19 Juni 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 9

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya.. ^___^
Tinggalkan jejak jika selesai membaca.

------------------------------------

<photo id="1" />

------------------------------------------

        “Ola itu siapa?” tanya Andin.

        DEG! Rangga terdiam. Ia hanya memandangi Andin.

        “Kenapa emang?”

        “Cuma nanya aja. Lo selalu berubah dingin jika membahas cewek itu.”

        Rangga memainkan pasir yang ada di depannya. Membuat goresan dengan jarinya. Lalu menghapusnya.

        “Lo mati-matian pengen segera nyampe ke Bali. Rela jauh-jauh ke dermaga, nyewa perahu, lalu tersesat di pulau terpencil kayak begini.”

        “Dia tiba-tiba pergi ninggalin gue.” Sahut Rangga tiba-tiba.

        “Eh?”

        “Lo nggak salah. Gue emang bodoh. Bela-belain dia sampe gue hampir mati, padahal dia sendiri belum tentu mikirn gue.”

        “.......”

        “Dia nyembunyiin sesuatu dari gue. Seminggu yang lalu, tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba dia mutusin gue. Belum sempet gue nyari tahu apa kesalahan gue, dia lalu pergi ke Bali dan nggak pulang-pulang. Ola itu cewek pendiam. Nggak mungkin dia ngelakuin hal nekat kayak gitu tanpa bantuan orang lain. Reza yang bikin semua kekacauan ini makin rumit.”

        “Reza? Maksud lo, Reza temen lo di SMASH?”


        Rangga mengangguk, “Gue nggak nyangka dia akan ngelakuin itu.”

        Rangga menunduk. Menatap butiran pasir yang berpendar oranye terkena sinar api unggun. Sejenak ia dan Andin sama-sama terdiam. Nggak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya. Lagi-lagi debur ombak mengisi kesunyian.

        “Kadang cewek cuma butuh waktu. Lo tunggu aja. Dia pasti balik ke elo.” kata Andin.

        “Makasih.” Ucap Rangga sambil tersenyum.

        Andin membulatkan matanya. Ia lalu membuang wajahnya ke arah lain. Tangannya menggenggam kuat ujung bajunya.

        Gawat! Ada apa?! Kenapa jantungnya berdesir aneh ketika melihat Rangga tersenyum tadi?

        “Lo nggak ngantuk, Ndin?” tanya Rangga kemudian.

        “Engh~.... I-iya....”

        “Kayaknya udah tengah malam. Kita tidur aja. Besok pagi-pagi kita nyari Pak Sugimin.”

        Andin mengangguk pelan. Ditempatkannya tubuhnya di salah satu tumpukan daun kelapa yang telah ditata Rangga. Di sisi yang berlawanan, Rangga membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata. Api unggun yang perlahan sinarnya meredup, menjadi batas antara Rangga dan Andin.

        Untuk pertama kalinya, baginya, Rangga menjadi teman mengobrol yang menyenangkan malam ini. Dimulai dari candaan, sampai ke pembicaraan mengharu biru seperti tadi, entah mengapa ia merasa nyaman dengan itu semua.

        Kerlip api dari kayu yang kian memendek bergoyang ke kanan dan kiri tertipu angin pantai. Kadang membesar, kadang pula meredup. Membentuk bayang indah di wajah Rangga yang terpejam di seberang sana. Andin merasakan jantungnya berdegup semakin kencang.

        Andin membalikkan tubuhnya membelakangi Rangga! Dipejamkannya matanya dan berusaha keras menghapus wajah Rangga dari otaknya. Tapi, percuma! Detak jantungnya menolak untuk diajak tidur.

        “Busettt! Kenapa gue nggak bisa tidur gini??!”

        Sekian jam mata Andin terbuka lebar. Matanya nanar memandang bintang yang bertabur di langit. Berkedip indah. Tak pernah ia temui yang sebanyak itu di Jakarta. Satu bintang menjadi maskot di tengah. Besar dan berkilau. Sementara yang lain membaur rata di sekelilingnya. Berkerlip-kerlip seperti mutiara. Seolah prajurit yang mengawal sang ratu.

        Sekali lagi, ia merasa beruntung terdampar di pantai ini. Melepas semua kepenatannya. Beralas pasir dan beratap langit. Dinginnya angin malam menerpa pipinya yang halus. Andin menaikkan kerah lehernya dan berlindung di baliknya. Hangat. Baju yang diberikan Rangga padanya benar-benar hangat.

        *****************

        Suara langkah kaki memenuhi lantai Bandara Soekarno-Hatta. Ola menarik kopernya pelan. Akhirnya ia menuruti perintah Reza agar kembali ke Jakarta. Empat hari bersembunyi di Bali, mungkin sudah cukup baginya untuk menenangkan pikiran. Mulai dari sini, ia harus menghadapi kenyataan. Dia harus jujur pada semua orang bahwa orang tuanya memang tidak menyetujui ia dan Rangga. Ia harus berani mengatakannya pada Rangga.

        “Sorry, gue tiba-tiba nyuruh lo pulang.” Kata Reza. Ia melirik Ola yang duduk di jok mobil di sampingnya sementara tangannya memegang kemudi.

        “Nggak apa-apa. Gue ngerti. Keadaannya emang di luar dugaan.” jawab Ola.

        “Pagi tadi, Rafael dan Manajer berangkat ke kantor polisi. Lo harus nyiapin jawaban buat menjawab semua pertanyaan nanti.”

        “Udahlah, gue lelah sandiwara terus. Gue akan mengatakan yang sebenarnya.”

        Reza menelan ludahnya. Berusaha fokus mengemudikan mobil meski otaknya penuh terkaan tentang Ola.

        “Jantung gue emang udah nggak bisa diselametin. Tiap gue mikirin dimana Rangga, kenapa handphonenya nggak aktif, dada gue selalu nyeri.” Kata Ola. Matanya menerawang jauh ke luar cendela. Mengamati lampu jalan yang berjajar di sepanjang jalan tol.

        Berpura-pura benci pada Rangga, tak pernah mengangkat teleponnya, hingga kabur ke Bali tanpa pamit, tak ada satupun yang tidak ia sengaja. Ia hanya ingin Rangga tidak menghiraukannya lagi. Ia hanya ingin Rangga membencinya. Hingga suatu hari nanti ia pergi dari dunia ini karena sakitnya, Rangga tidak akan sedih. Harapan yang simpel, tapi mengapa itu semua terasa sulit? Rangga malah mengejarnya ke Bali dan menghilang hingga sekarang.

        “Gue butuh bantuan lo, Ja.” Kata Ola kemudian.

        “Gue tahu.” Jawab Reza.

        “Maaf, gue narik lo ke dalam permainan pura-pura ini.”

        Reza terdiam. Lidahnya kelu. Dia selalu lemah jika Ola sudah bicara tentang Rangga.

        “Kenapa nggak belok?” tanya Ola heran melihat Reza mengambil jalan yang tidak semestinya.

        “Kita ke rumah sakit dulu.” Jawab Reza singkat.

        Ola tersenyum simpul. Bahkan ayahnya tidak seperhatian Reza selalu mengingat jadwalnya check-up ke dokter. Tuhan memang adil. Dia memang tidak memberikan jantung yang sempurna untuknya. Tapi setidaknya, dia memiliki sahabat sesempurna Reza.

        *****************

        Reza diam mengamati layar ponselnya sementara dokter memilah-milah lembar kertas di hadapannya. Di balik tirai biru, Ola terbaring dengan selang oksigen melintang di pipinya. Matanya damai memandang atap ruangan Dokter Deni sementara telinganya bersiap menyimak apa yang akan dikatakan dokter spesialis jantung itu pada Reza.

        “Kelelahan~...” Dokter Deni membuka diagnosanya.

        “Kelelahan?” ulang Reza.

        “Saya selalu mengatakannya dari awal, hal yang paling harus dihindari jangan sampai Ola kelelahan. Jantungnya tidak mampu memompa berlebihan. Secara perdiodik, dia harus berbaring.”

        Reza diam menunduk. Ola baru saja melewati perjalanan berjam-jam dari Bali. Dia juga tinggal sendirian di vilanya. Kenapa dia seceroboh ini?

        “Ola harus rawat inap. Setidaknya dua hari. Jantungnya harus dipantau selama 24 jam.”

        “Saya tidak mau rawat inap!” sahut Ola dari balik tirai.

        “Tapi, kamu...”

        “Saya akan istirahat di rumah.” Jawab Ola memotong kalimat Dokter Deni, “Istirahat di sini atau di manapun sama aja kan? Yang penting berbaring.”

        Dokter Deni mendesah. Dua tahun ia menangani Ola. Ia tidak pernah berhasil membujuk Ola menginap di rumah sakit jika Ola sudah bilang tidak. Dia hapal wataknya.

        “Kalau begitu, saya akan memberikan obatnya saja.” ucap Dokter Deni dengan nada suara merendah.

        Ola melepas selang oksigen dari wajahnya secara paksa. Ia lalu menghampiri Reza dan Dokter Deni. Muak rasanya menghirup aroma obat di rumah sakit ini. Usai mendapat beberapa botol obat, Ola dan Reza berjalan keluar rumah sakit.

        “Mana kunci apartemen lo?” tanya Ola sambil menengadahkan tangannya di hadapan Reza.

        “Hah? Buat apa?”

        “Lo habis ini ada jadwal kan sama SMASH? Sini kasihin kunci lo, gue mau tidur di apartemen lo aja.”

        “La, lo udah hampir seminggu nggak pulang ke rumah lo, kasihan papa lo nyariin.”

        “Halah! Gampang! Bentar lagi gue telpon dia. Kalo gue bilang gue sama lo, dia pasti tenang kok.”

        Reza berdecak. Ia lalu memberikan kunci apartemennya pada Ola.  Jika tidak di vilanya, Ola pasti bersihkeras menginap di apartemennya. Kadang ia tidak mengerti dengan kelakuan sahabatnya itu. Tidak pernah mau pulang ke rumah jika tidak ada urusan penting.

        **************

        Tak berbeda dari sebelum-sebelumnya, debur ombak masih membunyikan musik khasnya. Bergulung-gulung, lalu pecah begitu mencapai pantai. Kadang membawa helaian rumput laut ke tepi pantai. Memberikan bercak warna hijau tua di bentangan pasir putih.

        Andin mengerjapkan matanya. Perlahan matanya terbuka. Helaian daun kelapa menjadi pemadangan pertama yang ia lihat. Langit telah membiru. Matahari bersinar cerah di ufuk timur.

        Andin duduk dari tidurnya. Dibenahinya rambut dan bajunya yang kebesaran. Api unggun yang semalaman menemaninya, kini telah padam menjadi arang hitam.

        “Rangga! Bangun lo!” panggil Andin sambil mengucek matanya.

        Tak ada jawaban. Rangga masih tidur memunggunginya.

        “Heh! Ikan teri! Bangun! Lo tidur apa mati sih?!”

        Masih tak ada jawaban. Andin langsung berdiri  dan berjalan mendekati Rangga. Begitu sampai di depan Rangga, Andin langsung membelalakkan matanya. Dilihatnya Rangga menyeringai kesakitan dengan nafas terengah-engah. Rangga meremas perutnya kencang. Matanya terpejam rapat.

        “Rang! Lo kenapa???!” Andin tersentak kaget. Ia langsung memegang perut Rangga.

        “Akhhh....!!” erang Rangga sambil menggeliat di atas pasir.

        “Lo kenapa!?? Bilang sama gue!! Jangan bikin gue ketakutan gini dong, ah!!”

        “Sakit~...”

        “Apanya yang sakit??!”

        “Aaakh!”

        “Aaakh-eekh-aaak-eekh mulu lo! Bilang yang jelas!!”

        “Maag gue kambuh!!”

        Andin melebarkan matanya, “Mag? Haduh mampus gue!! Lo punya obat mag kagak?!”

        Rangga tak menjawab. Ia hanya menudingkan telunjuknya ke arah ranselnya.

        Buru-buru Andin meraih tas Rangga dan mengobrak-abrik isinya. Dicarinya obat mag yang ia sendiri tak tahu bentuknya.

        “Ini bukan?!!” tanya Andin sambil menyodorkan sebuah tablet obat.

        “Bukan, pea!! Itu vitamin!! Yang bentuknya bulet!!”

        “Bulet yang mana?? Ini semua bentuknya bulet! Lo ke Bali kayak dokter magang! Banyak amat lo bawa obat!!”

        “Nggak usah cerewet! Ambilin cepet!! Yang botolnya ijoooo!!”

-----------------------------------------------------------

-____-"

bersambung ke PART 10

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar