10 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 16

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Makasih buat yang masih setia baca cerbung iini sampai part 16. I heart you. Cium jauh dari gue...

---------------------------------------------



        Tak seberapa jauh dari kamar Rangga, Ola menghentikan langkahnya. Kakinya gemetaran sementara dadanya menyeruak tak karuan. Air matanya satu-satu berjatuhan menghujani syalnya.

        “Loe lihat sendiri ‘kan? Dia baru sadar, dan dia manggil-manggil cewek itu...!” kata Ola di sela isakannya.

        Reza mendekatkan kakinya ke depan Ola. Diraihnya kepala Ola dan mengelusnya, “Tenang, La...”

        Ola menyandarkan kepalanya ke bahu Reza. Air matanya semakin deras. Sampai sekarang hatinya masih belum menerima kenyataan bahwa Rangga ditemukan berdua dengan gadis itu. Bahkan saat ia tidak sadar selama berhari-hari dan memanggil-manggil nama Andin ketika pertama kali membuka mata. Ada apa dengan mereka berdua??

         Sementara di ruangan yang lain di rumah sakit itu, Andin terbaring di atas ranjang dengan perban di tangan dan kakinya. Erwin dan Ardhy berdiri di sampingnya, sedangkan ibu Andin duduk di sisi Andin.

        “Ayo, Ndin, satu suapan lagi...” kata Tante Melly sambil menyodorkan sesendok bubur ayam.

        Andin menggeser kepalanya, “Udah kenyang, Ma...!”

        “Iya, habis ini sudah. Satu suapan lagi ya. Terakhir...”

        “Nggak mau....” tolak Andin lagi.

        Tante Melly menurunkan sendoknya. Ia menutup kotak makanan berwarna biru itu. Setelah menyimpannya di atas meja, Tante Melly lalu keluar dari kamar. Mungkin menemui Om Lukman, suaminya.

        “Loe makin sakit makin gampang ngamuk, ya, Ndin.” ujar Erwin setelah Tante Melly keluar.

        Andin tidak menanggapinya. Matanya menatap pajangan bunga di sampingnya, membelakangi Erwin dan Ardhy. Bukannya tak mau diperhatikan. Ia selalu merasa bersalah jika melihat nyokapnya memperhatikannya berlebihan saat ia sakit seperti saat ini. Ditambah lagi ia telah menghilang tanpa kabar selama seminggu. Ini semua sudah cukup menjadikannya pusat perhatian bagi orang-orang di sekelilingnya.


        “Kayaknya kita harus nambah hari buat break. Kita tolak saja semua tawaran manggung buat tahun baru besok.” Kata Ardhy.

        “Kalian bisa manggung tanpa gue, kok...” jawab  Andin.

        “Maksud loe? Cuma mainan gitar sama drum gitu di atas panggung? Ya mana bisa! Loe tuh vokalis D’Uneven. Loe ikon band ini.”

        “Sorry, deh....” jawab Andin kemudian.

        “Nyantai aja, Ndin! Kita akan manggung setelah loe sembuh.” Kata Erwin menepuk bahu Andin.

        “Ngomong-ngomong...” Ardhy menahan suaranya, ia menarik nafas sebentar, “Loe pacaran ya sama anak boyband?”

        “Nggak, lah...!!”

        “Tapi....”

        “Gue cuman kebetulan aja numpang di mobil dia karena gue kecopetan. Gue nggak punya uang waktu itu. Udah, deh! Mending kalian pulang sekarang, latihan band kek, bikin lagu kek. Gue pengen tidur! Gue capek!” balas Andin panjang lebar. Ia memiringkan kepalanya semakin membelakangi kedua temannya. Dipejamkannya matanya dan berpura-pura tidur.

        Erwin dan Ardhy memandangi Andin dengan tanda tanya besar. Andin selalu mangkir jika ditanya soal kepergiannya ke Bali dan mengapa ia kecelakaan mobil bersama Rangga. Tapi tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Andin bukan orang suka dipaksa.

        Erwin membuka pintu dan melangkahkan kaki keluar kamar diikuti oleh Ardhy. Keduanya menuju ke kantin rumah sakit. Dari pagi tadi mereka tidak sempat sarapan pagi. Sementara Ipunk mungkin akan sampai di Bali nanti malam. Ia masih harus mengurus anak sulungnya yang sakit.

        Kamar menjadi sepi sepeninggal nyokap dan kedua temannya. Andin mengubah posisinya miring ke kanan. Menghapap pintu kamar yang tertutup rapat. Benaknya melayang pada sosok berpipi chubby dengan segala tingkahnya yang gila. Bagaimanakah keadaannya sekarang? Rangga masih hidup kan?

        Begitu mobil yang ia tumpangi menabrak pembatas jalan, Rangga langsung melepas sabuk pengamannya dan memeluk Andin. Ia menenggelamkan wajah Andin di balik dadanya yang bidang dan melindunginya dari serpihan kaca mobil yang pecah. Harusnya ia terluka parah sekarang. Mungkin ia gegar otak atau sudah tidak dapat diselamatkan.

        Laki-laki itu.... laki-laki egois itu... yang sering ia ejek banci dan bodoh... kenapa berkorban demi dirinya?

        Andin menyibak selimutnya. Dilihatnya pakaian yang membalut tubuhnya. Tak didapatinya lagi long dress bermotif bunga-bunga. Andin tersenyum tipis. Beberapa hari yang lalu ia mati-matian ingin melepas pakaiana norak itu. Kenapa sekarang ia malah mengharapkannya lagi?

        Tiba-tiba pintu dibuka. Seorang perawat berseragam putih masuk dengan sebuah nampan di tangannya. Ia lalu mengeluarkan sebuah tabung infus dan mengganti tabung infus yang menggantung di tiang.

        “Selamat siang, Mbak Andin. Semoga cepat sehat ya...” sapanya. Kalimat itu selalu ia ucapkan tiap masuk ke kamar Andin.

        “Saya boleh tanya sesuatu?” tanya Andin.

        Perawat berbadan gemuk itu menoleh pada Andin.

        “Rangga di rawat di mana? Di rumah sakit ini kan?” tanya Andin lagi.

        “Rangga?” Perawat itu mengulang nama yang disebut Andin.

        “Iya, cowok yang kecelakaan bersama saya tiga hari lalu. Dia sekarang dirawat dimana ya?”

        “Oh, artis itu ya. Dia di kamar nomor 207. Ada apa?”

        “Gimana keadaan dia sekarang?”

        “Dia baik-baik saja, kok.” Jawab perawat itu sambil tetap meneruskan kegiatannya mengganti infus.

        “Jangan bohong sama saya. Bilang saja yang jujur gimana keadaan dia sekarang. Parah atau gimana?” tanya Andin dengan nada naik satu oktaf. Lama-lama ia merasa muak dengan keramahan perawat-perawat di rumah sakit itu.

        Perawat itu terhenyak. Ia menurunkan tangannya dan menatap Andin, “Begitu sampai di sini, Saudara Rangga langsung masuk ruang operasi. Kepalanya mengalami pendarahan. Dokter hampir memvonisnya koma karena dia tidak sadar selama tiga hari. Tapi syukurlah, sejam lalu dia siuman.” Jelas perawat itu.

        “Saya boleh minta bantuan Anda?” pinta Andin.

        “Eh?”

        *************

        Jam menunjukkan pukul 01.00 dinihari. Gelap angkasa Pulau Dewata merasuk ke dalam rumah sakit. Tak ada hiruk pikuk keramaian seperti sesiangan tadi kecuali derap langkah kaki security yang sedang jaga malam. Satu-dua satpam berjalan sepanjang lorong rumah sakit untuk memastikan keamanan. Beberapa lorong nampak gelap sementara yang lainnya terang benderang oleh lampu.

        Sesosok bayangan nampak mengendap-ngendap di tengah hening malam. Sesekali bersembunyi di balik pajangan ukiran khas Bali. Ia terus merayap menuju sebuah kamar. Setelah memastikan nomor ruangan yang akan ia masuki, ia membuka pintu.

        Suasana terang benderang langsung menyambut begitu pintu dibuka. Ruang kamar rumah sakit kelas VIP dengan semua fasilitas medisnya yang lengkap. Warna pastel dinding kamar memberi kesan hangat dari udara malam. Kabel-kabel medis memenuhi salah satu sisi ranjang. Terhubung dengan seonggok tubuh yang terbaring di atasnya. Itu Rangga!

        Andin melangkahkan kakinya semakin ke dalam. Tak ada siapapun di kamar itu kecuali Rangga yang sedang tidur. Perban putih memenuhi separuh kepalanya. Sebuah selang oksigen melintang di hidungnya. Sungguh, luka yang ia terima puluhan kali lipat lebih parah dari Andin.

        Andin meraba lengan Rangga. Jantungnya berdegub kencang melihat pemandangan yang ada di depannya. Seharusnya, keadaanya sama dengan Rangga saat ini. Seharusnya ia juga terluka parah.

        “Andin??”

        “Aakh...” Andin tersentak kaget. Tangannya spontan terlepas dari tangan Rangga.

        Rangga terbangun. Ia memandang Andin heran. Ada apa dia malam-malam di sini?

        “Kampret loe ngagetin gue! Bilang-bilang kek kalo bangun!!” omel Andin.

        “Mestinya gue yang kaget! Loe ngapain tengah malem di kamar gue?! Mau maling loe?”

        “Idiih! Gak minat gue nyolong barang loe! Nyolong apaan? Nyolong infus loe? Gue cuma mau mastiin keadaan loe. Kali aja udah mati!” tukas Andin.

        “Jenguk kok tengah malem. Ketahuan suster tahu rasa loe!”

        “Susternya udah gue sogok. Jadi loe tenang aja! Udah ah! Gue datang ke sini nggak mau bertengkar sama loe! Hobi banget sih loe nantangin bertengkar mulu sama gue!”

        Rangga menggeser badannya sejengkal. Ia nampak mencari sesuatu. Ia lalu menekan sebuah tombol di samping ranjang. Perlahan Ranjang itu terlipat ke depan sekian derajat. Rangga mencari posisi nyaman untuk bicara dengan Andin.

        “Gimana keadaan loe?” tanya Rangga tiba-tiba.

        “Gue.... gue nggak apa-apa.”

        “Beneran nggak apa-apa?”

        “Iya! Palingan cuma lebam. Ini aja gue udah bisa jalan. Udah loe jangan khawatirin gue. Loe urus dulu diri loe!”

        Rangga tersenyum, “Nggak nyangka ya kita berakhir di sini.” Ujar Rangga. Benaknya melayang pada kejadian-kejadian beberapa hari lalu di pulau terpencil dimana ia terdampar bersama Andin. Lucu! Jika saja ia bisa melihat rekaman semua petualangan itu.

        “Loe sih songong. Udah gue bilangin gue aja yang nyetir.”

        “Oh iya, tuh polisi gimana kabarnya? Loe nggak jadi dipenjara?” tanya Rangga.

        “Dipenjara kepala loe? Tuh polisi nanyain loe karena dia emang ditugasin buat nyari loe! Temen-temen loe tuh ngelaporin elo ke polisi kalo loe ilang, tahu nggak?!”

        “Hah? Masa? Kok mereka nggak bilang ke gue?”

        “Loe aja baru bangun tadi siang. Mana sempet mereka ngomong ke elo. Temen-temen gue yang cerita ke gue.”

        Rangga diam menyimak kalimat Andin. Ini baru fakta kecil yang ia dengar. Ternyata keadaan serunyam itu saat ia tak ada di sini.

        Sunyi. Suara derap langkah kaki dari kejauhan mengisi hening malam. Sejenak Rangga dan Andin saling diam. Keduanya tidak tahu harus membicarakan apa lagi. Tapi untuk berpisah dan kembali ke kamarnya, Andin masih enggan.

        “Gue akan balik besok.” Ujar Andin tiba-tiba.

        Rangga menoleh ke arah Andin.

        “Gue akan balik ke Jakarta. Gue akan dirawat di rumah. Tadi nyokap gue bilang gitu.” Tambah Andin.

        “Ehm..... iya....” jawab Rangga.

        Andin menundukkan kepalanya. Matanya khidmat memandangi lekuk selimut yang menutupi tubuh Rangga.

        “Terima kasih...” ucap Andin.

        “Eh?”

        “Gue tahu gue nggak bakat bilang terima kasih. Tapi, gue cuma mau bilang thanks atas semua yang udah loe beri ke gue. Semua yang udah loe lakuin buat gue di Mataram dan di pulau itu.”

        Sesimpul senyum terkembang di bibir tipis Rangga. Matanya asik mengamati tiap ekspresi yang muncul di wajah Andin. Ia seperti bocah SD yang sedang membaca puisi untuk pertama kalinya di depan kelas. Lucu dan polos.

        “Sorry, udah ngatain loe cowok egois, alay, banci, dan norak. Waktu itu gue masih belum kenal loe dengan baik. Sorry...”

        “Gue nggak mau maafin loe...” balas Rangga.

        Andin terhenyak, “Apa?”

        “Enak aja loe minta maaf! Pijitin gue dulu baru gue mau maafin loe!” goda Rangga. Seketika Andin memanyunkan bibirnya. Diambilnya buntalan tissue yang ada di meja di samping Rangga lalu melemparnya ke arah Rangga.

        “Nyesel gue udah minta maaf ke loe!!” omel Andin. Rangga tertawa lepas mendengarnya.

        Sekitar dua jam Rangga dan Andin bercengkerama malam itu. Gelak tawa sesekali pecah di tengah obrolan mereka. Namun ada kalanya juga keduanya saling diam dan melempar kata hanya dengan isyarat mata.

        Tak ada yang menyangka kebersamaan yang pendek itu akan berakhir malam ini. Semua emosi, tawa, canda dan pengorbanan, akan tamat begitu Andin kembali ke Jakarta besok. Andin akan kembali pada kehidupannya seperti semula. Bintang rock Indonesia dengan jadwal manggung yang padat. Tak berbeda dengan Rangga, personil boyband terkenal dengan jam terbang yang tinggi. Keduanya akan menjalani jalan hidup masing-masing. Sekat takdir yang berbeda.

        Andin mengucap pamit begitu jarum jam menunjuk jam tiga pagi. Ia bergurau kecil dengan Rangga sebelum ia membuka pintu. Ia juga masih sempat meraih sebuah jeruk mandarin yang ada di atas meja dan melemparnya pada Rangga. Keduanya tertawa. Bisa jadi ini adalah kali terakhir mereka tertawa bersama.

        Cklek!

        Andin menutup pintu kamar Rangga rapat. Ia menggigit bibir. Sementara tangannya masih memegang erat knop pintu. Andin berdiri tegap menghadap pintu kamar Rangga dan tak beranjak dari sana. Entah apa yang ada di otaknya. Entah apa yang membebani hatinya.

        Satu-satu air mata Andin menetes. Mengalir menyebrangi pipinya yang putih. Air mata yang sudah ia tahan-tahan sejak pertama kali ia masuk ke kamar Rangga.

        Jika saja kebersamaannya dengan Rangga di Lombok bisa ia perpanjang. Jika saja ia terdampar di pulau itu sehari lebih lama. Jika saja....

        Andin mengusap airmatanya dengan lengan bajunya. Dihirupnya nafas dalam-dalam. Perlahan Andin melepas tangannya dari knop pintu. Ia membalikkan badannya. Dengan langkah goyah, ia meninggalkan kamar Rangga. Meninggalkan seseorang yang tanpa ia sadari telah masuk jauh ke dalam lubuk hatinya.

        “Berhenti!!” sebuah suara dari belakang menyadarkan Andin.

        Andin tersentak kaget. Ia membelalakkan matanya. Dengan keberanian yang masih tersisa, ditolehkannya kepalanya ke belakang mencari sumber suara itu.

        “Rafael?” batin Andin kaget. Ia memandangi teman se-boyband Rangga itu dengan mata tak berkedip. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana ini? Ia ketahuan!!

---------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 17

2 komentar: