Tittle:Cinta 18 Hari (Special Story)
Genre:Roman,Drama (Family,Friendship)
Author:Alfiyah Setiawan with Auryn Saenandra
Rating:Teenager
Cast:
- Muhammad Ilham
Fauzi Effendi (Ilham)
- Muhammad Reza
Anugrah Effendi (Reza)
- Sarwendah Tan
(Wenda)
- Dicky Muhammad
Prasetya (Dicky)
*************
“Kamu nggak ngerti…” desisku. Mendadak,
aku merasakan kepalaku serasa berputar, semua mulai berbayang tak jelas, dan
perlahan kegelapan mulai merayapi. Aku tak mengingat apa-pun lagi selain
jeritan Wenda yang terdengar samar-samar.
Aku tersadar
di sebuah tempat luas yang gelap,apakah ini akhir hidupku?Oh,tidak…Aku masih
merasakan usapan lembut seseorng di rambutku, aku juga merasa ada sesuatu
terdapat di dahiku.Dengan sedikit paksaan, mataku terbuka dan terlihat jelas
atap kamarku yang putih.
“Ham,udah bangun?”
Tanya seseorang sambil menaruh kompresan di dahiku yang kelamaan makin kusadari
bahwa dia adalah Kak Reza.
“Gue
kenapa?” tanyaku mengabaikan pertanyaan Kak Reza.
“Loe tadi
pingsan di taman,Wenda yang ngasih tahu gue.”
“Wenda tahu
loe darimana?”
“Kan,gue
pernah sekolah di sana. Lagian tadi gue sekalian lewat.” Aku terdiam, sekelabat
pikiran mengerikan berkelabat di otakku, bagaimana jika Wenda lebih menyukai
kakakku?
“Kepala loe
masih pusing?” tanya Kak Reza.
“Oh iya, kenapa
kepala gue agak pusing?” balasku yang sekali lagi tanpa memberi jawaban.
“Loe sakit! Badan loe aja panas. Besok loe gak
usah sekolah.” seketika ruangan menjadi hening lantaran aku tak menimpali
sedangkan Kak Reza kebingungan melihat perubahan sikapku.
“Ayah udah
pulang,kak?” tanyaku memecah hening.
“Malam
ini,” hawab Kak Reza, sekali lagi aku terdiam. Ini mimpi buruk! Aku akan
bertemu ayahku! Orang yang sepertinya paling membenciku di dunia ini, oke
mungkin ini keterlaluan, tapi begitulah nyatanya.
“Gak usah takut,gue
akan berusaha ngejauhin ayah dari loe,” tukas Kak Reza seolah tahu ketakutanku.
Anggap aku berlebihan, namun memang itu yang terjadi.
“Kok,loe
nangis?” Tanya Kak Reza. Terjadi lagi. Air mataku mengalir ketika topik tentang
ayahku mencuat.
“GUE ENGGAK
NANGIS!” bentakku. Aku mengusap air mataku dengan kasar, Kak Reza tampak
terkejut melihat reaksiku.
“Maaf kak…”
desisku, tak seharusnya aku membentak orang yang telah sering menolongku.
“Gak
apa-apa, gue ngerti,” Balas Kak Reza seraya merengkuhku ke pelukannya dan crap,
air mataku kembali beraksi.
Malam
harinya, terdengar suara mobil memasuki garasi rumahku. Aku langsung berlari ke
dalam kamar seraya membawa piring berisi makan malam yang tadi sudah disiapkan.
Sampai di kamar, aku langsung memegang BB (Black Berry)-ku kemudian membuka
facebook dan mengirim pesan kepada Wenda:
Love you Wen,maafin aku tadi.Tapi aku benar-benar tidak tahan
mendengar kata-katam tadi karena mengingatkanku pada peristiwa yang tak ingin
kuingat.
Semoga
kamu mengerti,Wen! Batinku pilu.
Setelah
pesan tersebut terkirim,aku langsung menaruh BB-ku kemudian mulai memakan
makanan yang tadi ku bawa.
Jam
menunjukkan pukul 22:00. Aku berusaha memejamkan mata untuk pergi ke alam mimpi
saat pintuku dibuka oleh Kak Reza.
“Kenapa,kak?”
tanyaku.
“Loe udah
minum obat?” Kata Kak Reza balas bertanya, aku langsung menepuk dahiku kemudian
menggeleng.
“Nih!” Ucap
Kak Reza sambil menyerahkan beberapa kapsul obat, aku menghela nafas kemudian
melahap obat itu.
BRAK…!!!
Pintuku
dibuka dengan keras dari luar, tepatnya didobrak dan membuat aku dan Kak Reza
seketika terperanjat. .Ayahku akan memulai aksinya, tepat malam ini.
“Buat apa
kamu minum obat? Yang sakit itu kakakmu! Bukan kamu!” Bentak ayahku.
“Ilham lagi
sakit, Yah!” Bela Kak Reza.
“Kamu
berani membantah?! Pasti ajaran anak setan ini?!” Balas ayahku. Aku menghela
nafas. Berharap Kak Reza berhenti membelaku sehingga Ayah tidak semakin marah.
“Sudah larut
malam. Masuk ke kamarmu dan tidur. Paling-paling Ilham cuma masuk angin.”
Tambah Ayahku seolah tidak peduli. Berkata demikian beliau lalu menutup pintu
dan pergi ke ruang kerjanya.
Aku
beringsut ke dalam selimut. Malam yang buruk, sungguh! Satu bentakan saja,
nyaliku sudah surut. Aku nggak pernah berani membuka mata jika ayahku sudah
bicara.
Aku tahu Kak
Reza masih belum beranjak dari samping ranjangku. Kudengar hembusan nafasnya
mengisi keheningan kamar. Aku tidak berani menatapnya. Masing-masing dari kami
sibuk dengan pikiran kami. Pikiran yang satu padu. Siapa lagi yang kami
pikirkan jika bukan ibu?
“Gue mau
tidur.” kataku bergetar. Tidak lain adalah agar Kak Reza segera keluar dari
kamar.
“Gue kangen
Ibu.”
Skak Mat!
Satu kalimat dari bibir Kak Reza seketika membuat seluruh tubuhku kaku. Aku
menahan air mataku di dalam selimut. Lontaran kalimat pahit dari ayah kembali
terngiang di telingaku.
Ilham
pembunuh.
Ilham
yang membunuh ibu.
Gara-gara
Ilham lahir ke dunia, Ibu meregang nyawa.
“Bukan
salahmu Ibu meninggal dunia. Ini semua karena kanker itu.” kata Kak Reza
seperti tahu kalau aku sedang menangis.
Kudengar
suara pintu ditutup. Kak Reza telah pergi. Dan aku semakin keras sesenggukan
sendirian. Bukan salahku Ibu meninggal, memang! Salah harapannya yang ingin mempertahankanku.
Jika saja ibu mau menjalani proses pengangkatan rahim, tentu aku tidak akan
lahir dengan penuh kehinaan seperti ini. Aku lelah merutuki diriku sendiri
Aku
terbangun jam 11 siang esok harinya. Kak Reza sengaja tidak membangunkanku agar
aku tidak sekolah. Mataku tertuju pada kaca di kamarku begitu aku membuka mata.
Aku tersenyum kecut. Mataku bengkak seperti telur mata sapi. Lucu juga.
Kuraih
handphoneku. Seketika aku membelalakkan mata. Sepuluh pesan singkat masuk, dan
semuanya dari Wenda. Aku tertegun. Sepertinya dia khawatir gara-gara kejadian
di taman kemarin. Aku langsung tersenyum senang.
Aku terbengong di SMS Wenda yang terakhir.
Di situ dia bilang dia sudah berada di depan rumahku. Terkirim lima belas menit
lalu. Seketika aku loncat dari ranjang. Bagaimana mungkin aku membiarkan Wenda
yang datang ke rumah menunggu sampai seperempat jam. Si Cuek Wenda datang menemuiku
di rumah? ini adalah keajaiban!
Aku setengah
berlari menuruni anak tangga. Sampai di ruang tamu, aku menghembuskan nafas
lega. Aku lihat Wenda telah duduk di kursi ditemani Kak Reza.
“Udah bangun,
Ham?” tegur Kak Reza. Dia memberiku isyarat untuk duduk di depan Wenda. Dia
lalu beranjak pergi ke dapur meninggalkanku berdua dengan Wenda.
“Loe nggak
apa-apa?” tanya Wenda.
“Nggak
apa-apa. U-udah baikkan.”
“Loe lemah, ya.”
“Hah?”
“Gue baru
bilang gitu aja, loe udah pingsan. Payah.”
Aku terdiam.
Muluk banget mengharap Wenda datang dengan penuh perhatian. Dia masih pedas
seperti biasa.
“Gue pengen
putus, Ham.”
“Apa?”
Hening.
Wenda cuma diam sambil menatapku. Untuk ke sekian kalinya dia minta putus. Ck!
“Tapi, ini
belum 18 hari, Wen.”
Wenda
lagi-lagi menatapku dengan raut sebal-dengan-orang-payah.
“Setidaknya
tunggu sampai hari ulang tahunku. Seminggu lagi.” Pintaku.
Pelan tapi
pasti, aku lihat Wenda mengangguk. Aku mendesah lega. Meski kemudian muncul rasa
sakit. Benar katanya, aku payah, hanya untuk sosok pacar saja mesti
meminta-minta.
Hubungan
pura-pura kami kembali berlanjut seperti sedia kala. Hanya saja, kali ini Wenda
menjadi sedikit terbuka padaku. Entah sebab apa tiba-tiba dosis keacuhannya
berkurang. Tanpa aku minta dia bahkan memberikan nomor telponnya padaku. Ini
kemajuan!
Aku berusaha
sebanyak mungkin mengumpulkan foto berdua dengan Wenda. Sesering mungkin
mengajaknya jalan berdua meski selalu mendapat respon tak senang.
***************
Terik
matahari meraja di langit. Siang itu aku mengantarkan Wenda pulang sekolah
seperti biasa. Wangi rambut Wenda menyeruak ke atmosfer begitu dia melepas helm
dari kepalanya. Ini yang paling aku sukai. Rambut hitamnya akan tergerai indah
beriringan dengan gemulai pundaknya.
“Nanti malam
jadi ‘kan?” tanya Wenda tiba-tiba.
“Nanti
malam?” tanyaku.
“Iya!
Bukannya kemarin kamu yang ngajak?”
Aku menepuk
jidatku, “Iya! Iya! Jadi! Nanti aku jemput jam tujuh, ya.” Jawabku buru-buru.
Duh! Kelupaan! Saking seringnya aku mengajak Wenda jalan sampai lupa dengan ajakanku sendiri.
Aku berjalan
ke dalam kamar dengan bersiul kecil. Rasanya seluruh masalahku sirna begitu
saja melihat perubahan sikap Wenda padaku. Dunia terasa menyenangkan meski
ibukota lagi panas-panasnya siang ini.
“Kenapa loe,
Ham?” tegur Kak Reza. Aku tahu dia jadi terpancing melihat sikapku yang seperti
baru ketiban duren jatuh.
“Lagi seneng
aja.” Jawabku singkat. Cuma ingin membuatnya makin penasaran.
“Baru menang
taruhan sama Dicky, iya ‘kan?”
“Enggak lah!
Gue tuh mau dinner sama Wenda! Dinner romantis!”
“Hah? Kok
bisa?”
“Bisa lah!
Dia kan pacar gue!”
“Ooh,
yaudah, selamat deh.”
Gitu doank?
Gak menghargai banget!
Aku berlalu
begitu saja ke dalam kamar karena aku lihat Kak Reza mulai fokus pada layar
televisi. Sepertinya dia tidak tertarik dengan ceritaku tentang dinner. Kututup
pintu kamar rapat. Mataku terpejam sejenak. Lelah menghitung mundur. Sehari
setelah dinner, waktuku akan genap 18 hari. Genap 18 hari menjalani hari
bersama Wenda. Genap 18 hari berpura-pura dengannya. Setelah dinner nanti
malam, semuanya harus aku sudahi.
Andai ini
sinetron. Dimana si cewek dan cowok akan saling jatuh cinta pada masa mereka
berpura-pura. Lalu saat mereka diharuskan untuk berpisah, mereka merasa
keberatan. Sayang! Itu semua cuma roman picisan. Wenda tetaplah Wenda 18 hari
yang lalu. Wenda yang cantik, cuek dan tidak mencintaiku.
Kupilih
setelah kemeja merah dengan jeans hitam sebagai busana dinnerku malam ini. Wenda suka dengan warna merah, itu yang
kutahu. Kulakukan semua dengan detil, dimulai dari menyisir rambut, memilih jam
tangan, hingga mengeluarkan motor dari garasi. Rasanya seperti akan menjalani
malam terakhir. Menegangkan!
----------------------------
Bersambung ke Part 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar