14 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 17

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan jadi pembaca gelap ya... tulis kesan-kesanmu di kolom komentar... :)

---------------------------------------------

        Jika saja kebersamaannya dengan Rangga di Lombok bisa ia perpanjang. Jika saja ia terdampar di pulau itu sehari lebih lama. Jika saja....

       Andin mengusap airmatanya dengan lenganbajunya. Dihirupnya nafas dalam-dalam. Perlahan Andin melepas tangannya dariknop pintu. Ia membalikkan badannya. Dengan langkah goyah, ia meninggalkankamar Rangga. Meninggalkan seseorang yang tanpa ia sadari telah masuk jauh kedalam lubuk hatinya.

       “Berhenti!!” sebuah suara dari belakang menyadarkan Andin.

       Andin tersentak kaget. Ia membelalakkan matanya. Dengan keberanian yangmasih tersisa, ditolehkannya kepalanya ke belakang mencari sumber suara itu.

       “Rafael?” batin Andin kaget. Ia memandangi teman se-boyband Rangga itudengan mata tak berkedip. Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana ini? Iaketahuan!!

       “Loe... Andin ‘kan?” tanya Rafael.

       “Gu-gue.. tadi cuman mau ngembaliin barang Rangga yang ketinggalan digue. Jadi....” sebisanya Andin menjelaskan maksud keberadaannya di kamar Ranggadini hari. Suaranya terpatah-patah.

       Rafael diam menatap Andin. Satu hal yang lebih menarik perhatiannyadibanding penjelasan Andin, yaitu genangan air mata yang memenuhi bola mataAndin. Ia berdiri tegap lima meter di depan Andin. Suasana hening sejenak.Hingga kemudian Rafael mengangguk dan melangkahkan kakinya ke dalam kamarRangga.

        Andin menghela nafas berat. Sedikit bercampur dengan getar isakannya. Hampir sajariwayatnya tamat. Hampir saja ia ketahuan kalau dia baru saja menjenguk Rangga.Andin membalikkan badannya. Ia meneruskan langkahnya menuju kamarnya. Sejamlagi, tepat subuh menjelang, papanya akan datang dan membantunya berkemas. Iaakan berangkat ke Jakarta di penerbangan yang paling pagi.


        Selamat tinggal, Rangga!

       **************

        Katanya,cinta adalah indera ketujuh manusia. Ia akan melumpuhkan keenam indera lainnya dan membuat manusia tidak memiliki indera sama sekali. Karena itulah cinta selalu disebut-sebut buta, gila atau hilang akal. Ia membuat seorang insan melambung bahagia ke angkasa, namun adakalanya pula mampu menghempaskan orang terkuat di dunia ke jurang paling dalam. Ironis.

        Hari demi hari berlalu. Seminggu sudah Rangga dirawat di rumah sakit di Bali. Selama itu pula boybandnya tidak beraktivitas. Dunia seolah tertuju padanya. Tiap hari lobi utama rumah sakit selalu dipenuhi fans-fansnya yang datang menjenguknya. Beberapa datang di subuh hari, beberapa lainnya sampai menginap. Rangga sampai tak mampu mengeluarkan kata-kata begitu tahu ada beberapa fansnya yang rela datang dari luar pulau demi dirinya.

        Beberapa perban yang membalut tubuhnya, satu-satu mulai dilepas. Ia jugatidak lagi memakai selang oksigen untuk bantuan pernafasan. Rangga mulai bisa berjalan sedikit demi sedikit meski harus dengan pengawasan ketat. Kesehatannya semakin membaik.

         Tapi tidak dengan hatinya.

         Ia sering memergoki Ola dan Reza berbicara berdua di lorong rumah sakit. Mereka seperti membicarakan sebuah topik yang ia sendiri tak tahu pa itu. Seolah ada atmosfer yang mencegahnya mendekat.

         Di pagihari, Ola selalu datang ke kamarnya dengan sekotak makanan atau buah-buahan. Ia duduk di samping ranjang Rangga. Menunggu Rangga hingga Rangga terbangun. Dan selama ia menunggu, ia ngobrol dengan Reza lewat telepon.

        Dikiranya Rangga tidak tahu. Dikiranya Rangga benar-benar tertidur. Rangga tahu semuanya. Ia selalu menyimak obrolan Ola dan Reza di telepon. Tapiia tidak mengatakan apapun dan selalu berpura-pura tidur. Ia muak.

         “Aku hari ini bawa pudding mangga.” Sapa Ola riang. Ia masuk ke dalam kamar dan terburu-buru membuka kotak makanan yang ia bawa.

         “Aku nggak boleh makan manis-manis.” Tukas Rangga.

         Ola menghentikan aksinya membuka kotak pudding. Ia ganti memandang Rangga, “Ini nggak terlalu manis kok. Aku pakai gula dari dokter.”

        Rangga menolehkan kepalanya ke sisi lain. Membelakangi Ola.

        “Rangga, ini nggak manis kok. Rasain dulu, deh...” bujuk Ola lembut.

         “Aku bilang nggak ya nggak!!!” bentak Rangga keras. Ia membalikkan badan danberjalan ke arah ranjangnya.

         Ola menundukkan kepalanya. Tangannya gemetaran. Ia menahan nafas sejenak, “Tapi,Rangga. Kalau kamu nggak mau makan pudding ini, terus siapa donk yang makan?Masa aku buang?” kata Ola kembali bersikap lembut.

        “’Kan masih ada Reza....”

         DEG!!

        Rangga menghempaskan tubuhnya ke atas Ranjang. Sementara Ola berdiri mematung di tengah ruangan. Tangannya masih memegang sekotak pudding manggadengan hiasan buah mangga di sekelilingnya. Ia menahan suara. Pikirannya kalut dengan tingkah Rangga yang belakangan berubah. Diletakkannya pudding itu diatas meja. Ia lalu berjalan mendekat ke ranjang Rangga.

         “Adaapa?” tanya Ola.

        Rangga menoleh tanpa ekspresi. Tangannya asik memilah-milah halaman majalah otomotif.

         “Ada apa sama kamu? Kenapa tiap kali kita ngomong kamu selalu bawa-bawa Reza??”

        Rangga tersenyum, “Loh? Salah? emang iya ‘kan? Reza selalu ada buatkamu.” Pancing Rangga.

         “Rangga!!berapa kali aku harus jelasin ke kamu? Reza itu cuma temen. Dia temen aku dari kecil. SD, SMP, SMA, kita satu sekolahan. Dia cuma sahabat. Kamu nggak usah cemburuin dia.”

        Rangga meletakkan majalah di tangannya, “Cemburu?” Rangga menahan tawanya, “Aku nggak cemburu. Lagian aku nggak punya hak untuk itu. Kita udahputus ‘kan? Aku cuma heran aja, kenapa kamu masih suka perhatiin aku?”

         Ola membelalakkan matanya. Sebisa mungkin ia menahan air mata yang akan jatuh. Tapi itu semua justru membuat matanya memerah. Menggambarkan letupan emosi dihatinya.

        “Sebelum pudding kamu basi, mending kamu bawa sekarang dan kasihkan keReza. Kamu nggak perlu bawa makanan lagi ke sini tiap hari. Aku udah sehat,kok. Lagian, lusa aku udah dibolehin pulang.” Ucap Rangga dengan senyum sinis di wajahnya. Ia meraih lagi majalah otomotif di sampingnya dan membukanya lagi.Mengabaikan Ola yang mulai terisak.

         Ola menyabet kotak makanan yang baru saja ia bawa lalu berjalan keluar kamar.Meninggalkan Rangga yang sedikitpun tak mau menoleh padanya. Air matanya mengalir deras. Dibukanya pintu tangga darurat. Tepat di salah satu tangga ia menghempaskan tubuhnya ke bawah. Kotak pudding yang ia bawa jatuh terguling kebawah. Membuat isinya berceceran memenuhi anak tangga.

         Ola terisak. Sebelah tangannya berpegangan pada pagar tangga. Sementara tangannya yang lain merengkuh lututnya yang lemas.

        Semenit sebelum Rangga terjatuh ke jurang, ia masih bertelepon dengannya. Rangga masih ramah. Suaranya masih hangat. Hal pertama yang ia tanyakan adalah dimana ia berada.

         Tapi sekarang, dia tak lebih dari sebuah batu es, dingin dan keras.

         Tak berbeda jauh dengan Ola, Rangga juga terpekur di dalam kamarnya. Otaknya memutar ulang semua kalimat kasar yang ia lontarkan pada Ola. Semua kalimat itu seolah terlempar begitu saja. Ia tidak pernah bermaksud menyakiti hati Ola.Entah apa yang merasuki dirinya.

         Brakkk!!!

        Rangga melempar majalah di tangannya ke dinding. Ia mendengus. Dua batu besar seperti sedang menghimpitnya.

        Tiba-tiba sebuah pintu dibuka. Rafael dan Om Panchunk masuk ke dalam kamar.

         “Loe nggak tidur?” tanya Rafael.

        Rangga menoleh.

        “Wartawan sekarang sudah berkumpul di lobi utama Rumah Sakit. Kamu siap-siap! Sejam lagi kita ada konferensi pers terkait kecelakaan di Singaraja.” Kata Mas Panchunk.

         “Hariini?” tanya Rangga.

         “Iya,hari ini. Aku nggak bisa lagi nunda dan bohong ke mereka. Kantor manajemen,rumah sakit, apartemen, semua diserbu mereka. Lagian lusa kamu sudah bolehpulang. Udah waktunya kita selesaikan.” Jawab Mas Panchunk.

         Rafael meletakkan jas abu-abu di hadapan Rangga. Jas itu lah yang nantinya menyelimuti seragam rumah sakit yang dikenakan Rangga saat jumpa wartawan.

        “Kamu bilang saja SMASH dan D’Uneven diundang manggung di Bali dan berkolaborasi. Kamu dan Andin datang untuk mewakili pertemuan dengan promotor.Kamu paham?” kata Mas Panchunk.

        Rangga mengangguk.

        “Kamu sedang dalam kondisi mengantuk makanya kalian terjatuh ke jurang.Pada hari itu di Bali sedang ada perayaan agama Hindhu, kalian sulit mencari sopir. Makanya kalian berangkat berdua untuk mengejar waktu.”

        Rangga mengenakan jasnya sementara Mas Panchunk terus memberinya arahan tentang apa yang harus ia ucapkan nanti. Rangga hanya mengangguk. Intinya ia hanya cukup menyembunyikan kebenaran untuk menjaga image manajemennya. Wawancara sudah dirancang sedemikian rupa. Dengan alasan masih sakit, jumpa pers akan dihentikan di tengah jalan dan Rangga kembali ke kamar. Selebihnya,wawancara akan dihandle oleh personil SMASH yang lain. Skenario sempurna.

        Rangga berangkat ke lobi utama mengenakan kursi roda. Ia sendiri tak paham kenapa ia harus menaiki kursi roda padahal dia sendiri sudah bisa berjalan. Kilatan flash kamera langsung menghujan ke arah Rangga begitu pintulift terbuka. Dengan tenang Om Panchunk mendorong kursi rodanya dari belakang.Di sebelahnya, Rafael memandunya menuju meja konferensi. Keempat temannya yang lain telah berada di tengah wartawan.

        “Mohon kerja sama dari teman-teman wartawan. Harap tenang dan memberikan pertanyaan satu per satu.” Kata Om Panchunk menghalau. Ia menempatkan Ranggatepat di tengah meja konferensi.

        Suasana sejenak mereda. Wartawan berbaris rapi menghadap meja konferensi. Satu orang mengangkat tangan, mengisyaratkan bahwa ia yang akan melemparkan pertanyaan pertama.

        “Bagaimana kondisi Anda sekarang, Rangga? Sudah berkali-kali Anda tidakikut show bersama SMASH, kemanakah Anda dua minggu belakangan ini?”

        Rangga menarik nafas. Perlahan ia menempatkan microfon di depan bibirnya, “Keadaan saya sudah membaik. Sekarang juga sudah bisa berjalan.Beberapa hari yang lalu saya ada urusan di Bali. Tapi pas pulang, saya dapat musibah. Jadi, ya seperti ini. Saya masih belum bisa show bareng.......”

        “Bagaimana Anda mengalami kecelakaan mobil itu?” seorang wartawan lainmelontarkan pertanyaan.

        Rangga menghela nafas. Ini bukan kali pertamanya ia berada di tengah wartawan. Tapi entahlah, perasaannya sangat resah. Sudut mata Rangga menangkap sekelebat bayangan di tengah kerumunan wartawan. Bayangan seorang gadis berambut ikal dengan wajah sembab. Ola menatap Rangga dari kejauhan.

        “Waktu itu, ada hari keagamaan. Sulit menemukan sopir. Jadi saya berangkat ke tempat promotor....” Rangga tidak meneruskan kalimatnya. Iamelirik Reza yang duduk di sampingnya.

         Reza tersenyum. Tersenyum pada Ola yang berdiri di tengah wartawan. Rangga menelan ludahnya. Ia mengumpulkan kesadarannya untuk kembali fokus pada pertanyaan wartawan.

        “Kabarnya, Anda berdua dengan vokalis D’Uneven di dalam mobil itu. Apa benar begitu?” lanjut seorang wartawan.

         “Ada hubungan apa antara Anda dengan Andin?” timpal yang lain.

        Rangga menundukkan kepalanya. Sedetik kemudian ia memandang lurus ke mata Ola, “Andin adalah... pacar saya.”

         EH?

         Om Panchunk membelalakkan matanya. Dicky, Reza, Rafael, Bisma dan Ilham, tak kalah terkejut. Mereka menatap Rangga kaget.

        “Saya mengajaknya bersama-sama pergi ke promotor. Jujur saja saya merasa jenuh dengan pekerjaan yang padat. Jadi waktu itu, ya sekaligus jalan-jalanlah.”

         Ola menatap Rangga tanpa berkedip. Matanya yang sembab kembali meneteskan air mata.

        “Jadi selama ini Anda pacaran dengan Andini Salma?”

        “Sejak kapan?”

        Rafael menyikut Rangga. Ia berusaha menghentikan Rangga di tengah terjangan pertanyaan wartawan yang mulai tak terkendali gara-gara pernyataan Rangga.

--------------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 18 :3

2 komentar: