20 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 6


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo





         “Hukumannya tidak usah dikumpulkan. Hukumannya sudah tidak ada.” sahut Rangga tiba-tiba. Sontak Eriska dan Reza menoleh ke arahnya.

         Eriska menatap Rangga dengan tatapan heran.

         “Maksud kamu apa?” tanya Reza tidak terima. Ia menatap tajam ke arah Rangga.

         “Reza, aku ngga akan begini jika kamu ngga memulai.”

         “Ck! Tidak usah berbelit-belit. Bilang saja kalau kamu suka Eriska!” bentak Reza.

         “Iya, aku suka Eriska!”

         Eh?

         # # # # # # # # # # # # # # # # # # # #

         “Gimana, Eris? Kamu sudah dikasih perpanjangan waktu sama Ustad Reza?” sambut Dina begitu Eriska masuk ke dalam kamar.

         Eriska tersenyum lebar.

         “Ditanya malah senyum-senyum. Gimana nasib hukuman kamu?” tanya Dina lagi.

         “Aku udah ngga dihukum, Din.” Jawab Eriska sumringah.

         “Heh? Gimana bisa?” tanya Dina heran.

         “Iya! Tadi Ustad Rangga yang bilang aku udah ngga dihukum. Hukumanku dicabut.” Jelas Eriska. Senyumnya semakin lebar.

         Sejenak kemudian Dina ikut tersenyum di depan Eriska. Keduanya lalu bersorak sambil mengucap hamdalah berkali-kali.

         “Gimana ceritanya tiba-tiba Ustad Rangga nyabut hukuman kamu?” tanya Dina masih penasaran. Baru kali ini hukuman yang sudah divoniskan pada santri dicabut kembali oleh Ustad.

         “Aku ngga tahu, Din. Tiba-tiba saja Ustad Rangga datang, terus bilang hukumannya udah dihilangin. Aku disuruh balik ke asrama sama dia.” Eriska menarik nafas sebentar, “Tapi Ustad Reza kayak tidak terima gitu. Tapi biarin. Dia nyeremin tau.”

         Eriska kembali bercuap-cuap di depan Dina menceritakan peristiwa menyenangkan yang baru dialaminya itu. Tidak pernah terjadi hukuman dari bagian ketertiban dicabut begitu saja. Eriska merasa dia benar-benar sedang beruntung sekarang.

         # # # # # #  # # # # # # # # # #

         Mega merah nampak bersemburat di ufuk barat. Perlahan tapi pasti suara jangkrik mulai bersahutan. Puluhan santri putri tengah berkumpul di ruang belajar pesantren Al Hikmah. Tepat di depan mereka Rangga duduk bersila sambil memegang sebuah kitab nahwu “Amsilathi”.

         “Kemarin saya mengajar kalian tentang susunan ‘idhofah. Saya ingin tahu, seberapa jauh kalian ingat tentang bab pelajaran kemarin.” Ucap Rangga. Dipandanginya santri-santri yang berjajar di depannya.

         “Indah, susunan ‘idhofah terdiri dari apa saja?” tanya Rangga tiba-tiba. Indah yang ditunjuk secara tiba-tiba tersentak. Ia hanya sempat melirik kanan kiri tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

         “Tidak ingat? Apa tidak belajar tadi malam?”

         Indah diam menunduk.

         “Kalau Eriska tahu tidak?” tanya Rangga. Ia mengalihkan pandangannya pada Eriska.

         Eriska tergagap, “Eh?”

         “Tahu tidak susunan ‘idhofah itu terdiri dari apa saja?” ulang Rangga.

         Tak berbeda dengan Indah, Eriska hanya diam menunduk. Jujur saja ia tidak pernah fokus pada mata pelajaran nahwu sharaf. Bab-babnya yang rumit membuat Eriska malas memperhatikan.

         Tanpa diduga Rangga langsung mengalihkan pertanyaannya pada Dina yang duduk di sebelah Eriska.

         “Dina tahu?” tanya Rangga.

         “Terdiri dari mudhof dan mudhof ilaih, Ustad.” Jawab Dina.

         “Benar.” sahut Rangga. Ia tersenyum lalu berbalik ke papan tulis. Dijelaskannya sekali lagi bab nahwu sharaf itu pelan-pelan. Sekali-kali ia menoleh ke belakang untuk menanyakan apakah santri-satrinya paham atau tidak.

         Dua puluh menit setelahnya adzan isya berkumandang. Rangga menyudahi kajian ba’da maghrib malam itu dengan bacaan hamdalah dan salam. Puluhan santri putri itu pun kembali ke asrama dan bersiap untuk jamaah isya.

         Mendekati gerbang asrama putri, Eriska dan Dina melihat Indah dan teman-temannya bergerombol membicarakan  sesuatu. Melihat kedatangannya keduanya, Indah melirik sinis.

         “Kalian ngapain di sini?” tegur Dina.

         “Kayaknya kesayangan Ustad Rangga nambah satu nih.” celetuk Vivi.

         “Maksudnya?” sahut Eriska heran.

         “Kalian lihat ada yang beda tidak sih sama Ustad Rangga?” tanya Indah pada Eriska dan Dina.

         Eriska dan Dina hanya saling pandang.

         “Ustad Rangga ngomelin Indah macem-macem gara-gara ngga bisa jawab. Buruan nanya ke kamu, Ustad Rangga ngga ngomel tuh. Dia malah melempar pertanyaan ke Dina yang sudah pasti bisa. Dina kan emang pinter dari sononya.” kata Vivi.

         “Ustad Rangga itu tipe perfeksionis. Dia akan menasehati kita macam-macam kalo kita ngga bisa menjawab pertanyaan. Tapi, tadi dia tidak begitu ke kamu, Eris. Aneh tau ngga?” lanjut Indah.

         Indah dan Vivi berlalu dari hadapan Eriska dan Dina. Keduanya berjalan menuju tempat wudhu. Sementara itu, Eriska masih tegap dalam ketidakmengertiannya sendiri.

         “Aneh! Yang seperti itu aja mereka jadikan bahan pembicaraan.” Seloroh Dina.

         “Nggak! Indah sama Vivi benar, Din. Aku merasa ada yang aneh memang. Tidak hanya malam ini, siang tadi juga.” ucap Eriska. Ia menekuk alisnya dan menoleh ke arah Dina.

         “Kamu ngomong apa sih, Eris?” kata Dina berusaha menyadarkan Eriska. Dilihatnya Eriska mulai pranoid sendiri terhadap dirinya. Ditariknya tangan Eriska dan mengajaknya ke tempat wudhu. Bisa gawat jika mereka sampai terlambat jamaah isya.

         Malam semakin larut. Udara malam berhembus semakin kencang hingga menyentuh tanah. Rangga berdiri tegap memandangi kalender di kamarnya. Seolah tak ada benda lain yang menarik hatinya.

         Sekali lagi hanya satu. Hanya satu rona yang menarik bola matanya untuk tidak berkedip menatap kalender. Rona putih langsat berkerudung biru di sana. Fatimah, putri bungsu Kiai Mahmud yang sudah ia kagumi sejak ia pertama kali masuk pesantren ini. Tumbuh dan besar bersama, baginya Fatimah sudah seperti sahabat sekaligus tambatan hati.

         Ck! Dua tahun lagi. Ia berharap dua tahun cepat berlalu hingga Eriska segera lulus dari sini sehingga ia bisa berterus terang akan perasaannya pada Fatimah.

         “Kamu kenapa, Ngga??” tegur Bisma tiba-tiba.

         Rangga tersentak kaget. Dilihatnya Bisma telah berdiri di sampingnya di dalam kamarnya.

         “Kamu kesambet? Berdiri kayak patung di depan kalender, ngelihatin apa sih?” tanya Bisma.

         “Kamu itu tiba-tiba muncul kayak jin. Bikin kaget orang!” omel Rangga.

         “Apanya yang kayak jin? Aku dari tadi ngetuk-ngetuk kamar kamu tapi tidak ada sahutan. Taunya bengong kayak patung. Emang ini kalender ada apanya sih? Serius amat.” Kata Bisma sambil ikut-ikutan mengamati kalender.

         “Udah udah!” cegah Rangga, “Kamu ngapain nyari aku?” tanya Rangga sambil menarik lengan Bisma menjauh.

         “Oalah, aku mau pinjem kunci motormu. Aku diutus ke tempat percetakan besok pagi sama Kiai.” jawab Bisma.

         “Ngapain ke percetakan?” tanya Rangga sambil membuka salah satu laci mejanya. Diraihnya kunci motornya.

         “Mau nyetakin undangan pernikahan Neng Fatimah.”

         HAH?

         “U-undangan apa?” tanya Rangga. Matanya langsung terbuka lebar seketika.

         “Undangan pernikahan! Ngga didengerin ya orang ngomong?”

         “Neng Fatimah mau nikah? Kok bisa? Aku kok ngga denger kabar?” tanya Rangga beruntun.

         “Makanya, jadi orang jangan pelajaran terus yang dipikir. Neng Fatimah mau dinikahin sama Ilham, putra Kiai Syamsudin, pemilik Pesantren Al Mubarok di Desa sebelah.”

         Rangga menatap Bisma kosong. Ia menarik nafas berat.

         “Kok bisa dia nikah sama orang itu?” tanya Rangga lagi.

         Bisma cengo mendengar pertanyaan Rangga, “Kamu ini mabuk ya? Yang namanya anak Kiai pasti nikahnya sama anak kiai juga.”

         Begitu?

         Bisma mengambil kunci dari tangan Rangga lalu bergegas pergi setelah mengucap salam. Keduanya sempat bergurau sebelum Bisma kembali ke kamarnya. Rangga tertawa lebar, sementara Bisma hanya sempat menggerutu setelah digoda habis-habisan oleh Rangga.

         Bisma berlalu, tawa Rangga ikut berlalu. Rangga menatap Bisma yang berlalu di tikungan dengan pandangan kosong.

         Oh, begitu? Menikah? Putri cantik Kiai yang dipersunting oleh putra Kiai pula? Sungguh sempurna!

         BRUAKKK!

         Rangga membanting kursi yang berdiri tegap di depan mejanya ke arah pintu. Nafasnya memburu. Diambilnya kalender yang tergantung di dindingnya lalu melemparnya ke tempat sampah. Tanpa ia sadar ia jatuh terduduk di kasurnya.

         Terpekur.

         Rangga tenggelam dalam kelam malam sendirian.

-------------------------------------------------------

bersambung ke part 7

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar