30 Juli 2013

(Cerbung Ramadhan) "Ustad Keren-keren" / Part 13


Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini)

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo




        “Kalau tidak bisa membantu mending kamu diam aja!”

        “Kamu kenapa sih?!”

        “Ngga usah sok baik! Kamu pikir aku ngga tahu selama ini apa yang kamu lakuin sama Ustad Rangga, ha? Kamu pikir aku ngga cemburu lihat kamu sering bicara berdua dengan Ustad Rangga?! Kamu duluan yang mulai, Din! Jelas-jelas Ustad Rangga sama aku, kamu malah deketin dia!”

        # # # # # #  #  #

        “Salah paham?”

        “Iya, Ustad. Eriska mengira antara saya dan Ustad ada sesuatu. Sepertinya dia memergoki saya dan Ustad saat bicara berdua beberapa waktu lalu.”

        “Sekarang Eriska di mana?” tanya Rangga.

        Dina mengangkat wajahnya, “Tidak tahu, Ustad. Dia tiba-tiba pergi saat jam istirahat, dan tidak kembali-kembali.” Jawab Dina.

        “Rangga! Kamu di sini ternyata?” tiba-tiba Bisma menegurnya dari belakang.

        “Kemana orang-orang? Kok sepi begini?” tanya Rangga.

        “Kamu akan nemuin jawabannya di rumah Kiai Mahmud. Kamu ke sana aja sekarang, Beliau juga manggil kamu.” Jawab Bisma.

        Rangga mengerjapkan matanya, “K-Kiai Mahmud udah tahu?”


        Bisma mengangguk kecil. Dia menunduk menatap tanah.

        Rangga menghela nafas. Entah apa yang akan ia dapat sebentar lagi, yang ia tahu ia harus segera bergegas ke rumah Kiainya.

        Begitu sampai di pintu rumah Kiai Mahmud, Rangga menghentikan langkahnya di depan pintu. Dilihatnya Reza dan seorang santri senior duduk berhadapan dengan Kiai Mahmud. Di tengah mereka, Dicky duduk dengan air mata berlinangan.

        Tanpa ia duga, tiba-tiba Reza berdiri dari duduknya. Reza menganggukkan kepalanya pada Kiai Mahmud. Sambil menggandeng Dicky, ia lalu pamit pergi.

        “Rangga? Sudah datang ternyata. Sini duduk!” kata Kiai Mahmud mempersilakan.

        “Iya, Kiai.” Jawab Rangga.

        “Kamu tahu santri barusan? Ayah dan ibunya baru saja bercerai.” Kata Kiai Mahmud membuka pembicaraan.

        Rangga terhenyak.

        “Dia tidak mau ikut ayahnya maupun ibunya. Akhirnya sama neneknya dimasukkan pesantren. Neneknya Dicky itu masih punya hubungan darah sama Ibu Nyaimu.” Lanjut Kiai Mahmud.

        Rangga masih khidmat mendengarkan Kiai Mahmud. Dalam hati dia terus menbak-nebak, apa maksud Kiai Mahmud menceritakan latar belakang Dicky padanya?

        “Sebenarnya sayang, dia itu anak berbakat. Tapi wataknya jadi tidak terbentuk gara-gara keluarganya sendiri.” Kiai Mahmud berhenti sejenak, dia menarik nafas pendek, “Baru satu bulan di sini, sudah melanggar peraturan. Pelanggaran paling berat pula. Dia terancam dikeluarkan dari sini.”

        Rangga menelan ludah.

        “Tapi Kiai ingin memberi Dicky kesempatan. Untuk kali ini Kiai memaafkan dia. Ilmu agamanya memang masih dangkal. Jika sudah mengerti, dia pasti tidak akan melakukan itu lagi.”

        Sontak Rangga menghela nafas lega begitu mendengar ucapan Kiai Mahmud.

        “Yang jadi masalah di sini malah kamu sendiri, Rangga. Kiai dengar, kamu malah berusaha melindungi Dicky dan Eriska. Benar?” tanya Kiai Mahmud.

        Rangga mengangkat wajahnya. Pikirannya melayang pada Reza. Ck, sepertinya Reza yang melaporkannya pada Kiai Mahmud.

        “Dulu Kiai menyerahkan Eriska kepada kamu untuk kamu jaga, tapi tidak dalam keburukan seperti ini, Rangga! Kiai kira kamu itu sudah dewasa, kenapa malah terkesan kekanak-kanakan seperti ini? Jaga Eriska, anggap dia sebagai adikmu, bukan yang lain!”

        Rangga merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Jantungnya berdegub semakin kencang.

        “Ya, sudahlah. Mulai sekarang, kamu Kiai bebaskan dari tugas. Kamu tidak perlu lagi susah-susah menjaga Eriska.  Kamu boleh pergi dari sini.” Ucap Kiai Mahmud.

        Bernada datar dan masih memegang tasbihnya, sedikitpun Kiai Mahmud tak nampak seperti sedang marah. Hanya saja, semua wejangan Kiai Mahmud mampu membuat persendian kaki Rangga lemas seketika.

        “Kamu menunggu apa? Kamu boleh pergi. Seperempat jam lagi kumandangkan adzan ashar.” Kata Kiai Mahmud yang melihat Rangga tak juga bergeming dari tempatnya.

        Rangga menegakkan badannya. Setelah pamit, dia lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruang tamu Kiai Mahmud. Benar dugaannya, semua sudah tamat!

        Begitu sampai di teras rumah, Rangga dikejutkan dengan sosok yang tidak asing lagi di matanya. Sosok yang telah lama ia kubur dari hatinya. Dilihatnya seorang gadis bergamis ungu tengah menyirami tanaman di halaman depan rumah Kiai Mahmud.

        Neng Fatimah??!

        “Eh, Ustad. Sudah selesai bertemu dengan Abah?” sapa Neng Fatimah ramah.

        Sekian detik Rangga hanya bengong. Sejak pagi otaknya dipaksa mencerna hal yang mustahil. Termasuk dengan kemunculan Neng Fatimah secara tiba-tiba di pesantren ini.

        “Iya, sudah selesai, Neng.” jawab Rangga.

        Neng Fatimah mengangguk. Rangga pun balas mengangguk pada Neng Fatimah. Sejurus kemudian ia lalu beranjak pergi menuju mushalah.

        Sedang apa Neng Fatimah di sini? Bukannya dia sudah ikut suaminya?

        Rangga masuk ke teras mushalah lalu duduk bersandar pada tiang penyangga. Dia berusaha mengatur nafasnya yang timbul tenggelam.

        “....Kiai kira kamu itu sudah dewasa, kenapa malah terkesan kekanak-kanakan seperti ini? Jaga Eriska, anggap dia sebagai adikmu, bukan yang lain!”

        Begitu? Maksud Kiai adalah dia salah tangkap selama ini?

        “Gimana, Ngga? Kiai bilang apa saja tadi?” tegur Bisma dari belakang, “Aku dengar Dicky tidak jadi dikeluarkan dari sini, ya?”

        “Iya, tidak jadi dikeluarkan. Diganti dengan hukuman yang lain.” Jawab Rangga. Matanya nanar menatap atap mushalah.

        “Terus, Kiai bilang apa lagi?”

        “Aku, aku dibebaskan dari tugas.”

        Bisma menekuk alisnya, “Maksudmu?”

        “Maksudnya, tidak usah memperhatikan Eriska lagi.” Jawab Rangga pendek.

        “Ya udah. Toh Eriska malah lebih milih Dicky daripada kamu. Mending sekarang kamu siap-siap mahar sambil nunggu masa idah-nya Neng Fatimah selesai.” Seloroh Bisma.

        “Masa idah?” tanya Rangga terhenyak.

        “Iya, Neng Fatimah katanya udah cerai dari Ilham.”

        “Hah?! Cerai?? Yang bener, Bis??? Kok Bisa cerai?!”

        “Ya aku mana tahu kenapa kok cerai! Aneh-aneh saja pertanyaanmu!” omel Bisma.

        Rangga mengalihkan pandangannya ke lantai mushalah. Ia berfikir keras.

        Ilham beberapa kali memang pernah berkunjung ke Pesantren Al Hikmah. Di mata Rangga, dia adalah pemuda baik dan pandai. Menikahi Neng Fatimah yang juga pandai, mereka seperti pasangan sempurna tanpa cacat.

        Tapi, kenapa bercerai?

        Matahari makin bergeser ke barat. Sejenak mengumandangkan adzan, tiba-tiba terdengar gemuruh di langit. Perlahan rahmat Allah untuk makhluk bumi berjatuhan dari langit. Titik-titik air hujan deras membasahi tanah.

        Kidung sholawat mulai didengungkan oleh para santri sambil menunggu jamaah dimulai. Tak bisa mangkir dari kebiasaan lamanya, Rangga sesekali menoleh ke shof yang ada di belakangnya. Matanya selalu saja ingin tahu bagaimana Eriska sekarang ini? Duduk di shof mana sekarang. Tapi, entahlah, sedikitpun matanya tidak menangkap wajah lugu Eriska.

        Tanpa sengaja ia bertemu mata dengan Dina. Sejenak Rangga menatap dalam ke arah Dina. Seolah ada hal penting yang ingin Dina sampaikan padanya. Rangga menganggukkan wajahnya. Mengisyaratkan bahwa nanti usai jamaah saja bicara. Ck, apalagi yang ingin Dina katakan padanya?

        “Sebenarnya Eriska dihukum apa, Ustad? Kenapa sampai sekarang tidak kembali ke asrama?” tanya Dina usai jamaah ashar berakhir. Ia memberanikan diri bertanya pada ustadnya. Ia tidak mampu lagi menahan kekhawatirannya pada Eriska.

        Rangga mengernyitkan dahinya, “Belum kembali ke asrama? Sebenarnya seharian ini pihak ketertiban sama sekali tidak menangkap Eriska. Hanya Dicky yang berhasil diadili.”

        Dina mendesah,“Lalu, Eriska dimana, Ustad? Dia tidak kembali-kembali sejak pergi dari sekolah pagi tadi.” tanya Dina dengan bibir bergetar.

        “Kamu bilang, Eriska pergi tanpa membawa tasnya kan? Dia pasti juga tidak membawa uang. Mungkin dia pergi di sekitar sini! Biar Ustad yang mencari, kamu kembali saja ke asrama.” Ucap Rangga. Tanpa banyak berpikir ia lalu beranjak pergi meninggalkan Dina.

        Berbekal  sebuah payung, Rangga memberanikan diri menerjang hujan deras yang disertai angin. Tanpa sepengetahuan siapapun, ia berlari keluar dari gerbang pesantren dan berjalan menyusuri jalanan.

        Petir menyambar-nyambar serasa percuma saja di telinganya. Air hujan yang menerjang kesana kemari pun tidak menggoyahkan langkahnya. Seperti mati rasa. Yang ada di pikiran Rangga adalah segera menemukan Eriska. Sebisa mungkin ia menemukan Eriska sebelum orang pesantren lain tahu. Terlebih oleh Kiai Mahmud dan Reza. Eriska sudah cukup diberatkan hukuman karena tingkahnya dengan Dicky. Untuk peristiwa kaburnya dia kali ini, cukup dia dan Dina saja yang tahu. Jangan sampai Eriska mendapat hukuman ganda.

        “Eriskaaaaa!” teriak Rangga. Suaranya timbul tenggelam di tengah deru hujan. Matanya liar menatap semua sudut.

        Pencariannya nihil di jalanan desa. Rangga lalu membelokkan langkahnya ke pekarangan penduduk. Satu hal yang ia yakini dari dulu, orang penuh tekanan akan memilih tempat sepi untuk menyendiri.

        Dan itu mungkin persawahan!!

        “Eriskaaaa! Dimana kamuuuu??!” lagi Rangga berteriak memanggil Eriska. Sesekali payung yang dipegangnya oleng. Seolah tak sanggup menerima terjangan angin. Sekujur tubuhnya pun basah kuyup diguyur hujan.

        Rangga berputar-putar mengelilingi pematang sawah. Ia berusaha keras menjaga keseimbangan di tengah licinnya pematang sawah.

        Antara sadar dan tidak sadar, pencarian Rangga bersua. Dilihatnya sosok berkerudung putih tengah duduk memeluk lutut di sebuah gubuk reyot di tengah sawah.

        Rangga memicingkan matanya. Sejurus kemudian ia lalu berlari menuju sosok gadis itu. Sosok gadis yang diam menggigil dengan bibir hampir membiru. Matanya sayu menatap jajaran padi yang menghijau. Entah apa yang menetes dari pipinya. Mungkin air mata yang telah menjelma menjadi air hujan...

        “Eriskaaaaa!” panggil Rangga.

        Eriska mengangkat wajahnya. Dilihatnya Rangga tengah berlari mendekat dari ujung pematang sawah di kejauhan.

        Eriska tersentak kaget. Seketika desiran hangat muncul di hatinya.

        “Akhirnya ketemu juga! Ayo pulang!” kata Rangga begitu sampai di depan Eriska.

        Eriska diam menatap Rangga. Tanda tanya besar akan kemunculan Rangga masih bergentayangan di otaknya.

        “Kamu hujan-hujanan begini bisa sakit! Ayo cepat pulang! Mau kamu dimarahi Ustad Reza, ha??!” bentak Rangga. Ia langsung menyodorkan payungnya untuk memayungi Eriska.

        “Tidak mau! Ustad tidak perlu perhatian sama saya lagi! Saya bisa pulang sendiri!” sanggah Eriska. Air matanya lagi-lagi mengalir.

        “Eriska!!”

        “Ustad perhatikan saja Dina! Saya bukan siapa-siapa di sini! Mending saya kembali ke rumah!”

        Rangga menghela nafas. Sudah ia duga Eriska akan berkata demikian. Rela kehujanan berjam-jam, sesakit apa sebenarnya hati Eriska sampai rela kedinginan di tengah hujan?

        Rangga melangkahkan kakinya mendekat ke Eriska.

        “Eris, Ustad minta maaf.” Ucap Rangga dengan nada merendah.

        Eriska memeluk lututnya semakin erat. Desiran hangat di jantungnya makin menjadi-jadi mendengar nada suara Rangga yang merendah. Suara baritonnya seperti menghelai jantungnya lembut.

        “Kamu dengar Ustad ‘kan? Ustad benar-benar minta maaf. Kembalilah ke asrama sebelum ketahuan Kiai Mahmud dan Ustad Reza. Ustad berani jamin, kamu tidak akan dikeluarkan dari pesantren gara-gara kejadian pagi tadi.” Bujuk Rangga.

        Akhirnya Eriska mau melepas pelukan tangannya dari lututnya. Perlahan ia berdiri dari duduknya.

        “Ini, pakai payungnya! Kamu kembali ke pesantren duluan! Ustad tidak bisa kembali bareng-bareng kamu. Bisa gawat jika dilihat orang.” Ujar Rangga sambil menyodorkan payung hitam yang ia pegang ke tangan Eriska.

        Dengan tangan bergetar Eriska meraih payung tersebut. Sekilas ia menatap wajah Rangga yang dipenuhi air hujan. Eriska lalu berbalik badan dan pulang ke pesantren seperti yang diperintahkan Rangga padanya.

        Eriska melangkahkan kakinya pelan menyusuri pematang sawah. Ia tahu Rangga tengah mengawasinya dari belakang saat ini. Ia bisa merasakan itu meski matanya tengah menatap ke depan. Hatinya yang mengatakan itu. Hatinya yang mengatakan Rangga tengah mengamatinya sekarang.

        BRUAAGKHH!!

        EH?

        Eriska menghentika langkahnya. Apa barusan yang didengar telinganya??!

        Dengan jantung berdegub kencang, Eriska memberanikan diri menolehkan wajahnya ke belakang. Dan seketika ia menjerit keras!

        Dilihatnya gubuk reyot yang baru saja didudukinya roboh tak berbentuk. Gubuk lapuk yang termakan usia itu sepertinya tak mampu menahan terjangan angin yang semakin lama semakin kencang. Sontak saja ia roboh dan menimbun Rangga yang tengah berdiri di bawahnya.

        “Uuustaaaaaaadd!!!” jerit Eriska.

        Ia melempar payung yang dipegangnya lalu berlari menghampiri puing-puing gubuk itu. Genting-genting yang semula tersusun rapi kini telah pecah berkeping-keping di tanah. Dengan tangan mungilnya, Eriska menyingkirkan satu per satu bongkahan yang menimbun Rangga. Jantungnya serasa berhenti seketika. Dilihatnya cairan merah pekat menggenang bercampur air hujan.

        “Ustaaad! Usstaaad Ranggaaaa!”

-----------------------------------------------

Bersambung!!!
PART 14!!!

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar