7 Agustus 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 31 - END

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini (adm4)

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Thanks buat kalian yang ampe sekarang masih mengikuti kegesrekan Rangga-Andin. I heart you!!

---------------------------------


        Suara teriakan membahana. Tiga ribu orang tumpah ruah di depan panggung. Cahaya panggung berkilat menyilaukan mata. Tapi tak urung meredupkan keramaian. Suasana konser semakin riuh meski konser belum dimulai.

        Sepanjang mata memandang, hanya pekakas musik yang nampak. Satu-dua kru masih lalu lalang. Menyiapkan persiapan akhir.

        “Sepuluh menit lagi kita ON! Begitu band pembuka selesai, SMASH siap-siap!” arah seorang kru.

        Rafael, Bisma, Reza, Ilham dan Dicky mengangguk. Di belakang mereka, Rangga duduk memainkan dasi yang melingkar di lehernya. Ia menyelempangkannya begitu saja. Tak berminat memasang dasi dengan benar meski perform akan dimulai sebentar lagi

        Rangga melirik ke salah satu sisi tenda. Andin duduk di ujung sana dengan kostum panggungnya yang berwarna merah menyala. Eyeliner hitam tebal menghias matanya. Rangga mendesah. Ditutupnya separuh wajahnya dengan belah tangannya. Gundah.

        “Rangga! Ayo!” panggil Bisma.

        Rangga menegakkan badannya. Ia berdiri. Tapi tiba-tiba badannya terhuyung. Kakinya tak sanggup menopang. Rangga oleng ke samping. Ia jatuh menghantam meja dan terguling bersama perkakas make-up.

        Seluruh orang di dalam tenda itu terkejut. Buru-buru mereka menghampiri Rangga. Dengan sigap Bisma meraih Rangga yang masih tergolek.

        “Loe nggak apa-apa?!!” teriak Bisma.

        Rangga menepis tangan Bisma yang hendak membantunya, “Gue nggak apa-apa!” tolaknya. Isi meja menggelinding tak tentu arah.

        Sekali lagi Rangga berdiri. Seluruh pasang mata melihatinya. Bingung. Perhelatan besar akan digelar dalam hitungan menit, ada apa dengan Rangga? Wajahnya yang putih semakin nampak pucat. Keringat dingin menyembul di dahinya. Dia tak banyak bicara. Selalu murung.

        “Loe yakin nggak apa-apa?” tanya Rafael. Segmen pertama, SMASH akan menampilkan tiga lagu sekaligus. Mampukah Rangga?

        “Gue nggak apa-apa!” ulang Rangga.

        Salah satu kru mendekat. Ia menelisik Rangga sekilas. Sejurus kemudian ia menatap kertas di tangannya, “Segmen kita tukar saja. Silakan D’Uneven yang tampil pertama. Baru nanti SMASH.”

        Rafael dan Bisma menuntun Rangga mundur ke salah satu kursi. Rangga duduk lemas. Andin yang telah bersiap dengan gitar electrict di tangannya, melirik Rangga diam-diam. Di saat yang bersamaan, Rangga juga menatapnya. Sejenak keduanya saling pandang. Hening. Tapi lagi-lagi Andin membuang wajahnya ke arah lain.

        “Loe sakit?” tanya Ilham.


        Rangga menggeleng. Saat Dicky menyodorinya sebotol air mineral, Rangga langsung meneguknya setengah. Tak ada yang sakit. Dia bahkan nggak paham apa yang sedang terjadi dengannya. Jika nafasnya terasa berat, dia tak tahu. Jika hatinya terasa perih, dia tak paham. Dan ketika Andin memalingkan muka darinya tadi, Rangga semakin merasa buruk.

        Andin masih seperti kemarin. Masih dingin dan cuek. Sepertinya benar-benar tidak bisa diubah. Hatinya sudah terlanjur ditutup. Lalu harus bagaimana sekarang?

        Begitu D’Uneven menginjakkan kaki ke atas panggung, teriakan penonton langsung menyambut. Dentum lagu rock mengguncang panggung. D’Uneven tampil energik seperti biasa. Suara Andin timbul tenggelam di tengah alunan gitar dan jerit penonton.

        Sementara di belakang panggung, Rafael menggigit bibirnya khawatir. Sesekali ia melihat Rangga yang masih duduk lemas. Begitu D’Uneven selesai, SMASH harus on the stage. Haruskah tampil tanpa Rangga? Tapi mana mungkin? Blocking dan latihan selama beberapa hari kemarin sudah matang. Kenapa bisa Rangga roboh di saat genting begini?

        Tiba-tiba Rangga beranjak dari duduknya. Dia membenarkan jas di tubuhnya.

        “Loe istirahat aja!” kata Bisma.

        “Gue nggak apa-apa!!” tolak Rangga. Tak ada orang yang bisa membantahnya. Seluruh orang yang di sana menatapnya heran. Terlihat payah. Rangga berusaha menutupi kekacauan di dalam dirinya. Entah karena apa.

        Begitu D’Uneven selesai, SMASH langsung menyambut ke atas panggung. kali ini dentum rock metal berganti dengan lagu pop-dance. Teriakan penonton semakin membahana. Tak ada yang ganjil. Rangga yang sedari tadi terlihat kacau, sekarang terlihat semangat seperti biasa. Dia menari mengikuti formasi. Menyapa fans dan menyanyi. Memaksa untuk profesional.

        “Loe benar-benar nggak ngasih dia kesempatan, ya?” celetuk Erwin. Diliriknya Andin yang duduk di sampingnya. Wajahnya keras.

        “Nggak usah mulai...” tukas Andin. Dia lalu memalingkan wajahnya ke samping, membelakangi ketiga kawannya. Jantungnya berdegub kencang. Sepintar-pintar dia bersikap acuh, tapi otaknya selalu dipenuhi bayang-bayang Rangga. Wajah Rangga saat jatuh menimpa meja tadi berkelebat. Dia nampak kepayahan. Mengapa? Bukankah Ola bilang Rangga seharian tadi tidak keluar dari kamarnya?

        “Rangga nggak pernah nangis di depan gue.” Sekali lagi kata-kata Ola terngiang. Sepanjang jalan tadi sore gadis itu nampak pendiam. Tapi dia selalu tersenyum. Seperti tahanan yang baru terlepas dari penjara. Senyumnya begitu damai. Empat tahun mereka pacaran, mana mungkin Rangga nggak pernah nangis di depannya! Sementara dia? Saat bukan siapa-siapa, Rangga sesenggukan di dalam rengkuhannya.

        Andin menghentakkan kakinya. Gusar. Dia selalu gagal! Dia ingin setidaknya dalam semenit saja tidak memikirkan Rangga, tapi selalu gagal.

        Ketika segmen dimana SMASH dan D’Uneven tampil sepanggung, Andin semakin gusar. Dia bukan artis yang ulung. Aktingnya buruk. Sebisa dirinya menahan diri untuk tidak melirik Rangga, tapi ia kalah. Maka Andin mengambil tempat sejauh mungkin. Dia menempatkan dirinya di ujung panggung. Menciptakan jarak yang lebar antara ia dan Rangga.

        “Udah! Habis ini loe nggak usah tampil!!” bentak Rafael begitu segmen keenam usai. Rangga duduk bersandar di sebuah kursi. Nafasnya ngos-ngosan. Bulir keringat memenuhi dahinya. Dua segmen lagi, konser ini akan selesai. Rangga sudah berjuang dari awal. Kondisinya makin nggak terkendali.

        “Gue nggak apa-apa!!”

        Andin menatap Ranga nyinyir. Bocah keras kepala itu terus saja meracau. Orang buta saja tahu kalau dia sudah sekarat. Tapi Rangga nggak mau tahu.

        “Segmen tujuh! D’Uneven silakan siap-siap ke panggung!” teriak seorang kru.

        Rangga terhenyak. Seketika dia beranjak dari duduknya. Matanya nanar menatap personil D’Uneven yang berjalan masuk ke panggung. Rangga lalu ganti menatap kru di sampingnya.

        “Kok mereka? Bukannya ini segmen duet?” sergah Rangga.

        Kru itu menoleh, “Segmennya diubah. Segmen duet dihilangkan, belum tahu?”

        Eh?

        Lagu rock kembali berdentum. D’Uneven beraksi di depan sana. Suaranya yang memekakkan telinga semakin membuat Rangga lunglai. Sekali lagi Rangga menghempaskan tubuhnya ke kursi. Dihilangkan? Mengapa? Bukankah katanya segmen itu yang akan menjadi point of concert? Bukankah untuk itulah Zeptaria mengontrak mereka ke dalam konser ini?

        Atau mungkin, Andin yang menginginkan segmen itu hilang...?

        Dengan tangan gemetar, Rangga merogoh kantung bajunya. Kilau keperakan menyembul dari dalam sana. Dia selalu tidak memiliki kesempatan bicara dengan Andin. Bahkan di hari terakhir mereka bersama di Pontianak. Sebentar lagi segmen terakhir tiba. Begitu konser ini usai, semua personil akan langsung check out dan kembali ke Jakarta.

        Shit! Haruskah berakhir seperti ini? Apakah emang benar-benar selesai? Kenapa begitu sulit untuk sekedar bicara dengan Andin?

        “Dengar, loe duduk di sini! Nggak usah ikut tampil!!” kata Rafael mengingatkan.

        “Enggak! Gue harus tampil!!” tukas Rangga. Dia mencoba berdiri.

        “Keadaan loe udah ngekhawatirin!! Habis ini ada hujan buatan di atas panggung!! Loe mau tambah parah?! Muka loe udah pucet, ngerti nggak?!! Loe nggak usah ngerasa bersalah sama smashblast, ntar biar gue yang jelasin di twitter!” Rafael mendorong tubuh Rangga duduk di kursi.

        Rangga terdiam. Kali ini Rafael tidak main-main. Suaranya meninggi. Maka ketika segmen terakhir tiba, Rangga hanya bisa memangku tangan melihat kelima kawannya naik ke panggung. Ia mendesah. Jantungnya berdesir beriringan dengan tempo musik.

        Rangga duduk terpekur. Tangannya memainkan seuntai gelang. Pendar keperakannya berkilau. Andin bilang, gelang itulah yang akan menjadi tiketnya untuk bicara. Tapi Rangga sudah tak tertarik. Jika mau, bisa saja dia membuang gelang itu. Cinta bukan paksaan. Di mata Andin, dia bukan lagi siapa-siapa. Dia terlanjur menyakiti hatinya. Dia bodoh.

        “Kkhhhh....” Rangga meremas sebelah kepalanya. Wajahnya menyeringai kesakitan. Nyeri.

        Aransemen lagu yang menggabungkan lagu rock milik D’Uneven dan lagu pop-dance milik SMASH mengalun di panggung. Pembawaannya yang pop-country membuat suasana terasa ringan dan riang. Histeria penonton tak terbendung. Jeritan fans makin keras. Semua personil beraksi di atas panggung. Andin tampil energik. Sesekali ia menggoyangkan tubuhnya seiring dengan dance SMASH. Asik juga, batinnya. Dia sedikit hapal tarian lagu ini. Dulu Rangga pernah mengajarinya.

        Damn it! Damn it! Lagi-lagi benaknya melayang pada Rangga.

        Asap buatan mulai bermunculan. Lantai panggung seperti diselimuti kapas. SMASH dan D’Uneven saling sahut menyahut syair lagu. Jeritan penonton perlahan reda. Mereka tercengang mendengar aransemen dua genre lagu yang disatukan. Sangat mengesankan. Sesekali Erwin maju ke depan dan menunjukkan kepiawaiannya memainkan melodi gitar. Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Andin dari belakang. Andin menoleh dengan mic di bibirnya. Tapi seketika suaranya tersendat. Dia tersentak kaget.

        RANGGA??!!

        Andin tak meneruskan syairnya. Semua personil SMASH diam, Erwin menghentikan aksi jarinya memetik gitar. Hanya Ardhy dan Ipunk yang memainkan drum dan bass di belakang. Suaranya janggal.

         Semua pasang mata tertuju pada Rangga. Bingung. Dia tiba-tiba saja muncul di tengah panggung. Semua pengisi panggung mengenakan setelan putih. Hanya Rangga yang nampak mencolok dengan jasnya yang berwarna oranye menyala.

        “Because of you, my life has changed, thank you for the love and joy you bring...... Because of you, I feel no shame, I'll tell the world it's because of you.” Rangga mulai menyanyikan sebuah syair.

        Rafael, Bisma, Ilham, Dicky dan Reza mangap. Erwin melihati Rangga bingung. Nyanyian Rangga terdengar tabrakan dengan permainan drum dan bass dari Ardhy dan Ipunk. Hingga akhirnya kedua orang itu menghentikan aksinya. Absurd! Benar-benar absurd!

        “Itu lagu apaan?!” bisik Ardhy. Sementara Rangga masih saja menyanyi sambil menghadap Andin.

        “Kagak ngerti. Kayak lagu tembang kenangan. Lagu kesukaan emak gue tuh!” balas Ipunk.

        Rangga menyelesaikan liriknya. Dan suasana panggung masih sunyi senyap. Tak ada alat musik satupun berbunyi. Orkestra pengiring pun bingung harus bersikap apa. Ini nggak ada di dalam briefing!!

        Hening.

        Rangga lalu meraih tangan Andin. Sebelah tangannya melintangkan gelang rantai ke pergelangan tangan Andin. Matanya tajam. Tak ada keraguan sedikitpun. Dan dia makin terlihat bodoh gara-gara keanehan yang dia lakukan di tengah konser.

        “I’m sorry.... I love you...” suara Rangga menggaung.

        Andin tergagap. Matanya memandang gelang rantai yang menguntai di pergelangan tangannya. Iya, gelang yang ia jatuhkan ke kolam kemarin malam di hotel. Rangga mendapatkannya? Cowok bodoh itu benar-benar mengambilnya?

        “Near, far, wherever you areI believe that the heart does go on..... Once more you open the door...... And you're here in my heart.......And my heart will go on and on  ” Andin melantunkan sebuah lagu.

        Semua orang yang ada di sana cengo, kenapa tiba-tiba jadi soundtrack-nya Titanic? Ini Konser apa??!

        Tes... Tes.. Tess... satu-satu air mengucur dari atas. Hujan telah disetting otomatis menetes di menit terakhir konser. Tak peduli keadaannya rancu seperti itu. Asap buatan beradu dengan air keunguan yang menetes dari atas. Seperti hujan sihir yang diselimuti kabut di negeri dongeng. Andin masih meneruskan lagunya. Satu per satu pemain orkestra mengiringi suara Andin dengan denting piano. Pemain biola menyambut. Lalu tanpa diperintah, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham ikut melafalkan lirik “My Heart Will Go On” dari Celine Dion itu.

        Rangga mendekap tubuh Andin erat. Jika setelah ini Andin menamparnya, dia tidak peduli. Jika setelah ini Andrew Coven mendendanya karena telah merusak konser, dia akan bayar berapapun. Dia hanya ingin kesempatan. Kesempatan untuk untuk bersama terakhir kalinya.

        Suasana pop-country di panggung berubah romantis melankolis. Dan tak ada yang menduga,  seluruh penonton malah bersorak. Mereka bertepuk tangan histeris. Seluruh personil hanya bisa tertawa janggal, lalu mengucap terima kasih kencang-kencang. Nyatanya, beginilah konser besar ini berakhir.

        Kian lama, Andin merasakan pelukan Rangga kian berat. Nafas Rangga menderu di telinganya. Hujan buatan masih mengguyur. Musik orkestra masih mengalun. Dan entah lirik lagu apa lagi yang kali ini dinyanyikan Rafael, Bisma, Reza, Ilham dan Dicky. Andin menggoyang-goyangkan tubuh Rangga. Tak ada respon. Dicobanya untuk menegakkan tubuh Rangga. Dan seketika Rangga melorot ke lantai. Ia tergolek. Matanya terpejam erat.

        “Ranggaaaaaa!!!!”

        ******************

        Derap langkah bersahutan dari kejauhan. Sekejap sunyi, sekejap kemudian gaduh. Sesaat terasa bising. Mengganggu. Rangga mengerjap-ngerjapkan matanya. Silau. Lampu kamar membuatnya terpejam lagi.

        Kedua kalinya Rangga membuka mata. Tabung infus menggantung di atasnya. Nggak  meleset. Seperti yang ia duga, ia berakhir di rumah sakit.

        Rangga bangkit dari tidurnya. Bajunya telah berganti dengan seragam pasien. Sepi. Tak ada seorangpun menungguinya. Hell, yah... semua orang pasti sudah pulang. Seperti biasa, paling-paling Om Panchunk yang nungguin dia di sini.

        Rangga menapakkan kakinya ke lantai. Dingin. Terasa menyengat di kulitnya. Rangga memegang kenop pintu. Dibukanya pintu kamar rumah sakit itu lunglai.

        “Aaaaaaaaghr!!!” Rangga memekik. Dia melompat ke dalam kamar, “ANDIN??!!!”

        Andin berdiri di depan pintu dengan muka kaget.

        “LOE DI SINI??!!” pekik Rangga.

        “Loe mau kemana, ha??!” bentak Andin.

        “A-anu... gue... loe...”

        “Loe baru sadar udah pecicilan!! Tidur sana! Naik ke kasur!!”

        “Hah~....”

        “Buruaaannnnn!!!”

        Rangga beringsut.

        “Sukanya bikin orang jantungan!! Udah dibilang kagak usah masuk ke panggung, masih aja ngeyel!” omel Andin sambil menutup pintu kamar.

        Rangga bengong. Matanya beralih mengawasi pergelangan tangan Andin. Gelang itu....

        “Gue bilang naik ke kasur!! Budek loe, ha? Kampret!!”

        Kampret? Andin manggil dia kampret?

        Brukkk!!!

        Rangga memeluk Andin erat. Sangat erat. Tak mau lagi kehilangan dia untuk kedua kalinya. Dia rindu dibentak-bentak Andin. Sangat rindu.

        Andin balas memeluk Rangga. Matanya terpejam. Hatinya menggumam, jujur pada perasaan sendiri lebih baik daripada terus mengingkarinya. Sudah cukup Rangga bertingkah bodoh karenanya.

        “Loe nggak benci sama gue?” desah Rangga.

        “Kalau sekali lagi loe nyebur ke kolam tengah malam Cuma demi nurutin permintaan gue yang nggak masuk akal, gue akan benar-benar benci loe!”

        Rangga tersenyum simpul. Dia melepas pelukannya, “Loe nggak pulang?”

        “Nggak ada yang pulang. Loe pingsan di tengah konser yang ditayangin live di tiga negara. Semua orang bingung sama loe. Loe liat aja di bawah. Kayak lautan wartawan.” Andin ngedumel.

        “Terus, gue didenda nggak sama Andrew Coven?”

        Andin cengo, “Apaan? Yang ada dia malah makin populer. Dimana-mana nampang. Sok jelasin keadaan loe ke wartawan.”

        “Kok gue tiba-tiba kepengen es krim, ya...” Rangga melirik Andin.

        “Loe baru sembuh. Kagak usah kebanyakan tingkah!”

        “Tapi dari pagi tadi gue belum makan apa-apa! Gue penge yang cokelat!!”

        “Loe mau masuk angin lagi, ha?!!”

        “Mana ada masuk angin cuman karena es krim!! Belinya jangan yang dingin!”

        “Mana ada es krim nggak dingin, bego!!” Andin memegang pelipisnya. “Ok! Ok! Gue akan beliin loe!” Andin meraih handphonenya. Diteleponnya Erwin untuk membelikannya es krim.

        “Ingat! Satu aja! Jangan lebih!!” kata Andin memperingatkan. Di sebelahnya, Rangga tertawa penuh kemenangan.

        Sepuluh menit berlalu, Erwin masuk ke dalam kamar Rangga dengan sebuah es krim. Di belakangnya, Rafael, Bisma, Om Panchunk, Ardhy dan Ipunk mengikuti.

        “Loe udah bangun?” tegur Rafael.

        Rangga mengangguk kecil. Tangannya mengupas bungkus es krim penuh nafsu.

        “Sebentar lagi ada dua wartawan ke sini. Mereka Cuma pengen ngambil foto kamu.” Ucap Om Panchunk.

        Rangga mengangguk kecil. Seluruh perhatiannya tertuju ke batang es krim di tangannya. Om Panchunk lalu menyuruh Erwin, Ardhy, Ipunk, Rafael dan Bisma untuk menunggu di luar ruangan. Mungkin hanya lima menit saja wartawan itu mengambil gambar.

        Seperti yang diduga, dua orang wartawan masuk tak lama setelahnya. Mereka bertegur sapa dengan Om Panchunk. Rangga tergagap. Es krimnya baru habis setengah. Dia gelagapan, mau dikemanakan es krim chocho chips itu. Buru-buru Rangga menyelubunginya dengan plastiknya, lalu memasukkannya ke dalam tas.

        Dua wartawan itu tak banyak bertanya. Benar kata Andin, Andrew Coven dan dokter yang dia suruh-suruh rupanya sudah membuat wartawan kenyang informasi. Di dalam kamar, mereka Cuma jeprat-jepret, salaman, lalu pamit.

        “Kamu bisa ngelanjutin tidur...” ucap Om Panchunk sepeninggal wartawan. Erwin, Ardhy, Ipunk, Rafael, Bisma dan Andin yang semula menunggu di luar kamar, masuk ke dalam kamar.

        “Iya, bener! Loe tidur aja lagi! Besok penerbangan ke Jakarta bakal bikin cape.” Kata Andin sambil meraih tasnya. Diambilnya handphonenya dari dalam sana. Tapi kemudian dia tertegun. Memandangi tas berbahan kulit itu dengan mata tanpa ekspresi.

        “Ini apaan?” gumamnya. Tangannya menyumpit ujung plastik berlumuran cairan kentak berwarna cokelat. Beberapa masih menggumpal.

        Rangga menganga.

        “Ini es krim loe kan?!!!” bentak Andin. Lelehan es krim memenuhi barang-barangnya.

        “BUKAN!!” sanggah Rangga.

        “Bukan mata loe soak?!! Loe pikir gue nggak tahu es krim apa yang tadi Erwin beliin buat loe?!! Loe ngebuang es krim ke dalam tas gue??!! Loe mabok ha?!!!” bentak Andin sejadinya.

        “Gue nggak tahu kalo itu tas loe!!! Gue kira itu kantong!! Lagian mana mungkin gue difoto wartawan lagi makan es krim!!” Rangga tak mau kalah.

        “Loe anggap tas gue sampah??!! Loe minta dibunuh?!!” Andin meraih bantal di kasur lalu memukulkannya ke kepala Rangga.

        “Loe mau ngebunuh pacar loe sendiri??!”

        “Kagak peduli!! Mati, mati aja loe!! Kampret!!”

        “Loe ngatain gue kampret??!! Loe tuh kutu kupret!!”

        “Loe kloningan lele!!”

        “Badak bercula satu!!”

        “Orang utan!!”

        “Buaya rawa!!”

        “Badut Ancol!!”

        Bisma dan Rafael bengong. Memandangi Andin dan Rangga tanpa berkedip.

        “Udah jangan kaget. Mereka kalo pacaran emang begitu...” bisik Erwin ke telinga Bisma dan Rafael. Ipunk dan Ardhy mengiyakan.

-----------------T A M A T-------------------

Akhirnya cerbung ini tamat di part 31... -___-" . Thanks buat yang ngikutin dari awal sampe akhir... Duo ribut Rangga-Andin, nggak tahu kenapa, gue kok ikutan ngefans sama dua tokoh itu... -__- (padahal cerbung gue sendiri). 

Sekuel kedua min? ntar, nunggu gue dapat wangsit dari eyang subur.. mmmuach..........


4 komentar:

  1. Kak! Sekuelnya itu wajib, kudu, musti, harus dibuat! Jangan nunggu eyang subur ngasih wangsit, Kak! Please....... (Alifa Yunia Rizky)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ntar di sekuelnya, Rangga ketemu lagi sama pak sugimin , terus selingkuh sama anaknya pak sugimin.... -__-

      Hapus
    2. Anaknya Pak Sugimin cewek apa cowok, Kak? (Alifa Yunia Rizky)

      Hapus
    3. hahaha! belum tahu... nggak pernah dibahas di cerbung keles...

      Hapus