18 Juli 2014

(Cerbung SMASH) "Cewek Rockstar VS Cowok Boyband" / Part 20

Judul        : “Cewek Rockstar VS Cowok Boyband”

Pengarang : @ariek_andini

Genre       : Comedy-Romantic

Cast          : Rangga, Rafael, Dicky, Bisma, Reza dan Ilham.

Thanks udah baca cerbung gesrek ini sampe sekarang :) ... Jangan menjadi pembaca gelap ya... :) Author pengen tahu kesan-kesan kalian tentang cerbung ini. koment aja...

-------------------------------------


        Rangga membuka matanya. Ia menggeser kepalanya. Tangannya berpindah merengkuh bahu Andin. Tanpa diduga tiba-tiba Rangga melepas pelukannya. Andin tersentak kaget. Rangga meletakkan wajahnya tepat di depan wajah Andin. Matanya hanya berjarak dua inchi dari mata Andin. Ia menatap dalam-dalam.

        Andin tertegun. Jantungnya langsung berdegub kencang.

        “Ayo main monopoli!!” kata Rangga kemudian.

        “HAHHH???”

        ****************

        Pucuk pohon palem terhuyung-huyung bersama angin. Sebentar ke kiri, sebentar ke kanan. Bayangnya menjulang meneduhi sebuah apartemen bergaya minimalis di salah satu sudut Kota Jakarta. Matahari berjaya di angkasa. Tepat di tengah. Atau agak ke barat.

        Ah, iya. Ini sudah menjelang sore. Matahari sudah mau lengser. Namun Rangga baru menginjakkan kaki di apartemennya. Seharian kemarin ia menghabiskan waktu di rumah sakit. Malamnya ia menginap di sana meski dokter sudah menganjurkannya pulang. Baginya, rumah sakit atau hotel tidak ada bedanya. Yang beda hanya pelayannya.

        Apartemen megah yang ada di hadapannya berdiri kokoh siap menerima kedatangannya. Rangga tersenyum simpul. Sudah lama sejak ia menghilang ke Lombok, dia rindu dengan suasana apartemen yang ia tinggali bersama kawan-kawannya ini. Pintu apartemen terbuka sejengkal saat Rangga hendak masuk. Ia tertegun sejenak. Begitu ia membuka pintu, seperti dugaannya, lima orang kawannya duduk berkeliling di sofa. Dan seorang gadis dengan dress berwarna salmon. Sebuah jeans ketat membalut kakinya hingga selutut. Membauri kesan casual pada dress-nya yang terkesan eksklusif.

        Itu gaya pakian yang disukai Rangga. Tapi kali ini Rangga bergeming. Dia tidak tertarik dress macam apapun yang dikenakan Ola. Rangga menyelonong masuk.

        “Loe dari mana aja?” tegur Rafael.

        “Ada urusan sedikit. Ada apa rame-rame ngumpul di sini?” ujar Rangga. Ia berdiri di belakang kursi yang diduduki Ilham. Tangannya menyangga tubuhnya.

        “Ada jadwal nanti jam empat sore. Tapi loe tenang aja, nanti semua lagu kita bawain versi akustik. Kata Tante Yudith loe masih belum boleh gerak banyak-banyak. Jadi ntar kita fokus ke vokal aja. Nggak ada dance.” Jelas Bisma.

        Rangga mengangguk, “Ok. Gue mandi dulu. Habis ini latihan vokal, ‘kan?”

        “Y-ya...”

        Rangga melengos ke dalam kamar mandi. Dicky, Reza, Rafael, Bisma dan Ilham hanya cengo melihat Rangga berlalu.

        “Perasaan kemarin di Bali dan di bandara mukanya jutek, kesambet setan apa dia tiba-tiba happy gitu?” gumam Dicky.

        “Dia kan udah punya gandengan baru. Ya, happy, lah..” timpal Bisma.


        “Loe nggak pensaran tadi malam Rangga tidur dimana?” tanya Ilham.

        Dicky dan Bisma saling pandang. Kemudian keduanya tertawa cekikikan.

        “Udah kalian jangan banyak rusuh. Rangga baru balik aktivitas. Jangan bikin dia jutek lagi. Udah seminggu penuh kita nggak manggung sama sekali.” Ucap Rafael.

        Peringatan Rafael justru membuat Dicky, Ilham dan Bisma tertawa makin lebar.

        *****************

        Jegreeeng....

        Andin memetik gitar elektrik tanpa semangat. Kedua tangannya membopong gitar, tapi matanya sejak tadi menatap kosong tembok berlapis lapisan peredam suara berwarna hijau moss di studionya. Sekali lagi tangannya mengayun di atas senar gitar. Bukan melodi apik yang terdengar, hanya suara fals dan berisik. Andin sama sekali nggak semangat latihan band.

        “Udahlah, gue hapal semua lagunya. Ngapain sih pakek latihan segala? Kayak loe baru maen band kemaren sore aja.” Ujar Andin kemudian. Nada suaranya terdengar protes. Kantung matanya menggantung di bawah matanya. Sumpah, ia merasa ngantuk setengah mati.

        Erwin menghentikan aksinya mengelap gitar flying V miliknya, “Elu kenapa, sih? Nggak semangat banget kaliatannya.”

        “Satu januari dua minggu lagi, Ndin. Bentar lagi tahun baru. Kita nggak manggung di Ancol lagi kayak kemaren, kita bakal ke Pontianak! Kata Pak Beni gitu!” terang Ardhy.

        Andin manyun. Penjelasan Ardhy masuk ke kuping kanan, lalu keluar lewat kuping kiri. Semalaman ia tidak sempat tidur. Rangga terus-terusan memaksanya main monopoli meski permainan udah tamat tujuh kali. Menyesal ia menuruti Rangga untuk membelikan papan permainan brengsek itu. Jam tiga pagi Rangga baru mau menyudahi permainan. Selebihnya ia tidur sampai jam sebelas siang. Cap baru langsung muncul di jidat Rangga. Begitu bangun, Andin langsung memanggilnya Kebo Gila.

        “Ndin??!” Panggil Ipunk.

        Andin terbangun dari lamunannya. Dia menatap Ipunk yang tiba-tiba berdiri di depannya kaget.

        “Loe kenapa sih belakangan suka banget ngelamun?” tegur Ipunk.

        “Kagak! Gue cuma lagi ngantuk aja.” tukas Andin. Buru-buru ia menghapus wajah Rangga dari pelupuk matanya.

        “Lagunya loe bawa, ‘kan?” tanya Ipunk.

        “Eh? Lagu?” Andin balik bertanya.

        “Loe nggak bawa?”

        “Lagu... iya, apa? Itu udah...” Andin gelagapan. Dia menatap ketiga kawannya bingung sementara otaknya dengan sigap mencari ingatan tentang lagu yang dipertanyakan Ipunk. Ah, iya, lagu yang diserahkan Romi, musisi yang bekerja sama dengan labelnya, kepadanya. Seminggu hari lalu Romi memberinya kepingan CD berisi musik. Andin diminta mengisi liriknya karena dia lah yang paham kemana album terbarunya akan dibawa. Dan compact disc itu sekarang di mobilnya. Atau di kamarnya. Atau masih di tas saat ia menerimanya dari Romi.

        “Loe belum nyelesein lagunya.” Simpul Ipunk tanpa banyak pikir.

        “Nggak. Bukan gitu! Lagunya udah...”

        “Udah apa?!” sahut Ipunk.

        “Punk, woles!” tegur Erwin melihat kedua kawannya mulai memanas.

        “Nggak! Dia harus dikasih tahu, Win!” Ipunk balik menatap Andin, “Loe nggak nyadar waktunya semakin mepet? Loe sendiri yang bilang bahwa lagu itu akan kita bawakan perdana saat manggung tahun baru nanti. Loe sendiri yang bilang akan ngasih suprise. Udah udah seminggu lebih, Ndin”

        “Gue banyak masalah! Gue lupa! Banyak hal yang mesti gue selesein!” Andin ganti menatap Ardhy dan Ipunk. Meminta dukungan.

        “Masalah? Iya masalah! Loe sibuk pacaran sama cowok boyband itu, iya, ‘kan?!!”

        “Stop!!” sahut Ardhy. Ia berdiri dari duduknya dan berdiri menengahi Andin dan Ipunk, “Nggak akan ada habisnya kalo kalian terus bertengkar.”

        Ardhy memutar tubuhnya. Tegak lurus menatap Andin, “Sekarang loe jawab, Ndin. Lagunya udah loe selesein apa belum?”

        “Gue...”

        “Simpel aja, udah apa belum?” kejar Ardhy.

        Tatap mata Andin meredup. Ia menunduk menatap senar gitar di tangannya, “Belum...” jawabnya lirih.

        Ipunk menjatuhkan tangannya. Dia balik badan lalu membanting tubuhnya di sofa. Ardhy dan Erwin menghela nafas berat. Mereka terdiam. Suasana studio seketika senyap.

        “Udah bubar aja! Nggak usah latihan-latihan! Sekalian aja batalin tuh acara manggung di Pontianak!” seloroh Ipunk.

        “Heh! Loe ngomong biasa aja! Lagian gue juga baru kali ini telat nyelesein lagu. Loe mestinya paham! Gue lagi banyak problem!” Andin kali ini meluapkan emosinya.

        “Loe nggak lihat akibatnya!” balas Ipunk dengan nada tak kalah tinggi.

        “Ndin...” panggil Ardhy dengan nada rendah, “Album baru kita terancam. Kita udah menunda penggarapannya pas loe menghilang di Bali. Seharusnya tanggal 12 Desember kemaren kita udah launching. Kita kena penalti kontrak sama label. Mereka nyuruh kita milih, launching tahun ini, atau tahun depan. Kita udah tiga kali nunda.”

        Ardhy menggeser tubuhnya. Dia bersandar ke dinding. Sejenak melepas tegang di punggungnya. Suasana studia hampir membuat seluruh otot tubuhnya kaku.

        “Kalau kita milih launching tahun depan, itu artinya kita harus break. Kita nganggur.” Lengkap Erwin.

        “Gue rasa gue nggak perlu lagi ngomong ke elo peraturan lainnya. Loe udah tahu semua itu. Loe udah jarang ke studio. Tadi malam aja loe nggak ikut meeting bareng manajer. Loe sering ngilang!”

        “Ok! Kalian udah puas? Kalian udah puas ngehakimin gue rame-rame?”

        “Kita udah terlalu lama lunak sama loe! Yang ada loe malah ngelunjak!”

        “Pikiran gue kacau!! Mana pengertian kalian? Bullshit!!”

        “Gue paham kok problem loe! Nama loe disebut-sebut di semua acara gosip. Loe juga nampang di majalah-majalah! Terus aja pacaran sama tuh anak SMASH!”

        Gigi Andin bergemelatuk. Dadanya penuh sesak. Di matanya, ketiga kawannya sudah kelewat batas. Separah apapun akibat yang ia timbulkan, mana pengertian mereka sebagai seorang teman? Andin menyipitkan matanya. Apalagi yang mereka khawatirkan jika bukan karir? Shit!!

        Andin menghentakkan kakinya keluar. Dibukanya pintu mobilnya. Masih dengan nafas mendengus, ia lalu melajukan mobilnya kencang.

        Sepanjang jalan, kalimat Erwin, Ardhy dan Ipunk menggema di telinga Andin. Membuatnya resah saat mengemudikan mobil. Tangannya berkeringat. Sampai-sampai ia lupa meletakkan jalur mobilnya. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan sekarang adalah pulang ke rumah dan menyelesaikan lagu yang diberikan Romi. Hanya dengan itu ia bisa lagi bicara dengan ketiga kawannya.

        “Bikinin kopi, Las.” Kata Andin begitu ia sampai di rumahnya kepada Lasi, pembantu di rumahnya.

        Andin melesat ke dalam kamarnya. Diraihnya tas punggung berbahan jeans dan menumpahkan isinya ke lantai. Benar, CD yang ia cari memang berada di sana. Dinyalakannnya komputernya dan mulai memainkan musik yang ada di dalamnya. Sementara ia sibuk dengan aksinya, Lasi masuk dengan secangkir kopi panas.

        Dentingan nada mengalun di seluruh penjuru kamar Andin. Andin menopang dagunya sambil menatap layar komputer. Sementara sebelah tangannya memgang bulpoin, siap menulis lirik lagu.

        Dua-tiga menit berlalu, tapi tak segarispun tintanya tergores. Lagu habis, Andin memainkannya lagi dari awal.

        Damn it!! Otaknya buntu! Suasana hatinya masih kacau karena pertengkaran tadi. Tidak ada satupun kata yang muncul di benaknya. Andin menyetop playernya lalu memainkannya lagi dari awal. Klik stop, lalu play. Begitu berulang-ulang. Yang ada ia malah makin gusar dan tangannya gregetan pengen ngebanting CPU.

        “Gue butuh ketenangan!” batin Andin. Baginya suasana sama sekali tidak mendukung.

        Tiba-tiba handphonenya berbunyi sebuah pesan dari.... Rangga.

        “Ikut gw ke bioskop ntar malem. Smurf tayang perdana. 07.00 pm. Jangan lelet.” Tulis Rangga di SMSnya.

        Andin mengernyitkan dahinya sebentar. Smurf? Film apaan? Kayak nama planet. Tapi tak masalah lah. Ini kebetulan, ia butuh udara segar. Mungkin setelah perasaannya membaik nanti, ia bisa menyelesaikan lagunya dan bisa latihan esok hari dengan Erwin, Ardhy dan Ipunk.

        Andin menengok jam di kamarnya. Jam lima sore. Masih ada dua jam sebelum Rangga menjemputnya. Andin kembali fokus ke layar komputer. Mungkin saja ada yang bisa ia dapatkan dengan terus menggali inspirasi di otaknya.  Tapi sepertinya ada yang menghendaki lain. Lasi tiba-tiba mengetuk kamarnya dan bilang ada seorang tamu mencarinya.

        “Siapa?” tanya Andin.

        “Perempuan, Mbak. Mungkin teman Mbak. Namanya Ola.” Jawab Lasi.

        Andin mendelik. Ia tersentak kaget. Ola? Ke rumahnya? Ada apa? Bagaimana bisa?

        Ola duduk memangku tangan saat Andin menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Sebuah tas selempang tersandar di samping Ola. Duduknya manis. Sangat khidmat. Dari jauh sudah terpancar auranya yang anggun. Sungguh berbeda dengan Andin yang kalo duduk suka menaikkan kaki ke atas kursi dan bersila.

        Ola berdiri dari duduknya melihat kedatangan Andin. Ia tersenyum lebar, “Hai, sore. Gue Ola.” Kata Ola memperkenalkan diri.

        Andin membalas jabat tangannya. Sedikit canggung. Selama ini ia mengerti Ola dari Rangga. Dan sekarang gadis itu menampakkan diri di depan matanya, secara nyata.

        “Gue temennya Rangga.” Kata Ola memulai.

        “Ya, Rangga pernah ngomong.” Jawab Ola.

        Ola cengo. Ia memasang ekspresi janggal. Andin mengatupkan bibirnya. Dalam hati ia merutuk, “Goblok gue! Ngomong apa gue barusan!”

        “Oh, gitu. Ehm, ya, gue lagi senggang, jadi main-main ke sini. Gue dapat alamat rumah loe dari Erwin. Nggak apa-apa, kan?” ucap Ola.

        “Erwin?”

        “Iya, dia temen SMA dulu.”

        “Ooooh...” Andin menggeser bola matanya. Jujur dia kaget setengah mati, kenapa Erwin nggak bilang kalo dia temenan sama Ola?

        “Gimana keadaan loe? Udah baikan?” tanya Ola kemudian. Suaranya lembut. Nyaman juga di telinga.

        Andin tertegun, butuh sekian detik hingga ia mengerti apa maksud pertanyaan Ola. “Udah baikan, kok. Bisa dibilang udah sembuh total.”

        “Begitu. Syukur, deh. Beda banget sama Rangga. Dia masih dalam masa pemulihan. Lukanya belum sembuh benar. Beberapa ada yang belum kering. Kakinya juga tidak bisa dipakai jalan jauh-jauh. Padahal dia udah mulai aktivitas. Sementara ini ia hanya bisa membawakan lagu slow dan akustik, jadi tidak boleh banyak gerak.”

        Andin menatap Ola ganjil. Tiba-tiba saja ia menceritakan semua tentang Rangga. Rangga tidak diperbolehkan jalan jauh-jauh dia juga tahu kali. Baru kemarin dokter menceramahinya gara-gara insiden Rangga dikejar fansnya di restaurant khas Padang.

        “Ada banyak obat yang harus diminum Rangga. Dan itu harus tepat waktu. Vitamin, antibody, dan obat-obat lain yang diberikan dokter.” Lanjut Ola.

        Kini sepenuhnya Andin memasang muka heran. Sedikit bercampur jengkel. Entahlah, gadis manis di depannya seperti ular. Bertutur manis, tapi menjerat.

        “Tapi sejak pulang ke Jakarta, Rangga tidak pernah meminum obatnya tepat waktu. Ia sudah sibuk perform. Dan itu masih ditambah dia selalu menghilang tanpa kabar. Main ke sana ke mari. Membuat Tante Yudith, mama Rangga, khawatir. Kadang semalaman tidak pulang. Padahal ia butuh istirahat banyak.” Sorot mata Ola berubah. Matanya indah, tapi menyiratkan sindiran dan peringatan keras untuk Andin.

        Salah satu sudut bibir Andin tertarik. Ia tersenyum mengejek, “Udah deh, Let’s skip to the case! Nggak usah berbelit-belit! Maksud loe datang dan ngomongin itu semua ke gue apa?!”

        “Gue rasa gue nggak perlu ngasih tahu loe. Kita sama-sama dewasa. Mestinya dengan semua penjelasan tadi loe paham.” Jawab Ola. Matanya yang semula manis kini menjadi tegas.

        “Rangga sakit dan butuh istirahat banyak? Dan gue mestinya sadar diri supaya nggak ngajak dia keluyuran agar dia bisa istirahat? Iya? Begitu?”

        Ola tidak bersuara. Dia masih stagnan menatap mata Andin.

        “Loe pernah denger nggak, sih, bahwa yang membuat fisik sakit itu tidak selamanya karena penyakit atau kecelakaan. Tapi juga karena psikologisnya! Loe nggak ngerti Rangga atau gimana?! Dia nggak butuh vitamin, antibody, atau apalah tadi yang loe bilang! Yang sakit itu bukan fisik dia! Yang sakit itu hati dia!!”

        “Dia butuh perhatian yang murni, yang pure! Bukan yang fake! Gini deh, gue bikin simpel aja. Kemaren yang bikin Rangga nggak pulang semalaman itu bukan gue, tapi dia sendiri. Dia sendiri yang nggak mau pulang. Gue heran, sebenernya berapa lama sih loe sama Rangga? Kok loe nggak paham-pham juga?”

        “Maksud omongan loe apa bawa-bawa masa lalu gue dan Rangga?” sergah Andin tidak terima.

        “Oh, iya, gue lupa! Loe udah putus kan sama dia? Tapi kok loe ngurusin dia terus sih? Loe nggak takut Reza cemburu?”

        Ola membelalakkan matanya. Ia seperti mendapatkan tamparan keras. Darimana Andin tahu perihal Reza? Bagaimana mungkin dia tahu sejauh itu?

----------------------------------------

BERSAMBUNG KE PART 21 ....

Tidak ada komentar:

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t Add smileys to Blogger +

Posting Komentar