31 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 26

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.


-----------------------------------------

        Matahari sudah menepi di ufuk barat. Hari beranjak malam. Tidak ada jadwal apapun malam ini selain istirahat di hotel. Besok jadwal akan lebih padat. Setengah hari dihabiskan di studio untuk mematangkan lagu, setengah hari lainnya dihabiskan di panggung untuk gladi bersih

        Sekembalinya Rangga ke dalam kamar, Ola menyambutnya. Dia berayun di pundak Rangga dan mengajaknya makan malam.

        “Aku bosan seharian terus-terusan di kamar. Nanti makan malam di restaurant hotel ya...” ucap Ola beralasan.

        Rangga mengiyakan. Sekali lagi, mau gimana lagi? Sejam dia habiskan untuk mandi dan bersiap-siap, lalu keluar kamar untuk menemui Ola. Restaurant hotel dikonsep begitu natural. Kursi dan meja dari kayu jati tersebar rapi. Setiap meja dihiasi rangkaian bunga Anggrek. Beberapa spesiesnya belum pernah Rangga lihat. Warnanya indah menyala. Pantas saja Pulau Kalimantan disebut-sebut sebagai Surga Anggrek.

        Rangga dan Ola memilih meja di sebelah cendela kaca yang sangat lebar. Dari sana, kolam pemandian terlihat jelas. Pijar lampu oranye memantulkan kerlip indah di permukaan kolam. Terlihat seperti bentangan berlian dari kejauhan.

        Lumayan lah. Setidaknya dia bisa menghilangkan depresi gara-gara berjam-jam bertengkar dengan Andin. Dia sudah duga, konser kali ini nggak akan berjalan mulus. Dia nggak pernah bisa menahan diri untuk tidak bertengkar dengan Andin. Ada saja kata yang keluar dari mulutnya untuk membalas Andin. Seandainya saja dia bisa bersikap lebih halus pada Andin.

        “Rangga!” panggil Ola.

        Rangga terhenyak.


        “Kok, kamu ngelamun lagi, sih??” sergah Ola. Mukanya sebal.

        Rangga menggeleng. Dialihkannya matanya pada seporsi Cumi Tumis Saos Tiram di hadapannya. Diraihnya sumpitnya lalu mulai makan. Otaknya membodoh-bodohkan dirinya. Untuk kesekian kalinya kepergok melamun. Dan selalu karena Andin.

        Sepanjang makan, Ola sibuk berceritan tentang hotel. Katanya, seharian ini ia habiskan berkeliling hotel dan melihat-lihat. Ada kebun Anggrek di sebelah kolam. Tepat di depan ballroom juga ada. Anggrek itu ditata melingkar mengelilingi tiang. Tapi tidak terkesan seperti hutam rimba. Justru terlihat elegan. Paduan antara warna cerah, warna daun dan terpaan lampu hotel sangat pas.

        “Aku sendiri heran, kenapa Anggrek Hitam disebut Anggrek Hitam padahal warnanya merah...” ujar Ola.

        Rangga tersenyum.

        “Kamu pernah dengar namanya Anggrek Hitam?” tanya Ola.

        Rangga menggeleng.

        “Itu bunga langka. Aku pengen menanam satu aja di rumah. Tapi nggak tahu deh bisa tumbuh apa enggak. Cuaca di Jakarta nggak sesejuk Kalimantan.”

        Rangga tersenyum.

        Dua jam berlalu, Rangga mengajak Ola kembali ke kamar. Kali ini Ola membicarakan pantai lokal yang sangat alami. Pasti menyenangkan jika bisa liburan di sana. Pantai yang sepi seperti itu lebih mengundang keinginan untuk berwisata daripada pantai-pantai terkenal di Bali.

        Pantai alami? Rangga tersenyum. Benaknya melayang pada bentangan laut hijau tosca dan pasir putih di pulau tak berpenghuni dimana dia terdampar dulu. Tak ada yang lebih alami dari pantai yang pernah ia datangi itu. Ombaknya tenang. Angin berhembus menggoda. Pelepah kelapa bergoyang-goyang. Ia berlari-lari penuh tawa..... bersama Andin.

        Rangga mengerjapkan matanya. Dibukanya matanya lebar-lebar dan mencoba kembali ke alam sadar. Sekali lagi dia melamunkan Andin. Shit!!

        Lift terbuka. Ola dan Rangga berjalan menuju kamar. Tiga langkah dari pintu kamarnya, tiba-tiba Ola terhuyung. Dia kehilangan keseimbangan. Hampir saja dia roboh jika Rangga tidak dengan sigap menyangganya.

        “Ola! Loe kenapa?!!” tanya Rangga panik.

        Tak ada jawaban. Mata Ola terbuka separuh. Tubuhnya tiba-tiba lemas begitu saja.

        Di saat yang bersamaan, Reza muncul dari belakang. Dengan sigap dia menghampiri Ola dan Rangga. Wajahnya nggak kalah panik.

        “Ola kenapa?!!” tanya Reza.

        “Nggak tahu! Dia tiba-tiba aja lemas!!”

        Reza meraih tubuh Ola lalu membopongnya ke dalam kamar. Sementara Rangga, dia hanya bertugas membawakan jaket yang dibuang Reza saat dia menghampiri Ola tadi.

        Reza membaringkan Ola di atas ranjang. Tangannya dengan sigap melepas penjepit rambut, sepatu dan resleting baju Ola.

        Rangga terbengong-bengong.

        Reza menyambar koper Ola. Tanpa kebingungan sedikitpun dan seperti sudah lihai, Reza mengambil sebuah kotak biru dari dalamnya. Saat dibuka, sekitar sembilan macam botol obat-obatan tersimpan di sana. Dan sekali lagi seolah hapal, Reza mengambil salah satunya tanpa perlu membaca tulisan di botolnya. Dia mengeluarkan dua butir tablet berwarna putih. Mengambil botol mineral yang ada di atas meja. Menghampiri Ola yang masih setengah sadar. Lalu meminumkan obat itu pelan-pelan.

        Butuh semenit untuk mengembalikan nafas Ola yang tersengal-sengal. Mata Ola mulai terpejam rapat. Dia tertidur.

        Setelah memastikan Ola telah lelap, Reza beranjak dari ranjang. Diselimutinya tubuh Ola. Setelah mematikan lampu utama, dia keluar.

        “Loe tadi habis ngapain sama Ola?” tanya Reza begitu pintu kamar tertutup.

        Rangga yang belum bisa mencerna keadaan, tergagap. Lima menit lalu keadaan baik-baik saja. Ola bercerita panjang lebar dengan ceria. Jika tiba-tiba Ola ambruk dan kesakitan, dia tidak mengerti. Dia tidak tahu!

        “Loe habis ngajak dia jalan jauh?!” tebak Reza. Lewat penekanan suara di akhir kalimatnya, dia ingin menyalahkan Rangga.

        “Enggak! Gue nggak ngajak dia jalan kemanapun!  Kita cuma ke restaurant hotel, dan itupun naik lift!” jawab Rangga.

        “Restaurant? Tadi Ola makan apa?”

        Rangga terhenyak, “Cumi Tumis Saos Tiram~...”

        “Loe ngebiarin Ola makan makanan itu?! Loe mau ngebunuh dia, ha?!!” sebelah tangan Reza menghempaskan Rangga ke dinding. Raut wajahnya serius bercampur marah.

        Rangga terbengong-bengong melihat respon Reza. Dia menyebutkan nama sebuah menu makanan dan Reza langsung memarahinya. Something wrong? Saat dia menanyakan menu pesanan Ola, Ola bilang menu yang sama dengannya. Dan dia memesan salah satu olahan seafood itu. Karena dia ingin. Dan Ola tak terbesit di benaknya.

        “Kenapa?” pertanyaan klasik. Sekali lagi Rangga bertanya kenapa. Seribu kali Reza semakin terlihat marah.

        “Saos tiram itu makanan asin! Banyak mengandung garam! Ola nggak boleh makan makanan asin! Tekanan darahnya akan naik drastis dan jantungnya nggak akan kuat! Loe denger sendiri kan dari dokter kalo paru-parunya udah kena?!! Selain sakit, Ola juga akan sesak nafas!! Loe bego atau emang nggak punya otak?!!”

        Rangga bungkam. Sorot mata Reza membuatnya membisu meski ada ribuan alasan yang dia punya. Lalu akhirnya, dia hanya diam.  Malam itu, Reza mengakhiri ultimatumnya dengan ancaman jika Rangga berani memberi makanan asin pada Ola, dia akan menghajarnya. Rangga diam. Dadanya penuh sesak. Sudut hatinya tidak terima diceramahi Reza, tapi sudut hatinya yang lain membodoh-bodohinya. Dia bodoh. Tetap bodoh seperti dulu.

        “Maaf...” ucapan maaf Rangga mengantar kepergian Reza ke dalam kamarnya. Sementara Rangga masih teronggok di lorong hotel. Giginya bergemelatuk. Bayang wajah Ola ketika kesakitan tadi mengerumuni bola matanya. Membuat Rangga semakin gusar, semakin merasa bersalah. Dia lalu melangkahkan kakinya ke dalam kamar, lesu.

        *************

        “Doh!!! Ini masih subuh, ngapain loe nyuruh gue ke sini?!!” bentak Andin. Di depannya, Erwin menyeret tangannya entah kemana.

        “Ardhy sama Ipunk udah nunggu di bawah! Kita makan!”

        Diliriknya jam tangan di tangannya. 05.00 WIB. Mereka mau makan atau mau bantu cleaning service bersih-bersih? Baru setengah jam lalu dia terbangun, tiba-tiba Erwin menggedor-gedor kamar hotelnya dan menyuruhnya siap-siap ke bawah. Dikiranya ada hal penting apa, taunya Cuma makan.

        “Latihan hari ini dimulai jam setengah tujuh, Ndin! Kru bilang kita harus ngejar waktu karena nanti mau gladi bersih juga.” Bela Ipunk.

        “Ya tapi nggak subuh juga kali loe nyeret gue keluar! Loe datang ke restaurant hotel sekarang, emangnya udah buka? Makan mulu loe dipikir!!” omel Andin.

        “Yee! Kata siapa belum buka. Barusan gue pesen nasi goreng empat porsi!” sanggah Ipunk.

        Andin melipat tangannya. Suasana hotel masih sepi. Hanya karyawan hotel terlihat mondar-mandir. Susah juga kalau udah nurutin Ipunk, Ardhy dan Erwin. Bagi mereka makan adalah nomor satu setelah musik. Main musik butuh energi. Kalau lapar, musik yang dihasilkan nggak akan bagus. Dia pikir main gitar pakek perut apa? Apalagi si Ardhy. Hidupnya udah kayak anak mama. Telat makan sedikit, magnya pasti kambuh.  

        Emh, mag?

        Harum masakan nasi goreng tercium. Seorang pelayan mengantarkan senampan nasi goreng ke arah meja Andin. Ia menyapa ramah. Saat pelayan pria berwajah ramah itu meletakkan makanan ke atas meja, perhatian Ipunk dan Erwin tertuju ke pintu tengah hotel. Mata mereka menyipit. Mengamati lekat-lekat sosok pria berkemeja ungu muda dan celana hitam.

        “Aaghh!!!” Ipunk dan Erwin menudingkan jarinya. Mereka tersentak kaget. Andin dan Ardhy spontan menoleh. Mereka tak kalah kaget. Pelayan yang sedang menyajikan nasi goreng itu juga kaget.

        “HENDY!!” pekik Ipunk. Mendengar nama yang diucapkan Ipunk, Andin membelalakkan matanya. Ia ikut memperhatikan pria yang ditunjuk Ipunk dan Erwin. Benar, Hendy, laki-laki berbadan tinggi tegap itu berada di sana. Sedang menggeser-geser layar handphonenya. Lalu terlihat bertelepon dengan seseorang.

        “Ngapain dia di sini?” gumam Ardhy.

        “Ooooh...” tiba-tiba pelayan berkulit gelap itu bersuara. Ia ikut mengamati Hendy sambil tersenyum.

        “Kamu kenal dia?” tanya Ipunk.

        “Iya. Dia Pak Hendy. Dia temannya Pak Broto, yang punya hotel ini. Dia sering ke sini. Dia juga ikut megang saham sini, Mas. Hari ini ada rapat pleno pemegang saham di ballroom.” Jelas pelayan itu. Ipunk, Ardhy dan Erwin manggut-manggut. Sementara Andin, kaget setengah mati.

        Mampus gue!!! Batin Andin. Wajahnya panik. Buru-buru dia menundukkan matanya setelah tadi melihati Hendy nanar. Ia menggigit bibirnya. Nampak berpikir keras. Sudah dua tahun penuh dia tidak bertemu dengan Hendy. Semenjak putus, dia tidak mau lagi menampakkan diri di hadapan Hendy. Tapi sekarang, laki-laki itu tengah berdiri sepuluh meter di depannya.

        Ardhy, Erwin dan Ipunk melihati Andin. Seperti dugaan mereka, respon Andin masih sama jika tidak sengaja bertemu Hendy, pura-pura cuek dan bersembunyi. Andin mati-matian menjauh dari laki-laki itu, tapi Hendy tak pernah melepas genggamannya dari Andin. Satu-satunya alasan mereka gagal tunangan dulu adalah ketidaksetujuan ayah Hendy. Seorang istri haruslah yang bermartabat, anggun, pintar menjaga diri, dan cantik. Tidak seperti Andin yang urakan dan anak band rock. Hendy pernah mengancam akan berhenti dari kuliahnya di Administrasi Bisnis di RMIT University, Australia, jika ayahnya tidak menyetujui hubungannya dengan Andin.

        Karena itulah Andin menghilang. Dia sadar diri. Dirinya adalah dirinya. Rock adalah jiwanya. Jika orang lain ingin mengubahnya menjadi seperti perempuan pada umumnya, dia tak mau. Hari itu, Andin memutuskan hubungannya di hadapan ayah Hendy. Dia melepas kalung pemberian Hendy. Lalu menghilang.

        Tapi Hendy tetaplah Hendy. Di belakang ayahnya, dia masih sering mencari-cari Andin, meneleponnya diam-diam, mencoba memperbaiki hubungan. Andin bisa merasakan itu. Hendy memiliki masa depan mapan. Bisnis saham adalah ahlinya. Dan Andin hanyalah anak band yang suka nyanyi. Dia tidak setara untuk Hendy, begitu yang dikatakan ayah Hendy. Andin menghela nafas.

        “Udah makannya, Ndin? Kita pergi.” ucap Erwin. Tak ada satupun dari mereka yang tidak mengerti. Mereka paham. Hendy adalah masa lalu besar Andin.

        Tak ada yang berubah dari suasana pagi di hotel. Masih sepi dan polos. Tak ada aktivitas berarti selain beberapa cleaning service yang sedang membersihkan kaca cendela hotel. Dan koki yang sibuk di dapur. Dan seorang bisnisman yang sibuk menelepon koleganya.

        Andin melengos. Matanya menatap ke depan. Jangan menoleh. Jangan pernah menoleh ke belakang.

        **************

        Sesuai rencana, latihan hari itu dimulai jam setengah tujuh pagi. Latihan difokuskan pada konsep perform dan kolaborasi. Ada sekitar tujuh lagu yang akan ditampilkan secara kolaborasi oleh SMASH dan D’Uneven. Itu belum ditambah lagu hits masing-masing yang akan ditampilkan.

        “Seperti yang kita tahu, rock dan pop-dance adalah dua genre yang saling bertolak belakang. Tema konser kali ini emang terdengar weird di telinga kita. Ini adalah tantangan. Ada sepuluh kepala di sini. Mari bersama kita pecahkan tantangan ini. Kita munculkan konsep yang baru di blantika musik Indonesia!”

        Ceramah Mbak Risty pagi itu disambut tepuk tangan personil SMASH, D’Uneven, dan personil grup musik pengiring konser.

        Andin manyun. Mukanya suntuk abis. Dia menargetkan, hari kedua adalah hari untuk bicara dengan Rangga dari hati ke hati. Dia sudah muak dengan keadaan absud ini, dia ingin meluruskannya. Tapi kenapa orangg yang latihan hari ini jadi bejibun begini??!! Ketiga temannya main musik. Semua personil SMASH nyanyi. Dan sepuluh orang pengiring musik sibuk menempatkan aransemen musik.

        Dikiranya dia akan latihan satu frame dengan Rangga seperti hari kemarin. Tapi nihil! Semua orang tumpah ruah. Bising, suara musik tidak berhenti, mau bicara saja mesti deketin telinga dulu. Kenapa dia justru tidak mendapatkan kesempatan bicara di saat dia ingin bicara?

        Rangga sedikit terlihat pendiam hari itu. Dia hanya bicara jika ada yang bertanya padanya. Selebihnya, hanya lirik lagu yang keluar dari mulutnya. Wajahnya suram.

        Tidak seperti Dicky yang berkali-kali melakukan kesalahan saat dance, Rangga mengikuti semua gerakan dengan benar. Tapi itu semua terlihat kosong. Gerakannya terlihat tak bermakna. Andin mengamatinya lekat-lekat. Sebersit ingatan muncul di otaknya. Iya, gerakan yang dilakukan SMASH saat ini. Kalau tidak salah, Rangga pernah mengajarinya dulu waktu terdampar di pulau tak berpenghuni. Jujur saja, ekspresi dan tarian Rangga waktu itu seratus kali lipat lebih bersemangat dibanding yang dia lakukan sekarang. Padahal dulu tidak pakai musik. Gerakannya kacau. Dan dia menyelinginya dengan kritikan pedas. Rangga sangat bersemangat dulu.

        Apa sekarang Rangga sakit? Alisnya matanya melukiskan beban yang besar. Masalah apa yang dia pikirkan?

        “Segmen tujuh! Sekarang giliran D’Uneven! Grup pengiring siap-siap!!” seru Mbak Risty.

        Andin tersadar dari lamunannya. Dia berjalan ke tengah dengan microfon di tangan. Sementara itu, keenam personil SMASH menepi. Ia hanya sempat meliriknya sekilas. Rangga dan teman-temannya beristirahat di pojokan studio. Mereka duduk bergerombol sambil menenggak minuman. Bulir keringat memenuhi wajah mereka.

        “Gila! Latihannya kayak racun!” gumam Bisma. Seperti kebiasaannya, dia melepas kaosnya lalu mengibas-ngibaskannya ke tubuhnya yang telanjang dada. Dia paling nggak tahan gerah.

        “Loe kenapa salah-salah mulu?” tanya Rafael.

        Dicky yang merasa ditanya, menoleh. Wajahnya cemberut, “Jangan nyalahin gue donk! Lagian ngapain koreonya diubah!” balasnya.

        “Kita kan kolaborasi. Bagian rappnya diubah. Gue kan udah ajarin loe tadi!” jawab Rafael.

        Sementara teman-temannya berdebat soal koreografi, Rangga menyandarkan tubuhnya ke dinding. Nafasnya kembang kempis. Sebotol minuman telah dia habiskan. Tapi dia masih merasakan tidak nyaman di perutnya. Di raihnya tas ranselnya, lalu dia aduk-aduk isinya. Berharap ada sebatang cokelat atau sebungkus roti tertinggal di sana. Makan pagi akan datang jam sepuluh nanti. Tahankah perutnya sampai jam segitu?

        Rangga tertegun. Tangannya menyentuh benda asing di dalam tasnya. Dikeluarkannya benda kotak itu. Sebuah kotak mika? Selembar memo tertempel di atasnya. Untuk Rangga, begitu isinya. Rangga membukanya. Dan ia tercengang. Isi kotak itu adalah nasi goreng.

        “Buset! Loe bawa makan?!!” kata Ilham.

        Semua teman-temannya menyerbunya. Sekotak nasi di tengah enam orang yang sedang kelaparan, perang akan dimulai!

        “Gue makan setengah. Setengahnya lagi kalian bagi berlima!” gertak Rangga. Ucapannya disambut pukulan dari Rafael.

        “Makanya, bilang sama Ola kalo bawain makanan tuh enam kotak! Jangan elu doank dikasih!” Rafael mencomot sepotong sosis. Bisma dan Dicky berebutan mengambil potongan chicken chrispy di atasnya.

        Rangga terdiam. Ola? Mungkin. 

---------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 27 :)

1 komentar: