Title:Bisma’s Diary (Catatan
Hati Seorang Bisma)
Author : Nadya Dwi
Indah
Editor : @ariek_andini
Cast : Bisma
karisma
Shavana Adinda Putri
Rafael Tan
Ilham Fauzie
Handi Winata
Genre : Sad_Frindship_Romantic
_____________
“M-maksud gue, gue nggak nerima dia.
Eh maksudnya, dia nggak ngebolehin gue nerima dia. Gue nggak sempet ngomong.
Bisma bilang nggak usah jawab. Dia Cuma pengen gue tahu perasaan dia, itu aja!”
“Dan loe nurut aja gitu pas dia
ngomong gitu?” selidik Ilham.
“Y-ya, mau gimana lagi~...”
“Loe tuh dari SD nggak
berubah-berubah ya.. dasar!” Ilham melanjutkan langkahnya.
“Ya kan gue bingung juga! Baru kali
ini juga gue tahu. Nembak, tapi nggak boleh jawab. Bisma tuh yang aneh!”
Ilham lagi-lagi menghentikan
langkahnya. Ia nampak berpikir keras. otaknya memutar mundur ke jam-jam yang
telah berlalu. Termasuk jam dimana dia dan Bisma pergi ke lereng gunung. Di
bawah air terjun. Iya di sana, saat Bisma mengelak tentang sakitnya.
Dia yang sangat mencintai Vana,
kenapa menolak jawaban saat menembak Vana? Bisa saja Vana menerimanya. Apa
Bisma nggak pengen itu?
“Kenapa sih, Ham?!!” tanya Vana
heran.
“Menurut loe, kenapa Bisma nggak
pengen denger jawaban dari loe?”
“Karena...., ya mungkin dia ada
urusan penting, makanya dia bilang ke gue nggk usah jawab karena dia hampir
telat, gitu?”
Ilham menepuk jidatnya, “Biasanya
cewek paling peka soal ginian, gue baru tahu ada cewek kayak loe.”
“Loe apa-apaan sih!!” Vana meninju
bahu Ilham jengkel. Tiba-tiba handphonenya berdering. Vana merogoh isi tasnya.
Bundanya Bisma?
Vana memandang Ilham sebentar. Tanda
tanya besar membayang di kedua bola matanya. Lalu diangkatnya telponnya.
“Nak Vana? Lagi dimana?”
“I-ini, Tante. Lagi di Mall sama
Ilham.”
“Oh, syukur deh kalo ada Ilham juga.
Ke rumah sekarang bisa?”
“Sekarang, Tante?”
“Iya, sekarang. Tidak bisa, ya?”
“Bisa kok! Bisa!”
Setelah mengucap pamit, Vana menutup telponnya. Dahinya berkerut.
“Bundanya Bisma nyuruh kita ke rumah
Bisma sekarang.” Ucap Vana pada Ilham.
Ilham mendesah. Otaknya makin
berkecamuk. Benarkah?
“Ya udah, kita ke parkiran sekarang.”
Jawab Ilham tegas. Dia berjalan mendahului Vana.
Vana berlari kecil mengejar Ilham.
Tiba-tiba saja langkah kaki Ilham melebar. Seperti terburu-buru.
“Ada apa, sih, Ham?!!”
“Nanti aja. Yang penting kita ke
mobil sekarang!”
“Enggak!!” Vana menarik tangan Ilham.
Seketika langkah Ilham terhenti. Di depannya, Vana menatapnya tajam.
“Bilang ke gue, ada apa?”
Tak ada jawaban. Ilham malah
mendesah.
“Ham!!!”
“Bisma sakit.”
Sakit? Lalu? Ada apa dengan dua kata
itu? kenapa raut yang muncul di wajah Ilham begitu sedih?
“Sakit?”
“Kanker otak.”
“Eh?”
Jantung Vana berdesir. Kata yang
keluar dari mulut Ilham tak lebih dari dua kata. Tapi itu sudah cukup
membuatnya mematung di tengah mall.
Ilham menggenggam tangan Vana. Tanpa
banyak bicara, ditariknya Vana keluar dari mall. Dia tahu, butuh waktu
berjam-jam agar Vana mengerti fakta sebenarnya tentang Bisma.
Termasuk, mengapa Bisma
menyembunyikan sakitnya dari Vana.
Sampai di rumah Bisma, Om Hans, ayah
kandung Bisma, nampak duduk di depan TV. Bisma duduk di sampingnya dengan stik
game. Bisma berteriak-teriak kesenangan. Sebuah tiang infus bergoyang-goyang
karena hentakan tangannya.
“Yess!!! Menang lagi!!!” pekik Bisma.
Ilham dan Vana mematung di depan
pintu. Om Hans? Sudah sepuluh tahun sejak dia bercerai dengan bundanya Bisma.
Selama sepuluh tahun itu hanya sekali dia datang menengok Bisma. Dan sekarang,
dia di sini? Bermain game dengan Bisma?
“Nak Vana? Ilham? Sudah datang? Lho
silakan duduk! Silakan!” Bunda muncul dari balik satir ruang tengah. Di
tangannya, senampan sate ayam terhidang.
“Kalian? Kok nggak bilang-bilang
kalau mau ke sini?” kata Bisma kaget. Dia meletakkan stik dari tangannya, lalu
menghampiri Vana dan Ilham.
“Tadi habis nyari buku. Cuman mau
mampir aja, sih...” jawab Ilham santai.
Bisma berjalan lincah, sementara di
belakannya, Om Hans, mendorong tiang infus mengikuti Bisma.
“Loe tahu? Gue udah maju ke level
expert!! Masternya udah gue habisin!” Bisma menceritakan game yang baru
dimainkannya penuh semangat. Di sampingnya, Om Hans tersenyum melirik.
Bisma kembali melanjutkan ceritanya. Entah
sudah berapa bulan dia tidak bercerita dengan nada bicara penuh kegembiraan
seperti itu. Di balik itu semua, Ilham hanya bisa memandang penuh ironi. Bisma
adalah pemain game yang payah. Dia sering kalah. Tak ada satupun game yang bisa
dia tuntaskan. Bisma bisa saja memenangi lomba puisi tingkat nasional, tapi
tidak dengan game. Kemenangannya kali ini, tak lebih dari kesediaan Om Hans
untuk mengalah.
Mengalah agar Bisma senang. Seperti
itu.
“Loe mau tanding lawan gue juga?!”
tantang Bisma.
“Kok ngegame terus? Katanya mau main
ke danau...” sahut Bunda sembari keluar dari dapur. Menyuguhkan dua gelas teh
dingin untuk Ilham dan Vana.
“Iya, kebetulan. Tadi rencananya mau
ngajak ayah. Yaudah sama loe aja.” Jawab Bisma.
“Ayo ganti baju dulu. Bunda bantuin...”
ajak Bunda sambil menggandeng Bisma dari sofa. Bisma menurut. Keduanya menaiki
anak tangga perlahan.
Seperti anak balita baru masuk
sekolah. Entahlah, Bisma terlihat dua kali lipat lebih bahagia. Bicaranya
ceria. Benar lingkar mata di wajahnya makin menghitam. Benar badannya makin
kurus. Tapi itu semua terkubur oleh bahagia di wajahnya.
“Nanti, pegangin Bisma yang bener ya,
jangan dilepasin. Bahaya kalo tiba-tiba jatuh.” Kata Om Hans kemudian.
Tangannya menarik ujung taplak meja yang tersingkap.
“Iya, Om...”
“Omongin apapun yang bikin Bisma
seneng.” Lanjut Om Hans.
Ilham dan Vana meliriknya sepintas.
Canggung. Sudah bertahun-tahun sejak Om Hans bercerai dari bundanya Bisma.
Mereka tidak pernah bicara sebelumnya.
“Kita harus buat saat-saat terakhir
Bisma bahagia.”
“Saat-saat terakhir?” Vana menyela.
“Dokter bilang, udah nggak ada
harapan. Belum ada obat yang bisa nyembuhin kanker stadium akhir seperti ini.”
“Eh?”
“Tadi malam pas Om ditelpon, Om
langsung berangkat dari Batam ke Jakarta.” Om Hans menyandarkan tubuhnya ke sofa,
“Padahal Bisma itu masih SMA. Om kira dia bakalan sempat kuliah dan menikah.”
Tiba-tiba sebuah suara keramik pecah
terdengar dari kamar Bisma. Menyusul kemudian teriakan Bunda menggema.
Buru-buru Om Hans berlari menuju kamar Bisma. Ilham dan Vana mengikutinya dari
belakang.
Begitu pintu kamar dibuka, Bisma
telah terduduk bersandar pada tepi ranjang. Di sampingnya, serpihan vas bunga
berserakan. Bercampur dengan kuntum bunga Aster dan bercak darah merah. Bunda
sibuk melap bibir Bisma yang berlumuran darah.
“Kayaknya nggak bisa ke danau hari
ini!!!” ucap Bunda sambil menatap Om Hans.
“Enggak, Bund! Pokok hari ini ke
danau!!” sahut Bisma. Dia berusaha keras menegakkan badan.
“Tapi keadaan kamu kayak gini,
Bisma!”
“Pokoknya hari ini!!”
Om Hans dan Bunda terdiam. Tak berani
membantah Bisma. Terlebih Vana dan Ilham.
“Aku ambil kursi roda bentar! Ilham,
bukain bagasi kamu sekarang!”
Ilham pergi mengikuti Om Hans.
Keadaan yang semula tenang berubah panik. Seluruh orang tertuju pada Bisma.
Apalagi Vana. Sedari tadi, dia hanya sempat bengong. Bercak darah di lantai
benar-benar merasuk ke dalam matanya. Kaget, takut. Lalu selebihnya dia hanya
bisa menangis.
Bunda berlari keluar dengan kantong
berisi pecahan vas bunga. Dia berhenti di hadapan Vana, “Vana, jangan nangis.
Jangan sampai Bisma tahu kamu nangis!”
Vana tersadar. Tangannya menyeka air
matanya sekenanya.
Segitunya kah? Tiap orang harus
berpura-pura bahagia di hadapan Bisma? Begitu?
Sore itu, tepat jam tiga sore, Ilham, Bisma dan Vana berngkat ke
danau. Tak jauh. Berjarak 50 meter dari sekolah. Di belakang mereka, Om Hans
dan Bunda mengikuti dengan mobil yang lain.
Seperti biasa, suasana sepi menyambut
begitu mereka sampai di danau. Dengan didorong Ilham, Bisma menepi ke danau
sambil duduk di kursi roda. Tanpa diduga tiba-tiba saja dia beranjak berdiri.
Tangannya meraih pundak Vana. Seperti akan berpegangan. Lalu tiba-tiba ia
memeluk Vana erat.
“Gue sayang loe, gue nggak mau loe sedih melihat gue yang sekarat, makanya gue berusaha sehat, loe lihat gue baik-baik aja kan.”
“Gue suka sama loe Bis,iya gue juga mencintai loe. Nggak peduli mau loe hidup singkat atau lama, yang jelas gue udah jatuh cinta sama loe.” Tanpa menunggu penolakan Bisma, Vana memeluknya erat. Menggenggam erat tangaannya yang dingin.
Bisma berusaha sebisa mungkin membalas pelukan Shavana,namun sia-sia saja, tubuhnya melemah perlahan. Nafasnya tak beraturan, detak jantungnya berdetak demikian cepat.
“Bis..lo nggak apa-apa kan..” Vana melepaskan rengkuhannya, menatap wajah Bisma yang semakin memucat.
“Eh!! Loe jangan ber..” tak berselang lama, Bisma akhirnya ambruk tepat ditengkuknya. Namun pemuda itu masih bisa tersenyum menatapnya.
“I Love You My Friend’s.”gumamnya sesaat setelah akhirnya menutup matanya untuk selama-lamanya.
“Bis,Bisma loe jangan bercanda dong..Bismaaa” teriakan Shavana membuat bunda Casma dan Om Hans berlari menghampiri.
Usai pemakaman,Vana berdiri egak diatas batu diepan sebuah danau,matanya menatap birunya langit,air matanya seakan tak henti menetes.Sebuah tangan mendekapnya memberikannya sebuah Buku.
“Jangan nangis lagi,biarkan Bisma tenang, nih ada titipan buat loe darinya.” Ilham tersnyum.
“Apa ini?”
“Baca sendiri.”
Shavana membuka halaman pertama diary
milik Bisma membacanya perlahan.
Sahabat?? tadinya Aku sama sekali tak memiliki seorang sahabat pun, sebelum ketemukan Ilham dan Shavana. Aku bertemu Ilham saat masih duduk dibangku SMP.Dan saat duduk dibangku kelas 2 sma, gue ketemu lagi sama Ilham dan sahabatnya cewek jutek, Vana.Yang sebelumnya pernah ketemu gue di halte bus.
Jangan ditanya tanggal berapa ku menulisnya ,aku lupa.
Shavana tersenyum membaca isi halaman pertama, beralih kehalamn kedua Ia tak tertarik membacanya, Ia membaca halaman terakhir Harian tersebut.
“Ham aneh, ini malah ada judulnya.” Shavana mengeja judul pada harian terakhir milik Bisma.
“Baca saja.,” sambung Ilham.
Diary terakhirku,,
Aku tak meminta banyak hal, Aku hanya ingin tiga hal.
1.Memelihara dua ekor Kura-kura, dan taruh di danau yang sudah kubeli.
2.Menemani setiap hembusan nafas Va
3. Membahagiakan Va,dan menikahinya.
Aku ingin Kau rasakan, aku ingin Kau peka,Va itu Kau Shavana, aku mencintai tapi tak ingin Kau membalasnya, biarkan ku simpan Kau dalam hatiku sampai Ku mati, Aku rela, Aku bahagia.
Terimakasih sudah membaca Diary KU,jangn dibuang,simpan selalu buku kecil ini Ok!!Buka halaman tengah Kau akan tertawa lepas.
“Ham, kita disuruh..”
Sahabat?? tadinya Aku sama sekali tak memiliki seorang sahabat pun, sebelum ketemukan Ilham dan Shavana. Aku bertemu Ilham saat masih duduk dibangku SMP.Dan saat duduk dibangku kelas 2 sma, gue ketemu lagi sama Ilham dan sahabatnya cewek jutek, Vana.Yang sebelumnya pernah ketemu gue di halte bus.
Jangan ditanya tanggal berapa ku menulisnya ,aku lupa.
Shavana tersenyum membaca isi halaman pertama, beralih kehalamn kedua Ia tak tertarik membacanya, Ia membaca halaman terakhir Harian tersebut.
“Ham aneh, ini malah ada judulnya.” Shavana mengeja judul pada harian terakhir milik Bisma.
“Baca saja.,” sambung Ilham.
Diary terakhirku,,
Aku tak meminta banyak hal, Aku hanya ingin tiga hal.
1.Memelihara dua ekor Kura-kura, dan taruh di danau yang sudah kubeli.
2.Menemani setiap hembusan nafas Va
3. Membahagiakan Va,dan menikahinya.
Aku ingin Kau rasakan, aku ingin Kau peka,Va itu Kau Shavana, aku mencintai tapi tak ingin Kau membalasnya, biarkan ku simpan Kau dalam hatiku sampai Ku mati, Aku rela, Aku bahagia.
Terimakasih sudah membaca Diary KU,jangn dibuang,simpan selalu buku kecil ini Ok!!Buka halaman tengah Kau akan tertawa lepas.
“Ham, kita disuruh..”
“Udah buka saja, jangan bawel.”
Shavana membuka halman tengah, di sana terdapat beberapa lembar foto Mereka bertiga yang tengah bahagia.
“Aku bagahia,dan sedih karena mu.”gumam Shavana tersenyum miris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar