30 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 11


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo

----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"

---------------------------------------------------------------------

        Tak seorangpun tahu apa yang ada di pikiran Eriska saat itu. Entah ia mendengar wejangan dari Ustad Rangga, atau bagaimana. Yang jelas, apa yang ditakutkan Rangga saat itu tidak terjadi. Eriska tetap anteng di pesantren dan tidak kabur kemana-mana. Hanya satu hal yang berubah.

        Eriska mulai menarik diri dari Rangga.

        Eriska yang biasanya tersipu malu jika kebetulan bertatap mata dengan Rangga, kini lebih memilih membuang mata ke arah lain. Eriska yang rela memilih memutar jalan demi berpapasan dengan Rangga, kini lebih memilih melengos ke arah lain jika Rangga mendekat.

        Untuk : ukhti Eriska
        Dulu sempat ikut audisinya, tapi ngga lolos. Biar deh! Tidak masalah nyantri di sini. Bisa dekat dengan cewek cantik kayak kamu lebih nyenengin. Besok-besok ke belakang sekolah lagi ya. Aku punya sesuatu buat ukhti cantik. Balas ya..
        Dicky


        Santri itu, Dicky Prasetyo, diakah?

        Yang mengalihkan pandangan malu-malu Eriska darinya. Diakah?

        Tiba-tiba Dicky muncul dari tikungan lorong. Ia berjalan menuju halaman asrama putra dengan langkah tergesa-gesa. Matanya jeli menatap permukaan tanah. Seolah ada sesuatu yang sangat penting yang sedang ia cari.

        “Ehm, Ustad. Lihat kertas terjatuh di sini ngga?” tanya Dicky gamblang.


        Rangga menatap Dicky sejenak.

        “Tidak, Ustad tidak melihat.”

        Dicky mendengus. Ia lalu berjalan menuju kamarnya.  Hendak menulis surat yang sama.

        Rangga mengepalkan tangannya. Ia beristighfar,

        # # # # # # # # # # # # # #

        Satu lagi yang memenuhi relung otak Rangga. Sudah cukup pusing ia dengan tingkah Eriska yang berubah tiba-tiba. Kini si santri baru berwajah lugu ikut menambah sesak pikirannya.


        Rangga menatap sehelai surat yang ia simpan di tengah kitabnya. Saban waktu ia mengamati barisan kalimat di sana. Berpikir keras sebelum mengambil keputusan.

        “Kamu melihat ada yang aneh tidak dengan Eriska? Mungkin dia pernah cerita sedang dekat dengan seseorang begitu?” tanya Rangga. Kali ini secara pribadi ia memanggil Dina ke teras mushalah untuk menanyakan perihal Eriska.

        Dina nampak berpikir sejenak, “Tidak, Ustad. Dekat dengan seseorang bagaimana maksudnya?” kata Dina balik bertanya.

        “Ehm, tidak apa-apa. Ya sudah, Ustad minta tolong bantu awasi Eriska ya. Sekarang kamu boleh kembali ke asrama.” Jawab Rangga.

        Dina berbalik badan lalu melangkah pelan meninggalkan Rangga

        Dina pun tidak tahu tentang kedekatan Eriska dengan Dicky. Lalu apa maksud surat itu?

        Berhari-hari Rangga fokus hanya pada secuil surat picisan yang ia temukan secara tidak sengaja. Ingin mengabaikannya, tapi tidak bisa. Ia harus mengambil tindakan agar teka-teki ini terbongkar.

        Maka, suatu hari, saat semua santri tengah istirahat sekolah, Rangga secara diam-diam pergi ke halaman belakang gedung Aaliyah. Halaman belakang Aaliyah sejatinya adalah halaman khusus yang ditanamin bermacam-macam tanaman obat. Sesuai dengan yang tertulis di surat itu, Rangga memutuskan untuk pergi ke sana.

        Sunyi.

        Dedaunan bergoyang-goyang dihelai angin. Rangga menatap sekeliling jeli. Ia berdiri tepat di tengah halaman. Tapi tidak dilihatnya sosok yang dicarinya.

        Rangga menolehkan wajahnya mencari titik lain. Akhirnya pencariannya bersua. Dilihatnya sesosok santri tengah duduk di rerumputan di tepi halaman belakang. Sebagian tubuhnya tertutup dedaunan tanaman kunyit. Santri berseragam putih abu-abu, itu Dicky?

        Rangga masih mawas menatap Dicky. Dia hanya sendiri. Sekian menit berlalu, tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat. Rangga tetap tidak berpindah dari posisinya. Jika ia menebak, mungkin itu Eriska. Biar saja Eriska menangkap basah dirinya.

        Tapi, entahlah. Begitu memasuki halaman belakang Aaliyah, Eriska langsung membelok ke arah dimana Dicky duduk. Ia bahkan tidak sadar sedikitpun bahwa Rangga tengah berdiri di sisi lainnya. Seolah telah hapal dimana Dicky menunggu, Eriska nyelonong begitu saja.

        “Komiknya bagus! Seri ketiga mana?” kata Eriska begitu sampai di depan Dicky.

        “Aku belum punya. Besok-besok saja aku kasih.” Jawab Dicky. Ia lalu menerima komik yang disodorkan Eriska padanya.

        “Kamu udah lama nunggu?” tanya Eriska.

        “Lumayan, kemana dulu emang? Tumben lama.”

        “Aku ngumpulin tugas dulu ke Ustadzah. Oh ya, suratku udah kamu bales?”

        “Udah. Udah aku taruh di kitab. Oh ya, kamu ulangan bahasa inggris dapat berapa?”

        Rangga khidmat mendengar obrolan antara Eriska dan Dicky. Obrolan yang tidak canggung lagi. Seolah mereka telah bertahun-tahun berteman.

        Teman? Tapi, apa perlu sampai menyendiri begitu di halaman belakang Aaliyah?

        Rangga menggigit lidahnya. Berusaha keras menahan ribuan kata yang ingin meluncur dari mulutnya. Dengan langkah cepat ia meninggalkan Dicky dan Eriska.

        Rangga sampai di kamarnya beberapa menit kemudian. Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan sesak di sekujur tubuhnya. Sesak tidak tertahankan! Dengan mata nanar menatap sekeliling, ia berlari menuju tempat wudhu. Dibasuhnya wajah dan tangannya. Bibirnya berkali-kali mengucap shalawat. Usai itu, ia masuk ke mushalah dan menunaikan dua rakaat sunnah.

        “Ngapain di sini? Nggak ngajar kamu, Ngga?” tegur Bisma. Ia keheranan melihat Rangga duduk bersilah di dalam mushalah. Padahal jam segini ia biasanya berada di sekolah.

        “Aku tidak ada jam.” Jawab Rangga. Dilihatnya Bisma turut masuk ke dalam mushalah lalu duduk di sampingnya.

        “Wajahmu pucat, Ngga. Kamu sakit?” tegur Bisma.

        “Tidak...” Rangga menarik nafas.

        Pucat? Hanya karena tingkah dua orang santri saja ia langsung pucat?

        “Aku ada obat di kamar. Aku ambilkan, ya!” kata Bisma.

        “Tidak usah!” cegat Rangga, ia mencengkeram tangan Bisma, “Percuma meskipun kamu ngasih aku obat. Ngga akan pengaruh.”

        Bisma mengernyitkan dahinya, “Kamu kenapa, sih?” tanya Bisma gregetan. Ia tidak tahan melihat Rangga yang terus-terusan berpola aneh.

        “Barusan, aku melihat Eriska.” Jawab Rangga.

        “Aku tiap hari juga melihat Eriska! Terus apa masalahnya? Kamu cerita sepatah-patah gitu, aku ngga paham.” omel Bisma.

        “Barusan, aku melihat Eriska... dan Dicky. Mereka berdua di belakang gedung Aaliyah.” Terang Rangga.

        “Dicky santri yang masuk ke sini beberapa minggu lalu itu?” tanya Bisma meyakinkan.

        Rangga menagangguk, “Mereka sepertinya punya hubungan khusus, Bis. Sering bermain ke halaman belakang berdua. Bahkan juga surat-suratan.”

        “Ya, baguslah kalau begitu!”

        “Hah? Kok bagus?”

        “Ya, Bagus. Jadi kamu ngga perlu lagi susah-susah berakting di depan Eriska. Sekarang udah ada Dicky yang bikin Eriska kerasan di sini. Bagus ‘kan?” kata Bisma.

        Rangga membulatkan matanya.

        “Kenapa diam, Ngga?” tanya Bisma. Disangkanya Rangga akan senang mendengar Eriska dekat dengan santri lain.

        Rangga masih diam seribu bahasa. Ia justru terlihat sibuk sendiri dengan pikirannya.

        “Ngga! Jangan bilang kamu beneran suka sama Eriska! Kamu cemburu lihat Eriska sama si Dicky??!” sergah Bisma.

        Rangga tersentak kaget.

        “Kamu masih ingat ‘kan kalau kamu mendekati Eriska karena perintah Kiai Mahmud? Ini sandiwara, kamu masih ingat ‘kan??!” tanya Bisma beruntun.

        Bisma memandangi Rangga penuh keheranan. Sebenarnya apa yang ada di otak Rangga sekarang? Kenapa sekarang tingkahnya berubah seratus delapan puluh derajat?

        Esok harinya, Rangga lagi-lagi pergi ke halaman belakang gedung Aaliyah. Tidak ada tujuan khusus, entah pikirannya selalu berlari ke tempat ini.

        Di tempat yang sama, dan di jam yang sama. Rangga lagi-lagi berdiri tegap melihat Eriska dan Dicky mengobrol akrab di depan sana. Meski tidak tertarik dengan topik yang mereka bicarakan, tapi Rangga tidak mau beranjak dari sana.

        “Rangga! Ngapain di sini?” tegur Reza.

        Rangga membulatkan matanya melihat Reza tiba-tiba telah berdiri di sampingnya.

        “Ti-tidak ngapa-ngapain. Cuma cari angin saja. Kamu ngapain di sini?” jawab Rangga,

        “Cuma lagi jalan-jalan tadi. Aku lihat kamu, terus aku samperin.” Kata Reza. Sejenak ngobrol dengan Rangga, telinganya tiba-tiba mendengar suara dari kejauhan.

        Reza mengalihkan matanya. Mencoba mencari asal suara itu.

        “Kamu kenapa, Za??” tanya Rangga.

        “Aku denger suara seseorang. Kamu denger juga tidak?” jawab Reza. Ia melangkahkan kakinya maju ke depan.

        “Aku tidak denger apapun. Cuma perasaanmu kali. Ayo kembali!” kata Rangga. Satu hal yang ia takutkan, sepertinya Reza mulai mencium keberadaan Dicky dan Eriska.

        “Itu siapa?” gumam Reza. Matanya menangkap dua sosok santri tengah berduaan di balik jajaran tanaman obat. Reza mendengus. Dengan sigap ia berjalan cepat ke arah Dicky dan Eriska.

        “Reza!!” panggil Rangga. Berusaha mencegat, tapi percuma. Sekali Reza melihat sesuatu yang tidak beres, ia akan mengusutnya hingga tuntas.

        “Apa yang kalian lakukan di sini??!” tanya Reza tegas. Dalam sekejap mata tiba-tiba ia telah berada di depan Dicky dan Eriska.

        Dicky dan Eriska tersentak kaget. Keduanya yang sebelumnya sedang asik mengobrol langsung mengatupkan bibir. Reza mencengkeram lengan Dicky lalu menariknya menjauh dari Eriska.

        “Jawab! Sedang apa kalian di sini?!!” bentak Reza.


        “U-ustad! Tolong lepaskan Dicky!” bela Eriska. Tangannya memegang sebelah tangan Dicky dan berusaha melepaskan Dicky darin cengkeraman Reza.

        “Laki-laki dan perempuan bukan muhrim berduaan di tempat sepi, kalian tidak tahu apa hukumnya, ha?!”

        “Kami ngga ngapa-ngapain! Cuma ngobrol!” bela Dicky. Tapi pembeleannya justru menambah geram Reza.

        “Ikut ke ruang ketertiban sekarang juga!” Reza mulai menarik Dicky pergi, “Rangga!! Kamu urus Eriska!”

        Eh?

        Eriska terperangah. Dilihatnya Rangga muncul dari rimbunan daun. Rangga? Kenapa bisa ada di sini juga?

        “Ustad ngga perlu ‘kan menarik-narik kamu seperti Dicky? Cukup sadar diri, dan pergi ke ruang ketertiban.” Kata Rangga.

        Sudah terlanjur basah. Semuanya sudah diketahui oleh pihak ketertiban. Eriska dan Dicky tidak akan memiliki kesempatan selain mengakui kesalahannya.

        “Jadi Ustad yang melapor dan membawa Ustad Reza ke sini??!” tanya Eriska dengan mata masih lebar.

        Apa-apaan ini? Eriska menuduhnya melapor pada Ketertiban?!

--------------------------------------------------------------------------

Bersambung ke part 12


Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar