30 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) Bisma's Diary / Part 5 - END

Cerbung Bisma


Title:Bisma’s Diary (Catatan  Hati  Seorang Bisma)



Author : Nadya Dwi Indah



Editor : @ariek_andini



Cast   : Bisma  karisma

             Shavana  Adinda  Putri

             Rafael  Tan

             Ilham  Fauzie

             Handi  Winata 

Genre : Sad_Frindship_Romantic


_____________



          “M-maksud gue, gue nggak nerima dia. Eh maksudnya, dia nggak ngebolehin gue nerima dia. Gue nggak sempet ngomong. Bisma bilang nggak usah jawab. Dia Cuma pengen gue tahu perasaan dia, itu aja!”

          “Dan loe nurut aja gitu pas dia ngomong gitu?” selidik Ilham.

          “Y-ya, mau gimana lagi~...”

          “Loe tuh dari SD nggak berubah-berubah ya.. dasar!” Ilham melanjutkan langkahnya.

          “Ya kan gue bingung juga! Baru kali ini juga gue tahu. Nembak, tapi nggak boleh jawab. Bisma tuh yang aneh!”

          Ilham lagi-lagi menghentikan langkahnya. Ia nampak berpikir keras. otaknya memutar mundur ke jam-jam yang telah berlalu. Termasuk jam dimana dia dan Bisma pergi ke lereng gunung. Di bawah air terjun. Iya di sana, saat Bisma mengelak tentang sakitnya.

          Dia yang sangat mencintai Vana, kenapa menolak jawaban saat menembak Vana? Bisa saja Vana menerimanya. Apa Bisma nggak pengen itu?

          “Kenapa sih, Ham?!!” tanya Vana heran.

          “Menurut loe, kenapa Bisma nggak pengen denger jawaban dari loe?”

          “Karena...., ya mungkin dia ada urusan penting, makanya dia bilang ke gue nggk usah jawab karena dia hampir telat, gitu?”

          Ilham menepuk jidatnya, “Biasanya cewek paling peka soal ginian, gue baru tahu ada cewek kayak loe.”

          “Loe apa-apaan sih!!” Vana meninju bahu Ilham jengkel. Tiba-tiba handphonenya berdering. Vana merogoh isi tasnya.

          Bundanya Bisma?

          Vana memandang Ilham sebentar. Tanda tanya besar membayang di kedua bola matanya. Lalu diangkatnya telponnya.

          “Nak Vana? Lagi dimana?”

          “I-ini, Tante. Lagi di Mall sama Ilham.”

          “Oh, syukur deh kalo ada Ilham juga. Ke rumah sekarang bisa?”

          “Sekarang, Tante?”

          “Iya, sekarang. Tidak bisa, ya?”

          “Bisa kok! Bisa!”

          Setelah mengucap pamit, Vana menutup telponnya. Dahinya berkerut.

          “Bundanya Bisma nyuruh kita ke rumah Bisma sekarang.” Ucap Vana pada Ilham.

          Ilham mendesah. Otaknya makin berkecamuk. Benarkah?

          “Ya udah, kita ke parkiran sekarang.” Jawab Ilham tegas. Dia berjalan mendahului Vana.

          Vana berlari kecil mengejar Ilham. Tiba-tiba saja langkah kaki Ilham melebar. Seperti terburu-buru.

          “Ada apa, sih, Ham?!!”

          “Nanti aja. Yang penting kita ke mobil sekarang!”

          “Enggak!!” Vana menarik tangan Ilham. Seketika langkah Ilham terhenti. Di depannya, Vana menatapnya tajam.

          “Bilang ke gue, ada apa?”

          Tak ada jawaban. Ilham malah mendesah.

          “Ham!!!”

          “Bisma sakit.”

          Sakit? Lalu? Ada apa dengan dua kata itu? kenapa raut yang muncul di wajah Ilham begitu sedih?

          “Sakit?”

          “Kanker otak.”

          “Eh?”

          Jantung Vana berdesir. Kata yang keluar dari mulut Ilham tak lebih dari dua kata. Tapi itu sudah cukup membuatnya mematung di tengah mall.

          Ilham menggenggam tangan Vana. Tanpa banyak bicara, ditariknya Vana keluar dari mall. Dia tahu, butuh waktu berjam-jam agar Vana mengerti fakta sebenarnya tentang Bisma.

          Termasuk, mengapa Bisma menyembunyikan sakitnya dari Vana.

          Sampai di rumah Bisma, Om Hans, ayah kandung Bisma, nampak duduk di depan TV. Bisma duduk di sampingnya dengan stik game. Bisma berteriak-teriak kesenangan. Sebuah tiang infus bergoyang-goyang karena hentakan tangannya.

          “Yess!!! Menang lagi!!!” pekik Bisma.

          Ilham dan Vana mematung di depan pintu. Om Hans? Sudah sepuluh tahun sejak dia bercerai dengan bundanya Bisma. Selama sepuluh tahun itu hanya sekali dia datang menengok Bisma. Dan sekarang, dia di sini? Bermain game dengan Bisma?

          “Nak Vana? Ilham? Sudah datang? Lho silakan duduk! Silakan!” Bunda muncul dari balik satir ruang tengah. Di tangannya, senampan sate ayam terhidang.

          “Kalian? Kok nggak bilang-bilang kalau mau ke sini?” kata Bisma kaget. Dia meletakkan stik dari tangannya, lalu menghampiri Vana dan Ilham.

          “Tadi habis nyari buku. Cuman mau mampir aja, sih...” jawab Ilham santai.

          Bisma berjalan lincah, sementara di belakannya, Om Hans, mendorong tiang infus mengikuti Bisma.


          “Loe tahu? Gue udah maju ke level expert!! Masternya udah gue habisin!” Bisma menceritakan game yang baru dimainkannya penuh semangat. Di sampingnya, Om Hans tersenyum melirik.

          Bisma kembali melanjutkan ceritanya. Entah sudah berapa bulan dia tidak bercerita dengan nada bicara penuh kegembiraan seperti itu. Di balik itu semua, Ilham hanya bisa memandang penuh ironi. Bisma adalah pemain game yang payah. Dia sering kalah. Tak ada satupun game yang bisa dia tuntaskan. Bisma bisa saja memenangi lomba puisi tingkat nasional, tapi tidak dengan game. Kemenangannya kali ini, tak lebih dari kesediaan Om Hans untuk mengalah.

          Mengalah agar Bisma senang. Seperti itu.

          “Loe mau tanding lawan gue juga?!” tantang Bisma.

          “Kok ngegame terus? Katanya mau main ke danau...” sahut Bunda sembari keluar dari dapur. Menyuguhkan dua gelas teh dingin untuk Ilham dan Vana.

          “Iya, kebetulan. Tadi rencananya mau ngajak ayah. Yaudah sama loe aja.” Jawab Bisma.

          “Ayo ganti baju dulu. Bunda bantuin...” ajak Bunda sambil menggandeng Bisma dari sofa. Bisma menurut. Keduanya menaiki anak tangga perlahan.

          Seperti anak balita baru masuk sekolah. Entahlah, Bisma terlihat dua kali lipat lebih bahagia. Bicaranya ceria. Benar lingkar mata di wajahnya makin menghitam. Benar badannya makin kurus. Tapi itu semua terkubur oleh bahagia di wajahnya.

          “Nanti, pegangin Bisma yang bener ya, jangan dilepasin. Bahaya kalo tiba-tiba jatuh.” Kata Om Hans kemudian. Tangannya menarik ujung taplak meja yang tersingkap.

          “Iya, Om...”

          “Omongin apapun yang bikin Bisma seneng.” Lanjut Om Hans.

          Ilham dan Vana meliriknya sepintas. Canggung. Sudah bertahun-tahun sejak Om Hans bercerai dari bundanya Bisma. Mereka tidak pernah bicara sebelumnya.

          “Kita harus buat saat-saat terakhir Bisma bahagia.”

          “Saat-saat terakhir?” Vana menyela.

          “Dokter bilang, udah nggak ada harapan. Belum ada obat yang bisa nyembuhin kanker stadium akhir seperti ini.”

          “Eh?”

          “Tadi malam pas Om ditelpon, Om langsung berangkat dari Batam ke Jakarta.” Om Hans menyandarkan tubuhnya ke sofa, “Padahal Bisma itu masih SMA. Om kira dia bakalan sempat kuliah dan menikah.”

          Tiba-tiba sebuah suara keramik pecah terdengar dari kamar Bisma. Menyusul kemudian teriakan Bunda menggema. Buru-buru Om Hans berlari menuju kamar Bisma. Ilham dan Vana mengikutinya dari belakang.

          Begitu pintu kamar dibuka, Bisma telah terduduk bersandar pada tepi ranjang. Di sampingnya, serpihan vas bunga berserakan. Bercampur dengan kuntum bunga Aster dan bercak darah merah. Bunda sibuk melap bibir Bisma yang berlumuran darah.

          “Kayaknya nggak bisa ke danau hari ini!!!” ucap Bunda sambil menatap Om Hans.

          “Enggak, Bund! Pokok hari ini ke danau!!” sahut Bisma. Dia berusaha keras menegakkan badan.

          “Tapi keadaan kamu kayak gini, Bisma!”

          “Pokoknya hari ini!!”

          Om Hans dan Bunda terdiam. Tak berani membantah Bisma. Terlebih Vana dan Ilham.

          “Aku ambil kursi roda bentar! Ilham, bukain bagasi kamu sekarang!”

          Ilham pergi mengikuti Om Hans. Keadaan yang semula tenang berubah panik. Seluruh orang tertuju pada Bisma. Apalagi Vana. Sedari tadi, dia hanya sempat bengong. Bercak darah di lantai benar-benar merasuk ke dalam matanya. Kaget, takut. Lalu selebihnya dia hanya bisa menangis.

          Bunda berlari keluar dengan kantong berisi pecahan vas bunga. Dia berhenti di hadapan Vana, “Vana, jangan nangis. Jangan sampai Bisma tahu kamu nangis!”

          Vana tersadar. Tangannya menyeka air matanya sekenanya.

          Segitunya kah? Tiap orang harus berpura-pura bahagia di hadapan Bisma? Begitu?

          Sore itu, tepat jam  tiga sore, Ilham, Bisma dan Vana berngkat ke danau. Tak jauh. Berjarak 50 meter dari sekolah. Di belakang mereka, Om Hans dan Bunda mengikuti dengan mobil yang lain.
         
          Seperti biasa, suasana sepi menyambut begitu mereka sampai di danau. Dengan didorong Ilham, Bisma menepi ke danau sambil duduk di kursi roda. Tanpa diduga tiba-tiba saja dia beranjak berdiri. Tangannya meraih pundak Vana. Seperti akan berpegangan. Lalu tiba-tiba ia memeluk Vana erat.

           “Gue sayang loe, gue nggak mau loe sedih melihat gue yang sekarat, makanya gue berusaha sehat, loe lihat gue baik-baik aja kan.”

           “Gue suka sama loe Bis,iya gue juga mencintai loe. Nggak peduli mau loe hidup singkat atau lama, yang jelas gue udah jatuh cinta sama loe.” Tanpa menunggu penolakan Bisma, Vana memeluknya erat. Menggenggam erat tangaannya yang dingin.

          Bisma berusaha sebisa mungkin membalas pelukan Shavana,namun sia-sia saja, tubuhnya melemah perlahan. Nafasnya tak beraturan, detak jantungnya berdetak demikian cepat.

           “Bis..lo nggak apa-apa kan..” Vana melepaskan rengkuhannya, menatap wajah Bisma yang semakin memucat.

           “Eh!! Loe jangan ber..” tak berselang lama, Bisma akhirnya ambruk tepat ditengkuknya. Namun pemuda itu masih bisa tersenyum menatapnya.

           “I Love You My Friend’s.”gumamnya sesaat setelah akhirnya menutup matanya untuk selama-lamanya.

           “Bis,Bisma loe jangan bercanda dong..Bismaaa” teriakan Shavana membuat  bunda Casma dan Om Hans berlari menghampiri.


          Usai pemakaman,Vana berdiri egak diatas batu diepan sebuah danau,matanya menatap birunya langit,air matanya seakan tak henti menetes.Sebuah tangan mendekapnya memberikannya sebuah Buku.

           “Jangan nangis lagi,biarkan Bisma tenang, nih ada titipan buat loe darinya.” Ilham tersnyum.

           “Apa ini?”

           “Baca sendiri.”

          Shavana membuka halaman pertama diary milik Bisma membacanya perlahan.

          Sahabat?? tadinya Aku sama sekali tak memiliki seorang sahabat pun, sebelum ketemukan Ilham dan Shavana. Aku bertemu Ilham saat masih duduk dibangku SMP.Dan saat duduk dibangku kelas 2 sma, gue ketemu lagi sama Ilham dan sahabatnya cewek jutek, Vana.Yang sebelumnya pernah ketemu gue di halte bus.

          Jangan ditanya tanggal berapa ku menulisnya ,aku lupa.

          Shavana tersenyum membaca isi halaman pertama, beralih kehalamn kedua Ia tak tertarik membacanya, Ia membaca halaman terakhir Harian tersebut.
           “Ham aneh, ini malah ada judulnya.” Shavana mengeja judul pada harian terakhir milik Bisma.

           “Baca saja.,” sambung Ilham.

Diary terakhirku,,

Aku tak meminta banyak hal, Aku hanya ingin tiga hal.
1.Memelihara dua ekor Kura-kura, dan taruh di danau yang sudah kubeli.
2.Menemani setiap hembusan nafas Va
3. Membahagiakan Va,dan menikahinya.
Aku ingin Kau rasakan, aku ingin Kau peka,Va itu Kau Shavana, aku mencintai tapi tak ingin Kau membalasnya, biarkan ku simpan Kau dalam hatiku sampai Ku mati, Aku rela, Aku bahagia.

Terimakasih sudah membaca Diary KU,jangn dibuang,simpan selalu buku kecil ini Ok!!Buka halaman tengah Kau akan tertawa lepas.

           “Ham, kita disuruh..”

           “Udah buka saja, jangan bawel.”

          Shavana membuka halman tengah, di sana terdapat beberapa lembar foto Mereka bertiga yang tengah bahagia.

           “Aku bagahia,dan sedih karena mu.”gumam Shavana tersenyum miris.

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar