Judul : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”
Pengarang :
@ariek_andini
Genre : Comedy-Romantic
Cast : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza
dan Ilham.
-----------------------------
Rangga langsung
berdiri tegap dan menyapu seluruh pantai. Dilangkahkan kakinya tak tentu arah.
Jika ombak membawanya terdampar di pantai ini, tentu Andin juga. Masih lekat di
ingatannya, sedikitpun ia tidak melepas tangan Andin ketika terlempar ke laut.
Dia mungkin berada di dekat sini.
Sebuah batu karang
hitam teronggok di tengah bentangan pasir. Puing-puing kayu berserakan di sana.
mungkin itu bongkahan perahu Pak Sugimin yang hancur. Rangga memicingkan
matanya, dilihatnya sebujur tubuh tergeletak di sana.
“Andin?” Rangga
semakin menyipitkan matanya, “Andiiiin!”
Rangga berlari mendekati
Andin yang tergeletak di samping batu karang. Tak beda jauh dengannya, Andin
basah kuyup dari atas sampai bawah.
“Andin!” panggil
Rangga. Digoyangnya pundak Andin pelan.
Tidak ada reaksi.
“Ndin! Lo mati?”
Tiba-tiba Andin
membuka matanya. Andin berkedip.
Duakk!!
Andin langsung melemparkan
tendangan ke pipi Rangga. Rangga jatuh tersungkur ke pasir.
“Rangga?! Itu lo,
Ngga?” tanya Andin.
“Dooh! Lo kenapa,
sih?!”
“Sorry! Sorry! Gue
spontan!! Gue kaget lo tiba-tiba berada di depan mata gue pas gue bangun!”
buru-buru Andin menghampiri Rangga dan membantunya duduk.
Rangga memegangi
pipinya dan menatap Andin tajam, “Nyesel gue tadi bangunin lo! Tau gini gue
lempar aja loe ke laut!!”
“Gue kan udah minta
maaf! Gue tadi kaget, bangun-bangun tiba-tiba ada loe di depan gue!”
“Dihhh! Emang gue
habis ngapain lo?”
Andin berdiri dari
duduknya. Dia mengamati sekeliling. Dari ujung barat ke ujung kiri, tak satupun
ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada pantai liar dengan rimbun semak-semak di
sekelilingnya.
“Ini dimana?” tanya
Andin.
“Nggak tahu.” jawab
Rangga.
“Nggak tahu? Lo
bilang nggak tahu?! Lo nyulik gue ke dermaga, lo maksa gue masuk ke perahu
butut, tenggelam, terdampar, dan sekarang lo bilang lo nggak tahu?!!”
“Gue aja baru sadar
semenit yang lalu. Emang gue punya ilmu nujum apa tau ini dimana?”
“Terus ini gimana?! Kita
berada di pulau yang entah apa namanya!! Lo lihat nggak ada seorangpun di sini!
Hidup gue sengsara gara-gara elooo!”
“Emang cuma lo aja
apa yang sengsara! Gue juga sengsara!”
“Kalo lo dengerin
gue dari awal, ini semua nggak akan terjadi!”
“Nggak usah ngungkit-ngungkit
itu!! nggak ada gunanya!!”
“Itu karena lo keras
kepala!! Sekarang gimana ini?! Ini dimana? Ini pulau apa? Cuma ada gue dan elo!
Nggak ada orang! Nggak ada perahu! Mampus gue di sini! Nyokap gue pasti
nangisin gue!”
“Tenang, Ndin!
Tenang!!” kata Rangga. Dipeganginya pundak Andin.
“Tenang tenang! Enak
aja lo bilang tenang!”
“LO BISA DIAM NGGAK
SIH?” bentak Rangga.
Seketika Andin
terdiam. Dia menutup bibir. Air matanya mulai berlinangan.
“Dengar, Ndin! Semalam
kita sudah setengah jalan. Kita tenggelam di tengah Selat Lombok! Jadi mungkin
ini di Bali!”
“Kalo ini Bali,
kenapa sepi?” tanya Andin.
“Nggak semua pantai
di Bali itu rame. Ada yang sepi, masih pedalaman! Jadi kalo kita jalan mengikuti
pantai, kita akan sampai di pantai lain yang ramai.”
Andin melepas tangan
Rangga dari lengannya, “Capek gue ngikutin logika lo!”
“Kali ini lo harus
percaya sama gue! Gue yakin ini di Bali!”
Rangga menatap mata
Andin meyakinkan. Andin menghela nafas. Ia tidak memiliki pilihan lain. Sekali
lagi ia berjalan mengekor di belakang Rangga, mengikuti Rangga berjalan
menyusuri pantai mengelilingi pulau.
Matahari kian
tinggi. Sedikit demi sedikit Tshirt basah yang dikenakan Andin mulai kering
dengan sendirinya. Kakinya telanjang menapak pasir. Entah kemana larinya
sepatunya. Ia terbangun hanya berselimutkan baju dan celana jeans. Tidak ada
yang lain.
Rangga tetap tegak
berjalan di depannya. Tak ada keraguan sedikitpun dengan arah yang ia tempuh.
Rangga terus saja berjalan mengikuti garis pantai. Kian lama rimbun semak-semak
mulai berganti dengan pepohonan kelapa yang condong ke pantai. Pelepahnya
memberikan bayang teduh dari terik matahari yang semakin menjadi-jadi.
“Gue nyerah!” gumam Andin.
Rangga menoleh.
Dilihatnya Andin berdiri mematung lima meter darinya di belakang sana.
“Lo ngapain?” tanya
Rangga.
“Kita udah dua jam
berjalan terus kayak gini! Nggak ada bedanya, Rangga!! Dari tadi yang gue lihat
cuma semak-semak dan pohon kelapa! Mana pantai wisata yang lo janjiin?! Ini
bukan Bali!!”
“Sebentar lagi,
Ndin!”
“Gue capek! Kaki gue
lecet! Gue lapeeer!”
“Tahan donk! Lo
katanya cewek rocker, kenapa lemah begitu?!”
“Rocker juga
manusia, begok! Gue bukan elu, yang keras kepala dan seenaknya sendiri! Apanya
yang Bali?!! Mana ada Bali kayak hutan belantara begini?! Kita nyasar,
Rangga!!! Nyasar!! Ini semua gara-gara looo!” satu-satu air mata Andin mulai
berjatuhan.
Rangga terkesima.
Untuk pertama kalinya ia melihat Andin menangis dengan mata kepalanya sendiri.
Ia menghela nafas. Sedetik kemudian ia menarik Andin duduk berteduh di bawah
rerimbunan pohon kelapa.
Andin diam bersandar
di batang kelapa sambil menekan-nekan telapak kakinya. Ia merasa sekujur
tubuhnya hancur lebur. Lelah, kedinginan dan kelaparan. Semuanya campur aduk
jadi satu. Diliriknya Rangga yang duduk di sampingnya. Rangga memandang lurus
ke depan. Seolah memikirkan sesuatu. Terkadang bola matanya tertarik ke
pinggir. Mengamati jejak kakinya dan Andin dari kejauhan.
Benar kata Andin. Ia
sudah jauh berjalan mengitari pulau. Tapi sampai sejauh ini tak juga
ditemukannya tanda-tanda kehidupan seperti dugaannya.
“Ini
semua gara-gara elo!!!” suara Andin memecah keheningan.
“Mau sampe kapan lo
nyalahin gue terus??!”
“Harusnya gue nyadar
dari awal! Anak boyband itu emang bego semua!!”
“Kalo nggak ada gue!
Lo bakal kelaparan di Mataram!!”
“Tapi lo juga yang membawa gue terlantar di pulau nggak berpenghuni kek
begini!! Udah ah! Capek gue ngomong sama elo!”
Andin melempar
wajahnya ke arah lain. Rangga pun melakukan hal yang serupa. Semarah-marahnya
dia pada Andin, kadang terselip juga rasa bersalah di hatinya. Dibukanya tas
ranselnya lalu dikeluarkannya semua isinya. Basah kuyup, dimulai dari
handphone, dompet dan baju ganti yang ia bawa, semua melempem kebasahan air
laut. Tapi jika dikeringkan, seenggaknya itu semua masih berfungsi.
Rangga lalu menjajar
barang-barangnya di terik matahari. Tak ada yang tahu pasti, ini pulau tak
berpenghuni atau hanya pantai pedalaman, ia harus menyiapkan diri untuk
bertahan hidup.
“Nih...” Rangga
menyodorkan sebatang cokelat yang ia temukan di tasnya pada Andin.
“Apaan?” tanya Andin
ketus.
“Lo laper kan?”
“Gue nggak butuh
makanan yang udah kesiram air laut! Asin!!”
Rangga memukul
kepala Andin, “Nggak usah belagu lo! Makan ya makan aja! Lo mau hidup kagak?!”
Dengan wajah masih
cemberut, Andin meraih cokelat dari tangan Rangga.
“Lo mau kemana?”
tanya Andin melihat Rangga beranjak pergi dari sampingnya.
“Mau pipis, lo mau
ikut?”
“KAGAKK!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar