15 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 18

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan menjadi pembaca gelap ya... :) Author pengen tahu kesan-kesan kalian tentang cerbung ini. koment aja...

-------------------------------------


         “Saya mengajaknya bersama-sama pergi ke promotor. Jujur saja saya merasa jenuh dengan pekerjaan yang padat. Jadi waktu itu, ya sekaligus jalan-jalan lah.”

         Ola menatap Rangga tanpa berkedip. Matanya yang sembab kembali meneteskan air mata.

         “Jadi selama ini Anda pacaran dengan Andini Salma?”

         “Sejak kapan?”

         Rafael menyikut Rangga. Ia berusaha menghentikan Rangga di tengah terjangan pertanyaan wartawan yang mulai tak terkendali gara-gara pernyataan Rangga.

         Tapi seolah mati rasa, Rangga sama sekali mengabaikan kode dari Rafael dan Om Panchunk. Ia malah serius menjawab pertanyaan wartawan satu per satu dengan fakta mengada-ada.

         Di tengah hiruk pikuk wartawan, Ola menarik tubuhnya ke belakang. Sebelah tangannya menutupi wajahnya yang banjir oleh air mata. Kakinya gemetaran. Ia lalu berlari pergi dari tempat itu.

         Sepeninggal Ola, Rangga menghentikan aksinya. Sekilas ia melihat Ola berlari memasuki lift. Rangga kembali melirik Reza. Ia sadar sejak tadi Reza terlihat gusar. Bingung antara harus mengejar Ola atau tetap tinggal di sana mengisi konferensi pers.

         Rangga tersenyum simpul. Matanya berubah sayu. Sementara bentakan kecil dari Rafael masih terus memenuhi telinganya. Entah sudah berapa kali ia tidak menghiraukan kode dari Rafael untuk menghentikan wawancaranya.

         Orang selalu bilang, sakit hati selalu sebanding dengan jatuh cinta yang kita rasakan. Hanya saja, sakit hati selalu terasa ribuan kali lipat lebih menyakitkan.

         Mungkin ini saatnya mengucap selamat tinggal. Selamat tinggal pada cinta yang membahagiakan. Namun terasa pahit di akhir.


         Bruggg!!!

         Tiba-tiba tubuh Rangga terhempas ke sandaran kursi roda. Matanya terpejam. Bulir keringat memenuhi dahinya.

         “Rangga!!” panggil Rafael panik. Digoyangkannya tubuh Rangga.

         Tak ada sahutan. Sejenak suasana menjadi hening. Wartawan yang sejak tadi ribut melontarkan pertanyaan kini terdiam.

         Dengan sigap Om Panchunk menarik kursi roda Rangga ke belakang. Dengan bantuan seorang perawat, ia membawa Rangga masuk ke dalam lift. Dicky berlari di sisi kursi roda memegangi tangan Rangga yang lemas dan hampir jatuh ke lantai.

         Kini wawancara dilanjutkan dengan empat personil. Rafael mengusap wajahnya. Dalam hati ia mengumpat. Harus bagaimana ia menghadapi wartawan setelah semua kerusuhan yang dilakukan Rangga tadi?

         “Bangun, Rang! Kamu udah di dalam lift!” ucap Om Panchunk.

         Tak ada sahutan. Mata Rangga masih terpejam.

         “Rangga?!”

         “Astaga! Ini bukan pura-pura, Om! Rangga beneran pingsan!!” teriak Dicky.

         “HAH?”

         ****************

         Terik sinar matahari menyelimuti atmosfer Kota Jakarta. Dengan terburu-buru Andin melempar tasnya ke dalam mobilnya. Seminggu penuh ia rehat dari aktivitas manggungnya. Tepat di pertengahan Januari, manajemennya meneleponnya untuk membicarakan jadwal konsernya yang berantakan.

         “Ndin! Loe Dimana?” tanya sebuah suara dari telepon Andin.

         “Iya ini gue OTW!! Loe sih ngabarin gue dadakan!” balas Andin. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan penuh.

         Tak sampai seperempat jam ia sampai di kantor manajemennya. Dilihatnya kerumunan orang memenuhi depan pintu kantornya. Andin melengos. Ia abaikan begitu saja wartawan yang melihatinya. Sudah lama ia tidak berurusan dengan wartawan. Hanya artis pencari sensasi yang mereka kejar.

         “Mbak Andin, boleh minta waktunya sebentar?” teriak salah satu wartawan.

         Andin menghentikan langkahnya. Ia menoleh.

         Melihat Andin berhenti berjalan, belasan wartawan dari berbagai media itu langsung menyerbu Andin. Andin gelagapan. Bebarengan mereka melempar pertanyaan. Satu kalimat yang tertangkap telinga Andin dan langsung membuatnya terbelalak.

         “PACAR? SIAPA YANG PACARAN?! LOE NGADA-NGADA AH!” balas Andin.

         Bulu kuduknya begidik. Ia langsung ambil langkah seribu dan bersembunyi di ruangan manajernya.

         Erwin, Ardhy dan Ipunk seketika menoleh begitu Andin membuka pintu. Nafas Andin tidak beraturan. Terang saja ia terpaksa berlari melewati tangga darurat karena kelamaan menunggu lift.

         Andin melempar tasnya ke sofa. Ia lalu duduk dengan mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir gerah. Sejurus kemudian ia terdiam. Matanya beralih pada ketiga teman bandnya yang masih tidak berhenti memandanginya. Di belakang meja, manajernya yang berkacamata bulat juga memandanginya heran.

         “Ngapa loe pada ngelihatin gue kayak gitu?” protes Andin risih.

         “Gue nggak nyangka ya, Ndin..” Ucap Ardhy.

         “Nggak nyangka apa?!” tanya  Andin tidak tahan.

         “Loe belum lihat infotaiment?” tanya Erwin.

         “Kagak nafsu gue nonton tayangan begitu. Gue bukan emak-emak.”

         Tanpa banyak bicara, Erwin meraih remote TV lalu mengganti chanelnya. Dicarinya tayangan infotaimen yang sejak tadi tidak berhenti bicara tentang wawancara Rangga di Bali.

         Andin menatap tingkah teman-temannya tidak mengerti. Tanpa sadar, ia ikut melongokkan kepalanya ke depan layar TV. Pada momen yang bertepatan, muncul wajah Rangga di layar TV.

         “Andin adalah.... pacar saya...”
         “Saya mengajaknya bersama-sama pergi ke promotor. Jujur saja saya merasa jenuh dengan pekerjaan yang padat. Jadi waktu itu, ya sekaligus jalan-jalan lah.”
         “Jadi selama ini Anda pacaran dengan Andini Salma?”
         “Sejak kapan?”


         Andin bengong. Ia memandangi layar TV dengan mulut menganga.

         “Sekarang loe jelasin ke kita, jadi bener, loe pacaran sama anak SMASH?” sergah Ipunk.

         Andin masih menganga. Ia berdiri mematung tepat di depan TV. Seluruh persendiannya kaku. Otaknya belum sepenuhnya sadar dengan apa yang barusan didengar oleh telinganya.

         “Ndin!!!”

         “Gu... Gue....”

         *************

         Rangga menyeruput sebotol minuman dingin di tangannya. Sementara tangannya yang lain sibuk memilah-milah majalah. Tak ada lagi yang ia lakukan menjelang kepulangannya besok.

         Tiba-tiba handphonenya berdering. Rangga meletakkan minumnya dan meraih handphonenya. Ia mengernyitkan dahi begitu melihat layar handphone. Nomor tidak dikenal.

         “Halo?” jawab Rangga.

         “HEH KLONINGAN BADAK!!”

         “Ini siapa ya?”

         “Nggak usah sok nggak kenal loe, Kampret!!”

         “Sepertinya Anda salah sambung!!” balas Rangga. Ia tersenyum jail.

         “Berani loe matiin teleponnya, gue kubur loe idup-idup!”

         “Nomor loe tuh nggak ada namanya di hape gue! Telpon-telpon langsung ngomel! Ngenalin diri dulu kek!!” omel Rangga. Ia tahu sejak awal yang telepon adalah Andin. Hanya dia satu-satunya cewek di dunia ini yang selalu memanggilnya dengan “Kloningan Badak”.

         “Ngomong apa loe ke wartawan? Ngomong apa?! Sialan loe bikin gue jantungan. Gue diserbu wartawan tau nggak!”

         “Oooh....”

         “Oh? Cuma Oh? Loe udah fitnah gue dan bikin manajemen gue rusuh, dan loe cuma bilang Oh?!!”

         “Gue pulang besok pagi. Jemput gue di bandara ya.” Ucap Rangga tidak menghiraukan Andin.

         Andin tercekat. Seperti ada yang membungkam tenggorokannya. Seratus persen kini ia sadar bahwa Rangga sudah benar-benar gila. Ia tergagap di depan telepon tanpa tahu harus berkata apa.

         “Mungkin gue nyampe jam 8 pagi. Loe jangan lupa ya.”

         EH.....

         “Rang, loe....”

         “Gue........ nggak sanggup sendirian.”

         Andin terdiam. Lidahnya terasa beku hingga tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Suara bariton Rangga mengalun di telinganya.

         “Jadi......” 

        *******************

        Reza membuka pintu kamar hotel Ola. Tak tertutup rapat. Dilihatnya Ola tengah mengemasi baju-bajunya.

        “Loe nggak ikut meeting sama anak-anak?” tegur Ola tanpa menoleh dari tumpukan baju yang sedang ia rapikan di dalam koper.

        “Cuma meeting biasa soal manggung.” Jawab Reza. Ia melangkahkan kakinya semakin ke dalam.

        Separuh rambut ikal Ola yang dibiarkan tergerai menutupi wajahnya. Ia menunduk berpura-pura fokus pada pakaian yang ia hadapi.

        “Loe nggak apa-apa?” tanya Reza kemudian.

        “Nggak apa-apa. Gue seneng. Besok pagi Rangga udah bisa pulang.”

        “Gue nggak tahu kalau selama ini Rangga ada hubungan sama vokalis D’Uneven itu. Gue nggak pernah lihat mereka bicara, atau smsan. Kalau tampil sepanggung, mereka juga nggk pernah saling interaksi. Paling-paling cuma Bisma yang nyamperin anak band.” Ujar Reza.

        Ola menghentikan aksi tangannya melipat pakaian, “Nggak usah bahas dia.”

        “Rangga bukan tipe orang yang suka mempublikasikan urusan pribadinya ke wartawan, La. Apalagi seperti wawancara tadi pagi. Gue ngerasa ada yang ganjil. Rangga dan Andin pasti....”

        “GUE BILANG NGGAK USAH BAHAS DIA!!” pekik Ola.

        Reza bungkam. Ia menatap Ola terkejut.

        “Jangan pernah sebut-sebut nama cewek itu di depan gue! Ngerti?!!” tambah Ola. Kali ini suaranya merendah dengan bibir bergetar. Ia lalu melanjutkan aktivitasnya mengemasi barang-barangnya. Sesekali bulir bening jatuh dari bola matanya. Membasahi pakaian yang teronggok depannya.

        *******************

        Tik... Tik... Tik...

        Detik jam dinding mengisi kesunyian ruang manajer Andin. Celana jeans berwarna orchid dengan Tshirt merah cinnamon membalut tubuh Andin. Rambutnya dikuncir kuda seperti biasa ia lakukan. Penampilan simpel Andin sehari-hari. Hanya saja, ekspresinya berbeda kali ini.

        “Gue mencium aroma cinta...” kata Erwin dengan nada super rendah. Ia menatap Andin dengan mata terangkat separuh ke atas.

        Ardhy dan Ipunk melakukan hal yang serupa. Mereka menghakimi Andin yang duduk di sofa di depan mereka. Melempar tatapan ala sipir penjara yang akan mengadili seorang narapidana.

        “Ada ion-ion negatif di sekitar Andin....”

        Buaaggk!! Andin melempar sarung gitar yang ada di sampingnya ke arah Ardhy, Erwin dan Ipunk.

        “Loe sinting apa bego! Kampret! Loe pikir gue lagi kesurupan kuntilanak apa??! Ion-ion negatif, mulut loe tuh ion negatif” bentak Andin gregetan.

        “Jadi loe beneran pacaran sama anak boyband itu, ha?!” tanya Ipunk.

        Andin mengalihkan matanya ke arah samping, “Gue.....”

        “Loe bilang tipe loe cowok bisnisman, taunya loe sekarang malah kesandung cowok boyband!” sahut Erwin.

        “Mau cowok boyband kek, bisnisman kek, sama aja!!” jawab Andin.

        “NAH!!!” kata Erwin dengan nada meninggi, “Loe sekarang belain dia!!!”

        “Cinta bisa datang kapan aja, kampret! Mana tahu gue kalau bakal begini!!”

        “Ceileee! Ngomongin cinta~... Siap-siap, Punk! Bentar lagi album ke delapan isinya lagu cinta semua! Sekalian aja ajak tuh anak boyband nyanyi bareng dan breakdance di video klip loe!” balas Ardhy.

        Andin memasang wajah kusut mendengar celotehan Ardhy. Ia lalu meraih tasnya dan keluar dari ruangan manajernya.

        “Ndin! Andin! Loe mau kemana?! Ini jadwal manggungnya gimanaaa?!” teriak manajer Andin.

        Pintu ruangan tertutup kencang. Erwin, Ardhy dan Ipunk sempat tersentak kaget dibuatnya. Mereka memasang tanda tanya besar. Bagi mereka, saat Andin sedang malu atau marah, sama saja. Apa saja yang ia pegang bisa kena banting.

        “Kalian sih ngecengin dia terus! Ngambek kan jadinya! Biar aja dia sama anak SMASH.” Omel manajer.

        “Ya, kan kita cuma kaget...” bela Erwin.



----------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 19

(nggak nyangka udah mau part 19... saya terhura...)

1 komentar: