21 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 23

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Jangan sampe ketinggalan episode-episode dari sini... aura-auranya udah mau tamat guys... :D .. Gue sih nggak rela pisah dari duo ribut Rangga-Andin. But, here we go! Every story have the end.

------------------------------------------


        Andin membolak-balikkan ponselnya. Ditekannya ikon pesan. Lalu mengeluarkannya lagi. Hatinya menimbang-nimbang. Jam sudah menunjukkan jam delapan tepat, haruskah dia SMS Rangga?

        Tidak usah! Mungkin Rangga sudah di jalan. Dia hanya terlalu gugup. Andin lalu membenarkan letak rambutnya. Dirapikannya anak rambutnya yang menutupi matanya.

        **************

        Rangga menatap gusar sementara tiga orang perawat menempatkan ranjang Ola di ruang perawatan. Sejak operasi pembedahan usai dilaksanakan, Ola masuk ke dalam ruang ICU. Masa kritisnya tak juga berakhir. Baru pagi ini Ola dinyatakan membaik dan bisa masuk ruang perawatan.

        “Dia tidur. Itu efek obat bius. Mungkin bebapa jam lagi Ola akan bangun.” Jawab Tante Idah saat Rangga menanyakan kenapa Ola tak juga membuka mata.

        Rangga mengangguk. Sebenarnya ia tahu itu semua, hanya saja ia terlalu panik untuk berpikir sehat. Tante Idah sendiri terlihat lebih tenang meski ia mamanya Ola. Dia mengatakan, ini adalah operasi kedua Ola. Ola pernah menjalani operasi bypass dulu saat ia baru lulus SMA. Jantungnya memang tidak normal sejak ia lahir.

        “Ola tidak bisa hidup seperti orang normal lainnya. Ia butuh kekhususan.” Gumam Tante Idah mengisi keheningan kamar. Selebihnya, sepi. Rangga diam menatap wajah Ola. Reza telah pamit sejak subuh tadi. Sementara Om Hans harus menjemput nenek Ola. Praktis kini dia hanya berdua dengan Tante Idah.

        Tante Idah meraih tasnya lalu mengetik sesuatu di ponselnya. Dia terdiam sebentar. Dia lalu menjinjing tasnya dan pergi keluar kamar, “Titip Ola sebentar, ya, Rangga.” Pamitnya.

        Rangga mengangguk. Memang harus bagaimana lagi? Dia seperti hilang akal. Harus apa dan bagaimana, dia tidak bisa berpikir jernih. Siang ini saja ia pamit absen tidak ikut manggung bareng SMASH saat Om Panchunk menanyakan keberadaannya.

        “..........Dari sekarang, dan mungkin untuk selamanya, pasien tidak bisa melakukan aktivitas berlebih seperti berlari atau bekerja terlalu keras. Dia juga tidak boleh memiliki beban pikiran. Psikologisnya sangat mempengaruhi jantungnya......”

        Kata-kata dokter itu menggema di telinga Rangga. Tidak pernah berhenti. Seperti tape recorder yang terus berputar. Rangga mengacak-ngacak rambutnya. Bayangan wajahnya saat membentak-bentak Ola di apartemen menghantuinya. Seperti iblis, sungguh.

        Tiba-tiba sudut mata Rangga menangkap gerakan dari wajah Ola. Bibir tipisnya bergerak-gerak. Dua-tiga detik selanjutnya, mata Ola mengerjap-ngerjap. Seperti silau dengan lampu kamar yang menyala terang. Saat matanya terbuka seutuhnya, wajah Rangga menyambutnya.

        “Ola!! Kamu sadar?!!” pekik Rangga senang.


        Hanya satu jawaban yang nampak di wajah Ola, senyum. Ia membalas genggaman Rangga saat Rangga meraih tangannya.

        “Kamu ngapain di sini?” tanya Ola. Lirih.

        “Nemenin kamu...”

        “Maaf, ya...”

        “Hah?”

        “Aku nggak akan berani lagi datang ke rumah Andin...” ucap Ola.

        “Sssstt....” Rangga meletakkan telunjuknya di bibir Ola, “Udah. Jangan mikirin itu...”

        Tak berselang setelah itu, Tante Idah kembali. Dia terkejut senang melihat Ola telah sadar. Diciuminya berkali-kali anak semata wayangnya itu. Tante Idah meremas tangan Ola seolah tak akan terlepas lagi.

         Rangga melihati drama ibu-anak itu dari belakang. Turut senang. Dan mungkin sangat senang. Bibirnya ikut terkembang. Tapi entah mengapa, tumpukan rasa bersalah di dadanya malah semakin bertambah. Begitu Ola terbangun, hal pertama yang ia bicarakan justru permintaan maaf atas kedatangannya ke rumah Andin. Apa sebenarnya yang ia mimpikan saat tidur tadi?

        Andin?

        Rangga spontan mengangkat wajahnya. Matanya membulat. Ia teringat sesuatu. Bukankah ia berjanji untuk bertemu Andin pagi ini di Djournal Coffee jam delapan??

        Rangga menatap jam tangan di tangannya. Hampir saja ia berteriak, “Jam 12 ???!!”

        ***************

        Ardhy mencomot burger di tangannya dengan lahap. Hampir saja ia mengembat dua burger lainnya yang tergeletak di sampingnya. Erwin dan Ipunk masih saja sibuk melihati Andin. Saat diingatkan untuk makan, mereka malah berdebat.

        “OK! Gue udah nggak tahan! Ini udah empat jam dan cowok boyband itu nggak dateng juga!!” kata Ipunk. Tangannya berkacak pinggang.

        Tak seorangpun membalas ucapannya. Tak ada yang tahan. Melihat Andin duduk di dalam sana sendirian dengan empat gelas espresso yang sudah kosong, siapa yang memang tahan? Di balik keseriusan mereka mengintip, terselip rasa marah, muak dan kasihan.

        “Kita harus keluar, Win, Dhy! Atau sampai Jakarta turun salju Andin bakalan duduk terus di sana!” lanjut Ipunk.

        Mereka lalu masuk ke dalam restaurant. Andin sempat tersentak kaget melihat kedatangan mereka. Wajahnya sudah lusuh. Tapi ia coba menyembunyikannya dengan senyum paksa.

        “Kalian ngapain di sini?” tanya Andin.

        “Loe sendiri ngapain?” Ipunk balik bertanya.

        “Gue? Gue ada janji sama Rangga. Gue udah bilang, ‘kan?”

        “Udah lama?” pancing Erwin.

        “Hm? Enggak! Baru lima belas menit...”

        Erwin, Ardhy dan Ipunk terdiam. Melihat Andin tersenyum dan kebohongan yang ia ucapkan. Lima belas menit? Empat jam dia menunggu dan Rangga nggak datang-datang!

        “Ayo, Ndin! Kita pulang sekarang!” ajak Ardhy.

        “Kagak! Gue lagi ada janji.” tolak Andin.

        “Mau sampe kapan loe nungguin cowok boyband itu? Dia nggak bakalan datang! Ayo pulang!”

        “Kalian slalu manggil dia cowok boyband, dia punya nama! Dia Rangga!! Kalo kalian pengen pulang, pulang aja sendiri!”

        Entah harus terkesima, atau marah, atau kasihan. Erwin, Ardhy dan Ipunk hanya diam melihat Andin yang terus membela Rangga. Wataknya yang keras kepala terlihat seperti tak waras.

        “Gue udah pernah bilang ke elo, Ndin. Cowok jangan mudah dipercaya. Loe harus bisa bedain mana yang yang sungguhan dan mana yang permainan.”

        “Permainan? Loe ngomong apa, sih? OK, gue akuin Rangga telat beberapa menit. Gue akan telpon dia. Loe lihat aja sebentar lagi, dia pasti datang.” Berkata demikian, Andin mengambil ponselnya. Ditelponnya nomor Rangga.

        Tiga kali deringan, tak ada jawaban. Hingga kemudian terdengar seseorang menjawab dari seberang.

        “Rang?”

        “Halo, Ndin!!”

        “Loe dimana?”

        “Gue sedang perjalanan! Sorry, Ndin!! Tadi gue ada urusan darurat! Ola di rumah sakit!!”   

        Ola?

        “Loe dimana?! Loe masih di sana ‘kan? Gue akan ke sana! Udah deket, kok!!” 

        Suara Rangga terdengar timbul-tenggelam di telinga Andin. Tangannya melemas. Tapi sekuat tenaga ia menggenggam handphonenya dan mendengar semua kalimat Rangga yang terdengar panik.

        Tiba-tiba Ardhy merebut handphone Andin dari tangan Andin. Tak ada respon. Andin hanya diam meski Ardhy mematikan telponnya.

        Andin menatap pajangan bunga di depannya. Kosong. Otaknya sibuk menerka-nerka. Dari sekian kata yang meluncur dari bibir Rangga, hanya satu yang ada di benaknya. Ola. Iya, Rangga menyebut nama gadis itu tadi.

        Erwin meletakkan tangannya di pundak Andin. Menenangkan, dan mengajaknya bangkit dari kursi itu.

        “Masuk ke mobil, Ndin. Kita pulang.” Ajaknya.

        Berbeda dengan semenit lalu ketika Andin menolak habis-habisan untuk pulang. Kali ini ia menurut. Ia pasrah. Meninggalkan restaurant dengan langkah gamang. Cewek bodoh mana yang tahan menunggu sampai 4 jam? Cewek bodoh mana lagi yang mau menghabiskan empat gelas kopi espresso dengan harapan kosong? Dan saat ia mendengar kabar, justru nama cewek lain yang ia dengar.

        Andin membuka pintu mobilnya. Ia duduk di depan kemudi lesu. Entahlah, seperti tidak rela. Ia tak juga menyalakan mesin mobil. Tangannya hanya sibuk memainkan gantungan kunci berbentuk miniatur gitar electrict miliknya. Saat Andin bersiap memasukkan kunci mobilnya, perhatiannya teralih. Dilihatnya Erwin, Ardhy dan Ipunk ribut di depan restaurant. Mereka membulan-bulani seorang laki-laki. Dia.... Rangga?

        “Gue nggak punya urusan dengan kalian!! Minggir!!”

        “Urusan Andin urusan gue juga!!” bentak Ipunk.

        Rangga bergeming. Dia meringsek maju. Seketika tubuhnya disambut tangan Erwin. Rangga terdorong ke belakang dan hampir menabrak cendela kaca restaurant.

        Rangga membalasnya dengan wajah marah. Dia tegakkan tubuhnya dan kembali maju ke depan. Kali ini tangannya dengan sigap meraih lengan Erwin dan memelintirkan ke belakang. Ipunk dan Ardhy tidak tinggal diam. Mereka menonjok muka Rangga dan membuatnya terjengkal ke trotoar.

        Beberapa pengunjung restaurant melongok keluar melihat drama perkelahian itu. Rangga mendesis. Dia bangkit duduk dan memegangi pipinya. Saat dia mencoba bangkit, Andin telah berdiri di tengah Ipunk, Erwin dan Ardhy, menatapnya sayu, tanpa ekspresi.

        “Andin....” ucap Rangga. Ia berdiri. Luka memar menyembul dari pipinya yang putih.

        Andin meraih tangan Rangga. Diseretnya Rangga menjauh dari depan Ipunk, Erwin dan Ardhy. Langkahnya tegas. Sampai di samping bangunan restaurant, Andin berhenti. Dilepaskannya cengkeraman tangannya. Ia berbalik.

        “Maaf gue.... baru datang...” Rangga membuka suara.

        “Mending loe pulang sekarang!” jawab Andin. Membuat Rangga membelalakkan mata.

        “Pulang? Tapi kita udah janjian, ‘kan...”

        “Loe nggak lihat sekarang udah jam berapa, ha?!”

        “Karena itu gue datang! Gue minta maaf sama loe! Sejak tadi malam gue ada urusan darurat! Ola masuk rumah sakit! Dia operasi! Gue bingung!”

        Andin bungkam. Wajahnya yang semula tanpa ekspresi, kini terlihat suram. Tenggorokannya tercekat. Bodohnya, dia malah hampir menangis.

        “Loe sejak dulu emang nggak bisa ngelupain cewek itu, iya ‘kan?”

        “Eh?”

        “Udahlah, Rang! Gue harus pulang!” Andin membalikkan badannya. Tapi buru-buru dicegat oleh Rangga.

        “Tunggu!!”

        “Lepas!!”

        “Dengerin gue dulu!!”

        “Gue nggak mau dengerin apa-apa dari loe!!” pekik Andin.

        “Mestinya loe ngertiin keadaan gue! Gue sedang dalam masalah! Karena itu gue telat!”

        “Ngertiin loe? Ok, gue ngertiin loe! Loe nggak pernah bisa ngelupain cewek loe yang manis itu dan ngejadiin gue sebagai pelarian, iya ‘kan?!”

        “Andin!!!”

        “Mestinya gue ngerti ini dari dulu! Gue yang bodoh! Sejak di Lombok, yang loe pikirin Cuma Ola, Ola dan Ola! Jika bukan karena dia loe nggak mungkin ada di Lombok! Jika bukan karena dia, loe nggak mungkin maksain diri pergi ke Bali dan melakukan hal nekat! Gua tahu itu!!”

        “CUKUP!!” bentak Rangga.

        “Loe pikir udah berapa jam gue duduk di dalam sana dan nungguin loe kayak orang bego?! Dan loe malah sibuk dengan cewek lain!!”

        “Berhenti, Ndin!!” Rangga mencengkeram bahu Andin. Mencoba menenangkannya. Tapi Andin menepisnya.

        “Jangan sentuh gue!!”

        “Sampe kapan loe mau kekanak-kanakkan kayak gini?!!”

        “Kekanak-kanakkan?! Loe yang kekanak-kanakkan!!! Sekarang gue nanya, apa pernah loe bilang cinta ke gue??”

        Rangga terdiam. Nafasnya mulai tidak beraturan.

        “Enggak kan? Loe nggak pernah bilang cinta ke gue. Loe Cuma bilang kalo gue pacar loe. Loe nggak pernah mencintai gue!!”

        Andin memundurkan langkahnya ke belakang. Matanya masih lekat menatap Rangga.

        “Kembalilah ke dia.....”ucapnya terisak. Andin memutar badannya. Dia berlari menuju mobil. Meninggalkan Rangga yang diam membatu. Kakinya seolah terpaku ke bumi. Jantungnya berdesir. Otaknya mencari-cari alasan untuk mencegat Andin. Tapi kosong. Tak ada apapun. Maka Rangga kembali terdiam. Menyaksikan gadis berambut lurus itu menghilang dari matanya.

---------------------------------------------

Runyam...
BERSAMBUNG KE PART 24....

1 komentar: