27 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) "Bisma's Diary" / Part 2

Cerbung Bisma
Title:Bisma’s Diary (Catatan  Hati  Seorang Bisma)

Author : Nadya Dwi Indah

Editor : @ariek_andini

Cast   : Bisma  karisma
             Shavana  Adinda  Putri
             Rafael  Tan
             Ilham  Fauzie
             Handi  Winata 
Genre : Sad_Frindship_Romantic

Satu lagi Cerbung yang masuk ke redaksi. Happy reading! J

-----------------------------------------------------

            Larik-larik sinar senja menghiasi danau dekat taman Kota, danau yang indah dengan taman cantik yang mempesona. Berbagai macam bunga dengan warna berbeda terpajang disana. Padang ilalang juga tak kalah mempesona. Seorang pemuda tengah berdiri di dekat danau, kakinya menapak pada batu-batu kerikil. Wajahnya tertunduk lesu, pikirannya melayang akan memikirkan ucapan dokter di rumah sakit kemarin sore.

            Kanker otak?? stadium akhir?? Separah itukah penyakit yang sekarang Ia derita. Lalu bagaimana dengan perasaannya pada Shavana.

             “Ck, kenapa semua ini mesti terjadi, gue benci semua ini.............”teriaknya memecah kebekuan. Sejauh mata memandang memang tak ada seorang pun yang dapat mendengar teriakannya, Ia hanya ditemani pepohonan dan tingginya rumput ilalang.

            >>>>>>>>>>>>>>

             “Bis, kamu dari mana saja?” tanya Bunda begitu melihat Bisma muncul dari balik pintu.

             “Abis jalan-jalan aja, nyari angin. Lama-lama bosan juga cuman tiduran di rumah,” sahut Bisma enteng.

             “Sayang, kamu tau kan penyakit kamu ini bukan penyakit sembarangan, jangan main-main dong, Bis.”

            Bisma terdiam mencermati setiap kata-kata Bundanya, Ia seperti dianggap anak kecil saja. Kata-kata dokter yang menyatakan bahwa penyakitnya hanya dapat dipecahkan dengan operasi kembali terngiang dikepalanya. Operasi bisa saja dilakukan dengan dua resiko. Kehilangan ingatan meski hanya sebagian, dan kehilangan penglihatan.

             “Kamu kenapa diam?”

            Bisma terdiam,Ia sengaja mendatangi dokter Handi tadi pagi, hanya sendirian karena memang Ia tak berkeinginan mengajak siapa pun juga. Dokter muda itu menyatakan hal tersulit dalam hidupnya. Bagaimana mungkin operasi dilakukan kalau untuk menghilangkan memory dan indra penglihatannya.

             “Bis,apa ada yang Kamu sembunyikan dari Bunda?” tanya Bunda sekali lagi. Bisma tetap diam.

             “Bisma?”

             “Iya, Bunda, aku denger kok.”

             “Kamu kenapa, sih? Hari ini aneh.” sentak Bunda. ”Apa benar kamu menyembunyikan sesuatu dari Bunda.”

             “Nggak ada Bunda, Aku hanya sedang capek.” Bisma melangkah pergi memasuki kamar.

            >>>>> >>>>> >>>

            Bisma memasuki kamarnya yang bernuansa merah hitam itu, Ia menarik nafas berat menatap nakas hitam di samping tempat tidurnya. Beberapa botol obat-obatan tertata rapi di sana ia merasa muak sendiri. Keadaan kamarnya sama saja seperti di rumah sakit tak tahan rasanya dianggap sebagai manusia penyakitan.

             “Kenapa semua ini mesti terjadi sama gue.” gumamnya mengambil buku kecil di laci meja belajarnya dan Ia mulai menulis

Seandainya boleh meminta, aku hanya minta satu hal. Ijinkan ku hidup lebih lama lagi, izinkan Aku mengatakan rasa sayang dan cintaku padanya. Sungguh hanya satu keinginanku menyatakan padanya bahwa sesungguhnya rasa sakit ini mengalahkan rasa sakit hati yang menanti jawaban cintamu.

            Aku lelah menunggu, namun Aku akan terus berusaha. Aku percaya dan yakin kalau masih ada ruang di hatimu untukku, bukan hanya Rafael. Malah Aku percaya bahwa kau hanya merasa kagum padanya, bukankah rasa kagum itu beda tipis dengan rasa cinta???

            30 April ‘11

            Bisma Karisma

            ********************

            Pagi kembali menyapa ibu kota.Sinar mentari malu-malu tapi mau tampak mulai menyinari sejengkal demi sejengkal bumi pertiwi. Sekolah sudah cukup ramai, beberapa siswa dan siswi ramai menghiasi koridor sekolah meramaikan suasana. Bisma duduk dibawah pohon mangga tepat di taman belakang sekolah.

             “Gimana hasil Lab.kemarin Bis?” tanya Shavana, Ia baru saja datang dan menduduki kursi panjang di samping Bisma.

             “Gue cuma kecapean, kok.” Bisma diam sejenak, memainkan ujung kukunya sebentar, “loe masih sama Rafael?”

            Diam, tak ada yang mampu berucap. Shavana terlihat kebingungan.

             “Maksud loe apa sih, Bis? Gue sama Rafael kan belum jadian?? Apa emang loe sengaja nyindir gue? Loe perlu tau si Rafael itu orangnya cu...” Vana tak melanjutkan kalimatnya matanya tertuju pada seorang pemuda bermata sipit yang berdiri di belakang Bisma.

             “Hai.” sapa nya. Bisma terperanjat, Ia terdiam menatap pemuda yang diincar gadis pujaannya itu.

             “Hai juga, sejak kapan di sini?” Vana terlihat sedang berbasi-basi.

             “Baru saja kok, mau ke kantin?” ajak Rafael.

             “Boleh....” kalimat Shavana terdengar menggantung. Dia melirik Bisma. Seolah meminta persetujuan. Entah apa.

             “Pergi aja. Gue nggak apa-apa, kok.”sahut Bisma jutek. Ia memalingkan wajahnya seraya menatap layar ponselnya.

             “Yaudah gue cabut ya..bye..”

            Tak lama setelah kepergian Vana dan Rafael, Ilham datang. Dia asik meneguk sebotol minuman dingin di tangannya. Kedatangannya disambut sepi. Bisma tak menegurnya sedikitpun.

             “Gue tau loe pasti kesel lihat Vana sama Rafael, iya kan?”

             “Ah, loe Ham, udah tau hati gue lagi nggak karuan begini, masih juga nanya.” Sanggah Bisma kesal.

             “Tau deh yang lagi patah hati, eh, ngomong-ngomong gimana hasil laboratorium loe? harusnya udah keluar dari kemaren sore kan?”

            Bisma tak menyahut. Tubuhnya seketika membeku mendengar pertanyaan Ilham. Dia ganti menatap Ilham lekat-lekat. Berusaha bicara. Tapi hanya bahasa bisu yang terpancar dari bola matanya.

             “Heh!! Ditanya malah bengong, lihatin gue lagi. Jangan-jangan loe suka lagi sama gue, hadeeeh gawat jangan ya, Bis.”

             “Enak aja loe!! Jijik gue, loe pikir gue lekong.” Balas Bisma.

          “Siapa tau gara-gara sakit hati ngeliat Vana jalan sama Rafael, terus loe jadiin gue sebagai pelampiasan!! Hahaha.” Ilham semakin menjadi-jadi menggoda Bisma.

             “Loe tuh nggak waras!!”

             Tawa Ilham makin meledak.

            ##########

             “Van, loe emang beneran suka sama Rafael?” tanya ilham sepulang sekolah. Keduanya berjalan menuju rumah.

             “Ya..iyalah gue suka banget sama Dia, loe tau Ham tadi waktu gue jalan sama Dia, perfect banget tau, Rafael itu masuk dalam kategori cowok romantis, gue suka banget.”

             “Kalo Bisma?”

            “Eh?”

          Kaki Shavana spontan berhenti. Dia ganti menatap Ilham.
         
           “Loe kenapa sih nanya kayak gitu, Bisma itu sahabat gue sama seperti loe, Ham!”

           “Gue cuman nanya doang, Van! Dia masuk kategori cowok idaman loe kagak, gitu aja marah.”

           “Ham, loe kenapa sih? Kesambet apa?”

          “Nggak ada apa-apa...” Ilham berkilah.

          “Kagak!! Bilang ke gue!!”

           “Gue cuman nanya doang!!” Ilham merasa terdesak, namun sebisa mungkin Ia menutupi rahasia Bisma pada Shavana, Ia tak ingin disebut penghianat oleh sahabatnya sendiri.


          Tok!!!Tok!!Tok!!

          Suara ketukan pintu dari arah selatan kamar Bisma, namun pemuda itu tak bergerak sedikit pun, Ia meringkuk menggeliat tak karuan mencoba menghilangkan rasa sakit yang kembali menyerang kepalanya.

           “Bisma! Minum obat!” Suara seorang wanita paruh baya dari balik pintu. Bisma berusaha bangkit untuk membuka pintu namun untuk mencapai pintu saja Ia tak sanggup. Kakinya terasa berat sungguh mati ini terasa bagai mimpi buruk.

           “Bis,ini ob...Astahgfirullah,Bisma bangun Kamu kenapa nak.”suara Bunda terdengar panik memilukan, perlahan mata Bisma mulai terpejam.

          >>>>>>>>>>>>

          Bisma terbangun, Ia mengerjapkan matanya menatap ruangan bernuansa putih. Ia mengerti sekarang saat ini dirinya sedang berada dimana. Beberapa alat medis menancap ditubuhnya.

           “Kamu ini bandel banget sih. Bis! Bunda kan udah bilang istirahat saja di rumah, jangan macem-macem karena penyakit kamu ini bukan penyakit sembarangan, bukan penyakit demam yang besok langsung sembuh.” ucap Bunda Casma.

           “Tapi Bun, Aku hanya pengen nyenening diri aja, capek kalau harus tidur-tiduran dirumah.” ucap Bisma parau karena terhalang alat bantu pernafasan.
“Bisma boleh pulang kan setelah ini?” tanya Bisma. 

           “Jangan dulu!! Bunda takut Kamu kenapa-napa,kalau butuh apa-apa atau Kamu mau Vana sama Ilham kesini? Bunda akan panggilkan buat Kamu.” ujar
Bunda Casma serius.

           “Jangan Bun, nggak perlu nanti Mereka khawatir, boleh nggak kalau Bisma dirawat aja dirumah, bawa saja alat-alat medis ini kerumah.” pinta Bisma 

           “Boleh saja kalau itu mau Kamu, tapi jangan salahkan Bunda kalau teman-temanmu akhirnya tau tentang penyakit Kamu.”

           Skak Mat! Ancaman Bunda Casma tepat sasaran. Satu-satunya hal yang ditakuti Bisma adalah ketika teman-temannya tahu penyakitnya. Cukup keluarganya. Orang lain tak perlu tahu!

          *********

          Hari ini ingin kuberanikan diri mengutarakan isi di hati yang tak bisa lagi Kutahan. Rasa sayang sahabat yang melebur jadi cinta. Aku butuh Kamu Van butuh kamu sebagai obat penawar rasa sakit ini, karena sesungguhnya berpisah dari mu merupakan penyakit terparah. 

          01 April ‘12

          Bisma karisma

          Keindahan danau dekat taman kota memanjakan mata,keelokan warni-warni bunga ditaman cukup membuat hati berbunga-bunga, menghilangkan rasa sedih yang bergelayut dalam dada. Bisma duduk diatas batu ditepi danau, matanya menatap lurus kedepan. Bunyi kecipak air menemani sepinya,menunggu kehadiran gadis impian terasa bagai menanti mukjizat saja, sungguh lama.

           “Hei Bis,tumben banget loe ngajakin gue ketemuan,ada apaan nih?” sapa Shavana. Sejenak Bisma terpaku menatap gadis ini, Ia terlihat begitu mempesona dengan dress merah,celana jeans yang membalut kakinya sosok yang sempurna.

           “Wooy!! Malah bengong!”

           “Nggak apa-apa, loe cantik aja hari ini.” ujar Bisma tersenyum.

           “Ada apa sih? Emang ada hal penting apa yang membuat loe ngajakin gue ketemuan di tempat beginian?”

           “Gue.....”

           “Eh tunggu bentar..” Vana memotong ucapan Bisma, Segera diangkatnya telponnya yang berdering.

           “Dari siapa?” tanya Bisma berusaha mengintip ponsel gadis manis itu.

           “Dari si sipit...”

          Sipit? Rafael? Shavana memberinya julukan seperti itu?

          Semenit Shavana berbicara dengan Rafael. Bicaranya lembut. Kadang tertawa kecil. Sedikitpun tidak berencana beranjak dari hadapan Bisma. Membuat Bisma leluasa menguping pembicaraannya. Hingga ia sampai di kalimat penghujung.

          “Iya, nanti malam, Yang! Oke deh.... iya... bye...!”

          Yang?

          “Siapa? Rafael?” selidik Bisma.

          Shavana mengangguk. Entah efek sinar matahari yang terlalu cerah hari ini, atau memang wajah Shavana yang berseri-seri. Dia nampak bahagia setelah berbicara dengan Rafael.

          “Gue.... jadian sama dia tadi malam.”

          “Eh???”

          “Dia datengin rumah gue. bawain gue bunga. Sumpah! Mimpi apa gue semalem!! Gue seneng banget akhirnya dia ngerespon perasaan gue!!” pekik Shavana.

           “Ooh..selamat buat Kalian,semoga langgeng.” ucap Bisma sekenanya.

           “Oh, ya,  tadi loe mau bilang apa ke gue?” Vana memasukkan ponsel kedalam saku celananya, ia beralih menatap wajah Bisma.

           “Nggak apa-apa kok,nggak penting juga. Gue cuma nanya soal materi Fisika kemaren. Gue ngehilangin kertas dari Pak Haryo.” Bisma tersenyum getir menahan pilu.

           “Oooh... ntar ngopy punya gue aja kali!” jawab Vana

           “Hati-hati sama Rafael, banyak yang tau kalau dia itu cowok playboy, udah banyak korbannya.”

           “Loe mau aja kemakan gosip! Nggak apa-apa kok! Gue tahu siapa Rafael sebenarnya.”

           “Jangan salahin gue kalau sampai loe disakitin Van, gue udah kasih peringatan sama loe.” tegas Bisma.

           Vana mengernyitkan dahinya. “Eh loe kenapa sih? Aneh banget tau nggak! sikap loe yang kayak gini nih yang paling gue benci! Over protektif!”

          “Gue Cuma ngasih tahu loe yang sebenernya!! Loe mestinya bisa bedain mana yang serius dan mana yang main-main! Dia...”

          “Yang pacaran sama Rafael gue, kenapa yang repot loe? Emang loe siapa?!!”
 
           Eh....

          Dahi Vana berkerut. Matanya memancarkan emosi. Dibenarkannya letak tasnya, lalu ia berjalan pergi. Ditinggalkannya Bisma di belakang sana.

          Emang loe siapa? Benar. Emangnya dia siapa? Bokap bukan, saudara bukan, pacar juga bukan. Bukan haknya mengatur-ngatur dengan siapa Vana harus pacaran. Dia hanya...

          Sahabat....

          Bisma menutup separuh wajahnya dengan belah tangannya. Otaknya memutar ulang bentakan-bentakan yang ia lontarkan pada Vana. Ia hilang kendali. Kabar bahwa Vana telah jadian dengan Rafael sudah mampu membuatnya kacau. Kini ditambah masalah yang ia ciptakan sendiri.


          Mungkin Tuhan memang tidak berkehendak. Dia kalah satu langkah. Jika saja kemarin sore ia ucapkan cinta pada Vana. Atau beberapa hari lalu ketika ia dan Vana masih sering pulang-pergi sekolah bersama. Atau setahun lalu ketika ia dan Vana pertama kali masuk SMA. Dia terlalu pengecut. Hanya bisa memendam perasaan di hati. Sangat pengecut. Lalu orang lain merebut Vana darinya. Pengecut payah!!

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar