangga.
“Halah, itu tarian
boyband lo kan??”
“Lo bisa kagak??!”
Pelan-pelan Andin
menggerakkan tubuhnya seperti Rangga. Saat Rangga mengangkat tangannya, Andin
juga mengangkat tangannya. Saat Rangga berputar, Andin juga berputar. Sesekali
Rangga bernyanyi memberi ketukan musik pada Andin
“Kuterbang tinggi
melewati khayal ini... Set! Hentakan kaki lo! Tangannya begini!!”
Andin mencermati
Rangga yang menari di sampingnya.
“Udah, sekarang
gabungin gerakan pertama sampe yang terakhir!”
“Hah?”
“Apanya yang hah?”
“Gila apa? Mana
inget gue gerakan yang pertama tadi kek gimana!”
“Ya emang mesti
gitu! Lo mesti hapal gerakan! Kalo enggak, lo nggak bisa perform!”
“Sulit banget jadi
boyband!”
“Emang sulit! Nggak
semudah seperti yang lo bilang! Lo pikir boyband modal tampang doank? Butuh kerja
keras biar bisa nyanyi sambil ngedance!”
Andin menghempaskan
tubuhnya ke pasir. Nafasnya terengah-engah.
“Sejujurnya, semua
yang kami bilang tentang kalian, nggak ada yang bener. Kami bilang kalian
banci, padahal kalian bertingkah normal seperti laki-laki biasa. Kami bilang
kalian modal tampang, padalah kalian bekerja keras lebih dari itu. Sebenernya
sih, banyak orang ngejek kalian, cuman karena baru pertama kali ini lihat yang
seperti ini.”
Rangga menatap Andin
dalam.
“Gue juga nggak pernah benci kalian. Gue ngebully kalian,
cuma ikut-ikutan temen di band gue aja. Semua cowok di band gue, nggak suka
sama kalian.”
“Gue sih maklum.
Rata-rata emang cowok nggak suka sama gue, karena mereka kalah ganteng dari gue.”
Andin melengos,
“Diiih! Keluar deh! Kegeeran! Baru diomongin dikit juga.”
“Gue udah kebal.
Manusia nggak pernah tahan nyimpen rasa benci. Lama-lama mereka juga pasti
sadar dengan sendirinya. Gue udah sering lihat, banyak antis ngebully gue,
besoknya langsung jadi smashblast!”
“Terus, mau sampe
kapan lo bertahan?”
“Sampe Jakarta turun
salju.” jawab Rangga singkat.
“Keyakinan lo kuat
banget.” timpal Andin.
Rangga tersenyum
simpul. Lucu juga membahas hal seperti ini dengan orang yang tidak pernah
menyukainya.
“Lo sendiri, cewek,
ngapain jadi penyanyi rock?” tanya Rangga.
“Emang nyanyi rock
harus ditentuin apa cewek apa cowok?”
“Tau. Lo bebal,
keras kepala, suka marah-marah, dan kasar. Ini pasti gara-gara lo masuk rock!”
“Itu emang sifat gue
dari lahir, Veloooo...”
“Feminim dikit, kek!
Dandan, pake rok seperti cewek normal lainnya.”
“Maksud lo? Kayak
girlband-girlband alay yang biasa manggung sama elo itu? males gue!!”
“Nggak segitunya
juga kali, Ndin! Pikiran lo kemana-mana!”
Andin memanyunkan
bibirnya. Gemertak kayu api unggun bersahutan dengan debur ombak dari kejauhan.
Sesekali Andin memainkan batang kayu yang ada di depannya. Sejurus kemudian,
terbesit sebuah nama yang dari kemarin memenuhi telinganya.
“Ola itu siapa?”
tanya Andin.
DEG! Rangga terdiam. Ia hanya memandangi Andin.
“Kenapa emang?”
“Cuma nanya aja. Lo
selalu berubah dingin jika membahas cewek itu.”
--------------------------------
Bersambung Ke Part 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar