16 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 19

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Thanks udah baca cerbung gesrek ini sampe sekarang :) ... Jangan menjadi pembaca gelap ya... :) Author pengen tahu kesan-kesan kalian tentang cerbung ini. koment aja...

-------------------------------------



        “Mau cowok boyband kek, bisnisman kek, sama aja!!” jawab Andin.

        “NAH!!!” kata Erwin dengan nada meninggi, “Loe sekarang belain dia!!!”

        “Cinta bisa datang kapan aja, kampret! Mana tahu gue kalau bakal begini!!”

        “Ceileee! Ngomongin cinta~... Siap-siap, Punk! Bentar lagi album ke delapan isinya lagu cinta semua! Sekalian aja ajak tuh anak boyband nyanyi bareng dan breakdance di video klip loe!” balas Ardhy.

        Andin memasang wajah kusut mendengar celotehan Ardhy. Ia lalu meraih tasnya dan keluar dari ruangan manajernya.

        “Ndin! Andin! Loe mau kemana?! Ini jadwal manggungnya gimanaaa?!” teriak manajer Andin.

        Pintu ruangan tertutup kencang. Erwin, Ardhy dan Ipunk sempat tersentak kaget dibuatnya. Mereka memasang tanda tanya besar. Bagi mereka, saat Andin sedang malu atau marah, sama saja. Apa saja yang ia pegang bisa kena banting.

        “Kalian sih ngecengin dia terus! Ngambek kan jadinya! Biar aja dia sama anak SMASH.” Omel manajer.

        “Ya, kan kita cuma kaget...” bela Erwin.

        ***************

        “Kalian lewat depan dan ladeni wartawan. Aku, Tante Yudith, Om Rully, Ola dan Rangga akan lewat belakang. Katakan saja kalian tidak tahu tentang hubungan Andin dan Rangga. Biar mereka berdua yang menjelaskan sendiri nanti.” Jelas Om Panchunk di dalam pesawat. Suaranya setengah berbisik agar tidak terlalu menarik perhatian penumpang lainnya. Meskipun menggunakan penerbangan paling pagi, ia yakin sudah banyak wartawan yang berkumpul sejak subuh di bandara. Entah bagaimana, jadwal kepulangan Rangga ke Jakarta sampai bocor ke mereka.


        Rafael manggut-manggut. Jalur belakang berarti jalur aman penumpang dimana hanya orang tertentu yang bisa lewat sana. Tidak akan ada wartawan yang menyerbu Rangga di sana.

        “Aku lewat depan bareng yang lain.” sahut Rangga tiba-tiba.

        Semua orang menoleh padanya. Membelalakkan mata dan hanya bisa bergumam keheranan melihat perubahan tingkahnya.

        “Tapi nanti akan kesulitan untuk mendorong kursi roda di tengah kerumunan.” tolak Om Panchunk.

        “Nggak usah kursi roda! Aku udah sembuh, Om. Aku udah bisa jalan! Mau sampai kapan pura-pura terus?” tukas Rangga.

        “Ini bukan main-main, Rangga! Media sedang heboh! Kamu sekarang jadi incaran semua portal berita!”

        “Biar aja mereka ngeliput. Aku aja nggak keberatan.”

        Om Panchunk tercekat. Ia tidak menimpali kalimat Rangga. Sudut hatinya yang lain ingin menyadarkan Rangga tentang tingkahnya yang sudah kelewat batas. Tapi sudut hatinya yang lain menolak. Rangga terlihat bersungguh-sungguh. Mungkin benar ia dan Andin telah...

        * * * * * * * * *

        Rangga berjalan menuju pintu keluar bandara bersama kelima temannya yang lain. Beberapa pasang mata pengunjung bandara sempat tertuju padanya. Bahkan sesekali Rafael dan Bisma mencoba memeganginya. Dengan segera Rangga menepis tangan Rafael dan Bisma.

        “Gue nggak apa-apa!” tolak Rangga.

        “Begitu keluar dari pintu bandara, puluhan wartawan akan nyerbu kita.” Ucap Bisma.

        “Gue tahu.”

        Tiba-tiba Rangga menghentikan langkahnya. Sudut matanya menangkap sosok gadis yang tidak asing lagi dimatanya. Di samping jajaran kursi tunggu bandara, seorang gadis berkuncir kuda dengan jaket kulit merah marun, menatap Rangga dalam diam.

        “Udah lama?” tanya Rangga. Ia membelokkan kakinya ke arah Andin. Langkah demi langkah Rangga mendekat.

        “Nggak juga, baru lima belas menit.” Jawab Andin. Tangannya tenggelam dibalik saku jaketnya. Bukan apa, ia hanya tidak ingin terlihat gugup. Ini adalah kali pertama ia dan Rangga berhadapan sebagai seorang pacar.

        “Ikut aku!” kata Rangga. Ia meraih tangan Andin dan menggandengnya menuju pintu bandara.

        “E-eh!! Kemana?” tanya Andin di sela langkahnya yang terburu-buru mengejar langkah Rangga.

        “Loe bawa mobil kan?” tanya Rangga tidak mengindahkan pertanyaan Andin.

        “Y-ya...” jawab Andin.

        Keduanya terus melangkah. Meninggalkan Rafael, Bisma, Reza, Ilham dan Dicky di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Kelimanya hanya sempat menganga melihat pemandangan langkah itu. Rangga menggandeng tangan Andin, si Cewek Rocker dan tomboy? Apa dunia sudah kiamat?

        Mereka kenal Rangga bukan sekedar teman berkarir. Ia adalah cowok berprinsip dan selalu menaruh kriteria tinggi terhadap masa depannya. Termasuk kekasih. Rangga tidak pernah suka dengan cewek urakan dan ugal-ugalan. Baginya, cewek haruslah cantik, feminim, manis dan bisa merawat diri. Sebagaimana cewek pada kodratnya. Semua karakter itu ada pada Ola.

        Lalu kenapa keadaan jadi terbalik seperti ini?!

        “Cepat kejar, Rangga!” ucap Rafael sigap.

        Dengan langkah cepat kelimanya mengejar Rangga ke pintu bandara. Dari jarak itu, sudah terlihat Rangga tenggelam di tengah kerumunan wartawan. Flash kamera menyala bak petir. Semakin riuh dengan serbuan pertanyaan-pertanyaan wartawan.

        “Percuma, Coh! Kita mau nyelametin Rangga kayak gimana juga nggak bisa.” Ujar Ilham. Ia memelankan langkahnya.

        Rafael turut memelankan kakinya. Matanya memicing pesimis.

        ****************

        Matahari bersembunyi di balik awan. Tak sedikitpun terasa bahwa hari telah beranjak siang. Sejenak Kota Jakarta yang biasanya panas memanggang, kini nampak teduh. Membuat manusia yang berada di bawahnya nyaman berkeliaran di jalanan. Sebuah mobil berwarna silver melaju di tengah jalanan yang padat. Membelah jalanan Kota Jakarta yang berpetak rumit seperti labirin.

        Mengemudikan mobil di tengah jalanan yang lagi lancar-lancarnya seperti ini biasanya terasa menyenangkan, karena tidak harus berlama-lama terjebak macet. Tapi tidak bagi Andin. Setengah gugup ia melajukan mobilnya. Di sebelahnya, seorang cowok berkulit putih dengan kacamata hitam di wajahnya, duduk bertopang dagu. Andin meliriknya sesekali. Terkadang sambil menelan ludah. Canggung.

        “Berhenti!!”

        “Aaakh!!!” sontak kaki Andin menginjak rem. Mobil berhenti mendadak di tengah jalan. Beberapa mobil membunyikan klakson. Lumayan lah. Lumayan bikin jantungan.

        “Heh! Kunyuk!! Loe bilang-bilang kek kalo mau berhenti! Jangan dadakan gini!!!!” omel Andin.

        Rangga menatapnya datar, “Gue bilang berhenti biasa aja. Loe aja yang alay!”

        “Ya tapi nggak pas gue lagi nyetir dengan kecepatan 80 kilometer juga kali! Bikin jantungan loe!!”

        “Mau sampe kapan ngomel? Buruan minggirin mobilnya. Didamprat orang tau rasa loe!”

        Gigi Andin bergemeretak. Dengan wajah tidak ikhlas ia meminggirkan mobil sesuai permintaan Rangga.

        “Loe berhenti di sini?” tanya Andin.

        “Nggak, gue mau ke dalem sebentar.” Jawab Rangga sambil membuka pintu mobil. Andin menatap sebuah rumah makan khas Padang yang ditunjuk Rangga.

        “Loe mau makan?” tanya Andin lagi.

        “Kagak, gue mau pipis. Gue mau numpang toilet sebentar. Tadi di bandara nggak sempat ke toilet.”

        Andin mangap, “Hah? Toilet?!” Andin memukul kemudi yang ada di depannya, “Jadi, loe ngagetin gue buat berhenti di tengah jalan, hampir nyebabin kecelakaan, cuma demi numpang toilet??” protes Andin dengan penuh penekanan.

        “Udah diem loe! Gue masih jetlag!!” Rangga menutup pintu mobil. Ia berjalan masuk ke dalam restorant malang itu.

        Andin memegang pelipisnya. Sungguh tidak habis pikir. Dahinya sudah berlipat tujuh memikirkan tingkah gila Rangga. Nggak di Mataram, di Bali, di Jakarta, dia tetap saja idiot.

        Tapi mau gimana lagi. Udah sejam ia memutari jalan di Jakarta tanpa tujuan. Rangga memutuskan kabur ke dalam mobilnya dari kejaran wartawan. Dan kini, ia terjebak di mobilnya sendiri dengan seorang cowok abnormal. Ironis.

        Ingin bertanya kemana akan pergi pun percuma. Nyalinya beringsut ketika berada di dekat Rangga. Gugup, canggung dan bingung. Andin tidak tahu harus bagaimana. Tapi...

        Tapi kenapa Rangga terlihat biasa saja? Sedari tadi ia hanya bertopang dagu. Kadang melamun. Matanya menatap kosong ke jalanan yang dipenuhi mobil. Apa karena dia baru sembuh? Atau....

        Sekonyong-konyong belasan orang berlari keluar dari restorant Padang di mana Rangga tadi masuk. Mereka berteriak ramai. Andin terhenyak. Seketika ia tersadar dari lamunannnya. Dan di tengah amukan orang yang berlari itu nampak Rangga berada di barisan paling depan. Wajahnya panik. Ia berlari kencang ke arah mobil.

        “Cepat jalan!!!” perintah Rangga begitu ia sampai di depan pintu mobil. Ia melompat ke jok. Nafasnya ngos-ngosan.

        Sekali lagi, Andin menurut. Ia langsung tancap gas. Beberapa orang yang mengerjar Rangga itu sempat menggedor-gedor kaca mobilnya. Andin begidik. Berasa berada di tengah demo anarkis.

        “Loe habis nyolong apaan sampe diserbu seisi restoran gitu?!” sergah Andin setelah mobilnya jauh dari restaurant itu.

        “Enak aja loe asal tuduh! Gue cuman numpang toilet, itu doank! Tau mereka tiba-tiba ngejar!” balas Rangga. Nafasnya masih belum terkendali.

        “Makanya punya otak tuh dipakek! Loe tuh artis! Enak aja main pinjem toilet! Tau rasa loe diserbu fans loe sendiri!!”

        Rangga tak menjawab. Ia masih sibuk mengatur nafasnya. Hembusan nafas berat masih terdengar dari bibirnya. Tapi semenit kemudian, desahan nafasnya berubah menjadi engahan kesakitan. Rangga meremas bajunya. Wajahnya menyeringai menahan sakit.

        “Rang?” tanya Andin mulai panik. Sebelah tangannya memegangi pundak Rangga.

        “Kkkkhhhh.....”

        “Loe kenapa??!”

        “Kaki gue~...”

        “Kenapa kaki loe? Keseleo?!!”

        Andin menahan nafasnya. Ia lalu teringat, baru kemarin Rangga keluar dari rumah sakit. Dan sekarang ia berlari kencang seperti itu! Masih kental di ingatannya bagaimana kaki Rangga waktu itu diperban di rumah sakit.

        Tanpa pikir panjang, Andin langsung membelokkan mobilnya ke sebuah rumah sakit. Dia tidak mau lagi ambil resiko. Ia tidak mengerti sedikitpun tentang medis, satu-satunya yang bisa membantu Rangga sekarang adalah rumah sakit.

        Suasana tegang di dalam mobil mulai berpindah ke dalam sebuah ruangan di rumah sakit. Andin menggigit ujung kukunya sementara Rangga ditangani dokter. Ia tidak berhenti mengerang dan terus meremas kaki kanannya.

        “Retakan di tulang keringnya belum sembuh benar. Sebaiknya hindari aktivitas berlebih.”

        Andin hanya bisa mengangguk sementara dokter menceramahinya. Sejujurnya ia jengkel. Entah cuma perasaannya atau emang fakta, Dokter itu memberi tahu diagnosa Rangga dengan nada seolah protes padanya. Seharusnya ia tidak bisa menjaga Rangga. Rangga masih sakit. Nah, dia pikir Andin siapanya Rangga?

        “Oh, ya... gue pacar Rangga...” batin Andin payah.

        Rangga telah duduk di atas ranjang saat Andin masuk ke dalam ruangan. Kakinya menggantung ke lantai. Rangga sudah tidak menampakkan wajah kesakitan. Sekarang ekspresinya lebih terlihat menyebalkan dan sok polos.

        “Gue haus...” rengek Rangga tanpa sempat Andin membuka suara.

        “Terus? Gue harus pergi ke foodcourt rumah sakit dan ngebeliin loe minuman gitu?” tukas Andin.

        “Ya udah! Gue beli minuman sendiri!” ancam Rangga. Ia siap melompat ke lantai.

        Andin mendelik. Ok, dia kalah! Ia lalu keluar kamar dan pergi membeli minuman yang diminta Rangga. Salahnya sendiri mau menuruti Rangga untuk datang ke Bandara tadi pagi. Rangga masuk ke mobilnya tanpa tas, handphone dan dompet. Dia seratus persen anak hilang. Keadaan seperti berbalik. Dulu di Lombok dia yang seperti anak hilang dan diasuh Rangga, tapi sekarang, giliran dia yang mengasuh Rangga.


        Tidak ada 24 jam Rangga keluar dari rumah sakit, dan kini ia masuk lagi ke dalam rumah sakit. Entah dia udah sinting beneran atau udah kecanduan selang infus. Rangga terlihat kerasan banget berada di rumah sakit.

        Untuk berjaga-jaga, Andin juga membeli dua nasi kota, minuman, dan cemilan sebanyak mungkin. Ia tidak bisa menduga permintaan apa saja yang akan keluar dari mulut Rangga. Tampang tomboy dengan dua bungkus kresek besar di kedua tangannya, untuk sementara Andin merasa menjelma menjadi pembantu.

        Sementara menunggu lift, sebersit pikiran muncul di benak Andin. Ia merasa aneh. Sedikit weird. Seumur hidupnya tidak pernah sekalipun ia menyiapkan makanan untuk seseorang. Bahkan untuk ibunya. Selalu ada pembantu yang siap sedia 24 jam menyiapkan makanan untuk seluruh isi rumahnya. Termasuk saat ia bersama Ardhy, Ipunk dan Erwin. Malah mereka yang selalu menyiapkan makanan meski sekedar pesan pizza.

        Dan sekarang? Ia rela membeli nasi kotak untuk orang yang baru dikenalnya beberapa minggu lalu?

        Ting!

        Bunyi khas lift yang terbuka membuyarkan lamunan Andin. Ia menekan tombol lantai 4 dimana Rangga berada sekarang. Ia tersenyum kecil. Setelah semua lamunannya yang terangkum janggal, ia hanya tersenyum. Beginilah cinta, batinnya.

        Rangga melempar muka sumringah begitu Andin membuka pintu. Bungkusan besar berisi banyak makanan, itu yang ia tunggu-tunggu, “Nah, gitu, pinter!”

        “Udah, diem! Makan aja...” pungkas Andin.

        Keduanya makan di dalam kamar rumah sakit. Saling berhadapan dengan nasi kotak masing-masing, kadang diselingi canda. Andin kali ini mendapat pekerjaan banyak. Selain harus membelikan Rangga makanan, ia juga harus menampung semua sayuran dari Rangga. Porsinya jadi terlihat menggunung dengan irisan sawi, wortel dan buncis di atasnya.

        “Loe tuh butuh sayuran biar cepet sembuh!” protes Andin.

        “Yang gue butuhin tuh daging. Banyak kalsium.” Bela Rangga.

        “Yang ada mah nambah gemuk.”

        Nyatanya sakit Rangga tidak separah yang ia duga. Kakinya hanya ngilu dan nyeri karena tambalan di tulangnya yang goyah karena berlari. Ekspresi kesakitan yang ia tunjukkan di dalam mobil tak lebih dari sifatnya yang memang alay. Dokter sudah menyilakan Rangga pulang dengan catatan ia mau menjaga tingkahnya. Tapi Rangga sama sekali tidak merespon. Yang ada ia malah memainkan botol minuman yang udah kosong lalu memukul-mukulkannya ke tembok rumah sakit ala drummer yang sedang beraksi di atas panggung.

        “Loe nggak takut nyokap-bokap loe ngirimin polisi buat nyari loe lagi?!” kata Andin.

        “Halah, mereka paling-paling ngiranya gue sama anak-anak.” Jawab Rangga asal.

        Andin tidak meneruskan aksinya membujuk Rangga untuk pulang. Sejak di bandara, ia sudah menunjukkan gelagat berbeda. Ia seolah malas berada di tengah-tengah teman dan kedua orangtuanya.

        “Kenapa?” kejar Andin kemudian.

        Rangga menurunkan botol di tangannya. Dia menoleh.

        “Loe marahan sama mereka?” tanya Andin.

        “Hah?”

        “Kenapa loe nggak mau pulang?”

        “Loe sibuk?” Rangga balik bertanya.

        “Apa?”

        “Gue nanya, apa loe sibuk? Ada jadwal?”

        “Eng-enggak...”

        “Gue cuman mau bareng loe di sini.”

        Kalimat singkat Rangga cukup manjur untuk membungkam Andin. Cewek berkuncir kuda itu kini bersemu malu. Rasa gugupnya yang telah sirnah kini muncul lagi.

        “Gue capek ngelihat mereka. Memperlakukan gue seolah gue korban bom nuklir. Nggak boleh ngapa-ngapain. Kemana-mana naik kursi roda,” Lanjut Rangga. Ia lalu beranjak dari ranjang, “Cuma dengan loe gue ngerasa bebas. Gue ngerasa bisa bertingkah semau gue tanpa ada yang sok perhatian. Gue benci ngeliat kemunafikan.”

        Andin mengerjapkan matanya. Nada bicara Rangga berubah. Udara kelabu penuh kekosongan seolah sedang menyelimutinya sekarang

        “Bersikap manis pada dua laki-laki berbeda. Menggunakan alasan sahabat dan pacar, maunya apa? Anak kecil juga tahu kalau dia berat sebelah.”

        Andin menurunkan bahunya. Kini jelas kemana Rangga membawa arah pembicaraan. Nafasnya selalu memburu jika sudah membicarakan gadis itu. Gadis yang beberapa waktu lalu baru saja menghancurkan hatinya hingga berkeping-keping. Kecil dan tidak berbentuk.

        Rangga melempar pandangannya ke sudut atap rumah sakit. Matanya berkilat. Lagi-lagi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia melangkahkan kakinya ke depan. Satu dua langkah, ia semakin mendekat ke Andin yang berdiri di depan cendela.

        “Aku nggak pengen kemana-mana.” Ucap Rangga. Ia lalu merebahkan kepalanya di pundak Andin. Tangannya merengkuh tubuh Andin erat.

        Suasana sunyi senyap. Hanya denting jarum jam mengalun di udara. Rangga khidmat merebahkan kepalanya di pundak Andin. Sejenak melepas batu yang menghimpit hati dan kepalanya. Pelan-pelan ia meletakkan bayang wajah Ola di sudut yang gelap. Melalui jalan yang berliku dan sempit. Di ujung yang tidak bisa diraih sanubarinya. Di sana ia meletakkan Ola. Menutupinya hingga tak nampak. Dan saat ia memandang, semua kenangan buruk itu telah menghilang.

        Rangga membuka matanya. Ia menggeser kepalanya. Tangannya berpindah merengkuh bahu Andin. Tanpa diduga tiba-tiba Rangga melepas pelukannya. Andin tersentak kaget. Rangga meletakkan wajahnya tepat di depan wajah Andin. Matanya hanya berjarak dua inchi dari mata Andin. Ia menatap dalam-dalam.

        Andin tertegun. Jantungnya langsung berdegub kencang.

        “Ayo main monopoli!!” kata Rangga kemudian.

        “HAHHH???”

---------------------------------------------

-______-"

BERSAMBUNG KE PART 20

2 komentar:

  1. Nadhira Srikandi18 Juli 2014 pukul 04.39

    wkwkwk :-D malah ngajak main monopoli ada da aja. Next part nya mana kak? ceritanya makin seru jadi gak sabar buat baca nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. adegannya udah tegang-tegang romantis... ujung2nya ngajak main monopoli.... rembes otaknya.. :D

      Hapus