6 November 2013

(Cerbung SMASH) "Menatap Flamboyan" / part 3



Judul : Menatap Flamboyan
Author : Fitri Fauziya
Genre : Romantic
Cover : @ariek_andini
Cast :
- Rangga Moela
- Eriska Rein
- Dicky Prasetyo
- Danita 'Princess'

*****************


       Langit gelap kini perlahan berganti cerah setelah matahari muncul dari ufuk timur. Dicky pergi ke sekolah sedikit lebih pagi, bukan karena tugas piket atau belum mengerjakan PR, melainkan dia mampir ke SMA Bakti Kencana untuk melihat aktifitas pagi Danita sebelum bel berbunyi. Ia mengayuh sepeda dengan semangat.

       Beberapa menit berlalu, Dicky berada di depan gerbang SMA Bakti Kencana. Ia celingak-celinguk hendak mencari sosok Danita.

       "Dickyy...!" panggil seseorang dari belakang.

       Dicky menoleh. Bibirnya mengembang senyum.

       "Kamu ngapain disini?" tanya Danita.

       "Nggak, aku cuma mau ketemu kamu aja." jawab Dicky malu-malu.

       Danita hanya tersenyum.

       Sebelumnya Dicky tidak pernah lewat jalan SMA Bakti Kencana jika pergi ke sekolahnya meskipun jarak sekolahnya dan sekolah Danita tidak terlalu jauh. Tapi karena tak searah dari rumah ke sekolahnya, Dicky rela memutar jalur ke sekolahnya dan mampir ke SMA Bakti Kencana demi sekedar melihat Danita.


       "Kemarin kamu belum kasih tau sekolahmu sekarang." kata Danita, Dicky hanya menunjukkan tulisan atribut yang berada di lengan baju sebelah kanan bertuliskan SMA 25.

       "Oh, ya aku tau sekolah itu." kata Danita lalu mengeluarkan sapu tangan berwarna putih dari dalam tasnya.

       "Ini.. Makasih, ya." Danita menyodorkan sapu tangan pada Dicky.

       "Buat kamu aja." Danita hanya tersenyum.

       "Danita!" panggil seseorang dibelakang, Dicky dan Danita menoleh.

       "Hai, Feby." kata Danita sambil memeluk lengan Feby.

       "Kenalin, teman lamaku, namanya Dicky." kata Danita pada Feby.

       "Dicky, ini sahabat aku."

       Dicky dan Feby saling melempar senyum.

       "Kok kayaknya aku sering lihat kamu, ya?" tanya Feby.

       "Ya, bisa jadi! Sekolahku dekat kok, di SMA 25." jawab Dicky.

       "Dick, kayaknya udah mau bel, sebaiknya kamu pergi ke sekolah kamu." kata Danita menyarankan.

       Dicky pun pergi setelah pamit pada Danita.

       Danita mengamati punggung Dicky yang sedang mengayuh sepeda dari belakang.

       "Sejak kapan kamu kenal dia?" tanya Feby.

       "Sejak SMP, tapi waktu itu kita cuma sebatas kenal, gak dekat."

       "Tau gak, Feb. Dia itu ternyata orangnya lucu, kayaknya kalo dekat dia aku ketawa terus." kata Danita lagi menceritakan sosok Dicky dengan sumringah.

       Feby hanya menatap sahabatnya yang sedang menggandengnya itu dalam diam.

       "Kayaknya kamu seneng banget kenal sama dia." kata Feby.

       Danita hanya tersenyum.

       "Kalau Ilham tau kamu dekat sama cowok lain gimana?" tanya Feby tiba-tiba.

       Danita memperlambat langkahnya.

       "Aku hanya takut kalau kamu di pukulin lagi sama Ilham." kata Feby lagi dan kini sambil merangkul pundak Danita dari samping, Danita hanya tersenyum kecil bermaksud menghilangkan kekhawatiran Feby dan meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa padanya meskipun dihatinya memang ia sedikit takut jika Ilham mengetahuinya.

**********

       Siang yang cerah. Rangga tengah duduk di kursi taman sambil mendengarkan musik dari earphone-nya. Di tempat yang sama dan di jam yang sama, dia berharap bertemu lagi dengan Eriska.

       Beberapa lama duduk dan mendengarkan musik ditaman, Rangga melihat Eriska sedang berjalan dengan tongkatnya hendak mendekat ke arah bangku yang Rangga duduki.

       "Eriska.." panggil Rangga hendak menghampiri Eriska, Eriska berfikir sejenak mencoba mengenali suara yang memanggil namanya.

       "Kak Rangga?" tanya Eriska ragu.

       "Iya. Kamu mau kemana? Mau duduk?" tanya Rangga ramah.

       "Iya." jawab Eriska sambil tersenyum.

       Rangga beranjak dari duduknya. Dihampirinya Eriska lalu menuntunnya menuju bangku taman.

       "Kakak sedang apa disini?" tanya Eriska.

       "Iseng aja, sambil dengerin lagu." jawab Rangga.

       Rangga menawarkan lagu yang di dengarnya pada Eriska. Dipasangnya earphone ke telinga Eriska. Eriska terdiam. Sudut bibirnya tertarik membiarkan Rangga memasang earphone ke telinganya yang mungil.

       Akal jahil Rangga muncul. Kadang sesekali dilepasnya earphone dari telinga Eriska lalu memasangnya lagi. Diulangnya tingkah jailnya itu hingga Eriska terkekeh

       Cair dan hangat. Eriska menikmati candaannya bersama Rangga.

       "Memang kamu gak ada keinginan untuk bisa melihat?" tanya Rangga.

       "Keinginan selalu ada. Beberapa tahun lalu aku pernah daftar ke rumah sakit untuk operasi mata, tapi ya belum ada yang cocok aja, dan sampai saat ini aku pasrah." jawab Eriska.

       "Emm, seandainya kamu udah bisa melihat, kamu mau melakukan apa?"tanya Rangga bak wartawan.

       Eriska hanya tersenyum, pastinya banyak hal yang ia lakukan seperti orang normal pada umumnya. Apalagi ia ingin sekali bisa membaca dan menulis. Kalau saja ia tak pernah buta, mungkin sekarang ia sudah bersekolah bersama Dicky.

*********

       Jika tak ada mata kuliah pagi seperti kemarin, Rangga selalu menyempatkan datang ke taman pada waktu yang sama ketika pertama kali ia bertemu dengan Eriska. Benar saja, Eriska sedang duduk di bangku taman seperti biasa di bawah pohon.

       Kali ini ia tidak sendiri. Ia bersama temannya, Reza. Saat melihat Eriska dari kejauhanpun Rangga nampak sumringah. Ia sengaja datang bersama Reza hendak memberikan sesuatu.

       "Hai, Eriska." sapa Rangga.

       Eriska hanya tersenyum sudah hafal dengan suara orang yang menyapanya itu.

       "Eriska? Oh, ini Ga yang sering kamu ceritain ke aku, yang kamu sebut bidadari itu?" tanya Reza setelah Rangga menyebut nama Eriska, nama yang tidak asing lagi dan sering Rangga ceritakan padanya.

    "Kamu gak salah? Dia kan buta, Ga. Mana ada bidadari buta?" kata Reza kemudian.

       Rangga menyikut perut Reza kesal. Ia tak menyangka kalau Reza akan mengatakan itu.

       Bibir Eriska bergetar. Berusaha menahan diri dengan apa yang barusan didengarnya. Serasa tak mampu. Ujung-ujungnya bola matanya membanjir.

       "Jaga omongan kamu, Za!" geram Rangga kesal.

       "Loh, emang omonganku salah? Dia memang buta, Ga." kata Reza masih dengan nada santai.

       "Sekali lagi kamu ulang omongan kamu tadi, aku hajar kamu!” kata Rangga masih berbisik kesal, maksudnya untuk mengajak Reza bertemu Eriska bukan untuk menghina Eriska, hanya saja ia tak menyangka temannya itu akan berbicara seperti itu.

       Tes!

       Eriska tercekat. Air mata menganak sungai di pipinya yang mulus.

       "Tadinya aku memang penasaran sama cewek yang kamu sebut bidadari itu, tapi sekarang enggak tuh." kata Reza enteng.

       Eriskapun beranjak dari duduknya hendak pergi secepat yang ia bisa.

       "Eriska, kamu mau kemana?" tanya Rangga mencegah Eriska. Namun Eriska berusaha menghindar dan tak merespon.

       Rangga pasrah. Dibiarkannya Eriska pergi sendiri. Gadis berambut sepunggung itu menghilang di balik tikungan jalan.

       Tuhan memang Maha Membolak-balikkan perasaan. Saat di mana dia bisa menerima keadaan yang ada di dirinya, kadang sirnah begitu orang lain berkomentar pahit. Bisa saja berdoa agar orang-orang seperti itu dihilangkan dari muka bumi. Tapi apa dayanya? Sekali lagi ia hanya gadis buta.

       Eriska berjalan tegap dengan perasaan berkecamuk di hatinya. Entah jalanan mana yang ia injak sekarang. Tiba-tiba didengarnya bunyi rem sepeda angin berdenyit kencang tepat di sampingnya.

       "Eris!" panggil Dicky sambil tersenyum.

       Eriska menghentikan langkahnya.

       "Loh? kamu nangis? Kenapa?" tanya Dicky baru menyadari setelah melihat pipi Eriska basah dengan air mata.
       "Enggak, kok. Nggak kenapa-kenapa." kata Eriska menghapus air matanya lalu tersenyum.

       "Beneran?" tanya Dicky.

       Eriska mengangguk.

       "Yaudah, kamu mau pulang kan? Bareng aku, yuk!" ajak dicky. Dituntunnya Eriska agar ia duduk di belakang kemudinya.

************

       "Aku gak bisa, Ham! Orang tuaku gak izinin aku keluar malam." suara Danita terdengar bergetar di samping sekolah. "Lagian ini bulan-bulannya mau ujian, aku khawatir kamu gak lulus, dan aku juga takut kalau aku gak naik kelas." ucap Danita lagi.

       "Belajar bisa kapan-kapan aja, pokoknya malam ini kita jalan!" balas Ilham dengan tegas.

       Danita hanya menggeleng kepala sambil menunduk tak berani menatap wajah marah Ilham.

       "Kamu tau kan akibatnya kalo nolak aku?" tanya Ilham sambil mencengkram sebelah tangan Danita. Danita hanya menangis dan masih menunduk. Karena Ilham tak mendapatkan jawaban dari Danita, tangannya bersiap untuk mendaratkan tamparan ke pipi mulus Danita.

       "Heh.. stop!" teriak seorang pemuda sambil menahan tangan Ilham yang hendak meninju wajah Danita.

       Danita menoleh melihat pemuda yang berdiri di hadapannya.

       Dicky!??

       "Kamu gak usah ikut campur, ini urusanku sama dia." sergah Ilham melepaskan genggaman tangan Dicky kasar.

       "Apapun masalahnya kamu gak mesti mukul cewek, kan?" ucap Dicky dengan nada yang tak kalah keras dari Ilham. Perdebatan sengit Dicky dan Ilham siang itu semakin memanas, Danita yang tak ingin melibatkan Dicky pada masalahnya pun mencoba melerai kedua pemuda yang bersitegang itu.

       "Baik, kali ini aku mengalah, tapi lihat saja nanti." ancam Ilham dengan tatapan sinis pada Dicky sebelum ia pergi meninggalkan Danita dan Dicky.

3 komentar: