26 Januari 2014

Cerbung SMASH - "Cinta 18 Hari" / Part 3

Tittle:Cinta 18 Hari (Special Story)
Genre:Roman,Drama (Family,Friendship)
Author:Alfiyah Setiawan with Auryn Saenandra
Rating:Teenager
Cast:
-         Muhammad Ilham Fauzi Effendi (Ilham)
-         Muhammad Reza Anugrah Effendi (Reza)
-         Sarwendah Tan (Wenda)
-         Dicky Muhammad Prasetya (Dicky)
 
*************
 
               “Kamu nggak ngerti…” desisku. Mendadak, aku merasakan kepalaku serasa berputar, semua mulai berbayang tak jelas, dan perlahan kegelapan mulai merayapi. Aku tak mengingat apa-pun lagi selain jeritan Wenda yang terdengar samar-samar.

              Aku tersadar di sebuah tempat luas yang gelap,apakah ini akhir hidupku?Oh,tidak…Aku masih merasakan usapan lembut seseorng di rambutku, aku juga merasa ada sesuatu terdapat di dahiku.Dengan sedikit paksaan, mataku terbuka dan terlihat jelas atap kamarku yang putih.

               “Ham,udah bangun?” Tanya seseorang sambil menaruh kompresan di dahiku yang kelamaan makin kusadari bahwa dia adalah Kak Reza.

               “Gue kenapa?” tanyaku mengabaikan pertanyaan Kak Reza.


               “Loe tadi pingsan di taman,Wenda yang ngasih tahu gue.”

               “Wenda tahu loe darimana?”

               “Kan,gue pernah sekolah di sana. Lagian tadi gue sekalian lewat.” Aku terdiam, sekelabat pikiran mengerikan berkelabat di otakku, bagaimana jika Wenda lebih menyukai kakakku?

               “Kepala loe masih pusing?” tanya Kak Reza.

               “Oh iya, kenapa kepala gue agak pusing?” balasku yang sekali lagi tanpa memberi jawaban.

               “Loe sakit! Badan loe aja panas. Besok loe gak usah sekolah.” seketika ruangan menjadi hening lantaran aku tak menimpali sedangkan Kak Reza kebingungan melihat perubahan sikapku.

               “Ayah udah pulang,kak?” tanyaku memecah hening.

               “Malam ini,” hawab Kak Reza, sekali lagi aku terdiam. Ini mimpi buruk! Aku akan bertemu ayahku! Orang yang sepertinya paling membenciku di dunia ini, oke mungkin ini keterlaluan, tapi begitulah nyatanya.

               “Gak usah takut,gue akan berusaha ngejauhin ayah dari loe,” tukas Kak Reza seolah tahu ketakutanku. Anggap aku berlebihan, namun memang itu yang terjadi.

               “Kok,loe nangis?” Tanya Kak Reza. Terjadi lagi. Air mataku mengalir ketika topik tentang ayahku mencuat.

               “GUE ENGGAK NANGIS!” bentakku. Aku mengusap air mataku dengan kasar, Kak Reza tampak terkejut melihat reaksiku.

               “Maaf kak…” desisku, tak seharusnya aku membentak orang yang telah sering menolongku.

               “Gak apa-apa, gue ngerti,” Balas Kak Reza seraya merengkuhku ke pelukannya dan crap, air mataku kembali beraksi.

              Malam harinya, terdengar suara mobil memasuki garasi rumahku. Aku langsung berlari ke dalam kamar seraya membawa piring berisi makan malam yang tadi sudah disiapkan. Sampai di kamar, aku langsung memegang BB (Black Berry)-ku kemudian membuka facebook dan mengirim pesan kepada Wenda:
Love you Wen,maafin aku tadi.Tapi aku benar-benar tidak tahan mendengar kata-katam tadi karena mengingatkanku pada peristiwa yang tak ingin kuingat.

              Semoga kamu mengerti,Wen! Batinku pilu.

              Setelah pesan tersebut terkirim,aku langsung menaruh BB-ku kemudian mulai memakan makanan yang tadi ku bawa.

              Jam menunjukkan pukul 22:00. Aku berusaha memejamkan mata untuk pergi ke alam mimpi saat pintuku dibuka oleh Kak Reza.

               “Kenapa,kak?” tanyaku.

               “Loe udah minum obat?” Kata Kak Reza balas bertanya, aku langsung menepuk dahiku kemudian menggeleng.

               “Nih!” Ucap Kak Reza sambil menyerahkan beberapa kapsul obat, aku menghela nafas kemudian melahap obat itu.
            
              BRAK…!!!

              Pintuku dibuka dengan keras dari luar, tepatnya didobrak dan membuat aku dan Kak Reza seketika terperanjat. .Ayahku akan memulai aksinya, tepat malam ini.

               “Buat apa kamu minum obat? Yang sakit itu kakakmu! Bukan kamu!” Bentak ayahku.

               “Ilham lagi sakit, Yah!” Bela Kak Reza.

               “Kamu berani membantah?! Pasti ajaran anak setan ini?!” Balas ayahku. Aku menghela nafas. Berharap Kak Reza berhenti membelaku sehingga Ayah tidak semakin marah.

              “Sudah larut malam. Masuk ke kamarmu dan tidur. Paling-paling Ilham cuma masuk angin.” Tambah Ayahku seolah tidak peduli. Berkata demikian beliau lalu menutup pintu dan pergi ke ruang kerjanya.

              Aku beringsut ke dalam selimut. Malam yang buruk, sungguh! Satu bentakan saja, nyaliku sudah surut. Aku nggak pernah berani membuka mata jika ayahku sudah bicara.

              Aku tahu Kak Reza masih belum beranjak dari samping ranjangku. Kudengar hembusan nafasnya mengisi keheningan kamar. Aku tidak berani menatapnya. Masing-masing dari kami sibuk dengan pikiran kami. Pikiran yang satu padu. Siapa lagi yang kami pikirkan jika bukan ibu?

              “Gue mau tidur.” kataku bergetar. Tidak lain adalah agar Kak Reza segera keluar dari kamar.

              “Gue kangen Ibu.”

              Skak Mat! Satu kalimat dari bibir Kak Reza seketika membuat seluruh tubuhku kaku. Aku menahan air mataku di dalam selimut. Lontaran kalimat pahit dari ayah kembali terngiang di telingaku.

              Ilham pembunuh.

              Ilham yang membunuh ibu.

              Gara-gara Ilham lahir ke dunia, Ibu meregang nyawa.

              “Bukan salahmu Ibu meninggal dunia. Ini semua karena kanker itu.” kata Kak Reza seperti tahu kalau aku sedang menangis.

              Kudengar suara pintu ditutup. Kak Reza telah pergi. Dan aku semakin keras sesenggukan sendirian. Bukan salahku Ibu meninggal, memang!  Salah harapannya yang ingin mempertahankanku. Jika saja ibu mau menjalani proses pengangkatan rahim, tentu aku tidak akan lahir dengan penuh kehinaan seperti ini. Aku lelah merutuki diriku sendiri

              Aku terbangun jam 11 siang esok harinya. Kak Reza sengaja tidak membangunkanku agar aku tidak sekolah. Mataku tertuju pada kaca di kamarku begitu aku membuka mata. Aku tersenyum kecut. Mataku bengkak seperti telur mata sapi. Lucu juga.

              Kuraih handphoneku. Seketika aku membelalakkan mata. Sepuluh pesan singkat masuk, dan semuanya dari Wenda. Aku tertegun. Sepertinya dia khawatir gara-gara kejadian di taman kemarin. Aku langsung tersenyum senang.

              Aku terbengong di SMS Wenda yang terakhir. Di situ dia bilang dia sudah berada di depan rumahku. Terkirim lima belas menit lalu. Seketika aku loncat dari ranjang. Bagaimana mungkin aku membiarkan Wenda yang datang ke rumah menunggu sampai seperempat jam. Si Cuek Wenda datang menemuiku di rumah? ini adalah keajaiban!

              Aku setengah berlari menuruni anak tangga. Sampai di ruang tamu, aku menghembuskan nafas lega. Aku lihat Wenda telah duduk di kursi ditemani Kak Reza.

              “Udah bangun, Ham?” tegur Kak Reza. Dia memberiku isyarat untuk duduk di depan Wenda. Dia lalu beranjak pergi ke dapur meninggalkanku berdua dengan Wenda.

              “Loe nggak apa-apa?” tanya Wenda.

              “Nggak apa-apa. U-udah baikkan.”

              “Loe lemah, ya.”

              “Hah?”

              “Gue baru bilang gitu aja, loe udah pingsan. Payah.”

              Aku terdiam. Muluk banget mengharap Wenda datang dengan penuh perhatian. Dia masih pedas seperti biasa.

              “Gue pengen putus, Ham.”

              “Apa?”

              Hening. Wenda cuma diam sambil menatapku. Untuk ke sekian kalinya dia minta putus. Ck!

              “Tapi, ini belum 18 hari, Wen.”   

              Wenda lagi-lagi menatapku dengan raut sebal-dengan-orang-payah.

              “Setidaknya tunggu sampai hari ulang tahunku. Seminggu lagi.” Pintaku.

              Pelan tapi pasti, aku lihat Wenda mengangguk. Aku mendesah lega. Meski kemudian muncul rasa sakit. Benar katanya, aku payah, hanya untuk sosok pacar saja mesti meminta-minta.

              Hubungan pura-pura kami kembali berlanjut seperti sedia kala. Hanya saja, kali ini Wenda menjadi sedikit terbuka padaku. Entah sebab apa tiba-tiba dosis keacuhannya berkurang. Tanpa aku minta dia bahkan memberikan nomor telponnya padaku. Ini kemajuan!

              Aku berusaha sebanyak mungkin mengumpulkan foto berdua dengan Wenda. Sesering mungkin mengajaknya jalan berdua meski selalu mendapat respon tak senang.
             
              ***************

              Terik matahari meraja di langit. Siang itu aku mengantarkan Wenda pulang sekolah seperti biasa. Wangi rambut Wenda menyeruak ke atmosfer begitu dia melepas helm dari kepalanya. Ini yang paling aku sukai. Rambut hitamnya akan tergerai indah beriringan dengan gemulai pundaknya.

              “Nanti malam jadi ‘kan?” tanya Wenda tiba-tiba.

              “Nanti malam?” tanyaku.

              “Iya! Bukannya kemarin kamu yang ngajak?”

              Aku menepuk jidatku, “Iya! Iya! Jadi! Nanti aku jemput jam tujuh, ya.” Jawabku buru-buru. Duh! Kelupaan! Saking seringnya aku mengajak Wenda jalan sampai lupa  dengan ajakanku sendiri.

              Aku berjalan ke dalam kamar dengan bersiul kecil. Rasanya seluruh masalahku sirna begitu saja melihat perubahan sikap Wenda padaku. Dunia terasa menyenangkan meski ibukota lagi panas-panasnya siang ini.

              “Kenapa loe, Ham?” tegur Kak Reza. Aku tahu dia jadi terpancing melihat sikapku yang seperti baru ketiban duren jatuh.

              “Lagi seneng aja.” Jawabku singkat. Cuma ingin membuatnya makin penasaran.

              “Baru menang taruhan sama Dicky, iya ‘kan?”

              “Enggak lah! Gue tuh mau dinner sama Wenda! Dinner romantis!”

              “Hah? Kok bisa?”

              “Bisa lah! Dia kan pacar gue!”

              “Ooh, yaudah, selamat deh.”

              Gitu doank? Gak menghargai banget!

              Aku berlalu begitu saja ke dalam kamar karena aku lihat Kak Reza mulai fokus pada layar televisi. Sepertinya dia tidak tertarik dengan ceritaku tentang dinner. Kututup pintu kamar rapat. Mataku terpejam sejenak. Lelah menghitung mundur. Sehari setelah dinner, waktuku akan genap 18 hari. Genap 18 hari menjalani hari bersama Wenda. Genap 18 hari berpura-pura dengannya. Setelah dinner nanti malam, semuanya harus aku sudahi.

              Andai ini sinetron. Dimana si cewek dan cowok akan saling jatuh cinta pada masa mereka berpura-pura. Lalu saat mereka diharuskan untuk berpisah, mereka merasa keberatan. Sayang! Itu semua cuma roman picisan. Wenda tetaplah Wenda 18 hari yang lalu. Wenda yang cantik, cuek dan tidak mencintaiku.

              Kupilih setelah kemeja merah dengan jeans hitam sebagai busana dinnerku malam ini.  Wenda suka dengan warna merah, itu yang kutahu. Kulakukan semua dengan detil, dimulai dari menyisir rambut, memilih jam tangan, hingga mengeluarkan motor dari garasi. Rasanya seperti akan menjalani malam terakhir. Menegangkan!
 
----------------------------
Bersambung ke Part 3

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar