Title:Bisma’s Diary (Catatan
Hati Seorang Bisma)
Author : Nadya Dwi
Indah
Editor : @ariek_andini
Cast : Bisma
karisma
Shavana Adinda Putri
Rafael Tan
Ilham Fauzie
Handi Winata
Genre : Sad_Frindship_Romantic
0----------------------
Pagi kembali menjelang, sinar mentari
perlahan muncul menggantikan gelapnya malam. Butir embun masih bergantungan di pucuk-pucuk
daun, Bisma terbangun dari tidurnya begitu mendengar ketukan pintu kamarnya.
“Kamu dari mana saja ,semalam Bunda periksa kamar Kamu, Kamu nggak ada. Kamu keluyuran lagi?” tanya Bunda begitu pintu terbuka lebar.
“Kamu dari mana saja ,semalam Bunda periksa kamar Kamu, Kamu nggak ada. Kamu keluyuran lagi?” tanya Bunda begitu pintu terbuka lebar.
“Ketemu Shavana, Bund...” jawab Bisma lirih. Ia membenarkan letak bantalnya.
Bunda mendekat ke ranjang. Jika Bisma selalu memasang wajah lesu, maka pagi ini adalah wajah paling lesu yang pernah ia lihat. “Kenapa?” tanya Bunda. Dia tahu ada yang lain dari Bisma.
“Vana udah jadi milik Orang lain.”
“Maksud kamu jadi milik orang lain?”
Bisma membenamkan wajahnya ke dalam
bantal. Kenapa bundanya tak berhenti menanyainya?
“Kenapa sayang? apa ada masalah?”
“Kenapa sayang? apa ada masalah?”
“Vana udah jadian sama Rafael, Bund! Dia udah sama cowok lain!! Dan kemaren Vana marah sama Bisma! Dia benci Bisma!!”
Bunda mengelus kepala Bisma pelan. Dia sadar pertanyaannya hanya akan memojokkan Bisma. “Kita ke Jakarta, ya. Rumah sakit di sana lebih lengkap
“Nggak perlu!!”
“Nggak boleh gitu, Bisma! Kamu nggak pengen
sembuh, ha?”
“Paling-paling Cuma ngabisin uang!”
tandas Bisma.Baru kali ini pemuda itu bersikap keras kepala dan cenderung
temprament.
Bunda menarik nafas berat,Ia menatap kedua bola mata Putra satu-satunya itu, ingatannya kembali saat sang dokter menvonisnya menderita penyakit seganas ini, semua terasa bagai mimpi buruk baginya.
“Kamu jangan keras kepala Bis,turuti keinginan Bunda sekali saja.” pinta Bunda memelas. Namun sepertinya kali ini pemintaan itu akan sia-sia saja.
“Kanker otak kalo udah kayak gini nggak ada obatnya, Bund! Paling-paling kemoterapi! Dan itu Cuma memperlambat doank! Ujung-ujungnya juga Bisma akan mati!”
“BISMA!!” bentak Bunda tidak tahan
Bisma mengatupkan bibirnya. nafasnya
kembang kempis. Di depannya, Bunda menatapnya dengan mata membanjir. Pancaran
di bola matanya, tak lebih dari ketidakrelaan melepas anak semata wayangnya.
Apapun agar Bisma sembuh. Apapun! Jika dia harus merangkak di tanah, dia akan
lakukan!
Marahin Bisma. Bentak Bisma. Benci
Bisma. Hingga suatu hari nanti Bisma harus pergi, Bunda nggak akan terlalu
sedih. 29 April 2012.
############
“Bis, serius banget baca apaan sih?” Ilham baru saja tiba. Ia duduk bersandar pada pohon mangga.
“Loe kurusan Bis,apa loe sakit?” tanya Ilham.Matanya masih melototi Bisma dengan seksama.
“Dari dulu juga gue udah kurus, masa kayak elo, kuda nil” celetuk Bisma.
“Elo tuh yang kuda nil!!” Ilham melempar Bisma dengan ranting kayu, “Tapi gue seriusan, Bis. Badan loe kurus banget, kayak pohon singkong! Loe sakit?”
“Gue nggak apa-apa,udah deh jangan bawel.” Bisma menutup buku memasukkan ke dalam tas kemudian bangkit.
“Mau kemana?”tanya Ilham.
“Kantin,mau ikut?”
Keduanya berjalan menuju kantin sekolah, Bisma memesan air putih biasa dan semangkok mie ayam, sementara Ilham memesan es buah dan Bakso favoritnya.Tak lama berselang makanan pesanan Mereka sudah terhidang diatas meja,namun belum sempat memakannya mata Ilham melihat kearah gadis cantik yang sangat akrab dengannya,Vana.
“Bis,itu Shavana kan?”
“Iya gue lihat.”respons Bisma singkat.
Vana masuk ke dalam Kantin sendirian. Dia celingukan mencari meja kosong. Hingga kemudian matanya berhenti pada Ilham yang melambai-lambaikan tangan padanya.
“Seneng banget muka loe? Abis menang undian?”
tegur Ilham.
“Apa, sih.... Oh, ya, loe liat Rafael?”
Eh?
“Loe ngapain nyari Rafael?”
“Tadi gue pinjem handphone dia
bentaran. Ini mau gue balikin.”
“Ngapain loe bawa-bawa HP Rafael?”
“Ya enggak apa-apa kali minjem HP
pacar sendiri...”
“HAH??! PACAR????!!!”
Vana tersentak. Respon Ilham
benar-benar di luar dugaannya.
“Loe mau pacaran sama cowok kayak
dia?”
“Maksud loe apa bilang gitu?!”
“Van! Loe bilang loe suka sama cowok
yang pinter! Kenapa ujung-ujungnya loe jadian sama berandalan kayak dia? Loe
mau dipermainin sama dia?”
Tak ada sahutan. Hanya nafas
mendengus yang terdengar. Wajah Vana berubah kusut. Dibalikkannya tubuhnya lalu
berlari keluar kantin.
Ilham tergagap, “Yah.... marah....”
Shavana tersenyum kecut, matanya memerah air mata terus saja berlinangan membasahi kedua pipinya yang merona. Gadis itu terduduk lesu di atas kursi panjang di halaman belakang sekolah yang sepi, matanya menatap rerumputan hijau yang dipijaknya. Seperti mencari sesuatu yang salah pada dirinya.
Tiba-tiba seorang pemuda bermata
sipit berjalan mendekatinya, mencium lembut dahi dan kedua pipinya yang basah
karena air mata, Ia baru sadar kekasihnya menangis.
“Kamu kok nangis,kenapa?”tanya Rafael lembut.
“Kamu kok nangis,kenapa?”tanya Rafael lembut.
“Nggak apa-apa... boleh aku tanya sesuatu ke kamu?”
“Boleh... Mau tanya apa?”
“Apa benar kamu itu playboy? soalnya teman-temanku ngomong gitu.” Vana menatap nanar wajar kekasihnya, ada rasa takut yang terselubung.
“Kamu percaya?”
“Nggak kok, Aku lebih percaya sama Kamu, jawab dulu benar nggak?”
“Aku bukan playboy, Van! Dulu iya, tapi sekarang udah enggak, semenjak aku kenal kamu, semua berubah begitu saja.” Rafael meraih jemari Shavana yang lentik, menciuminya berulang kali lalu memakaikan sebuah cincin di jari manisnya.
“In..ini buat apa Raf?” tanya Vana keheranan.
“Ini sebagai akhir cinta Kita....”
“HAH?”
Shavana menggenggam jemarinya.
Membuat Rafael tak bisa melanjutkan aksinya memasang cincin di jari manis
Shavana.
“Kalau aja kamu nggak nanya aku
playboy apa enggak, aku nggak akan melakukan ini!” Rafael meluruskan tangan
Vana dan kembali memaksa memasang cincin.
Vana tercekat. Memandang Rafael
dengan alis hampir menyatu. Tak habis pikir. Seperti dipaksa menelan
kemustahilan. Putus pacaran hanya karena salah bertanya?
“Makasih udah mau jadi pacar aku...”
lanjut Rafael. Ia menjauhkan duduknya.
“Raf....”
“Anggap aja kenang-kenangan.” Ujar
Rafael sambil menatap cincin yang melingkar di jemari Vana. Dia menegakkan
badannya. Melempar senyum tipis. Lalu melangkah pergi menuju koridor sekolah.
“RAFAEL!!!!”
Bising sekolah menemani terik matahari. Pucuk daun bergoyang-goyang dibelai angin. Menyisakan berkas cahaya seperti anyaman di wajah Vana. Membuat raut majahnya makin nampak suram. Menatap kepergian Rafael dari tempatnya. Sangat membingungkan.
Putus? Is that it? Putus karena hal
yang ia sendiri tak tahu apa...
*********
“Loe nggak usah minta ke gue, Van. Harusnya loe minta maaf pada hati loe, kenapa bisa memberikannya pada yang salah.” ujar Ilham menatap Vana yang tengah menangis tersedu-sedu di hadapannya.
“Loe nggak usah minta ke gue, Van. Harusnya loe minta maaf pada hati loe, kenapa bisa memberikannya pada yang salah.” ujar Ilham menatap Vana yang tengah menangis tersedu-sedu di hadapannya.
“Gue ngerasa bersalah banget, Ham. Apalagi sama Bisma, dia udah gue bentak-bentak, dia dimana??”
“Nggak tau gue, kata nyokapnya sih dia belum balik dari sekolah, apa jangan-jangan dia pergi ke danau, yah?”
Shavana menghapus air matanya, berusaha menjernihkan pikirannya.
“Kita ke sana!!” ujarnya sambil berdiri menenteng tas.
Danau indah yang menjadi tempat rahasia tiga bersahabat itu nampak lengang, tak ada sosok manusia pun yang berdiri disana, yang terlihat hanyalah liuk-liuk padang ilalang yang menari tertiup angin sore, keduanya beranjak pergi.
“Ham, tunggu!!” Shavana menghentikan langkahnya, kakinya menginjak sebuah buku. Tergeletak di atas rumput begitu saja. Sebuah gores kecil di ujungnya merangkaikan sebuah nama. Bisma?
“Ini punya Bisma, kan??” tegasnya.
Ilham ikut melongok ke arah buku
bersampul biru itu. Ia mengangguk mengiyakan.
“Udah pulang ke rumah kali, ya?”
Vana memasukkan buku itu ke dalam
tasnya. Bergegas ia menyeret Ilham dari danau.
“Kita ke rumah Bisma. Sekarang!!”
>>>>>>>>>>>>>>>>
“Kamu dibilangin bandel banget!! Bunda kan udah bilang kalau kemana-mana bilang! Jangan lupa bawa obat!! Diingetin berkali-kali masih aja bebal!!”omel bunda dihadapan Bisma yang terbaring lemah diatas ranjang.
Tadi pagi memang kondisinya baik-baik saja, tapi saat memasuki jam istirahat, rasa sakit itu kembali muncul bahkan sampai mengeluarkan darah segar dari kedua lubang hidungnya. Bisma terpaksa keluar dari area sekolah menuju danau, tak banyak yang Ia lakukan di sana selain menahan rasa nyeri di kepalanya sampai akhirnya Ia tak sadarkan diri, dan begitu tersadar saat hari menjelang sore.
“Bukuku mana, Bund?”tanya Bisma. Suaranya terdengar parau bahkan nyaris tak terdengar karena terhalang oleh masker oksigen.
“Buku? Kamu pulang tadi Cuma bawa tas!!”
Bisma berdecak. Penyakitnya yang
kumat tak lebih dari angin lalu. Kini seluruh otak Bisma beralih pada buku yang
tadi ia keluarkan saat ia berada di danau. Dia yakin dia belum memasukkannya ke
dalam tas. Lalu dimana?
“Ada temannya Mas Bisma datang,
Bu...”
Tanpa diduga, Bisma tiba-tiba
menyabet selang oksigen yang melintang di pipinya, lalu berlari ke luar kamar.
Teriakan bundanya tak lagi ia dengar.
“Kalian ke sini?” tegur Bisma sambil
berlari menuruni anak tangga.
“Loe kemane aje bro, gue cariin loe ke semua
sudut sekolah, loe nya nggak ada, loe bolos?”sahut Ilham.
“Iya....” Bisma melirik Vana, “Dia
juga ikut?” gumamnya sinis.
“Maafin gue Bis, gue tau gue salah.
please maafin gue.” Shavana. Bisma menatapnya dalam diam.
“Duduk...” kata Bisma kemudian. Dia
mengambil sofa di seberang Ilham.
“Loe pucet,apa loe sakit?” Vana berujar sama seperti Ilham. Bisma kembali diam,seorang juru rawat memasuki rumahnya, tangannya memberi isyarat agar perawat itu lewat pintu belakang.
“Nggak, gue baik-baik aja, lagian pertanyaan loe sama aja kayak si gembul, nggak mutu.”ujar Bisma tenang.
“Loe nggak lagi bohongin gue kan,
Bis?”
“Nggak lah, ngapain gue bohongin loe.” Bisma berusaha tersenyum. Ia menggeser duduknya. Sampai subuh pun kedua temannya akan terus menanyainya tentang dirinya. Buru-buru Bisma mengalihkan pembicaraan. Apapun bisa jadi sasarannya. Terkecuali tentang Rafael.
“Minggu besok kemana?” tanya Bisma.
“Nggak ada jadwal sih gue...” jawab
Ilham. Vana turut mengangguk.
“Ikut gue!”
“Kemana?”
“Udah, ntar loe juga tahu..”
Shavana dan Ilham pamit pulang setelah memakan makanan ringan yang disuguhkan Bisma pada Mereka.
Bisma menenggalamkan wajahnya dibalik bantal, berusaha sebisa mungkin menutup mata namun berakhir dengan kegagalan akhirnya ia memutuskan untuk menatap langit-langit kamarnya. Ia sudah memikirkan tempat indah yang akan Ia tunjukkan pada dua sahabatnya tempat yang pernah Ia kunjungi beberapa waktu lalu sebelum dokter menvonisnya menderita penyakit mematikan.
“Belum tidur sayang?” Bunda muncul dari balik pintu kemudian berjalan perlahan mendekati ranjang Bisma.
“Bunda juga belum tidur.”Bisma bangkit mengubah posisinya duduk bersandar dinding.
“Kamu serius mau pergi sama temen-temenmu, Bis?”
“Cuma bentaran, kok...”ujar Bisma.
“Gimana kalau penyakit Kamu kambuh dan itu terlihat oleh mereka, apa kamu sudah siap?” Bunda menatap kedua bola mata Bisma lekat-lekat.
Bisma diam sejenak. Lagi-lagi itu. Bundanya selalu mengkhawatirkan dirinya terlalu jauh, “Mereka temen-temen aku, ya nggak apa-apa kali. Lagian Bisma bisa jaga diri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar