1 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 27

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

-----------------------------------------



        Rangga tertegun. Tangannya menyentuh benda asing di dalam tasnya. Dikeluarkannya benda kotak itu. Sebuah kotak mika? Selembar memo tertempel di atasnya. Untuk Rangga, begitu isinya. Rangga membukanya. Dan ia tercengang. Isi kotak itu adalah nasi goreng.

        “Buset! Loe bawa makan?!!” kata Ilham.

        Semua teman-temannya menyerbunya. Sekotak nasi di tengah enam orang yang sedang kelaparan, perang akan dimulai!

        “Gue makan setengah. Setengahnya lagi kalian bagi berlima!” gertak Rangga. Ucapannya disambut pukulan dari Rafael.

        “Makanya, bilang sama Ola kalo bawain makanan tuh enam kotak! Jangan elu doank dikasih!” Rafael mencomot sepotong sosis. Bisma dan Dicky berebutan mengambil potongan chicken chrispy di atasnya.

        Rangga terdiam. Ola? Mungkin.

        Siang bersambut. Latihan di lanjutkan ke tempat konser. Panggung berdiri megah di sisi kanan lapangan sepak bola. Lantainya yang hitam mengkilat nampak seperti tumpahan oli di rumput hijau.

        “Kalau Balai Sarbini bisa nampung seribu smashblast, ini kira-kira berapa ya?” gumam Dicky. Begitu kakinya menginjak rumput, ia tercengang. Kepalanya menengadah. Melihat luas lapangan itu dengan mulut terbuka. Dia merasa menjadi semut kecil di lapangan seluas itu.

        “Ini belum ditambah fansnya D’Uneven. Bakalan jadi lautan manusia.” Tambah Bisma.

        Mereka lalu berjalan menuju backstage. Beberapa kru masih sibuk membenahi panggung. Lampu-lampu panggung ditata sedemikian rupa. Beberapa lainnya melakukan simulasi hujan buatan yang akan menjadi point stage.


        “Banyak efek bisa dilakukan di atas panggung. Ada yang hujan daun, hujan salju, dan hujan air. Dulu Rihanna pernah konser dengan efek hujan yang dramatis. Kita melakukan inovasi. Hujannya nanti akan berwarna ungu.” jelas Kak Kevin, pimpinan kru.

        Baik personil SMASH maupun personil D’Uneven, semuanya terdiam. Tidak tahu harus berkomentar apa. Ini menakjubkan.

        “Hahaha!” tiba-tiba tawa Kak Kevin pecah. Dia yang sedari tadi memandu kedua grup musik ini mengelilingi panggung, dibuat bingung juga, “Kalian nggak usah takut. Kita pakai pewarna yang aman kok. Pernah lihat anak TK melukis? Cat yang mereka gunakan bisa dimakan, dan nggak keracunan. Ya itu nanti yang kita pakai. Jadi kalian nggak akan kenapa-kenapa kalo nggak sengaja nelen. Telen aja yang banyak biar kenyang.” Guraunya.

         Semua personil tertawa. Bukan pewarna yang mereka takutkan. Yang memenuhi otak mereka justru rasa nervous. Berkali-kali manggung bukan alasan mereka untuk tak gugup. Panggung sebesar ini benar-benar bikin speechless.

        “Kalo dilihat dari sini, lantainya terlihat mengkilat dan halus. Itu sebenarnya permukaannya kasar kok. Coba aja naik. Jadi kalo air udah turun nanti, kalian nggak akan kepeleset. Breakdance aja sesuka kalian.” Tambah Kak Kevin. Semua kata yang dia ucapkan semakin menambah decak kagum. Dia sangat lihai. Seperti sudah ribuan konser dia konsep.

        Glady Bersih dimulai. Tetek bengek panggung seperti check sound dan sebagainya dilakukan. Simulasi koreografi yang cukup sulit juga dipraktikan. Mana tempat yang cocok, mana view yang pas, dan dimana Andin dan Rangga akan berkolaborasi nanti.

        Iya, kolaborasi naas itu masih akan dilakukan. Permintaan media harus dipenuhi. Kolaborasi Rangga dan Andin harus dikemas se-menakjubkan mungkin.

        “Bunuh gue! Bunuh gue! Bunuh gue!” batin Andin berkali-kali. Konser semakin dekat dan dia belum juga baikan dengan Rangga. Tapi mau baikan gimana, sejak pagi dia nggak juga dapat kesempatan!

        “Gue akan manggil Rangga dan nyuruh dia nemuin loe di tribun bawah.” Ucap Erwin.

        “Enggak! Enggak usah! Gue aja yang urus!” tolak Andin. Dia nggak mau skenario. Dia ingin ini semua terlihat alami. Alami seperti dia putus dengan Rangga di restaurant dulu.

        Rangga dan kawan-kawannya masih latihan di atas panggung. Sibuk menempatkan koreo di titik-titik panggung. Berlari ke kanan, berlari ke kiri. Kadang Kak Kevin mengubahnya karena komposisi layar yang terlihat tidak proporsi. Ruwet!

        “Boyband kalo mau konser belibet, ye! Mau berdiri aja diatur. Kita mah nyanyi nyanyi aja.” Komentar Ipunk. Sejam sudah dia duduk nganggur nungguin SMASH kelar gladi bersih. Di sampingnya, Erwin dan Ardhy dudul bertopang dagu. Sementara Andin, tak tahu seliweran kemana. Dari tadi dia nggak tenang.  Sibuk nyari kesempatan untuk bertegur sapa dengan Rangga. Kadang kasihan juga lihatnya, ngomong ya ngomong aja. Kenapa dia sebingung itu untuk sekedar ngomong sama Rangga?

        “Andin?” sebuah suara memanggil Andin dari belakang. Suaranya berat. Lama tak mendengar, tapi terdengar familiar.

        Andin menolehkan wajahnya. Sedetik bengong, sedetik kaget, sedetik kemudian hatinya sibuk melafalkan istighfar.

        “Kamu konser di sini?” sapa Hendy.

        Bangun-bangun makan nasi uduk sambel pete, KENAPA HENDY TIBA-TIBA ADA DI SINI??

        “Uhm... iya!” jawab Andin singkat.

        “Oooh, lagi glady bersih?”

        “Iya...”

        “Ok. Good luck, ya!” pungkas Hendy. Setelah itu dia pamit.

        Andin masih terbengong-bengong. Buru-buru dia berlari ke arah teman-temannya. Dia menelusup di antara Erwin dan Ardhy. Menelungkup seperti kanguru. Maksudnya sih menyembunyikan wajahnya. Dia paling wanti-wanti kalau ketemu Hendy!

        “Cuma ngasih tahu, sih, Ndin. Sebenarnya pas loe ngilang dulu di Bali, dia adalah cowok yang paling sibuk nyariin loe setelah bokap loe.” Ucap Erwin.

        “HAH? Dia nyariin gue?! Terus terus?”

        “Terus apanya? Loe kepergok pacaran sama Rangga di jurang! Gue heran sama tuh cowok. Udah dibentakin bapaknya, dicuekin elo, masih aja ngejar-ngejar!” tambah Erwin.

        “Terus ngapain dia di sini???” tanya Andin.

        “Kayak nggak ngerti dia aja. Dia kan gila saham. Dia nanem saham di hotel tempat kita nginep, dan dia juga ikut-ikutan investasi dana di konser ini. Tadi si Kevin cerita, Hendy tuh temenan sama Andrew Coven pas dia kuliah di Australia. Ati-ati lu, Ndin. Loe udah masuk neraka dia. Liat aja ntar malam, dia bakal datengin kamar hotel loe, terus gerayangin loe!”

        JDUAGG! Andin meninju kepala Ardhy.

        “Loe sinting?!!” bentak Andin, “Loe jangan nakut-nakutin gue, donk!!” wajah Andin makin nggak karuan. Mukanya yang tadi panik, kini seribu kali lebih panik. Andrew Coven, siapa yang nggak kenal konglomerat asal Singapore itu? Dia pimpinan Zeptaria, promotor konsernya kali ini. Tamat sudah riwayatnya. Dia nginep di hotel tempat Hendy investasi. Dan sekarang konser yang akan dia lakoni setengahnya didanai oleh dia. Kenapa tuh orang rese sahamnya dimana-mana?

        “Makanya loe buruan baikan sama Rangga!! Capek gue liat loe! Sejak loe ketemu di Bali dulu, dia udah nggak pernah nanyain loe ke gue. Dia mundur pas tahu loe digosipin sama Rangga!” 

        Andin tidak berkelit. Dalam hati dia membenarkan Ardhy. Pantas saja Hendy di sini. Dia pasti tahu artis mana aja yang akan tampil di konser yang dia danai. Sempitnya hidup ini. Dari jutaan investor, kenapa harus Hendy???

        Andin beranjak dari duduknya. Jika ingin bicara, bicara saja. SMASH telah usai latihan. Dilihatnya Rangga turun dari panggung dan berjalan menuju tenda. Ekpresinya masih tak berubah. Murung. Jalannya tak bersemangat. Sementara Rafael, Bisma, Reza, Ilham dan Dicky berebut minuman dingin, Rangga melengos.

        Di dalam tenda, Rangga menyalakan handphonenya. Ditekannya daftar panggilan terakhir. Dia menimbang-nimbang. Wajah Ola bergumul di kelopak matanya. Bercampur dengan onggokan rasa bersalah.

        “Halo?”

        “Ola? Udah bangun?” akhirnya Rangga memberanikan telepon.

        “Hmm.....” tak ada jawaban. Terdengar sebuah suara benda digeser, “Udah, barusan. Lagi latihan ya?” jawab Ola kemudian.

        “Iya. Lagi break. Kamu nggak apa-apa?”

        “Nggak apa-apa. Aku baik-baik aja, kok.”

        “Maaf tadi malam....”

        “Udah! Udah jangan mikirin itu!” Ola menyahut ucapan Rangga.

        “Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu nggak boleh makan makanan asin? Mestinya kamu ngomong ke aku!”

        “Kok kamu jadi kayak Reza, sih? Udah ah jangan ngatur-ngatur begitu. Aku bosen tau makan itu-itu mulu. Apa-apa direbus, aku juga pengen ngerasain makanan baru. Itu salah aku kok. Kamu tenang aja.”

        “Ya tapi....”

        “Hei! Kita sepakat akan ngelupain ini, gimana?” sekali lagi Ola memotong kalimat Rangga.

        “Hmm... Ya...”

        “Nanti malam udah tahun baru ya...”

        “Iya...”

        “Katanya ada pesta kembang api di kantor Gubernur. Nonton yuk..”

        “Kita nggak tahu kantor gubernur dimana, jangan macem-macem..”

        “Nontonnya nggak dari kantor gubernur juga kali. Kata pegawai hotel tadi, kembang apinya kelihatan jelas dari hotel. Ada pesta barbeque di atap hotel. Nanti kita gabung aja kesana, nonton dari sana...”

        “......”

        “Please, Rangga! Pleasee.... Aku pengen nonton kembang api.”

        “Oke deh...” akhirnya Rangga mengiyakan. Terdengar jerit kesenangan dari
Ola. Rangga menghembuskan nafas lega. Sejak pagi tadi pikirannya dipenuhi perihal Ola. Insiden makanan di restorant itu tak pernah hilang dari otaknya. Dia hampir membunuh Ola, kalimat itu terus terngiang di telinganya.

        “Ola, kamu istirahat, ya. Jangan keliling-keliling hotel kayak kemarin. Biar nanti malamnya bisa lihat kembang api...” pungkas Rangga. Ola mengiyakan. Rangga lalu menutup teleponnya. Akhirnya dia bisa bernafas bebas dari belenggu ketakutan. Dia pikir Ola akan pingsan seharian, atau harus operasi bedah lagi. Ola telah sadar, dan dia kembali manja seperti biasa. Rangga menghela nafas lega.

        Setelah memasukkan handphone ke saku celananya, Rangga bangkit. Dia berjalan keluar tenda untuk bergabung dengan kawan-kawannya. Tapi begitu tirai tenda dia buka, Rangga tersentak kaget.

        “Andin??!”

        Andin juga terkejut. Dia mengalihkan bola matanya, “Ah, gue... gue tadi disuruh ngambil ini!” Andin meraih sebuah tripot lampu.

        Rangga bengong.

        “Ya udah! Ya udah! Gue harus balik ke panggung!” Andin membalikkan badan dengan tangan menjinjing sebuah tripot. Dia menggigit bibirnya. Matanya sayu. Atau kaget. Atau kecewa. Tak tahu akan dia bawa kemana tripot itu. Kacau.

        Ola... Ola... dan Ola... sampai kiamat pun cewek itu akan tersebut dari bibir Rangga. Bahkan saat ia merisaukan Rangga yang sedang muram. Nyatanya cowok itu memuramkan cewek lain. Kurang bodoh apa Andin terus-terusan memikirkan Rangga? Tak kurang peribahasa pungguk merindukan bulan. Dia seperti semut yang mengharapkan matahari di pelukannya.

        Andin naik ke atas panggung. Denting senar gitar elektrik yang dipetik memenuhi penjuru. Erwin dan Ardhy sedang mengecek suara gitarnya.

        Andin meletakkan tripot yang dia bawa di sisinya. Tangannya meraih microphone. Dia tidak memiliki mata di punggungnya. Tapi dia tahu, Erwin, Ardhy dan Ipunk sedang melihatinya sekarang. Iba? Bukan.. mungkin pasrah.

        Ya sudahlah.

        ************


        Orang kadang bilang, untuk apa mengejar cinta yang bukan untuk kita? Memaksa hanya akan memunculkan luka. Hari itu, latihan berakhir bersama senja. Jalanan Kota Pontianak padat. Semua orang bersiap-siap menyambut pesta malam baru. Saat langit total menghitam, euforia tahun baru semakin meledak.

        Malam itu, tak sekalipun Andin keluar dari kamarnya. Jika biasanya waktu dia habiskan berkumpul dengan Erwin, Ardhy dan Ipunk, kali ini dia ingin sendiri. Sekedar membuka-buka instagramnya, atau membalas mention dari fansnya.

        Beberapa kali Erwin mengetuk kamarnya, mengajaknya jalan keluar melihat pesta tahun baru. Tapi Andin bergeming. Masih kaku dan membatu. Dia hanya ingin melihat atap hotel dan lantai marmer, begitu saja.

        “Ayolah, Ndin! Loe juga belum makan malam!” sekali lagi Erwin membujuk dari luar.

        Andin tak goyah. Dia masih berkutat dengan jejaring sosialnya dan me-retweet ini itu.

        Erwin menurunkan tanganny dari daun pintu kamar hotel Andin. Dia menoleh ke Ardhy dan Ipunk dengan ekspresi datar. Andin menjadi pendiam lagi. Seperti seminggu lalu ketika dia bertengkar hebat dengan Rangga di restaurant. Dia menjadi cuek, jarang ngomong, dan badmood. Entah apapun yang diucapkan Rangga ke Andin tadi siang, keadaan ini benar-benar bikin muak.

        “Bertengkarnya sama siapa, kenapa kita juga yang kena? Kampret tuh anak boyband!” Gerutu Ipunk. Bersama Ardhy dan Erwin, dia lalu pergi ke atap hotel.

        Angin berhembus kencang begitu mereka menapakkan kaki di atap hotel. Sebuah meja dengan panggangan barbeque di atasnya menjadi center atap berbentuk persegi itu. Beberapa kursi kayu berjajar. Tak terlalu rapi, namun cukup mengisyaratkan dimana pesta kembang api akan berlangsung.

        Di salah satu sudut atap itu, tepat di bawa lampu penerang, dua orang sejoli nampak duduk bersisian. Membelakangi keramaian atap. Dari siluet yang mereka munculkan, mereka seolah menciptakan atmosfer sendiri dan orang lain tak bisa menembusnya. Itu Rangga dan Ola. Erwin, Ardhy dan Ipunk mendengus. Mereka menatap sinis.

        “Udah dua tahun aku nggak liat kembang api pas tahun baru. Rasanya seneng banget akhirnya malam ini bisa nonton.” Ujar Ola.

        “Kenapa emang kok nggak nonton?” timpal Rangga.

        Ola membalasnya dengan tatapan cemberut, “Iiih! Sok lupa! Gara-gara kamu sibuk manggung mulu, tau nggak! Tiap tahun baru selalu aja ada di luar kota. Nyebelin!”

        “Ya, kan sekarang udah bisa nonton lagi~...” kata Rangga.

        Ola tertawa. Benar juga, ucapnya. Ia lalu menyandarkan kepalanya di pundak Rangga. Jam masih menunjukkan jam sepuluh malam. Kembang api masih akan dimulai dua jam lagi.

        Rangga bergeming. Ia membiarkan Ola memainkan jemarinya. Perlahan suasana atap hotel semakin riuh. Makin banyak orang yang datang. Staf hotel dan tamu hotel bercampur menjadi satu. Panggangan barbeque mulai dinyalakan. Asapnya mengepul. Melukiskan pendar putih di langit yang gulita.

        Sementara itu, atmosfer berbeda menyelubungi sebuah kamar di hotel berbintang itu. Sebuah lagu diputar lirih. Afterlife dari Avenged Sevenfold. Berirama metal dan memekakkan telinga. Tapi Andin sengaja memutarnya sayup-sayup. Mungkin ingin mengimbangi hatinya.

        Tiba-tiba interphone yang terpasang di belakang pintunya berbunyi. Andin berkenyit. Ia lalu bangkit dari ranjangnya dan menekan tombol di interphone.

        “Gue Hendy. Loe di dalem, Ndin?”

        Andin tersentak. Dia berdiri mematung sekian detik. Ragu dan penuh spekulasi. Tapi kemudian tangannya meraih kenop pintu. Andin membuka pintunya. Wajah lawas yang lama bersembunyi di hatinya muncul di hadapannya. Hendy. Kali ini dia mengenakan tshirt biru dan celana jeans. Lebih santai dari kesehariannya yang selalu mengenakan kemeja.

        “Gue tahu nomor kamar loe dari resepsionis, nggak apa-apa kan?” ucap Hendy.

        Andin menangangguk. Dia menyilakan Hendy masuk ke dalam kamar. Mau protes bagaimana lagi? Bisa dibilang Hendy juga pemilik hotel ini. Wajar jika dia tahu kamar mana saja yang ditinggali Andin.

        Hendy menempatkan dirinya di sofa. Sementara Andin memilih tepi ranjang untuk duduk.

        “Gimana kabar loe?” tanya Hendy.

        “Ehm, baik.”

        “Nggak liat kembang api di atas?” tanya Hendy lagi.

        Andin menggeleng, “Gue harus nyiapin diri buat besok.”

        “Oh, iya ya. Konsernya udah lusa. Gimana menurut loe konsernya? Loe udah siap?”

        Andin menunduk. Memandangi sulur indah di atas karpet yang ia injak, “Bakalan keren kayaknya. Konsepnya mateng banget.” jawab Andin sekenanya. Dia tahu, Hendy selalu mencoba membuka peluang obrolan dengannya. Apapun bisa dia tanyakan.

        Hendy tersenyum, “Gue tahu konsernya bakal sukses. Andrew pernah mempromotori konser artis-artis ternama Asia. Makanya kali ini gue ikut masang dana. Gue penasaran kerjasama dengan dia.”

        “Ehm, gitu. Kalau gitu gue bisa minta tolong sama loe?” tanya Andin.

        “Apa?”

        “Tolong hilangin segmen gue duet berdua dengan Rangga SMASH di konser itu.”

        “Eh?”

        “Loe teman dekatnya Andrew Coven, ‘kan? Loe juga masang dana di konser ini. Pasti nggak sulit buat loe untuk mengubah sedikit point konser ini. Loe bisa, kan?”

        Hendy memicingkan matanya. Menelisik dalam-dalam wajah Andin yang datar tanpa ekspresi. Dia sibuk menerka-nerka. Andin memintanya hal yang benar-benar di luar dugaannya. Tak sulit memang. Memenuhi permintaan Andin semudah membalikkan telapak tangan bayi yang sedang tidur. Tapi mengapa?      

        Maka Hendy mengangguk. Pasti dan lugas. Dia mengiringinya dengan senyum lebar. 

------------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 28

2 komentar:

  1. yah :-( kok Andin malah pengen ngebatalin segmen duet nya sama Rangga? harusnya kan malah bagus klo mereka duet. Mereka jadi duet atau nggak sih kak? next dong kak

    BalasHapus