2 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 28

cerbung smash 2014 SM*SH cewek rockstar vs cowok boyband
Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.


------------------------------------------------

        Hendy tersenyum, “Gue tahu konsernya bakal sukses. Andrew pernah mempromotori konser artis-artis ternama Asia. Makanya kali ini gue ikut masang dana. Gue penasaran kerjasama dengan dia.”

        “Ehm, gitu. Kalau gitu gue bisa minta tolong sama loe?” tanya Andin.

        “Apa?”

        “Tolong hilangin segmen gue duet berdua dengan Rangga SMASH di konser itu.”

        “Eh?”

        “Loe teman dekatnya Andrew Coven, ‘kan? Loe juga masang dana di konser ini. Pasti nggak sulit buat loe untuk mengubah sedikit point konser ini. Loe bisa, kan?”

        Hendy memicingkan matanya. Menelisik dalam-dalam wajah Andin yang datar tanpa ekspresi. Dia sibuk menerka-nerka. Andin memintanya hal yang benar-benar di luar dugaannya. Tak sulit memang. Memenuhi permintaan Andin semudah membalikkan telapak tangan bayi yang sedang tidur. Tapi mengapa?      

        Maka Hendy mengangguk. Pasti dan lugas. Dia mengiringinya dengan senyum lebar.

        **********

        Jarum jam mencapai angka dua belas, berhimpit dengan jarum menit. Sementara jarum detik masih memutar di angka dangkal. Semua orang menghitung mundur. Meneriakkan angka tiap kali jarum detik bergerak. Tepat dihitungan satu, mereka bersorak. Dentum kembang api menyambut. Suaranya yang memekakkan telinga semakin mendongkrak semangat. Warna-warni kembang api memenuhi langit. Seperti tumpahan cat.

        “Selamat tahuuun baruuu!!!” teriak Ola. Dia merangkul Rangga. Matanya berkerling. Takjub melihat kembang api yang meletus di langit.

        Semua kepala mendongak. Tak berhenti menatap kembang api yang bergiliran meletus meski leher sudah terasa pegal. Sekitar tiga puluh menit pesta kembang api itu berlangsung. Begitu usai, semua orang melanjutkannya dengan pesta barbeque.

        Ola baru meminta kembali ke kamar saat jam menunjukkan jam dua dinihari. Rangga mengangguk. Pesta malam suntuk itu masih berlanjut. Digandengnya Ola menuju kamar. Sepanjang jalan, Ola tak berhenti berkesan tentang kembang api yang baru dilihatnya.

        Usai melepas Ola di kamarnya, Rangga pergi ke kamarnya. Lima kawannya yang lain telah lelap. Tak satupun dari Rafael, Bisma, Reza, Ilham dan Dicky yang menonton pesta kembang api. Om Panchunk selalu menekankan mereka tidur jika ada waktu luang. Jadwal besok akan penuh. Setelah fitting baju, jumpa pers akan digelar.

        Pagi merayap pada benderang. Gulita langit subuh berubah keunguan. Perlahan sinar matahari muncul. Serasa baru sejam lalu Rangga terlelap. Tapi aktivitas hari ketiga di Pontianak sudah membangunkannya. Ck, lima menit lagi, batinnya.


        Keinginan Rangga untuk kembali tidur urung. Suasana di dalam kamarnya benar-benar bising. Reza dan Dicky berteriak-teriak, suara pintu lemari ditutup kencang-kencang, dan derap langkah yang terdengar terburu-buru. Rangga mengerjapkan matanya. Dia lalu duduk dari tidurnya.

        “Ada apa, sih?” sergah Rangga.

        “Ola masuk rumah sakit!!” teriak Bisma dari pintu.

        HAH?

        Seketika mata Rangga terbuka lebar. Jantungnya berdegub kencang. Buru-buru dia berdiri dan melompat ke lantai. Saat ia hendak berlari ke kamar Ola, Ilham mencegahnya.

        “Barusan udah dimasukin ambulans.” Jawabnya.

        Rangga menganga. Jiwanya yang masih setengah sadar berusaha keras mencerna keadaan. Pintu kamar Ola masih terbuka. Terlihat seseorang keluar dengan tergesa-gesa dari sana.

        Ada apa? Bukankah baru sejam lalu dia berteriak senang karena melihat pesta kembang api? Kenapa tiba-tiba?

        Setengah jam kemudian Rangga baru bisa menyusul ke rumah sakit. Bersama Rafael ia berangkat ke rumah sakit mengendarai taksi. Begitu ia sampai di sana, Ola telah dipindahkan ke kamar perawatan. Reza dan Kak Yeni, kru SMASH, duduk di sebelahnya.

        Begitu Rangga sampai di depan pintu, Reza menatapnya tajam. Tiba-tiba saja dia bangkit dari duduknya. Dipegangnya kerah baju Rangga lalu ditinjunya muka Rangga berkali-kali.

        Rafael dan Kak Yeni terkejut. Keduanya lalu melerai Reza dan Rangga. Tapi Reza seperti kesetanan. Dia terus-terusan memukul Rangga hingga Rangga terdesak ke luar kamar.

        “Eja, STOP!!!” Rafael mendorong tubuh Reza ke belakang.

        Cengkeraman tangan Reza terlepas.. Seketika Rangga terjatuh membentur dinding lorong rumah sakit.

        “Sinting, loe!!! Anjing!!” bentak Reza.

        Nafas Rangga terengah-engah. Matanya nanar menatap Reza yang marah besar. Kak Yeni meraih tangannya dan membantunya berdiri.

        “Loe pengen Ola mati?! Loe pengen itu?!!!” bentak Reza lagi.

        Rangga bungkam. Harus bicara apa dia pun tak tahu. Setiap bentakan yang keluar dari bibir Reza hanya membuatnya terbegong-begong. Ada apa dengan Ola, dia tidak tahu!!

        “Tadi malam sampai jam berapa loe nonton kembang api bareng Ola?” tiba-tiba Kak Yeni bersuara.

        Rangga terdiam. Pertanyaan itu tak membuatnya tertarik untuk menjawab, dia malah tersentak kaget.

        “Jawab!” sahut Reza.

        “Gue.... itu.. sekitar jam dua...” jawab Rangga.

        Reza maju selangkah, “Sampai jam dua? Jam dua pagi?!! Loe nggak punya otak?!!”

        “Sampai kapan loe mau ngebodoh-bodohin gue?!! Ola mengajak gue nonton kembang api sampai jam segitu, terus apa?!!” kali ini Rangga balas membentak.

        “Bangsat!!”

        “Udah, Ja! Udah!!” Rafael menyeret tubuh Reza ke belakang. Keadaan akan menjadi tak terkendali jika dia tidak buru-buru membawa Reza pergi dari sana. Dituntunnya Reza pergi.

        Rangga menyaksikan kepergian Reza dengan nafas tersengal-sengal. Ingin menangis, tapi ia sendiri tak tahu apa yang harus ditangisi. Dia tidak mengerti apapun sejak terbangun dari tidur tadi pagi.

        “Ola pingsan di kamarnya. Gue nemuin dia roboh di tengah kamar. Mulutnya banyak ngeluarin darah.” Ujar Kak Yeni tiba-tiba.

        Rangga menoleh. Wajahnya penuh tanda tanya.

        “Bener tadi malam loe ngajak Ola nonton kembang api sampai jam dua pagi?” sekali lagi Kak Yeni bertanya. Berusaha memastikan

        “Iya....” jawab Rangga gamang.

        “Dokter bilang tekanan darah Ola naik drastis. Seharusnya dia nggak boleh bergadang. Tubuhnya kelelahan. Akhirnya hipertensi dia kumat, jantungnya nggak kuat. Selain jantung, paru-parunya juga kena.”

        Rangga menahan nafas. Matanya lekat-lekat memandangi Kak Yeni.

        “Untung kita nggak terlambat bawa dia ke rumah sakit. Telat sejam saja, gue nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi.”

        Hening. Sekian menit tak ada yang bersuara.

        “Ola udah sadar, masuklah...” ujar Kak Yeni. Saat Rangga hendak melangkah ke dalam, tangannya mencegatnya, “Kayaknya Ola tahu loe tadi berkelahi dengan Reza. Jaga ucapan, ya. Jangan bikin dia ikut emosi.” Lanjutnya.

        Jaga ucapan? Lalu apa? Rangga merasa bodoh. Dari berhari-hari lalu dia terus saja menjadi orang bodoh. Tak mengerti apapun. Dan saat keadaan menjadi kacau, dialah yang dihakimi.

        Selang oksigen melintang di pipi Ola. Wajahnya yang putih semakin terlihat pucat bak mayat. Tapi matanya berkerling. Menatap kedatangan Rangga dengan senyum janggal.

        Rangga masuk ke dalam kamar selangkah demi selangkah. Sangat pelan. Seolah dia menghitung tiap ubin yang dia lewati. Otaknya berpikir keras, apa yang harus dia ucapkan pertama kali pada gadis yang terbaring di hadapannya itu?

        “Kamu nggak apa-apa?” begitu kalimat pertama yang terlontar dari bibir Ola. Membuat Rangga terhenyak. Bukankah seharusnya ia yang bertanya begitu?

        “Sakit, ya?” Ola mengangkat tangannya. Dielusnya pipi Rangga pelan. Rona biru menyembul di sana.

        Rangga mengerjapkan matanya, “Enggak! Nggak apa-apa.” Rangga berdalih. Dilepasnya tangan Ola dari pipinya.

        Sejenak suasana sunyi.

        “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu nggak boleh bergadang?” tanya Rangga.

        “Aku ingin nonton kembang api...”

        Jawaban polos Ola mampu membungkam Rangga. Kini Rangga terdiam lagi. Ribuan kata teronggok di kerongkongannya. Lalu mengembun di di kelopak matanya.

        “Maaf....”

        “Ssssssttt.....” Ola berdesis memotong kalimat Rangga.

        “Enggak! Kali ini dengerin aku!” ucap Rangga tidak tahan, “Kamu nyadar nggak, sih? Dalam dua minggu aja udah tiga kali aku bikin kamu dalam bahaya. Berkali-kali dokter dan Reza nyeramahin aku, tapi tetep aja nggak bisa ngertiin kondisi kamu. Aku nggak ngerti apa yang nggak boleh kamu makan, apa yang nggak boleh kamu lakuin.”

        “Rangga....”

        Rangga meraih tangan Ola, “Kita ini maksa, La. Maksa. Sejak awal, hubungan kita nggak bisa dilanjutin, tapi kita maksa. Selama kamu sama aku, kamu terus-terusan dalam bahaya...”

        “Aku nggak peduli aku sakit, asal aku ada di samping kamu...”

        “Enggak!! Jika salah satu pihak selalu tersakiti, itu bukan cinta, La!” Rangga mendesah, “Ini bukan cinta.”

        “Cuma Reza.... Cuma dia yang  ngerti kamu. Dia tahu segala hal tentang kamu. Makanan apa yang nggak boleh kamu makan, hal apa yang nggak boleh kamu lakuin, dia ngerti itu semua. Bahkan hal sekecil apapun.”

        Embun bening mengalir dari bola mata Ola. Kedua matanya masih lekat memandang wajah Rangga.

        “Bukan aku...” pungkas Rangga. Menekankan tiap kalimat perpisahan yang dia ucapkan, “Bukan aku...”

        “Aku tahu cepat atau lambat kamu akan mengatakan ini...” ujar Ola tiba-tiba.

        Rangga terhenyak.

        “Sejak kecelakaan di Bali waktu itu, kamu berubah. Aku tahu kamu emang balik sama aku. Tapi aku nggak bisa mendapatkan hati kamu.” Ola melepas genggaman tangan Rangga, dia menarik nafas, “Raga kamu emang sama aku, tapi hati kamu ada di cewek itu. Kamu keseringan melamun, Rangga. Kamu lain. Aku bisa ngerasain itu.”

        Rangga menegakkan tubuhnya. Wajahnya memandang Ola tak percaya.

        “Yang ada di hati kamu Cuma cewek itu, iya ‘kan?” ucap Ola, “Pergilah... kejar dia...”

        “Ola, kamu....”

        “Aku penasaran, sebenarnya apa yang sudah terjadi antara kamu sama Andin?”

        Rangga tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ola, “Butuh waktu dua hari dua malam untuk nyeritain semuanya...”

        Ola menggeser tidurnya. Ia tertawa kecil mendengar candaan Rangga. Dia lalu mengangguk. Pembicaraan ini sudah bisa diakhiri. Apapun yang sudah terjadi di masa lalu. Berakhir.

        “Suatu hari nanti, kamu harus cerita sama aku.” Ucap Ola.

        Rangga mengangguk. Dia bersiap meninggalkan kamar rawat Ola. Tapi sejenak ia teringat sesuatu, ia menghentikan langkahnya, “Aku mau tanya, apa kemarin pagi kamu yang naruh kotak nasi goreng di tasku?”

        “Enggak....” Ola menggeleng.

        Rangga berdesir.

        Benar! Bukan Ola! Rangga langsung meluncur pergi dari kamar Ola. Wajahnya tegang. Langkah kakinya tergesa-gesa. Benaknya mengerucut pada satu orang, Andin! Juga kejadian di tenda ketika Andin tiba-tiba mengambil tripot dan berbohong. Semua kejadian itu menghantuinya.

        Rangga sampai di hotel tiga puluh menit kemudian. Puluhan wartawan telah berkerumun. Jumpa pers akan digelar dalam beberapa menit. Begitu turun dari taksi, Om Panchunk langsung menariknya ke meja. Seluruh personil SMASH dan D’Uneven telah duduk di tempatnya. Andrew Coven, sang promotor acara, duduk di tengah dengan asistennya.

        Rangga melirik Andin yang duduk di ujung. Tak merespon. Andin menatap lurus ke depan. Ke jajaran wartawan yang sibuk menempatkan lensa kamera.

        Salah seorang kru mencolek Rangga. Memintanya untuk berpindah duduk di tengah.

        “Tolong bersampingan dengan Andin.” Katanya. Saat Rangga hendak beranjak, telinganya sontak mendengar kalimat yang seketika mengurungkan langkahnya. Andin, di ujung sebelah sana, mati-matian menolak duduk bersampingan dengan Rangga.

        “Udah! Wawancara ya wawancara aja. Kagak usah deket-deketan. Gue duduk di sini!” tolak Andin.

        Rangga berdesis. Bingung. Beberapa wartawan menatapnya aneh. Tak terkecuali dengan Tuan Coven. Bos berkulit putih itu menatapnya kaget. Seperti khawatir. Rangga dan Andin adalah center konser ini. Ada apa?

        Interview dimulai dengan penjelasan seputar konser dari Andrew Coven. Disambung Kevin, sang konseptor konser. Setengah jam berlalu, sesi tanya jawab dimulai. Beberapa wartawan mengajukan pertanyaan. Dan seperti yang diduga, Andin dan Rangga mendapat serangan pertama.

        Berkali-kali Rangga melirik Andin. Ada yang berbeda. Jauh berbeda ketika dia masih latihan kemarin. Ada seribu keacuhan di wajah Andin. Ditanya soal duetnya dengan Rangga, Andin diam, hingga kemudian Kevin yang menjawab. Ditanya soal kesiapannya untuk konser, Andin hanya mengangguk. Dan ketika ditanya soal hubungannya dengan Rangga, ........

        “Sudah seminggu lalu kami putus.”

        HAH?

        “Bukankah Anda baru jadian dua minggu lalu?”       

         “Kenapa? Apakah karena ada orang ketiga?”

        “Bagaimana itu terjadi? Apakah Anda dulu yang memutuskan?”

        Andin menghela nafas, “Kami nggak cocok...”

        Jemari Rangga gemetaran. Keringat dingin menyembul di dahinya. Risau. Tergagap dia menyambut terjangan wartawan yang beralih menanyainya. Lidahnya membeku. Tak satupun kata keluar dari bibirnya. Sekali lagi matanya melirik Andin. Masih tak ada perubahan. Andin malah melengos. Membuang mukanya darinya.

        Jumpa pers siang itu berakhir gamang. Menyisakan banyak pertanyaan yang masih mengambang. Media ribut. Lima kalimat dari Andin mampu mengubah atmosfer pemberitaan di televisi, majalah, portal online, dan jejaring sosial.

        Andin berlari meninggalkan lokasi jumpa pers ke dalam hotel. Dia berjalan cepat dengan wajah tegas. Tak tahu arah mana yang ia tuju. Mungkin kamarnya. Atau mungkin mobil. Karena fitting baju akan dilakukan setelah ini. Yang mana saja, yang penting dia punya ruang untuk menangis. Tapi tiba-tiba seseorang menarik tangannya dari belakang. Andin tersentak.

        “Kita harus bicara!!” sergah Rangga.

        Andin menghempaskan tangan Rangga, “Ok, silakan!”

        “Nggak di sini!!”

        “Di sini! Di sana! Nggak ada bedanya! Ngomong ya ngomong aja!!” bentak Andin.

        “Ikut gue!!”

        “Enggak!!” sekali lagi Andin menghempaskan tangannya dari genggaman Rangga.

        “Andin!!” Rangga meninggikan suaranya.

        “Nggak usah ngatur-ngatur gue!! Loe siapa, ha?!!”

        “Ngapain loe tadi bilang kita putus di depan wartawan?!”

        Andin tersenyum masam. Hampir saja dia tertawa terbahak-bahak, “Loh? Emang iya kan?! Kita udah putus dari dua minggu lalu!! Loe lupa? Lagian, emangnya kita pernah pacaran??”

        Eh?

------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 29

1 komentar:

  1. perang lagi deh -_-. Lanjut terus kak pantang mundur :-D

    BalasHapus