22 Agustus 2013

(Cerbung Religi) "Ustad Keren-keren" / Part 20-END

Judul : Ustad Keren-keren

Author : Andin (@ariek_andini) / Admin4

Genre : Romantic - Religius

Pemain :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Reza Anugrah
- Pramudina
- Bisma Karisma
- Ilham Fauzi
- Dicky Prasetyo

----------------------------------------------------------------------
keyword : "Cerbung Rangga SMASH 2013" , "Cerbung Eriska Rein 2013" , "Cerbung SMASH 2013" , "Cerbung Religi SMASH 2013"
---------------------------------------------------------------------


         “Ke-kenapa selang oksigennya dilepas?”

         “Saya tidak apa-apa. Saya bisa bernafas meski tanpa selang oksigen.”

         “Hari ini Anda harus menjalani serentetan tes. Kami harus mengetahui kemampuan tubuh Anda sebelum operasi. Lusa, hari Jumat, operasi akan dilakukan pukul 08.00.”

##########

         “Abah! Abah!”

         “Rangga mana, Abah?!!"

         “Hah?!”

         “Rangga mana, Abah? Rangga hilang! Rangga kemana?!”

##########


        “Eris! Aku takut! Kita pulang saja!”

         Derap langkah kaki Eriska bersahut-sahutan. Sebanyak apapun sahabatnya merengek, ia tidak menghiraukannya.


         Dina menatap Eriska dari belakang dengan mata hampir menangis. Tiba-tiba saja Eriska menyeretnya pergi dari pesantren tanpa sepengetahuan ustadzah. Jujur, baru kali ini ia mengikuti Eriska kabur.

         “Sebenarnya kamu mau kemana, sih??!” bentak Dina.

         “Kita harus sampai di rumah sakit sebelum jam sebelas, Din! Aku harus ngomong sama Papa sebelum Papa ketemu sama Kiai Mahmud!”

         “Ngomong apa lagi?! Semalam kan kamu sudah ngomong jelas kalau kamu minta biaya rumah sakit Ustad Rangga ditanggung sama Papamu!”

         “Aku berubah pikiran!”

         EH?

         Dina menghentikan langkahnya. Dia menahan tangan Eriska. Keduanya berhenti berlari dan saling bertatapan di tengah lorong rumah sakit.

         “Maksudnya, kamu pengen batalin bantuan biaya operasi buat Ustad Rangga??!”

         Eriska terdiam. Dia menatap lantai rumah sakit tajam.

         “Eriska, kamu masih marah gara-gara omongan Ustad Reza semalam?”

         “Sudahlah, Din!”

         “Ini bukan saatnya kamu ngambek sama Ustad Rangga! Nyawa Ustad Rangga dalam bahaya, dan kamu masih sempet-sempetnya kekanak-kanakkan kayak gini?!!”

         “DIAM!!” bentak Eriska.

         Dina beringsut. Ia mengatupkan bibirnya.

         “Dari dulu kamu cuman bisa ngomong! Aku sakit hati, Din! Aku mati-matian bela-belain dia, dan ternyata dia bohong sama aku!?? Dia perhatiin aku, dia bujuk aku supaya kerasan di pesantren, dan ternyata itu semua ada maksudnya??!”

         “Kamu inget nggak waktu kamu dan Dicky tertangkap pihak ketertiban? Waktu itu hujan deras dan kamu kabur ke sawah! Diam-diam Ustad Rangga nyari kamu keliling desa! Dia kehujanan dan tertimpa gubuk sawah, kamu ingat nggak? Kamu pikir orang yang berbohong mau melakukan itu?!”

         Eh?

         “Ustad Rangga koma selama tiga hari! Dia terluka parah! Dan sekarang tubuhnya mengalami kelainan! Kamu pikir orang yang berbohong mau berkorban sejauh itu??!”

         Kini ganti Eriska yang menutup bibir. Air matanya membanjir. Menetes, lalu membasahi kerudungnya.

         Eriska menghempaskan tangan Dina. Sebentar mengusap air matanya dengan lengan bajunya, ia lalu berlari kencang meninggalkan Dina.

         “Eriskaaaa!” panggil Dina. Namun, sedikitpun Eriska tidak menggubris panggilannya. Eriska terus berlari lurus menyusuri lorong rumah sakit. Tubuhnya berkelit di antara pengunjung dan perawat yang memenuhi lorong. Entah arah mana yang ia tuju, yang jelas, hatinya sedang kalut sekarang.

         Apa Dina salah bicara? Memang sedikit ganjil Ustad Rangga tiba-tiba menaruh perhatian pada Eriska yang bebal dan bandel. Tapi, Ustad Rangga selalu menanyakan kabar Eriska padanya hampir tiap malam. Apa salah ia menyimpulkan Ustad Rangga benar-benar menyukai Eriska?

         #############

         Orang bilang, yang paling dekat dengan manusia itu keluarga, teman, guru, impian dan cinta. Tidak tahukah mereka bahwa semua anggapan itu salah? Faktanya, yang paling dekat dengan manusia adalah kematian.

         Rangga tersenyum simpul. Wejangan Imam Ghozali terus berdengung di telinganya.

         Ditapakinya rumput hijau rumah sakit yang tergelar di halaman belakang. Seragam pasien masih membalut tubuhnya. Bosan hanya duduk dan diam di kamar. Sedikit rindu dengan hangat sinar matahari.

         Tiba-tiba dilihatnya sosok yang sangat familiar di matanya berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Sosok gadis berseragam lengkap dengan air mata berceceran. Rangga terkesima. Antara percaya dan tidak melihat Eriska tiba-tiba muncul di rumah sakit.

         Eriska menyadari keberadaan Rangga beberapa detik kemudian. Ia menghentikan larinya. Nafasnya tersengal-sengal.

         “Eriska....” panggil Rangga dengan senyum tipis. Tapi di luar dugaannya, tiba-tiba Eriska berbalik badan dan berlari ke arah berlawanan.

         “Eriskaaa!” panggil Rangga. Ia berlari mengejar Eriska.

         Sebisa mungkin lari dari Rangga. Tapi tetap saja sulit. Eriska merasakan pandangan matanya semakin kabur. Air mata terus menggenang di matanya hingga ia tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas. Tanpa ia sadari tiba-tiba Rangga telah mencengkeram lengannya.

         “Kamu kenapa lari?”

         Eriska terdiam.

         “Ka-kamu nangis?” tanya Rangga.

         Tidak mampu menjawab. Eriska justru sesenggukan di depan Rangga. Hatinya campur aduk. Tercabik-cabik mendengar kebohongan Rangga selama ini. Tapi juga tersentuh dengan semua pengorbanan dan senyum tipisnya.

         Tiba-tiba dari belakang Eriska muncul Bisma. Ia menatap tajam ke arah Rangga dari kejauhan. Rangga mengernyitkan dahinya. Seperti ada isyarat yang ingin Bisma sampaikan padanya.

         Rangga ganti menatap Eriska yang masih terisak. Baru sehari ia tidak bertemu Eriska dan sekarang Eriska berubah dingin padanya. Mungkinkah?

         “Kenapa Ustad tega sama saya?” ucap Eriska di tengah isakannya.

         Benar!

         “Eris, Ustad minta maaf.”

         “Memalukan! Saya senang selama ini Ustad menyukai saya. Ternyata itu bohong?”

         “Ustad tidak sengaja~....” Rangga menghentikan kalimatnya. Entah harus dimulai dari mana. Bingung. Dan hanya bisa melihat air mata Eriska bercucuran.

         “Saya minta maaf sama Ustad. Gara-gara saya, Ustad mengalami kecelakaan seperti ini. Saya akan meminta papa membiayai operasi Ustad. Setelah itu, saya akan pergi dari pesantren.”

         “Apa?!”

         “Saya permisi, Ustad.”

         “Eriskaa!!!” bentak Rangga. Dicengkeramnya bahu Eriska dan mencegahnya pergi, “Untuk apa kamu keluar dari pesantren segala?! Kamu pikir sekolahmu udah bener? Ilmumu udah cukup?”

         “Buat apa?! Toh tidak lagi yang mengerti saya!”

         “Ya sudah! Pergi saja dari pesantren, Ustad juga akan pergi dari dunia ini!”

         Deg!

         “Maksud Ustad apa?!” tanya Eriska heran.

         Belum sempat Eriska mendapat jawaban dari Ustadnya, tiba-tiba suara gaduh datang dari sisi lorong rumah sakit yang lain. Suara sahut-sahutan antara dua orang dan sangat familiar di telinga Eriska, Rangga dan Bisma.

         “Aku ingin ngomong sebentar sama kamu.” sebuah suara parau yang tidak lain adalah suara mantan suami Fatimah.

         “Nanti saja, Ham! Sekarang sedang ada masalah penting.” Tolak Fatimah. Ia bersiap membalikkan badan.

         “Hanya sebentar, Imah!”

         “Kamu ngerti nggak sih?! Ada masalah penting! Rangga hilang! Dia harus ditemukan! Dia harus menjalani test!”

         “Aku tahu, Imah! Bisma, Kiai dan perawat sedang mencari dia! Sebentar lagi juga ketemu. Kenapa kamu sebingung ini?”

         Fatimah berdecak. Dengan berat hati ia berdiri di depan Ilham, pemuda yang sekalipun tidak pernah ada di hatinya.

         “Aku heran sama kamu. Rangga sakit, dan kekhawatiran kamu melebihi siapapun. Aku dengar dari Kiai kamu akan menjual tanah hadiah perkawinan kita. Apa perlu bertindak sampai sejauh itu?”

         “Maksud kamu, kamu nggak rela kalau tanah itu aku jual? Begitu?” sergah Fatimah.

         “Seperti bukan kamu, Imah. Dulu aku sakit, dan kamu tidak sepanik ini. Seberapa berartinya Rangga buat kamu?”

         Fatimah memilih diam. Merasa serba salah di hadapan mantan suaminya. Dia tahu, beberapa kali Ilham menginginkan rujuk dengannya.

         “Apa ini yang dinamakan peduli? Kamu memilih Rangga, apa begini caranya?” tanya Ilham.

         Fatimah terdiam.

         “Rangga mengalami penggumpalan darah di otaknya. Sudah hampir sebulan dan memasuki tingkat lanjut. Meskipun nggak sampai lulus, kamu dulu pernah sekolah kedokteran, ‘kan? Mustahil kamu nggak tahu hal ini! Kamu mati-matian menginginkan Rangga dioperasi, padahal kamu tahu kemungkinan hidup dia kecil!”

         “Rangga akan sembuh!” sahut Fatimah.

         “Sembuh, dan mengalami kelainan syaraf memori otak? Kamu ingin Rangga seperti itu?”

         “Iya! Itu yang aku inginkan! Aku berharap dia hilang ingatan dan melupakan masa lalunya!!”

         Hah?

         “Aku nikah sama kamu karena aku nggak punya alasan nolak ke Abah! Aku nggak punya pilihan, orang yang aku cintai malah dekat dengan santri perempuan di pesantren! Aku cuma ingin berpaling sebentar, Ham! Sekarang sudah waktunya aku mendapatkan dia lagi. Benar aku sengaja membuat Rangga kehilangan memorinya. Tidak ada jalan lain...”

         Kian lama suara Neng Fatimah kian bergetar. Di awal suaranya yang tegas, perlahan ia meneteskan air mata di penghujung. Hati wanitanya tidak bisa memungkiri, kenapa jalan hidup membuatnya semakin jauh dengan orang yang dicintainya?

         “R-Rangga~......???”

         Gumaman Ilham seketika membangunkan Fatimah. Sontak ia berbalik badan dan menoleh ke titik yang dituju Ilham. Seketika badannya serasa lemas. Dilihatnya Rangga tengah berdiri di ujung sana bersama Eriska.

         “R-Rangga, ka-kamu.....” Neng Fatimah tergagap.

         Hening. Tak seorangpun memulai pembicaraan. Bisma yang berdiri beberapa meter dari sana juga hanya bisa menganga mendengar ucapan Neng Fatimah.

         “A-alhamdulillah, kamu di sini ternyata. Ayo kembali ke kamar, sudah di tunggu dokter...” ajak Neng Fatimah berusaha mengalihkan keadaan.

         Rangga tersenyum. Senyum khas dari wajahnya, “Silakan Neng Fatimah saja yang kembali. Saya masih ingin di sini. Sekalian tolong bilang ke Kiai, lebih baik operasinya dibatalkan saja.”

         “R-Rangga, tadi hanya.....” lagi-lagi Neng Fatimah tergagap.

         “Ustad~... Ustad harus operasi...” Eriska mulai bersuara.


         “Kamu diam, Eris. Jangan ikut campur!”

         “Tapi, Ustad harus sembuh!”

         “Kamu ngerti tidak dengan yang kamu dengar tadi?!” bentak Rangga. Pelan tapi pasti emosinya mulai muncul. Seperti ditempa dengan kemustahilan. Ia baru saja mendengar perkataan tidak pantas dari gadis yang ia kagumi selama ini.

         Ditatapnya Neng Fatimah dengan tajam. Seketika wajah jelita Neng Fatimah tidak menarik lagi di matanya. Marah dan kecewa.  Keduanya menghimpit dadanya hingga remuk. Perlahan merambat ke kepalanya, sakit, buram, lalu gelap.

         Bruggh!

         Rangga roboh di depan Eriska. Matanya terpejam erat. Sontak Eriska menjerit. Memanggil-manggil nama Rangga dan berusaha membangunkannya. Ilham dan Bisma langsung berlari menghampirnyai. Panik dan bingung. Eriska berlari kencang memanggil perawat, sementara Ilham dan Bisma membopong Rangga.

         Dari sekian wajah panik, hanya Neng Fatimah yang mematung di posisinya. Tidak bergeming. Dia hanya memandangi wajah Rangga dengan onggokan rasa bersalah di dadanya.

         ###################

         7 tahun kemudian.............

         “Assalamu’alaikum...........!!”

         Terdengar langkah kaki dari dalam rumah berjalan cepat. Pintu terbuka. Muncul seorang perempuan bergamis biru dengan jilbab putih di kepalanya. Ia tersenyum.

         “Wa’alaikum salam, Ustad Bisma?”

         “Suamimu mana?” tanya Bisma sambil melangkah masuk.

         “Loh? Tadi ke sini tidak telpon sama Mas dulu, ya? Mas sekarang sedang ke Semarang.”

         “Undangan ceramah lagi?”

         “Iya, kemarin sore berangkat.”

         “Ck, dasar si Rangga! Sering banget dapat job ceramah. Jadi kalah aku...” celetuk Bisma. Lalu terkekeh bersama Eriska, istri sahabatnya.

         Bisma terdiam di ruang tamu sementara Eriska pergi ke dapur. Ia khusyuk memandangi bingkai foto yang tergantung di dinding. Dua wajah  berseri penuh kebahagiaan terpampang di sana.

         Dua tahun sudah Eriska dan Rangga menikah. Tepat sebulan setelah Eriska menyelesaikan kuliahnya. Rangga lalu mengundurkan diri sebagai ustad di pesantren dan beralih menjadi ustad di tengah masyarakat. Hampir tidak pernah berada di rumah, ia sibuk memenuhi undangan ceramah di berbagai tempat. Dari dulu panggilan hatinya memang ingin dakwah.

         Eriska kembali dengan segelas minuman di tangannya. Ia meletakkannya di meja lalu turut duduk di sofa.

         “Ada kesulitan nggak?” tanya Bisma.

         “Mas Rangga masih sering lupa dengan apa yang baru ia kerjakan. Tapi keesokan harinya dia pasti ingat lagi.”

         “Baguslah, ada kemajuan~...”

         “Iya, Alhamdulillah...”        

         Eriska menunduk. Benaknya melayang ke masa tujuh tahun lalu. Saat dimana Rangga tidak bisa mengenali siapapun, termasuk dirinya. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah Kiai Mahmud, sosok yang sudah menjelma menjadi ayah di matanya. Butuh waktu berbulan-bulan setelah operasi untuk mengembalikan ingatan Rangga.


         Hanya satu fakta yang hingga sekarang tidak kembali ke ingatan Rangga. Fakta indah namun menyakitkan. Fakta bahwa ia pernah mencintai Neng Fatimah dan disakiti olehnya. Juga fakta bahwa orang tuanya menitipkannya di pesantren dan tidak kembali untuk selamanya. Tak seorangpun berani membawanya kembali ke ingatan menyakitkan itu.

         Neng Fatimah sendiri kembali rujuk dengan Ilham dan mengajak Ilham pergi seketika itu juga. Entah karena alasan apa. Yang jelas, air matanya tidak berhenti mengalir waktu itu. Ia pergi bahkan sebelum Rangga siuman.

         Ck. Biarlah. Toh tidak semua kenangan harus diingat oleh manusia. Adakalanya kita harus melupakan beberapa agar kehidupan tetap berjalan.

         “Sekarang Bulan Mei? Ck, sudah tiga bulan Dina tidak silaturahim ke rumah. Cuman ngajar dari pagi sampai sore saja tidak sempat mampir...” gerutu Eriska mengalihkan pembicaraan pada Dina.

         “Kata siapa ngajar dari pagi sampai sore?  Dina sudah direkrut sama perusahaan minyak bumi. Sekarang di Pontianak. Mana sempat mampir ke sini.”

         Eriska tersenyum jail, “Padahal aku tadi cuman mancing. Hahaha!”

         Bisma tergagap.

         “Aku sudah tahu dari kemaren kalau Dina pindah kerja ke Pontianak. Ciyeee! Ternyata Ustad Bisma juga tahu soal dia, ya? Sudah Ustad! Buruan lamar mumpung belum diembat orang lain.” Goda Eriska.

         “Apa-apan, sih!” Bisma mengalihkan wajahnya. Rona merah bersemu di wajahnya yang putih bersih.

         “Mau sampai kapan diam-diaman terus?  Ustad udah tahu ‘kan kalau Dina suka sama Ustad?”

         “Kamu bandelnya nggak ilang-ilang, ya?”

         “Hahahah!”

--------------------------------TAMAT------------------------------




6 komentar:

  1. Bagus banget ceritanya... Mengharukan..

    BalasHapus
  2. Ceritanya bener-bener menginspirasi! Keren banget...

    Sukses buat penulisnya..:)

    BalasHapus
  3. ihhh bagus banger kak.....

    berhasil buat readers nya nangis sesenggukan, hehee

    BalasHapus
  4. Keren,.. Tp bisma dan dinanya belum bersatu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kisahnya Bisma dibikin nggantung... soalnya kalo happy end semua kelihatan nggk natural... :)

      Hapus