Judul : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”
Pengarang :
@ariek_andini
Genre : Comedy-Romantic
Cast : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza
dan Ilham.
Jangan menjadi pembaca gelap. Tinggalkan jejak kalau sudah membaca yaa...
------------------------
“Ide bagus! Kita
berenang habis ini di Selat Lombok!”
“Dihh! Loe aja! Gue
masih pengen hidup!”
“Gue nggak
main-main!”
“Gue juga nggak
main-main! Loe punya otak kagak? Berenang di Selat Lombok? Jangan loe
sama-samain antara joget alay di panggung sama berenang di laut!”
Rangga terdiam. Dia
duduk menunduk dan serius mengotak-atik handphonenya. Andin tengsin sendiri
dibuatnya. Rangga yang biasanya balas membentaknya, kenapa sekarang malah diam?
“Oke! Oke! Gue
turutin mau loe!!” kata Andin kemudian.
“Bagus! Habis ini
kita langsung ke dermaga!” kata Rangga.
“Dermaga apa?”
“Nggak tahu! Lombok itu kan di sebelahnya Bali! Kita naik
kapal very, kapal laut , atau kapal tanki, yang penting nyampai di Bali!”
Andin menatap Rangga heran. Dalam hati berkali-kali ia
membatin, udah gila kali...
Tiga puluh menit Rangga dan Andin habiskan untuk sarapan
di sebuah rumah makan tak jauh dari penginapan mereka. Berbekal topi dan
masker, keduanya lalu berangkat naik kendaraan lokal menuju dermaga. Terserah
itu dermaga legal, ilegal, milik pemerintah, atau dermaga abal-abal bikinan
nelayan. Otak Rangga benar-benar dipenuhi semua hal tentang Ola. Dia ingin
sampai di Bali hari ini juga.
Di dalam bus menuju dermaga, Rangga ditelpon sama Bisma.
Ia menimbang-nimbang. Antara ingin mengangkatnya dan tidak.
“Hallo?” jawab Rangga akhirnya.
“Ga! Lo dimana?”
“Kenapa emang?”
“Udah dua kali show loe nggak ikut? Loe dimana?”
“Sementara gue ijin dulu nggak tampil bareng SMASH. Lo
bilang aja ke media kalo gue lagi sakit.”
“Lo jangan ngaco. Lo sebenarnya di mana sih?”
“Gue
ada urusan penting!”
“Jangan-jangan yang dibilang Reza benar, lo nyariin Ola
ke Bali, iya?”
“Ini urusan gue, Bis.”
“Udah gila kali lo, ya! Mau sampe kapan lo ngejar-ngejar
Ola? Karir lo hampir berantakan begini. Hampir aja lo dicoret dari kontrak
Zeptaria tau nggak!”
Rangga terdiam. Kali ini ia tidak tahu harus menimpali
Bisma bagaimana.
“Buruan balik, Ngga!” perintah Bisma.
Tuut, tuut, tuut.....
Rangga menutup telponnya. Ini baru Bisma. Masih belum
Rafael, Om Pancunk, atau mamanya yang meneleponnya. Rangga menghela nafas.
Terkadang dia memang merasa apa yang ia lakukan berlebihan. Menghilang tanpa
kabar demi Ola. Tapi jika hanya duduk manis di Jakarta, dia tidak akan tenang.
Otaknya akan terus melayang pada Ola yang kini bersembunyi di Bali. Damn! Ini
nggak akan terjadi kalau saja Reza tidak ikut campur!
“Siapa? Temen loe?” tegur Andin yang duduk di sebelah
Rangga.
“Iya...”
“Belibet banget nyuruh-nyuruh loe balik ke Jakarta. Entar
ujung-ujungnya juga bubar tuh boyband...”
Rangga melipat tangannya, “Simpel aja sih, mulutmu,
harimaumu. Semua perkataan, akan kembali ke empunya.”
“Maksud loe apa? Ngedoain grup band gue bubar?”
“Nggak! Pikiran loe aja yang kayak gitu! Heh, kloningan
cicak, loe denger ya, semakin sering orang-orang kayak loe jelek-jelekin
boyband gue, semakin tinggi kesuksesan yang boyband gue raih. Keseringan banget
loe ngomongin boyband gue, jangan-jangan loe smashblast. Ck ck ck!”
“Diiiih! Najis gue ngefans sama boyband loe! Gue aja
nggak pernah ngerti kalian itu nyanyiin apa!!! Dan apa lagi tadi? Loe panggil
gue kloningan cicak? Loe tuh buaya rawa!” balas Andin tak kalah emosi.
“Gue apalagi! Lagu band loe isinya orang teriak-teriak
semua! Itu lagu apa kompilasi orang mau dibantai??”
“Itu namanya lagu rock, peaaaak! Cowok boyband kayak loe
mana ngerti lagu berkualitas kayak gitu!”
“Lagu berkualitas? Ya, ya, ya... biar loe seneng aja lahhh...”
Rangga lalu melengoskan wajahnya. Membuat Andin semakin meletup emosinya.
“Dengar, sekali lagi loe berisik, bakal gue turunin loe
di tengah jalan.” Kata Rangga selanjutnya. Penat otaknya memikirkan Ola dan
karirnya. Masih ditambah celotehan Andin yang ga karuan.
Andin mengatupkan bibirnya. Saat-saat terburuk dalam
hidupnya. Dia sekarang malah bergantung pada cowok yang paling nggak pengen dia
temui seumur hidup, cowok boyband. Hiiiyh! Tapi jika tidak pada Rangga, pada
siapa lagi dia berharap. Kesasar di pulau orang, kecopetan, dan nggak punya
uang sama sekali. Dia harus bertahan duduk bersampingan dengan Rangga sampai
dia dipulangkan oleh Rangga ke Jakarta. Lebih dari itu, dia tidak akan mau lagi
berurusan dengan anak boyband kayak dia.
*************
Sementara itu di Jakarta, begitu SMASH selesai perform di
acara yang diadakan sebuah promotor, Rafael langsung menggiring Reza masuk ke
dalam ruang ganti. Dia tahu Reza membawa mobil sendiri. Tapi kali ini, dia
tidak akan membiarkan Reza pulang begitu saja. Sesuatu yang membuat Rangga
menghilang berhari-hari, harus diluruskan sekarang juga.
“Lo nanya-nanya gue, percuma, Coh! Gue nggak ngerti!”
tegas Reza begitu dirinya diinterogasi habis-habisan oleh Rafael.
“Gue inget banget, setelah pulang dari manggung tiga hari
lalu, loe seharian bersama Rangga. nggak mungkin loe nggak ngerti apa-apa!”
“Seharian bersama Rangga? siapa bilang? Emang ada
buktinya!”
“Ilham yang ngomong ke gue!”
Reza
mengatupkan bibirnya. Dia langsung melirik Ilham tajam. Ilham diam menunduk
mendapat tatapan protes dari abangnya. Bisa apa dia? Jika Rafael sudah
bersuara, tak satupun bisa menolak.
“Nggak ada waktu buat bertingkah kekanak-kanakkan kayak gini,
Ja! Loe tahu promotor kita menuntut kita untuk tampil lengkap! Kalau sampai
hari Senin Rangga masih nggak ada, kita nanti yang kena penalti kontrak kita
sendiri!”
Reza diam seribu bahasa. Tak satupun kata keluar dari
bibirnya. Rafael semakin kehilangan kesabaran dibuatnya. Otaknya campur aduk
antara memikirkan show dan Rangga. Di saat begini, Reza malah diam membisu.
Tiba-tiba Bisma muncul dari balik pintu. Dia berjalan
menghampiri Rafael.
“Udah nyambung, Bis?” tanya Rafael.
“Udah, Coh. Dari tadi malam aku telponin Rangga, nomornya
gak aktif terus. Tapi tadi dia angkat telponnya!”
Rafael terhenyak, “Diangkat? Terus, dia bilang dia
dimana?”
“Kayaknya, dia lagi nyariin Ola.”
Seluruh orang di dalam ruangan itu diam tak berkomentar.
Ola, gadis itu. Jika sudah berurusan dengannya, tak satupun bisa menghentikan
Rangga.
“Loe tahu Rangga dimana?”
“Itu masalahnya, dia nggak bilang. Tadi pas telpon,
suaranya berisik banget. Seperti lagi di jalan.”
Rafael diam memutar otak. Buntu! Seperti nggak ada jalan
keluar lagi!
“Sudah, kalian buleh bubar. Malam ini, gunakan waktu
untuk istirahat. Besok pagi kita ada latihan. Blocking dan pembagian vokal.”
Berkata demikian, Rafael lalu berlalu keluar ruangan. Otaknya benar-benar penuh
sesak.
Suasana mendadak hening sepeninggal Rafael. Termasuk
Reza, dia dilematis sendiri jadinya.
“Gue capek blocking terus! Bagian vokal Rangga itu
tinggi-tinggi! Siapa lagi yang mesti gantiin dia!? Masa Cocoh terus?” gerutu
Dicky.
“Makanya latihan!! Daripada kena resiko lip-sync!” timpal
Bisma.
“Telpon Ola aja buruan! Suruh Rangga pulang!” kata Dicky.
“Bukannya Ola sama Rangga udah putus ya?” tanya Bisma.
“Gue bilang juga apa! Rangga itu mendadak gila gara-gara
diputus Ola!”
Di tengah obrolan Dicky dan Bisma, Reza dan Ilham hanya
diam dan saling melempar tatapan. Sesekali Ilham menggigit bibirnya. Seperti
tidak tahan menyimpan rahasia. Semua hal tentang Ola, dan juga semua yang
membuat Rangga menghilang selama berhari-hari, dia ketahui itu semua tanpa
sengaja dari abangnya. Tapi jika ia bocorkan hal ini, bisa dibunuh dia sama
Reza. Lagipula, cewek mana yang tahan dengan Reza? Sekali didekati, tak satupun
cewek lolos dari pelukan Reza. Dan mungkin kali ini giliran Ola.
Ilham pulang ke apartmen bersama Reza. Sementara Reza
memegang kemudi, Ilham sibuk melihati handphonenya. Pura-pura sibuk bermain
game. Dalam hati, Ilham sibuk merangkai kata untuk bertanya pada kakaknya.
“Apa aja yang udah lo bilang ke Cocoh?” tanya Reza
mendahului pembicaraan.
DEG!
“Jadi cowok jangan kebanyakan omong, Ham!” kata Reza.
“Tapi nggak untuk hal seperti ini, Bang! Gue kasian sama
manajemen! Kebingungan nyari alasan buat ngomong sama promotor. Ini promotor
besar, promotor internasional!”
“Gue akan ngomong semuanya! Tapi nggak sekarang!”
“Terus kapan? Nunggu Rangga ngilang sampe setahun?! Gue
tau lo pinter nggaet cewek! Tapi nggak cewek temen lo juga, ‘kan!”
“Kalo nggak ngerti apa-apa itu diam! Bangsat!!”
Ilham seketika diam. Reza sedang benar-benar emosi
sekarang. Lelah berjam-jam show di panggung. Dia tidak ingin menambah lelah
dengan bertengkar dengan kakaknya. Jika memang keadaan memaksa, dia akan
bertindak sendiri. Dia tak mungkin membiarkan Rangga menghilang tanpa kabar
seperti sekarang.
**************
Bus yang dikendarai Rangga dan Andin berhenti di sebuah
dermaga yang tak begitu besar. Puluhan orang lalu lalang membawa kotak-kotak
kayu berisi ikan. Tak ada kapal besar atau kantor petugas seperti yang biasa ia
lihat di dermaga-dermaga lainnya. Kesimpulannya, ini dermaga milik kampung
nelayan.
“Mampus gue ngikutin obsesi lo! Tempat apa lagi ini?!”
gerutu Andin. Ia menutup hidungnya dari bau amis ikan.
“Tempat resepsionis di mana ya?” gumam Rangga.
“Resepsionis kepalamu! Mana ada resepsionis di pasar ikan
kayak begini?! Gue bilang juga apa! Naik bus itu jangan asal naik! Lihat dulu
jurusannya ke mana! Gini ini jadinya kalo nurutin cowok agresif kayak loe!”
“Daripada ngomel nggak jelas, mending loe diem!” bentak
Rangga.
“Gimana bisa diem?! Hidup gue jadi ga karuan gara-gara loe!”
“Ada ya rocker alay kayak loe?!”
Rangga memutar otak. Matanya menyapu seluruh cakrawala
yang terbentang di depannya. Suara debur ombak bersahut-sahutan. Penduduk
pribumi lalu lalang di depannya. Sejujurnya, dermaga itu dipenuhi perahu-perahu
nelayan. Tapi mana mungkin ia menaiki kapal sekecil itu ke Bali. Tak ada jalan
lain, ia harus menemukan dermaga lain yang beroperasi untuk penumpang.
“Permisi.....” tegur Rangga pada seorang laki-laki yang
tengah membersihkan jala ikan. Laki-laki berkalung sarung itu menoleh pada
Rangga.
“Dermaga tempat kapal penumpang di mana ya, Pak?” tanya
Rangga.
“Oooh! Daerah Ampenan ada, Mas!”
Rangga mengernyitkan dahinya. Sejurus kemudian dia
menoleh pada Andin memberikan isyarat, loe ngerti apa itu Ampenan?”
Andin menggeleng. Mana tahu dia daerah-daerah di Lombok.
Dia aja baru kali ini ke sini.
“Tapi setahu saya, dermaga-dermaga sekarang libur semua,
Mas! Ada badai besar katanya!” lanjut laki-laki itu, “Mas ini mau kemana
memangnya?”
“Mau nyebrang ke Bali, Pak!”
“Coba saja Mas ke Sugimin! Itu, yang kapalnya warna ijo.
Biasanya meski ada badai besar kayak gini, cuman dia yang berani ngelayar...”
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk laki-laki itu. Dia
mengangguk.
“Terima kasih, Pak!”
Rangga membalikkan badan. Dengan mantap dia berjalan ke
arah perahu yang ditunjuk laki-laki tadi. Tapi buru-buru Andin mencegatnya.
“Lo serius mau naik perahu itu?!” tanya Andin.
“Serius...”
“Perahu sekecil itu? loe denger kan tadi katanya ada
badai besar??!”
“Denger...”
“Heh! Monyet! Loe jangan ngambil keputusan seenak jidat
loe gitu donk! Loe mau bunuh diri apa?!!”
Rangga menghentikan langkahnya, “Kalau
loe nggak mau ikut gue, nggak apa-apa!”
Andin menganga. Dari semua tingkah
Rangga yang menurutnya absurd, kali ini adalah tingkah Rangga paling gila yang
pernah dia lihat. Andin mendesis sementara Rangga berjalan mendahuluinya di
depan. Rangga mendekati sebuah kapal. Ia nampak berbicara serius dengan sang
pemilik.
Terus harus bagaimana sekarang? Jika dia tidak ikut
Rangga, siapa lagi yang akan menanggung hidupnya di pulau ini? Tapi jika dia
ikut, sama saja dengan ia mengantarkan nyawa ke laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar