20 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 22

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

---------------------------

        Sementara itu, Rangga baru sampai di apartemennya. Suasana sepi menyambutnya. Sepertinya Rafael, Bisma, Dicky, Ilham dan Reza belum pulang dari kantor manajemen. Rangga melengang ke depan televisi. Wajahnya keras. Alis matanya terlihat menyatu. Satu orang yang dicarinya.

        Dilihatnya sesosok gadis berdiri di depan meja dapur. Tangannya sibuk menata sesuatu di atas nampan. Tablet obat dan segelas air putih. Ck!

        “Kamu baru pulang?” tegur Ola sambi tersenyum.

        Rangga berdecak, “Loe ngomong apa aja tadi ke Andin?!”

        Ola berdesir. Jantungnya spontan berdegub cepat. Matanya beralih menatap pemuda berjaket merah di depannya. Ia memandang Rangga kaget.

        “Maksud kamu apa?” Ola balik bertanya.

        “Buat apa tadi loe ke rumah Andin? Loe nggak usah berpura-pura di depan gue. Loe ngomong apa aja ke Andin?!”

        Tak satupun kata keluar dari bibir Ola. Ia hanya membelalakkan matanya. Terkejut. Bingung. Dan saat Rangga bersiap menerjangnya dengan pertanyaan selanjutnya, air mata Ola merembes.

        “Dia.... bilang ke kamu?” tanya Ola.

        “Sebenernya apa sih tujuan loe? Loe merasa senang udah mempengaruhi Andin? Kita udah bukan siapa-siapa, La! Mau sampai kapan loe ngusik hidup gue terus?”

        “Mempengaruhi dia?! Aku nggak mempengaruhi siapapun!! Aku Cuma khawatirin kamu, Rangga!! Aku Cuma minta dia buat menjaga kamu! Itu aja!!” emosi Ola meletup. Suaranya meninggi.

         “Gue dan Andin nggak butuh saran apapun dari loe! Daripada loe sibuk ngurusin gue, urus aja cowok loe yang baru!” berkata demikian, Rangga membalikkan badannya. Ia tidak berminat lagi bicara dengan Ola. Yang ada ia malah makin emosi.


        “Sampai kapan kamu menyalahkan Reza terus?! Aku dan dia nggak ada apa-apa! Aku udah berkali-kali bilang itu ke kamu! Kamu yang mestinya hati-hati dengan Andin! Kamu nggak sadar, Rangga! Kamu terus-terusan dalam bahaya! Gara-gara dia kamu kecelakaan dan berakhir seperti ini!!”

        Rangga menghentikan langkahnya. Ia tersenyum masam, “Gara-gara Andin? Loe pikir gue dulu ke Bali untuk apa? Ha?!”

        Ola beringsut. Tangannya menggenggam ujung meja. Gemetar.

        “Loe nggak pernah sadar sedikitpun seberapa paniknya dulu pas loe tiba-tiba berada di villa Reza di Bali! Loe ngilang tanpa kabar! Dan loe nggak mau bicara ke gue sedikitpun! Loe pikir gue baik-baik aja waktu itu?!”

        Ola tidak menjawab. Genggaman tangannya di meja semakin kuat. Pelan tapi pasti, rasa nyeri muncul di dadanya.

        “Loe nggak ngerti apapun! Loe nggak ngerti apapun yang terjadi! Sampai loe tahu gue jatuh ke jurang bersama Andin, loe nggak tahu demi apa gue melakukan itu semua! Loe yang berkhianat! Loe yang nggak komitmen dengan hubungan kita..........”

        Buagghh!!!

        Belum selesei Rangga mengucapkan kalimatnya, sebuah tangan mendorongnya dari belakang. Rangga terdorong ke dinding. Ia tersentak kaget. Dan saat ia menoleh, dilihatnya Reza telah berdiri di sana. Dikiranya Reza akan melempar tonjokkan ke arahnya. Tapi Reza hanya berdiri di depannya. Ia memandangnya penuh kemarahan. Reza kemudian berlalu dari hadapan Rangga dan menghampiri Ola.

        Dan saat itulah mata Rangga terbuka. Dilihatnya Ola telah ambruk di lantai dengan wajah menyeringai kesakitan. Tangannya mencengkeram dadanya kencang. Bercak darah merah berceceran di lantai. Sebagian lainnya memenuhi pakaiannya membentuk mozaik kemerahan yang menyeramkan.

        “Tahan, La!!!” Reza meletakkan tubuh Ola ke atas lengannya. Ia membopong Ola ke luar apartemen. Meninggalkan Rangga yang masih berdiri kaku di dapur.

        Dada Rangga kembang kempis. Nafasnya tidak beraturan. Sementara kedua matanya menatap bercak darah merah di lantai tanpa berkedip. Sorot ketakutan nampak kental di wajahnya. Bulir keringat dingin satu per satu menyembul di dahinya. Risau.

        Rangga menapakkan kakinya ke arah Reza dan Ola menghilang. Kakinya terasa melayang. Rasanya otaknya masih setengah sadar. Sekian menit diliputi kepanikan dan kebingungan, hingga kemudian Rangga berlari keluar apartemen. Dilihatnya mobil Reza membelok ke jalanan. Tanpa pikir panjang Rangga masuk ke dalam mobilnya. Dinyalakannya mesin mobil dengan terburu-buru lalu tancap gas untuk mengejar Reza.

        Kerlip cahaya lampu dari mobil lain terasa menusuk. Air mata yang merembes di bola mata Rangga membuatnya buram melihat jalanan. Samar-samar matanya mengikuti mobil Reza di depan sana. Otaknya dipenuhi bayangan bercak darah yang keluar dari mulut Ola. Erang kesakitan Ola menjadi lagu pengantar kepanikannya. Ada apa? Ola kenapa?!

        Tiga puluh menit berlalu, Rangga berhasil menemukan Reza berhenti di salah satu rumah sakit. Reza duduk di depan UGD dengan kedua tangan terkepal. Matanya terpejam. Seolah menekan kesabaran untuk menunggu Ola yang sedang diperiksa dokter.

        Ia menoleh sejenak melihat kedatangan Rangga. Wajahnya tak kalah panik. Keheningan menyelimuti keduanya. Tak ada satupun membuka suara. Rangga menempatkan dirinya di salah satu kursi di seberang Reza. Sebentar saling pandang, sebentar kemudian saling menunduk.

        Menit demi menit berlalu. Reza spontan berdiri melihat dokter keluar dari dalam ruangan. Ia mendapat tatapan protes dari dokter bertubuh tambun di depannya itu.

        “Yang saya khawatirkan terjadi. Penyakitnya masuk ke tahap akhir. Darah telah masuk ke paru-paru dan menumpuk di sana. Ini karena jantungnya terlalu diforsir. Ia memompa melebihi kapasitas.” Dokter itu menarik nafas, “Sebenarnya apa saja yang sudah dilakukan Ola? Kenapa kondisinya menjadi buruk seperti ini?!”

        Reza tak kuasa bernafas. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya. Sementara dokter di hadapannya tak berhenti melempar tatapan protes padanya. Ia tahu, dalam hal ini, ia lah satu-satunya pihak yang disalahkan.

        “Tapi Ola nggak apa-apa kan, Dok?” tanya Reza.

        “Kita akan melakukan operasi pembedahan malam ini juga. Katup jantungnya harus diganti. Terlambat sedikit saja, Ola akan mengalami gagal jantung.”

        Dokter itu berlalu. Aura kemarahan terasa membara di sekelilingnya. Meninggalkan Reza yang diam menunduk. Hatinya gusar. Saat ia menoleh, dilihatnya Rangga menatapnya tidak mengerti.

        DUAGGH!!

        Reza meninju wajah Rangga hingga oleng ke samping. Ia jatuh tersungkur ke lantai.

        “Loe puas sekarang, ha?!” bentak Reza.

        Rangga mencoba bangkit. Tangannya memegangi pipinya, “Ola kenapa?” tanyanya kemudian. Suaranya bergetar.

        “JAWAB GUE!!!” bentak Rangga tidak sabar. Ia semakin marah melihat Reza hanya menatapnya. Seolah menjadi orang yang paling bodoh, kenapa ia tidak mengerti apapun dengan yang terjadi pada Ola? Kenapa ia harus melakukan operasi pembedahan?!

        “Ola kenapa? Loe yang mestinya menjawab itu semua, bangsat!! Kenapa loe membentak-bentak Ola tadi di apartemen?!!” balas Reza.

        Rangga terdiam. Karena dia?

        “Ola mengidap lemah jantung sejak SMA!! Dia nggak kuat melakukan apa-apa! Dia nggak kuat mendapat tekanan pikiran! Dia nggak kuat mendapat itu semua! Dan loe dengan mudahnya membuat dia seperti itu!!”

        Rangga membulatkan matanya. Tidak percaya. Tapi itu lah yang ia dengar.

        “Gue selalu berusaha berjaga-jaga agar ini nggak terjadi. Tapi loe! Dalam semalam loe merusak semuanya! Loe hampir membuat dia mati, ngerti loe?! Berengsek!!”

        “Kenapa kalian nggak ngomong?! Kenapa nggak ada satupun orang yang cerita ke gue?!”

        “Gue pengen bilang ke loe dari dulu!!! Apalagi setelah loe jadian dengan Ola empat tahun lalu, tapi Ola nyegah gue. Dia nggak mau bikin loe khawatir.” Reza menurunkan suaranya. Perlahan mencoba mengatur nafasnya yang memburu.

        “Dia bilang dia sendiri yang akan ngomong ke loe. Tapi makin hari, sakitnya makin menjadi-jadi. Dokter bilang, jantung lemahnya sudah menyebabkan penumpukan edema di semua organ dalamnya. Loe tahu apa artinya itu? sakitnya sudah tingkat lanjut. Ola akan terus merasakan sakit di tubuhnya seumur hidupnya.”

        Rangga tertegun. Otaknya kacau. Ia seperti dipaksa menelan bulatan besar kenyataan ke dalam kerongkongannya. Sakit. Tidak bisa dipercaya.

        “Asal loe tahu, dia lebih memilih loe daripada gue. Sesering apapun gue ada di samping dia, dia lebih milih loe.” Ucap Reza, dia memundurkan langkahnya, “Dan gue juga tahu, loe sangat mencintai Ola. Lebih dari apapun. Karena itulah Ola ketakutan. Dia takut jika sewaktu-waktu ajal menjemputnya. Yang ada di pikiran dia adalah bakal sesedih apa loe nanti. Dia takut loe kesepian sepeninggal dia. Dia menjauhi loe sedikit demi sedikit. Loe pikir kenapa Ola dulu tiba-tiba mutusin loe dan menghilang ke Bali? Itu Keinginan dia sendiri! Bukan gue, bego!!”

        “Maaf....” sepenggal kata meluncur dari bibir Rangga. Ia menunduk dalam. Menatap lantai ubin yang berpetak. Kilat kemerahan muncul di bola matanya. Ia seolah baru melihat satir yang selama ini tertutup rapat.

        Reza menghela nafas. Ia memandangi kawannya yang berdiri di depannya. Kawan yang dulu pernah ia anggap sebagai rival.

        “Loe di sini. Tungguin Ola. Gue akan menelpon Mamanya Ola dan mengurus administrasi untuk operasi.” Reza membalikkan badan. Ia berjalan menuju lobi utama rumah sakit.

        Rangga masuk ke dalam kamar UGD dimana Ola terbaring. Dia seperti melihat potret dirinya saat di Bali dulu. Kabel-kabel medis menjuntai kemana-mana. Selang oksigen melintang di wajah Ola yang letih.

        Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa ia begitu bodoh? Empat tahun ia menjalin kasih dengan Ola, tapi kenapa ia sebuta itu?? Reza saja tahu. Kenapa ia yang pacarnya tidak mengerti apa-apa? Ola seolah rapi menyembunyikan semua keadaannya dari mata Rangga.

        Rangga meraih tangan Ola. Digenggamnya rapat, “Jangan pergi!” bisik Rangga penuh harap. Didekatnnya tangan Ola ke dadanya. Semakin dekat hingga degub jantungnya menyentuh telapak Ola. Jika diijinkan, ia ingin memberikan jantungnya untuk Ola sekarang juga.

        Tante Idah, Mama Ola, datang tak lama setelah itu. Ia datang bersama suaminya, Om Hans. Ia mengantar kepergian Ola ke ruang operasi dengan linangan air mata. Semalaman ia terjaga. Raut kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Reza bersandar di dinding sambil melipat tangan. Wajahnya menerawang lampu lorong rumah sakit. Suasana sunyi senyap. Penuh ketegangan. Dan siapa yang tahu, semua keadaan itu seperti menjadi pisau belati buat Rangga. Menusuk dan menyayat kulitnya. Membodoh-bodohinya berkali-kali.

        “Kamulah penyebab semua ini!!”

        Aaaaghr! Rangga meremas kepalanya. Ia berlari ke toilet rumah sakit. Dinyalakannya keran air dengan tergesa-gesa lalu diguyurnya kepalanya hingga basah kuyup.

        “Maaf!!” batinnya lagi bercampur dengan isakan.

        02.00 a.m. Tepat ketika jarum menit mencapai angka duabelas, pintu ruang operasi terbuka. Dua orang dokter spesialis jantung keluar diikuti segerombolan perawat. Matanya nanar menatap ke arah Tante Idah, Om Hans, Rangga dan Reza.

        “Anda keluarga pasien?” tanya salah satu dokter itu.

        Tante Idah mendekat diserati anggukan pasti.

        “Operasi berhasil.” Lanjut dokter. Kata-katanya seketika mencairkan ketegangan, “Katup jantung berhasil diganti. Namun jantung pasien terlanjur mengalami pembengkakan. Dari sekarang, dan mungkin untuk selamanya, pasien tidak bisa melakukan aktivitas berlebih seperti berlari atau bekerja terlalu keras. Dia juga tidak boleh memiliki beban pikiran. Psikologisnya sangat mempengaruhi jantungnya. Jadi saya mohon, ketika pasien terbangun nanti, jangan menangis di depannya. Berikan obrolan yang lembut dan menyenangkan. Jika ada masalah yang harus diberitahukan, sebaiknya ditunda hingga dia membaik.” Jelas dokter itu panjang lebar.

        Dia lalu memberikan isyarat kepada Tante Idah dan Om Hans untuk datang ke ruangannya. Mereka berjalan meninggalkan ruang operasi. Menghilang di tikungan lorong. Kini tinggal Rangga dan Reza berdiri bak patung. Tidak tahu harus berbuat apa. Ola masih berada di dalam ruang opersi. Beberapa perawat masih merapikan peralatan operasi yang sudah dipakai. Dan tentu, mereka tidak diperbolehkan masuk ke sana.

        ******************

        Sinar matahari menembus celah-celah awan. Putih bak kapas surga. Dari ujung timur hingga barat hanya putih yang bisa ditangkap mata. Tak ada angkasa biru, namun juga tidak mendung.

        Sebuah meja bundar dengan empat kursi berlapis beludru menjadi pilihan Andin. Di depannya, secangkir espresso dan sepiring hazelnut nutella cake terhidang. Tangannya asik memainkan handphone. Jam menunjukkan 07.40 am. Ah, dia datang terlalu awal. Entahlah, ia terlalu senang saat Rangga mengajaknya breakfast di restaurant ini tadi malam. Darimana dia tahu kalau Djournal Coffee adalah restaurant favoritnya?

        Di sisi yang berlainan, di bawah pohon peneduh pohon di depan restaurant itu, Erwin, Ardhy dan Ipunk bergumul di balik mobil. Mata mereka tajam menatap ke dalam restaurant. Menelisik seperti teropong.

        “Andin udah keliatan?” tanya Ipunk.

        “Itu! pakek baju oranye! Meja ketiga dari pintu masuk!!” jawab Erwin.

        “Mana??”

        “Meja yang bunganya warna merah! Nomor tiga dari depan!”

        “Mana, sih??”

        “Mata tuh dipakek! Itu meja nomor tiga dari depan! Ah, picek loe ah!” Erwin mulai emosi.

        Di belakangnya, Ardhy memasang wajah nggak semangat. Entah salah makan apa mereka, tiba-tiba subuh-subuh menjemputnya ke rumah dan bilang kalau ada urusan urgent menyangkut hidup dan mati. Tahunya malah nguntitin Andin. How dare!

        “Come on, guys! Baru semalem loe bilang ke Andin kalo dia butuh privasi! Apanya yang privasi! Loe malah ngintip dia pas pacaran gini!” protes Ardhy.

        “Andin itu sahabat baik kita, Dhy! Loe nggak pengen kan Andin sakit hati gara-gara dimainin cowok!?” timpal Erwin.

        “Bener! Gue nggak bakal nyerahin Andin gitu aja ke cowok boyband itu!” tambah Ipunk, lalu kembali fokus mengintip Andin ke dalam restaurant, “Tumben dia pakek baju warna oranye?” gumam Ipunk.

        “Loe lihat deh matanya! Ada yang beda! Oh my God!! What the hell is going on over there?! Andin pakek eye shadow, Punk! Astaghfirullah!!” Erwin tersentak kaget.

        “Astaghfirullah!” Ipunk tak kalah terkejut. Andin make up? Apakah dunia sudah kiamat?

        Andin membolak-balikkan ponselnya. Ditekannya ikon pesan. Lalu mengeluarkannya lagi. Hatinya menimbang-nimbang. Jam sudah menunjukkan jam delapan lebih, haruskah dia SMS Rangga?

        Tidak usah! Mungkin Rangga sudah di jalan. Dia hanya terlalu gugup. Andin lalu membenarkan letak rambutnya. Dirapikannya anak rambutnya yang menutupi matanya.

-----------------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 23

:3

1 komentar: