20 Juni 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 10

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya.. ^___^
Tinggalkan jejak jika selesai membaca.

------------------------------------


        “Rang! Lo kenapa???!” Andin tersentak kaget. Ia langsung memegang perut Rangga.

        “Akhhh....!!” erang Rangga sambil menggeliat di atas pasir.

        “Lo kenapa!?? Bilang sama gue!! Jangan bikin gue ketakutan gini dong, ah!!”

        “Sakit~...”

        “Apanya yang sakit??!”

        “Aaakh!”

        “Aaakh-eekh-aaak-eekh mulu lo! Bilang yang jelas!!”

        “Maag gue kambuh!!”

        Andin melebarkan matanya, “Mag? Haduh mampus gue!! Lo punya obat mag kagak?!”

        Rangga tak menjawab. Ia hanya menudingkan telunjuknya ke arah ranselnya.

        Buru-buru Andin meraih tas Rangga dan mengobrak-abrik isinya. Dicarinya obat mag yang ia sendiri tak tahu bentuknya.

        “Ini bukan?!!” tanya Andin sambil menyodorkan sebuah tablet obat.

        “Bukan, pea!! Itu vitamin!! Yang bentuknya bulet!!”

        “Bulet yang mana?? Ini semua bentuknya bulet! Lo ke Bali kayak dokter magang! Banyak amat lo bawa obat!!”

        “Nggak usah cerewet! Ambilin cepet!! Yang botolnya ijoooo!!”

        Sesuai intruksi Rangga, Andin mengambil obat dari botol berwarna hijau lalu menyerahkannya pada Rangga. Rangga meraih obat sebesar kuku jari itu lalu menelannya bulat-bulat.

        “Buset dah! Lo nenggak obat rakus amat!!”

        Rangga kembali tiduran di atas pasir dengan memegangi perutnya. Kali ini ia sedikit tenang. Nafasnya mulai bisa diatur dan nyeri di lambungnya mulai hilang. Secara perlahan, Rangga mulai mengantuk dan tertidur.

        Setengah jam Rangga tertidur di atas pasir tanpa bergerak sama sekali. Ia terbangun begitu mendengar suara keras di dekatnya. Rangga mengedipkan matanya. Dilihatnya Andin tengah menghantam-hantamkan sebuah kelapa ke batu.

        “Lo ngapain?” tegur Rangga heran.

        “Eh, lo bangun? Kirain udah mati.” jawab Andin sumringah.

        “Itu kelapa muda lo dapet dari mana?”

        “Dari pohon...”

        “Lo habis manjat pohon kelapa?”

        “Nggak! Gue timpukin pake batu..” jawab Andin enteng.

        “Kok cuma satu? Buat gue mana?” tanya Rangga.

        “Heh! Kloningan lele! Ini satu aja gue udah susah payah dapetnya!! Leher gue sampe kram dongak ke atas terus! Kepala gue juga kena timpuk tadi! Enak aja lo minta satu lagi! Udah! Ini satu dibagi dua!”

        “Nggak usah pakek emosi gitu kenapa, sih!!”


        “Lo tuh bikin emosi! Pagi-pagi bikin orang jantungan! Kena mag aja kayak ketusuk pisau! Lebay lo!”

        “Lebay kepala lo! Emang sakit!! Lo nggak pernah ngerasain sih!!” balas Rangga.

        “Mestinya lo punya persiapan kalo emang lo punya sakit mag!!”

        “Gue udah nyiapin! Gue udah bawa makanan di tas gue!”

        “Kenapa nggak lo makan?!”

        “Gue kasihin elo tadi malam, Pea!”

        EH?

        Andin mengatupkan bibirnya. Ia memandang Rangga dalam diam. Diberikan padanya? Jadi, coklat yang tadi malam itu cuma satu? Dan Rangga memberikan semuanya padanya?

        “Udah sini! Gue aja yang mecahin kelapanya! Bisa setahun gue nunggu kalo lo yang mecahin!” kata Rangga. Ia lalu merebut buah kelapa hijau itu dari tangan Andin. Diletakkannya buah kelapa itu di antara bebatuan. Diambilnya batu lain yang lebih besar lalu dihantamkannya ke atasnya.

        Andin diam mematung. Ia merasa seluruh tubuhnya kaku sementara jantungnya berdetak kencang. Ia memandangi punggung Rangga yang sibuk memecahkan buah kelapa. Entah mengapa, ia merasa ada keperkasaan yang menghangatkan di sana. Ia tidak pernah mengira kalau Rangga akan berkorban deminya. Ia rela memberikan coklat itu padanya padahal dia sendiri memiliki sakit mag.

        “Lo kenapa diam begitu? Kesambet nyi roro kidul lo?” tegur Rangga melihat Andin melamun di depannya.

        “Engh, enggakk!” jawab Andin.

        “Nih, makan!” Rangga menyodorkan separuh buah kelapa yang berhasil ia belah, “Buahnya masih lunak, jadi gampang diambil. Makan sampe habis, biar kenyang. Habis ini kita nyari Pak Sugimin.”

        Andin mengangguk. Antara mau dan tidak mau memakan buah kelapa itu. Ia sendiri baru sekarang memakan daging kelapa muda tanpa tambahan apapun. Asam, manis dan gurih, semuanya campur aduk jadi satu.

        Selesai makan, Rangga merapikan ranselnya dan bersiap pergi dari tempat itu. Pencarian Pak Sugimin ia mulai dengan melangkah mundur ke arah ia pertama kali terdampar. Asumsinya, jika ia dan Andin terdampar di sana, tentu Pak Sugimin dan kawannya juga terdampar tak jauh dari sana.

        Sekali lagi Rangga dan Andin menyusuri garis pantai. Angin laut berhembus kencang, memainkan pucuk pohon kelapa. Andin berjalan sedikit menjorok ke laut. Sengaja ia memainkan kakinya hingga membentuk kecipak air.

        “Jangan main-main kayak anak SD. Buruan cepet!” kata Rangga.

        “Idiiih! Terserah gue lagi!” balas Andin.

        “Daripada mainan air pakek kaki begitu, kenapa nggak sekalian aja lo nyebur sana ke laut?”

        “Sirik amat sih lo jadi orang?!” bentak Andin.

        Rangga berdecak. Ia melempar pandangannya ke arah lain. Dalam hati ia tersenyum geli, lucu juga melihat Andin emosi karena dia komentari. Menggoda Andin sampai marah masih menjadi hiburan tersendiri baginya.

        “Gue capek!” teriak Andin tiba-tiba. Ia menghentikan langkahnya lalu jongkok di atas pasir.

        Rangga ikut menghentikan langkahnya. Ditolehnya Andin, “Kenapa lagi?”

        “Dari kemaren kerjaan lo cuma nyuruh gue ngelilingin nih pulau nggak jelas! Gue capek, Rang! Udah lima kali pulau ini kita puterin! Mana Pak Sugimin? Nggak ketemu-ketemu!”

        “Lo jadi orang nggak sabaran amat! Ya mana langsung ketemu! Dicari dulu!” sergah Rangga.

        “Bodo amat! Gue capek! Gue nggak mau jalan!”

        “Jangan kekanak-kanakan gini ngapa!??”

        “Lo tuh yang kayak anak-anak! Orang tuh ada capeknya! Mikir donk! Gue capek, haus, geraahhh!”

        “Oh, lo gerah?” ulang Rangga. Ia meletakkan ranselnya, lalu berjalan mendekati Andin. Diambilnya air laut dengan kedua belah tangannya, lalu diguyurkannya ke kepala Andin.

        “Aaaaahh!!” Andin spontan melompat menghindar. Kepalanya basah kuyup karena siraman Rangga.

        “Lo bilang tadi gerah, kan?” goda Rangga.

        “Sialan! Lo sengaja kan tadi?!!” bentak Andin.

        Rangga tertawa lepas. Melihat hal itu, Andin masuk ke laut dan balas menyiram Rangga dengan air. Rangga berlari menghindar. Ia juga balas menyiramkan air laut ke arah Andin. Terjadi perang air antar keduanya. Sesekali Andin berlari menghindar lalu menyiramkan air tepat ke wajah Rangga.

        “Heh, begok! Asin tau!!” bentak Rangga.

        “RASAIN! EMANG ENAK??!” balas Andin.

        Rangga mendengus sebal. Ia berlari mengejar Andin. Terjadi aksi saling kejar antar keduanya. Tapi langkah kaki kecil Andin tak mampu mengimbangi langkah kaki Rangga yang lebar. Dengan segera Andin berhasil ditangkap Rangga. Diangkatnya tubuh Andin secara paksa lalu dibopongnya ke pantai yang lebih dalam.

        Byuuuurrr!!

        Rangga melempar Andin ke laut. Ia tertawa semakin keras. Merasa tidak terima, Andin bangkit dari dalam air lalu mendorong Rangga hingga jatuh.

        Matahari bersinar semakin terik di atas sana. Aroma angin pantai tropis terasa menggelitik hidung. Suara debur ombak beradu dengan tawa Rangga dan Andin. Bahkan asinnya air laut tidak mampu menghentikan keasikan keduanya. Bagai dunia milik berdua, Rangga dan Andin saling bercanda di dalam air selama berjam-jam.

        “Udahhh! Udah gue nyerah! Haahaha!” teriak Andin.

        “Sial! Gue juga kecapean nih!” kata Rangga. Nafasnya terengah-engah.

        “Lo tadi yang gendong gue ke tengah pantai begini! Sekarang, lo harus gendong gue balik ke sana!” kata Andin.

        “OK!!” tanpa banyak bicara, Rangga langsung membopong tubuh Andin dan membawanya berlari ke tepi pantai. Andin spontan teriak ketakutan. Sesekali Rangga terhuyung karena kesulitan menjaga keseimbangan di dalam air. Tepat di pantai dangkal, Rangga dan Andin terjatuh bersamaan.

        “Pea, lo! Gendong gitu aja jatuh?!” teriak Andin.

        “Kalo gitu coba lo gendong gue balik!” tantang Rangga.

        “Ogaaah! Hahaha!” tolak Andin. Ia lalu menempatkan tubuhnya tepat di samping Rangga. Keduanya tiduran di atas pasir yang tergenang air. Sejenak sama-sama terdiam. Menatap langit yang terbentang biru di atas sana. Matahari bersembunyi di balik awan. Membentuk pendar cahaya yang menakjubkan.

        “Seumur hidup gue, gue nggak pernah datang ke pantai yang sangat indah seperti ini.” Kata Andin. Matanya masih khidmat menikmati langit biru dan segarnya air laut.

        “Belum tersentuh oleh manusia. Sangat alami.” tambah Rangga.

        “Lihat deh langitnya, biru banget. Gue pengen ke sana.”

        “Mimpi lo, ah!”

        “Haha! Biarin!”

        “Gue jadi laper nih!”

        “Sama...”

        “Gara-gara lo, rencana nyari Pak Sugimin jadi batal!” kata Rangga.

        “Enak aja asal nuduh! Lo duluan tuh nyari gara-gara!” sahut Andin tidak terima.

        Rangga tertawa lepas. Matanya kembali menatap damai langit yang menelungkupinya. Untuk sejenak, otaknya terlepas dari beban pikiran. Kerisauannya tentang Ola dan Reza sirnah begitu saja.

        “Makasih, Ndin...” sebuah kalimat tiba-tiba terlontar dari bibir Rangga.

        “Hah?” tanya Andin heran.

        “Apa?”

        “Lo tadi tiba-tiba bilang makasih, makasih kenapa?”

        Rangga memutar bola matanya, ia lalu melengos ke sisi lain. Membuat Andin makin geregetan padanya.

        “Makasih, sejenak membuat gue lupa tentang Ola.” Ucap Rangga dalam hati.

        “Lo jangan sok misterius gitu ngapa! Makasih kenapa tadi??!” tanya Andin berapi-api. Membuat Rangga semakin terkekeh.

        “Udah ah! Ayo berdiri! Kita lanjutin nyari Pak Sugimin!” sela Rangga. Ia berdiri dari tidurnya, lalu melangkah pergi. Sontak Andin ikutan berdiri dan melompat ke arah Rangga. Ia masih saja penasaran dengan ucapan Rangga.

        “Rang! Lo jangan mainin gue! Ngomong apa lo tadi?!”

        “Tau deh, gue lupa!”

        “Lo nyebelin!!”

        “Bisa diem nggak sih?”

        “Kagak!”

        “Radio berjalan!”

        “Gue nggak bakal diam kalo lo nggak ngomong ke gue!!”

        Rangga tersenyum lebar. Semakin bahagia rasanya melihat Andin kepo parah padanya.

        Separuh perjalanan, Rangga lalu membelokkan langkahnya menuju pedalaman pulau. Keputusan ini ia ambil setelah menemui hasil nihil setelah berjam-jam menyisiri pantai.

        “Lo yakin, Rang, nyari Pak Sugimin di tempat beginian?” tanya Andin sedikit takut. Tangannya sibuk menyingkirkan dedaunan yang menghalangi pandangan matanya. Tanaman perdu tumbuh liar. Sepanjang mata memandang, hanya ada daun dan ranting pohon. Semakin masuk, suasana semakin gelap dan basah. Pepohonan semakin besar. Suara hewan melonglong dari kejauhan.

        “Rang! Udah ah! Stop! Ini hutan rimba! Kalo tersesat gimana nanti?!” cegah Andin.

        “Tenang, Ndin! Feeling gue bilang, Pak Sugimin ada di dekat sini!” jawab Rangga.

        “Lo yakin banget ngikutin feeling lo?! Emang lo kucing apa?!”

        “Kali ini gue nggak akan salah!”

        “Dari dulu lo emang selalu bilang gitu! Nggak akan salah, nggak akan salah! Tapi ujung-ujungnya apa?!”

        Sementara Andin mengomeli Rangga, sebuah benda bersisik menggeliat melingkari ranting pohon. Perlahan mendekati ujung ranting. Berkamuflase dengan ranting pohon yang berwarna cokelat. Siap membidik mangsa yang akan ia serang.

        Rangga cermat menapaki tanah basah yang ia injak. Sebuah jejak kaki masih menempel di sana. Sepertinya baru beberapa jam lalu seseorang lewat di sini. Sesekali matanya beralih pada ranting pohon yang patah secara tidak wajar. Membuatnya semakin yakin seseorang baru saja lewat sini.

        “Rang!!”

        Rangga semakin cermat meneliti jejak kaki di bawahnya. Berusaha pura-pura tuli dengan semua ocehan Andin.

        “Ranggaaaaaa!”

        “Lo bisa diam nggak sih??! Gue lagi nyari Pak Sugimin!!”

        “Ular, Rang!!!”

        “Budek lo!! Gue nyari Pak Sugimin, bukan ulaarr!!” Rangga menaikkan suaranya satu oktaf.

        Eh? Sebentar, ular?

        Rangga menolehkan matanya ke depan. Benar saja! Seekor ular sebesar lengan tangannya menggeliat di depannya. Menatapnya tajam dan berdesis. Dan dalam hitungan detik siap melompat ke arahnya.

        “Aaaaaaaaghrrr!!!”

        “Lariiiiii, Rang!!!”

        Crooottt!!

        Tiba-tiba sebuah batang kayu lancip melesat ke arah ular itu. Menusuk perut ular itu hingga tembus. Sepercik darah mewarnai daun dan rating. Menggeliat dan melingkar. Dalam hitungan detik ular itu jatuh ke tanah.

        Rangga dan Andin bengong. Keduanya memandangi ular mati itu dengan mata terbelalak.

        “Oalah, adek di sini? Syukur ketemu. Saya kira sudah...” ujar sebuah suara berat dari belakang. Rangga dan Andin mengalihkan matanya pada sosok yang baru datang itu.

        “PAK SUGIMIN???!”

------------------------------------------------------
BERSAMBUNG KE PART 11


Tags : Cerbung SMASH, Cerbung SM*SH, Cerbung Rangga SMASH

2 komentar: